Landscape planning for cultural tourism region of laweyan batik kampong, Surakarta

(1)

WISATA BUDAYA KAMPUNG

BATIK LAWEYAN, SURAKARTA

YUNI PRIHAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Yuni Prihayati


(3)

Batik Kampong, Surakarta. Under supervision of SITI NURISJAH, ARIS MUNANDAR, and NURHAYATI, H.S.ARIFIN

Indonesia is a country with high diversity of cultures. They reflect the history, development, and civilization of Indonesia as a great nation. One of the cultural heritage which has been officially recognized by UNESCO is Batik. Laweyan Batik Kampong is a historical area and has been a centre of batik industry since eighteenth century and it has formed an unique cultural landscape. Developing this area into a cultural tourism landscape with appropriate landscape planning, will encourage the sustainability of culture-socio life in local batik community, the preservation of physical and cultural landscape, and the security of local economy. This study aims to develop Laweyan Batik Kampong into a cultural tourism landscape by analyzing physical and community aspects. Descriptive quantitative method was used to analyze the data both statistically and spatially. Physical aspect was analyzed to obtain the cultural tourism development potential which has three assessment aspects namely cultural quality of region ( the criteria for assessment was adopted from ICOMOS 1999, The Burra Charter) , suitability of region ( the criteria for assessment was adopted from director general for tourism product development, 2000), and quality of visual-aesthetic of environment (the criteria was adopted from Nasar (1998), Burra Charter (1999), and Carmona (2006)). Local community aspect was analyzed to recognize the community acceptability (criteria for assessment was adopted from Koentjaraningrat in Yusiana, 2007). Study result shows that Laweyan Batik Kampong has opportunity to be developed into a cultural tourism landscape. This potential could be developed based on potential development zone generated from the analysis. There are two development zones namely tourism centre zone and tourism supporting zone. The centre zone will accommodate all facilities which will be used to cater cultural tourism activity, such as edu-tourism (batik tourism), and culture tourism (cultural, architectural, and historical tourism). The tourism supporting zone will accommodate the facility which supports cultural tourism such as entrance, visitor centre, and other supporting

facilities. Landscape plan is derived from developing the two zones by

accommodating the cultural interpretative tourism concept, tourism activity and facility development. Local government must support the development of Laweyan Batik Kampong by establishing the legal aspect to protect the heritage and socializing it to the people. I strongly recommend local government to apply the landscape planning I have created in Laweyan Batik Kampong to create a sustainable cultural tourism that consider local community, local economy, socio-culture, and environment.


(4)

Burra Charter (1999). Ketiga analisis di atas dioverlay untuk mendapatkan zona potensi pengembangan wisata budaya. Sedangkan pendekatan untuk mengetahui potensi masyarakat lokal dilakukan dengan menganalisis tingkat akseptibilitas masyarakat. Kriteria untuk analisis menggunakan kriteria dari Yusiana (2007).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kampung Batik Laweyan

memiliki potensi fisik untuk dikembangkan

sebagai

kawasan wisata budaya

dilihat dari aspek kualitas budaya kawasan, kelayakan kawasan dan kualitas estetika-visual lingkungan. Berdasarkan penilaian terhadap potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, diperoleh hasil bahwa 16% dari obyek dan atraksi berkategori sangat baik untuk dikembangkan, dan 50% berkategori baik untuk dikembangkan. Sedangkan penilaian kualitas budaya kawasan berdasarkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, diperoleh hasil bahwa kawasan yang tergolong sangat potensial sekitar 13%, dan yang tergolong potensial sekitar 25%. Untuk kelayakan kawasan, terdiri dari 25% kawasan sangat potensial dan 50% potensial, dan kualitas estetika-visual lingkungan menunjukkan hasil bahwa 50% kawasan tergolong sangat potensial dan 38% potensial. Dari ketiga aspek tersebut setelah dioverlay maka diperoleh zona potensi wisata budaya dimana 38% kawasan tergolong sangat potensial, 38% potensial, dan 24% tidak potensial.

Pengembangan Kampung Batik Laweyan sebagai kawasan wisata budaya didukung oleh masyarakatnya dimana 87.5% masyarakat di seluruh kawasan setuju dengan adanya pengembangan kawasan sebagai tujuan wisata dan bersedia menerima kehadiran wisatawan. Mengingat kawasan ini padat penduduk, masalah kepemilikan lahan bisa menjadi kendala. Hal ini dapat diatasi dengan kebijakan pemerintah dalam pemberian kompensasi yang senilai dengan pengorbanan yang diberikan masyarakat setempat. Zona integratif antara potensi wisata dan akseptibilitas menghasilkan

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta dalam merencanakan secara fisik kawasan wisata budaya yang berkelanjutan dengan

memperhatikan kelestarian warisan budaya dan kehidupan sosial

masyarakatnya.

38% sangat potensial (SP), 38 % potensial (P), 24% tidak potensial (TP). Zona pengembangan dibagi menjadi zona inti (zona SP dan P) dan zona pendukung wisata (zona TP). Pada perencanaan, zona inti dikembangkan untuk menampung aktivitas wisata budaya dan aktivitas masyarakat yang terkait langsung dengan wisata budaya. Zona pendukung menampung aktivitas selain wisata utama.

Kata kunci: perencanaan lanskap wisata budaya, signifikansi budaya, wisata budaya


(5)

YUNI PRIHAYATI. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta. Dibimbing oleh SITI NURISJAH, ARIS MUNANDAR, dan NURHAYATI H.S.ARIFIN.

Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan keragaman seni budaya tradisional. Salah satu warisan seni budaya yang terkenal dan bahkan telah diakui dunia dengan ditetapkannya sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh UNESCO, adalah batik. Pengakuan ini tentu saja menuntut tanggung jawab yang besar untuk terus menjaga dan melestarikannya sepanjang masa, dari generasi ke generasi.

Batik merupakan salah satu bentuk warisan budaya tradisional yang sudah ditekuni masyarakat di Pulau Jawa sejak dulu. Salah satu tempat yang terkenal sebagai produsen batik di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, adalah Kampung Laweyan. Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan di jaman Kerajaan Pajang pada 1500-an dengan sandang sebagai komoditas utamanya. Upaya pelestarian budaya di Kampung Laweyan yang sangat identik dengan batik ini, ternyata telah menjadi perhatian pemerintah setempat. Hal ini terbukti dengan dicanangkannya Kampung Laweyan sebagai kampung batik dan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata Kota Solo. Namun sangat disayangkan bahwa upaya pencanangan Kampung Laweyan sebagai kampung batik dan daerah tujuan wisata ini tidak diiringi dengan perencanaan kawasan yang optimal.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat perencanaan lanskap kawasan Kampung Batik Laweyan ini menjadi kawasan wisata budaya. Tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi dan menganalisis potensi fisik kawasan; 2) menganalisis potensi masyarakat lokal; 3) menentukan zona integratif kawasan untuk dikembangkan dalam perencanaan lanskap kawasan wisata budaya.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan melakukan teknik penskalaan melalui metode peringkat, dan teknik pembobotan

dengan metode pembobotan (penentuan bobot) secara langsung melalui expert

judgement. Teknik penzonasian dilakukan dengan analisis spasial yang dimodifikasi dengan metode deskriptif kuantitatif di atas. Pendekatan ini dilakukan dengan memperhatikan aspek fisik kawasan, dan aspek masyarakat,

Pendekatan untuk mengetahui potensi fisik tapak dilakukan dengan menilai kualitas budaya kawasan , potensi kelayakan kawasan serta kualitas estetika-visual lingkungan. Kualitas budaya kawasan diperoleh dengan menganalisis potensi obyek dan atraksi wisata budaya eksisting. Pendekatan akseptibilitas masyarakat dilakukan untuk mengetahui potensi masyarakat. Analisis terhadap potensi obyek dan atraksi wisata budaya dilakukan dengan menilai signifikansi

budaya (cultural significance) dari obyek dan atraksi wisata eksisting yang

menggunakan kriteria dari ICOMOS, The Burra Charter (1999), dan menilai potensi fisik obyek dan atraksi sesuai kriteria dari Avenzora (2008). Cultural significance merupakan konsep untuk mengestimasi nilai kawasan yang memiliki signifikansi untuk dapat memahami masa lampau untuk kepentingan masa kini dan masa yang akan datang. Penilaian ini berguna untuk menentukan tingkat potensi obyek dan atraksi wisata sebagai tujuan wisata yang layak dikunjungi. Lalu dilakukan penilaian terhadap kualitas budaya dari kawasan yang memiliki obyek dan atraksi wisata budaya eksisting. Di samping itu dilakukan penilaian


(6)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

WISATA BUDAYA

KAMPUNG BATIK LAWEYAN, SURAKARTA

YUNI PRIHAYATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

NRP : A 451080081

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA

Dr. Ir. Aris Munandar, MS

Anggota Anggota

Dr. Ir. Nurhayati, H.S. Arifin, M.Sc

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


(10)

Karya kecil ini khusus kupersembahkan untuk suamiku tercinta, Ir. Noor Arifin Muhammad, MIE

dan kedua buah hatiku tercinta,

Khansa Fatihah Muhammad dan Abu Bakar Aakif Muhammad

Yang telah merelakan waktu dan perhatian selama penulis menyelesaikan studi. Kekuatan cinta dan dukungan semangat dari kalian lah yang membuat penulis mampu menjalani kesulitan dan rintangan selama ini.

Semoga kecintaan kita akan ilmu pengetahuan, menghantarkan kita menjadi golongan hambaNya yang senantiasa berfikir.


(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini dengan

baik. Judul Tesis dalam penelitian ini adalah “Perencanaan Lanskap Kawasan

Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta”. Tesis ini merupakan syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari program Studi Arsitektur Lanskap, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih disertai penghargaan kepada :

1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA , Dr. Ir. Aris Munandar, MS

dan Dr. Ir. Nurhayati, H.S. Arifin, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan, dan saran dalam menyelesaikan penelitian ini. 2. Dr. Ir. Alinda Fitriyani, M. Zain, M.Si, selaku dosen penguji atas saran dan

masukannya.

3. Pimpinan dan staff dari instansi di lingkungan Pemerintah Daerah Kota

Surakarta : Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang.

4. Ir. Alpha Febela Priyatmono, MT, selaku ketua Forum Pengembangan

Kampung Batik Laweyan Surakarta, dan para tokoh masyarakat Kampung Batik Laweyan atas segala bantuan selama penulis turun lapang.

5. Teman-temanku Surya Dewantara, Yuli Istanto, Moh. Zamroni, Bagoes,

yang telah banyak membantu selama penulis melakukan turun lapang. Mbak Euis Puspita, Isrok, Prima, Titi, Eka, Aan atas persahabatan yang tak ternilai harganya.

6. Kakak-kakakku tercinta yang telah banyak membantu : Surya Purwati, Dr.

Bambang DH, Tri Maulidi N, Dr. Agustina (kandidat), Joko Santoso, Dr. Meni. H (kandidat).

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2011


(12)

Yuni Prihayati. Putri bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak H. Rasimun Purwoatmodjo dan Ibu Hj.Sukarti. Dilahirkan di Kota Mentok, Bangka pada tanggal 28 Juni 1973. Pada kurun waktu 1979 – 1985 penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD St. Maria, Mentok-Bangka. Pendidikan menengah pertama ditempuh di tempat yang sama dan lulus tahun 1988, lalu melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas di SMAN 2 Surakarta dan lulus tahun 1991.

Di tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana pada Program Studi Arsitektur Pertamanan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan berhasil menamatkan studi S-1 pada tahun 1996 dengan Skripsi yang berjudul Perancangan Agrowisata Sektor II Cilantung-Parung, Bogor. Pada tahun 2008, penulis meneruskan studi Pascasarjana pada Mayor Arsitektur Lanskap , Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis pernah bekerja sebagai dosen Arsitektur Lanskap di Universitas Mercu Buana untuk periode tahun 1997 – 2002. Saat ini penulis aktif menulis buku-buku bertema pendidikan dan telah menerbitkan beberapa buah buku bertema umum dan CD interaktif bertema pendidikan. Karya ilmiah berjudul Ecological Legal Aspects for Sustainable Riparian Landscape Management in

Sempur Area, Bogor City, Indonesia telah disajikan pada Simposium

Internasional Green City di Bogor pada bulan Juli 2010. Penulis telah berkeluarga dengan Ir. Noor Arifin Muhammad, MIE dan dikaruniai 1 orang putri yaitu Khansa Fatihah Muhammad dan 1 orang putra yaitu Abu Bakar Aakif Muhammad.


(13)

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.5 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batik dan Sejarahnya ... 5

2.1.1. Batik di Jaman Penyebaran Islam ... 9

2.1.2. Batik Solo dan Yogyakarta ... 10

2.1.3. Perkembangan Batik di Kota-kota lain ... 12

2.2 Pengertian Wisata ... 13

2.3 Perencanaan lanskap Kawasan Wisata ... 15

2.3.1. Sumberdaya Wisata . ... 16

2.3.2. Aspek Sosial Budaya dalam Wisata ... 17

2.3.3. Aspek Masyarakat dalam Wisata ... 19

2.3.4. Aspek Estetika-Visual Lingkungan dalam Wisata ... 20

2.4 Perencanaan Lanskap Wisata Budaya ... 21

2.4.1. Lanskap Budaya ... 21

2.4.2. Warisan Budaya (Cultural Heritage) dan Warisan Budaya Tak Benda ... 22

2.4.3. Wisata Budaya dan Interpretasi ... 25

2.4.4. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya Berkelanjutan ... 26

III. GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA 3.1 Kondisi Fisik Kota Surakarta ... 28


(14)

3.1.2. Iklim ... 33

3.1.3. Topografi Lahan ... 35

3.1.4. Tata Guna Lahan ... 36

3.2. Kondisi Sosial Budaya ... 37

3.2.1. Penduduk ... 37

3.2.2. Kepegawaian ... 38

3.2.3. Ketenagakerjaan ... 39

3.2.4. Organisasi Seni dan Budaya ... 39

3.3. Hotel dan Pariwisata ... 40

3.3.1. Pariwisata ... 40

3.3.2. Hotel ... 41

3.4. Transportasi ... 42

IV. METODOLOGI 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

4.2 Alat dan Data Penelitian ... 45

4.2.1. Alat Penelitian ... 45

4.2.2. Data Penelitian ... 47

4.3 Metode Penelitian ... 48

4.3.1. Pendekatan yang Digunakan ... 48

4.3.2. Tahapan Penelitian ... 49

Tahap 1. Pengumpulan dan Klasifikasi Data……… 51

Tahap 2. Analisis dan Sintesis ……….51

Tahap 3. Konsep dan Perencanaan ………62

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi dan Analisis Potensi Fisik Kawasan ... 65

5.1.1. Analisis Kualitas Budaya Kawasan ... 65

5.1.1.1. Analisis Potensi Obyek dan Atraksi Wisata Eksisting ... 65

5.1.1.2. Kualitas Budaya Kawasan berdasarkan Obyek dan Atraksi Wisata Budaya Eksisting ... 81


(15)

5.1.4. Zona Wisata Budaya Potensial ... 91

5.2 Analisis Tingkat Akseptibilitas Masyarakat Lokal ... 92

5.3. Zona Integratif Kawasan Wisata Budaya di Kampung Batik Laweyan ... 94

5.4. Rencana Pengembangan Kawasan Wisata Budaya di Kampung Batik Laweyan ... 100

5.4.1. Konsep Perencanaan Wisata ... 100

5.4.2. Konsep Ruang Kawasan Wisata Budaya ... 101

5.4.3. Konsep Sirkulasi Kawasan Wisata Budaya ... 103

5.4.4. Pengembangan Aktifitas dan Fasilitas di Kawasan Wisata Budaya ... 105

5.4.5. Program Pengembangan Perencanaan Wisata ... 108

5.5. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya ... 109

VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ... 112

6.2. Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 114


(16)

1. Rata-rata suhu udara, kelembaban, tekanan udara, arah

angin dan kecepatan angin pada tahun 2008 ... 34

2. Topografi lahan di beberapa kecamatan di Kota Surakarta ... 35

3. Luas penggunaan tanah tiap kecamatan di kota Surakarta ... 36

4. Pertumbuhan penduduk Kota Surakarta Tahun 1995-2008 ... 37

5. Banyaknya penduduk menurut jenis kelamin dan sex ratio di tiap kelurahan di Kecamatan Laweyan tahun 2008 ... 37

6. Banyaknya penduduk 5 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan di Kota Surakarta 2008 ... 38

7. Banyaknya kelurahan, RT, RW dan kepala keluarga di Surakarta tahun 2008 ... 38

8. Banyaknya penduduk menurut mata pencaharian di Kota Surakarta tahun 2008 ... 39

9. Banyaknya organisasi kesenian dan seniman menurut jenis di Kota Surakarta tahun 2008 ... 40

10. Banyaknya pengunjung objek wisata di kota Surakarta tahun 2008 ... 40

11. Banyaknya hotel dan jumlah kamar menurut klasifikasi di kota Surakarta tahun 2008 ... 41

12 Tingkat penghuni kamar (TPK) hotel menurut kelas hotel di kota Surakarta tahun 2008 ... 42

13. Rata-rata lamanya tamu hotel menginap berdasarkan kelas hotel di Kota Surakarta tahun 2008 (hari) ... 42

14. Panjang jalan menurut status jalan dan keadaan di Kota Surakarta tahun 2008 ... 43

15. Banyaknya kendaraan angkutan umum yang berdomisili di Kota Surakarta tahun 2004-2008 ... 43

16. Banyaknya perusahaan oto Bus (PO) yang berdomisili di Kota Surakarta tahun 2008 ... 44

17. Banyaknya pesawat dan penumpang yang datang dan berangkat dari Bandara Adi Sumarmo dengan tujuan Internasional tahun 2008 ... 44


(17)

20. Data Penelitian ... 47

21. Peubah, indikator, dan kategori untuk penilaian potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... 53

22 Skala penilaian potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... 55

23. Penilaian kelayakan kawasan wisata ... 57

24 Skala penilaian kelayakan kawasan ... 57

25. Skala penilaian kualitas estetika-visual lingkungan ... 58

26. Penilaian kualitas estetika-visual lingkungan ... 59

27. Penilaian Akseptibilitas Masyarakat ... 60

28. Potensi obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan ... 65

29. Obyek dan atraksi wisata di awasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi sangat baik (S1) ... 69

30. Obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi baik (S2) ... 71

31. Obyek dan atraksi wisata di Kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi cukup (S3) ... 75

32. Obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi buruk (S4) ... 76

33. Jenis aktivitas wisata dan kualitas ODAW eksisting ... 77

34. Jenis aktivitas wisata ODAW eksisting ... 79

35. Kualitas budaya masing-masing kawasan berdasarkan obyek dan Atraksi wisata (ODAW) eksisting yang dimiliki ... 81

36. Tingkat kelayakan kawasan wisata ... 83

37. Kualitas estetika-visual lingkungan masing-masing kawasan ... 88

38. Zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan ... 91

39. Tingkat akseptibilitas masyarakat terhadap rencana pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... 93

40. Luasan kawasan di Kampung Batik laweyan berdasarkan tingkat akseptibilitas masyarakat terhadap pengembangan kawasan wisata ... 93


(18)

42. Zona pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... 97 43. Rencana aktifitas dan fasilitas untuk zona inti di kawasan wisata

budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... 106 44. Rencana aktifitas dan fasilitas untuk zona pendukung di kawasan wisata budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... 108


(19)

1. Kerangka dan alur pikir penelitian ... 4

2. Berbagai motif batik dengan sejarah dan filsafah tersendiri ... 6

3. Proses pembuatan batik ... 8

4. Alur proses pembuatan batik ... 9

5. Komponen fungsi dari suplai ... 17

6. Peta perletakan kawasan Laweyan terhadap Kota Surakarta ... 29

7. Pembagian kampung di kawasan Kelurahan Laweyan, Surakarta 30 8. Pola permukiman Kampung Batik Laweyan ... 31

9. Jalan di kawasan Kampung Batik Laweyan ... 32

10. Sungai Kabanaran ... 32

11. Rumah tinggal Indiesch di Laweyan ... 33

12. Grafik curah hujan di Kota Surakarta selama tahun 2008 per bulan ... 35

13. Grafik persentase luas penggunaan tanah di Kota Surakarta berdasar penggunaannya tahun 2008 ... 36

14. Lokasi studi ... 46

15. Tahapan penelitian ... 50

16. Peta potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... 69

17. Peta deliniasi kawasan berdasarkan keberadaan obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan, Surakarta .... .78

18. Peta deliniasi kawasan berdasarkan jenis aktivitas wisata dari obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... .81

19. Peta tematik kualitas budaya masing-masing kawasan berdasarkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... .82

20. Peta kelayakan kawasan wisata budaya ... .84

21. Peta kondisi kualitas estetika-visual lingkungan ... .89

22. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan rendah ... .89

23. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan tinggi ... .90

24. Peta zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan ... .92

25. Peta zona tingkat akseptibilitas masyarakat di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... .94


(20)

27. Peta zona pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... .97 28. Konsep ruang kawasan wisata budaya di Kampung Batik

Laweyan, Surakarta ... .101 29. Konsep ruang dan sirkulasi kawasan wisata budaya di Kampung

Batik Laweyan, Surakarta ... .102 30. Rencana tata ruang kawasan wisata budaya di Kampung

Batik Laweyan, Surakarta ... .110 31. Gambar site plan kawasan wisata budaya Kampung Batik


(21)

1. Program pengembangan ruang wisata budaya (culture tourism) ... 118 2. Program pengembangan ruang wisata edukasi (edu-tourism) ... 132 3. Gambar detil area wisata dan sejarah ... 134


(22)

1.1. Latar Belakang

Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan keragaman seni budaya tradisional. Keragaman ini merupakan anugerah yang diwariskan nenek moyang secara turun temurun yang membuat bangsa kita tetap memiliki ciri khas kebudayaan sendiri, yang membedakan budaya bangsa kita dengan bangsa lain. Salah satu warisan seni budaya yang terkenal dan bahkan telah diakui dunia dengan ditetapkannya sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh UNESCO, tepat pada tanggal 2 Oktober 2008 yang lalu, adalah batik. Pengakuan ini tentu saja menuntut tanggung jawab yang besar untuk terus menjaga dan melestarikannya sepanjang masa, dari generasi ke generasi.

Batik merupakan salah satu bentuk warisan budaya tradisional yang sudah ditekuni masyarakat di Pulau Jawa sejak dulu. Salah satu tempat yang terkenal sebagai produsen batik di pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, adalah Kampung Laweyan. Produksi batik yang sudah dilakukan sejak abad-19 ini ternyata meninggalkan jejak sejarah yang sangat kuat dan telah berperan besar dalam membentuk lanskap budaya di kawasan tersebut. Dinamika perkembangan batik juga turut menciptakan wajah lanskap budaya, berikut sistem sosial budaya tradisional yang unik dan menarik.

Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan di jaman Kerajaan Pajang pada 1500-an dengan sandang sebagai komoditas utamanya. Sebutan Laweyan berasal dari kata "lawe" yang artinya benang dari pilinan kapas. Asal-usul kata lawe ini ternyata terus membawa nama Laweyan tetap terkenal sebagai daerah perdagangan dan produsen sandang hingga saat ini, yaitu sandang batik.

Upaya pelestarian budaya di Kampung Laweyan yang sangat identik dengan batik ini, ternyata telah menjadi perhatian pemerintah setempat. Dengan melihat pasang surutnya perkembangan produksi batik, dan terdorong keinginan untuk melestarikan budaya di kawasan Kampung Laweyan ini, maka tanggal 25 September 2004 Pemerintah Daerah Surakarta mencanangkan Kampung Laweyan sebagai Kampung Batik dan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata Kota Solo.


(23)

Namun sangat disayangkan bahwa upaya pencanangan Kampung Laweyan sebagai Kampung Batik dan daerah tujuan wisata ini tidak diiringi dengan perencanaan kawasan yang optimal. Menurut ICOMOS, The Burra Charter (1999), dijelaskan bahwa nilai budaya yang dilindungi, sebagaimana budaya batik yang ada di kampung Laweyan ini, dapat dimanfaatkan, sepanjang tidak mengancam keberadaannya dan kualitas nilai budaya itu sendiri. Salah satu cara pemanfaatannya adalah dengan menjadikannya sebagai daerah tujuan wisata. Belakangan ini, kunjungan ke tempat-tempat warisan bersejarah, dan tempat situs budaya lainnya meningkat dengan tajam (Pearce, 1996; Uzzell, 1998).

Di sisi lain, warisan budaya merupakan peninggalan leluhur yang mudah terancam punah bila tidak dilestarikan dengan sungguh-sungguh. Perencanaan lanskap yang mampu memanfaatkan warisan budaya sebagai daya tarik wisata sekaligus melakukan perlindungan terhadap warisan budaya tersebut , beserta masyarakat lokal yang hidup bersamanya, sangat dibutuhkan. Pemanfaatan sumberdaya wisata dengan sekaligus melakukan upaya pelestarian dan perhatian terhadap keberlangsungan hidup kawasan hingga generasi-generasi mendatang, merupakan kunci keberhasilan perencanaan lanskap sebuah kawasan wisata. Perencanaan lanskap budaya yang tepat tidak hanya akan menjadi daya tarik wisata, tapi sekaligus dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal dan kualitas budaya di kawasan tersebut.

Berangkat dari fenomena ini, penting untuk merencanakan kawasan Kampung Batik Laweyan ini sebagai kawasan wisata budaya yang berkelanjutan yang memperhatikan unsur-unsur pelestarian warisan budaya batik, kehidupan sosial budaya dan perekonomian masyarakat lokal, dan lingkungan.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kampung Laweyan merupakan daerah yang menyimpan warisan budaya tak benda yaitu batik. Budaya batik , berikut kehidupan sosial budaya yang menyertainya, merupakan budaya yang harus tetap dipertahankan secara turun temurun. Upaya pelestarian ini belum diwujudkan dalam perencanaan kawasan yang terarah dan terintegrasi di Kampung Laweyan ini. Perencanaan kawasan seperti apa yang paling tepat?


(24)

2. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai potensi dan sumberdaya apa saja yang dimiliki kawasan agar layak dijadikan tempat tujuan wisata, sekaligus sebagai upaya pelestarian sumberdaya yang dimiliki. Sumberdaya apa saja yang dimiliki di kampung Batik Laweyan ini dan bagaimana potensi yang dimiliki?

3. Masyarakat merupakan faktor penting dalam pengembangan kawasan wisata. Bagaimana tingkat penerimaan masyarakat terhadap pengembangan kawasan menjadi kawasan wisata?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat perencanaan kawasan Kampung batik Laweyan ini menjadi kawasan wisata budaya. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1) Menganalisis aspek fisik kawasan :

a. Menganalisis kualitas budaya kawasan berdasarkan obyek dan atraksi wisata budaya eksisting

b. Menganalisis kelayakan kawasan wisata c. Menganalisis kualitas estetika-visual lingkungan

2) Menganalisis potensi masyarakat lokal

3) Menentukan zona integratif kawasan untuk dikembangkan dalam

perencanaan lanskap kawasan wisata budaya.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Mendukung upaya pelestarian sejarah dan budaya, khususnya di kawasan

Kampung Batik Laweyan, terutama setelah ditetapkannya Kampung Laweyan sebagai kawasan cagar budaya.

2. Menjadi masukan bagi Forum Kampung Laweyan dalam mengembangkan

dan melestarikan Kampung Laweyan agar tetap berkelanjutan baik dari segi ekonomi maupun kehidupan sosial budayanya.

3. Meningkatkan pemahaman dan pengertian pengunjung terhadap sejarah

dan budaya Kampung Batik Laweyan.

4. Menjadi masukan bagi pengembangan pariwisata yang dapat meningkatkan

PAD kota dan kesejahteraan masyarakat serta pelestarian budaya batik Kota Solo.


(25)

1.5. Kerangka Pikir Penelitian

Sebelum memulai penelitian, perlu adanya kerangka berpikir untuk membantu kelancaran pelaksanaan baik selama di lapang maupun pada saat proses pengolahan data dan pengembangan kawasan. Aspek masyarakat dan aspek fisik kawasan diteliti dan dianalisis sesuai prinsip-prinsip perencanaan wisata. (Gambar 1).

Gambar 1. Kerangka dan alur pikir penelitian

Aspek Fisik Kawasan Aspek

Masyarakat

Kualitas Budaya Kawasan berdasarkan Obyek & Atraksi

Wisata Eksisting

Potensi Masyarakat Potensi

Pengembangan Wisata Budaya

Kampung Laweyan

Peruntukan sebagai kawasan wisata budaya

Perencanaan Kawasan Wisata Budaya Kelayakan

Kawasan Wisata

Kualitas Estetika-Visual

Lingkungan

Zona Kualitas Budaya Kawasan

Zona Kelayakan Kawasan Wisata

Zona Potensi Estetika-Visual

Lingkungan

Zona Wisata Budaya Potensial

Zona Akseptibilitas Masyarakat

Zona Pengembangan Kawasan Wisata Budaya Potensi Obyek

dan Atraksi Wisata Budaya


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batik dan Sejarahnya

Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya, batik mengalami banyak perkembangan. Selanjutnya dengan penggabungan berbagai corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik lukis seperti sekarang ini (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, 1987).

Sejarah perbatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Jenis dan corak batik tradisional amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri. Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Pada awalnya batik dikerjakan terbatas hanya dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari para pengikut raja yang tinggal di luar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan di tempatnya masing-masing. Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, pria dan wanita, hingga kini.

Sebelum tahun 1900 penggunaan batik hanya untuk jarik (tapih),dodot, kemben,selendang dan ikat kepala. Sedangkan motif-motif yang digunakan mempunyai arti filosofis, sebagai contoh:

a. Batik dengan motif sidomukti biasa digunakan oleh mempelai pada upacara akad nikah maupun upacara “panggih” (Jawa) dengan maksud supaya si mempelai setelah melangsungkan pernikahan dikaruniai Tuhan


(27)

kebahagiaan, terpenuhi segala kebutuhan hidupnya dan mendapatkan kedudukan yang tinggi.

b. Pada tahun 1769, 1784, 1790, di kasunanan Surakarta diterbitkan surat keputusan Sri Sunan yang berisi larangan menggunakan batik khusus dengan motif yang mengandung sawat (sayap burung garuda), motif Parang Rusak, motif Udan Liris, Motif Cemukan , bagi masyarakat umum (bukan anggota keluarga kerajaan). Berbagai motif batik yang disebutkan di atas dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini

Motif Parang Rusak Motif sawat (sayap burung garuda)

Motif Sidomukti Motif Udan Liris

Sumber: Departemen Perindustrian-Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (1987).

Gambar 2. Berbagai motif batik dengan sejarah dan filsafah tersendiri

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah tahun 1900 (terutama setelah dihapuskannya larangan penggunaan motif batik tertentu dan munculnya desain batik modern) maka penggunaan batik tidak terbatas untuk busana tradisional saja, tetapi berkembang lebih luas lagi antara lain dipakai sebagai alat


(28)

perlengkapan rumah tangga (seperti tirai, taplak meja, sprei, hiasan dinding, tas, kursi, gaun, kemeja pria, dsb).

Jadi, kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia khususnya suku Jawa, yaitu setelah akhir abad ke XVIII atau awal abad ke XIX. Semua batik yang dihasilkan adalah berupa batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920.

Kini batik sudah menjadi pakaian tradisional Indonesia, dan bahkan sudah menjadi salah satu fashion yang sedang trend dan digandrungi tidak hanya oleh penduduk Pulau Jawa. Bahkan mereka yang tinggal di luar Jawa dan luar negeri sekalipun sudah mulai mengenal batik dan mengenakannya dengan bangga. Namun, popularitas batik sekarang ini lebih banyak karena didukung oleh kecenderungan trend dan mode pakaian yang dicetuskan pertama kali oleh para perancang pakaian. Orang banyak mengenakan batik lebih karena “sedang trend”, dan bukan karena terdorong rasa cinta dan pengetahuan yang mendalam terhadap karya seni batik itu sendiri.

Kebanggaan yang dimiliki bangsa Indonesia berkenaan dengan batik adalah dengan diakuinya kerajinan tradisional batik sebagai warisan budaya takbenda secara internasional. Kerajinan batik yang dimiliki bangsa Indonesia memang unik, dimana ini terletak pada seni proses pembuatan batik itu sendiri. Proses pembuatan batik yang mengikuti alur kerja tertentu dimulai dari menggambar motif menggunakan canting sampai proses pewarnaan dan penjemuran, merupakan kemahiran kerajinan tradisional yang tidak dimiliki bangsa lain. Hal ini merupakan tradisi budaya yang harus tetap dijaga dari generasi ke generasi.

Pada kenyataannya, pengetahuan akan seni batik dirasa kurang bagi generasi masa kini. Berbagai bentuk dan corak batik yang ada, jarang dapat dipahami dengan benar, terutama bagi mereka yang tinggal di luar kota-kota penghasil batik seperti Bandung, Jakarta, atau luar jawa. Sebagian besar mereka hanya tahu bahwa kain tersebut adalah kain batik, tetapi tidak tahu corak apa saja yang tergolong batik dan bagaimana membedakannya , bagaimana proses pembuatannya, bagaimana merawat batik dengan benar, dll. Pengetahuan akan seluk beluk batik termasuk pengenalan sejarah batik, corak, proses pembuatan dan perawatan dirasa perlu sebagai upaya untuk menjaga


(29)

dan melestarikan kesenian batik, yang telah menjadi tradisi dan ciri khas bangsa Indonesia sejak jaman dulu.

Proses pembuatan batik merupakan pengetahuan yang sangat menarik untuk digali. Proses membatik secara tradisonal ini dari masa kemasa tidak mengalami banyak perubahan sampai sekarang. Melihat dari bentuk dan fungsinya, peralatan batik ini cukup tradisional dan unik, sesuai dengan cara membatik yang juga masih tradisional.

Peralatan batik tradisional ini merupakan bagian dari batik tradisional itu sendiri karena bila dilakukan perubahan dengan menggunakan alat/mesin yang lebih modern maka akan merubah nama batik tradisonal menjadi kain motif batik. Hal ini menunjukkan bahwa cara membatik ini memiliki sifat yang khusus dan menghasilkan seni batik tradisional. Membatik dengan cara tradisional ini (menggunakan canting) memang tidak dapat menghasilkan kain batik dalam jumlah banyak dengan waktu singkat. Tidak mengherankan bila hasil karya membatik tradisional ini dihargai dengan harga yang cukup tinggi. Gambar alur pembuatan batik dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4 di bawah ini.

Sumber : Widayati, 2002


(30)

Gambar 4. Alur proses pembuatan batik

2.1.1. Batik di Jaman Penyebaran Islam

Riwayat perbatikan di daerah Jawa Timur adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah

Patihan Wetan (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian dan

Pengembangan Industri, 1987).

Perkembangan selanjutnya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari, ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan


(31)

sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena

putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar di pesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kain putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import baru dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia

pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

2.1.2. Batik Solo dan Yogyakarta

Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, oleh masyarakat batik


(32)

dikembangkan menjadi komoditi perdagangan (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian dan Pengembangan Industri -Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan batik, 1987).

Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya baik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan "Sidomukti" dan "Sidoluruh".

Sedangkan asal-usul pembatikan di daerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-1 dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah di Desa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada tingkatan pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombinasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.

Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah Timur Ponorogo, Tulung Agung dan sebagainya. Meluasnya daerah pembatikan ini sampai ke daerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.

Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut Pangeran Diponegoro mengembangkan batik.

Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik,


(33)

Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.

2.1.3. Perkembangan Batik di Kota-kota Lain

Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesainya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menetap di daerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning. (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian dan Pengembangan Industri -Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan batik, 1987).

Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada

akhir abad XIX berhubungan langsung dengan pembatik di daerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina, disamping mereka juga berdagang bahan batik.

Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitar daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad XIX. Perkembangan pembatikan daerah- didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.

Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya ke daerah baru itu dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk mata pencaharian.

Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya, dilihat dari proses dan desainnya banyak


(34)

dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya merupakan buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembuatan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.

Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekalongan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen sehingga para buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto pun banyak yang lebih tertarik ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.

Sedang pembatikan dikenal di Tegal pada akhir abad XIX dan bahan yang dipakai pada waktu itu merupakan bahan buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan seperti pace atau mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya adalah bahan tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu. Setelah dikenal nila pabrik, kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah mencapai kawasan luar daerah antara lain Jawa Barat , dimana batik tersebut dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha dengan berjalan kaki dan menurut sejarah merekalah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.

2.2. Pengertian Wisata

Wisata adalah kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang untuk sementara dalam jangka waktu tertentu ke tujuan-tujuan di luar tempat tinggal dan tempat rutinitas bekerja, untuk tujuan rekreatif dan non rekreatif dengan aktivitas selama mereka tinggal di tempat tujuan tersebut dan fasilitas yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan mereka (Gunn, 1994). Sementara itu Soemarwoto (1996) menyatakan bahwa wisata atau pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan, dimana tujuan pariwisatanya adalah untuk mendapatkan rekreasi. Wisata juga dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang dapat membuat suatu area terhubung dengan destinasi dengan rute perjalanan antara dua lokasi tersebut ( Boniface dan Cooper dalam Gunn, 1994).


(35)

Tujuan travelling dalam pariwisata memang bervariasi. Menurut WTO ( World Tourism Organization (1991), yang diperkuat oleh UN Statistical Commission dalam Holden (2000) dikatakan bahwa pariwisata terdiri dari aktivitas orang yang melakukan travelling dan menetap di suatu tempat di luar lingkungan yang biasa mereka diami untuk jangka waktu tidak lebih dari satu tahun untuk kepentingan bersenang-senang, bisnis atau tujuan lainnya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan oleh Davidson dalam Holden (2000) bahwa rekreasi atau kesenangan merupakan tipe utama dari wisata, termasuk perjalanan untuk mengisi hari libur, olahraga, acara budaya, dan mengunjungi teman dan saudara, atau bahkan untuk kepentingan bisnis, studi atau pendidikan , agama dan tujuan kesehatan.

Alasan utama mengapa orang mengunjungi suatu tempat adalah adanya daya tarik atau magnet tertentu dari tempat tersebut. Gunn (1994) menyatakan bahwa alasan tersebut terletak pada sumberdaya yang ada di tempat tujuan/destinasi, baik itu sumberdaya alam dan budaya, dan juga atraksi yang berkaitan dengan sumberdaya-sumberdaya tersebut. Pada umumnya istilah “sumberdaya alam” mengacu pada lima fitur alam mendasar seperti air, perubahan topografi, vegetasi, kehidupan alam liar, dan iklim. Sumberdaya budaya termasuk semua sumberdaya kecuali yang kita sebut alami. Diantaranya adalah situs bersejarah, situs prasejarah, tempat keetnikan, legenda dan pendidikan; industri, pusat perdagangan, dan galeri-galeri; dan tempat – tempat penting untuk hiburan, kesehatan, olah raga dan agama. Kedua kategori sumberdaya ini dapat digunakan untuk mengklasifikasi atraksi yang terdapat di tempat tujuan wisata. Smith (1989) mengkategorikan faktor-faktor atraksi dalam area wisata dalam lima kategori utama yaitu faktor alami, faktor sosial dan budaya, faktor sejarah, faktor rekreasional dan faktor infrastruktur wisata.

Atraksi yang terdapat di tempat tujuan wisata merupakan komponen suplai yang sangat berperan penting dalam pariwisata. Atraksi merupakan segala hal yang dikembangkan di lokasi, yang direncanakan dan dikelola untuk kepentingan pengunjung, untuk aktivitas dan untuk dinikmati (Gunn, 1994).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam wisata tidak dapat terlepas dari hukum penawaran dan permintaan. Semakin menarik penawaran yang diberikan, maka akan semakin banyak pula permintaan yang datang. Perencanaan dan pengelolaan yang tepat di sisi penawaran (dalam hal ini adalah tempat tujuan wisata) tidak hanya akan menambah daya tarik wisatawan atau


(36)

menambah sisi permintaan, tetapi juga akan meningkatkan kualitas lingkungan kawasan tujuan wisata. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa yang dapat ditawarkan adalah di tempat tujuan wisata adalah sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang mampu mempertahankan keberlangsungan kawasan dan lingkungan adalah tujuan utama dari seorang perencana kawasan wisata.

2.3. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata

Menurut Inskeep (1991) secara umum yang dimaksud dengan perencanaan adalah mengorganisasikan masa depan untuk mencapai tujuan tertentu. Berkaitan dengan perencanaan wisata, Inskeep (1991) mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan perencanaan yang dapat dilakukan sehubungan dengan pengembangan kawasan wisata. Pendekatan perencanaan dengan mempertimbangkan keberlanjutan kawasan dan lingkungan adalah salah satunya. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya kualitas kehidupan yang lebih baik karena kondisi fundamental yang terdiri dari lingkungan manusia, kehidupan budaya, dan kehidupan alam yang senantiasa terjaga, selalu menjadi pertimbangan utama selama perkembangan terjadi.

Lebih lanjut Nurisjah (2000) menyatakan bahwa perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan.

Menurut Gunn (1994), perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk mengembangkan kawasan wisata untuk mengakomodasi keinginan pengunjung, pemerintah daerah, penduduk atau masyarakat sekitar. Dikatakan pula bahwa perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan sensitif terhadap lingkungan, dan dapat diintegrasikan dengan masyarakat dengan dampak negatif yang minimal.

Pengertian-pengertian sebagaimana dikemukakan di atas memberi arahan bagi seorang perencana kawasan khususnya dalam hal ini adalah perencana kawasan wisata untuk mempertimbangkan banyak faktor yang berpengaruh dalam wisata. Pertimbangan yang dilakukan tidak hanya untuk kepentingan keuntungan secara materi bagi industri wisata sendiri, tetapi mempertimbangkan kepentingan lain yang menyertai keberlangsungan


(37)

kehidupan industri wisata itu sendiri seperti masyarakat lokal, lingkungan, kehidupan ekonomi dan budaya, serta alam. Pemilihan pendekatan perencanaan yang tepat merupakan kunci sukses dalam keberhasilan sebuah perencanaan. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan kawasan wisata adalah sebagai berikut.

2.3.1. Sumberdaya Wisata

Untuk merencanakan suatu kawasan wisata perlu diperhatikan sumberdaya dan permintaan wisata. Sumberdaya wisata merupakan gambaran tentang ruang, fasilitas dan pelayanan. Sumber daya wisata adalah potensi wisata yang dapat berupa objek-objek wisata baik alami maupun objek-objek buatan manusia. Objek-objek alami meliputi iklim, pemandangan alam, wisata rimba, flora dan fauna, sumber air, kesehatan, dan lainnya. Sedangkan objek-objek buatan manusia antara lain yang bercirikan sejarah, budaya dan agama, sarana dan prasarana wisata dan pola hidup masyarakat (Hardjowigeno,2001).

Menurut Darsoprajitno (2002), sumber daya wisata adalah ketersediaan objek dan daya tarik wisata baik wisata binaan, lingkungan alam yang masih murni alami, maupun yang sudah terpengaruh oleh budidaya manusia yang bersifat tetap atau temporal di suatu kawasan tertentu. Selanjutnya Avenzora

(2008), menyatakan sumber daya wisata (recreation resources) adalah suatu

ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen-elemen ruang tertentu yang dapat : (1) menarik minat orang untuk berekreasi, (2) menampung kegiatan rekreasi, dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi.

Supply atau penawaran adalah daftar yang menunjukkan jumlah dari suatu produk yang akan membuat ketersediaan untuk pembelian bermacam level

harga. Sedangkan tourism supply adalah fungsi dari suatu kawasan alami dan

karakteristik sosial ekonomi yang dengan sebaik mungkin dapat mendukung atraksi dan objek yang ada dari suatu kawasan budaya dan atau sumberdaya alam dimana bentuk atraksi yang ditampilkan cocok dengan komponen wisata (Jafari, 2000). Dalam tourism supply, perlu dipahami pengertian tentang : (1) apa dan berapa yang dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan,dan (3) kepada siapa dapat diberikan (Avenzora, 2008).

Selain sumberdaya fisik dan alami maka sumberdaya lain seperti aspek budaya maupun sejarah, menjadi salah satu atraksi yang dapat mendukung pengembangan kawasan wisata. Hal ini didukung oleh keterkaitan etnik yang


(38)

tinggi yang dimiliki oleh suatu kawasan. Namun demikian walaupun mempunyai potensi untuk dikembangkan tapi bila tanpa dukungan sarana prasarana tranportasi, atraksi yang menarik, maupun pelayanan yang baik serta informasi dan promosi, maka akan kurang dikenal. Oleh karena itu sumber daya wisata

dapat dikembangkan menjadi suatu pariwisata yang marketable jika memenuhi

persyaratan sebagaimana gambar di bawah ini.

Sumber : Gunn, 1994

Gambar 5.. Komponen fungsi dari suplai

Perencanaan dan pengembangan suatu kawasan wisata harus memperhatikan semua sumberdaya alam dan budaya, serta lingkungan agar tidak terjadi degradasi. Pengembangan kawasan wisata harus selalu melindungi sumber daya yang ada karena penting sekali bagi keberhasilan wisata, selain itu juga harus menonjolkan kualitas asli atau lokal dari suatu tempat (Gunn, 1994).

Salah satu sumber daya wisata adalah budaya kehidupan masyarakat. Pemahaman terhadap budaya suatu masyarakat tidak hanya dapat membantu melestarikan kelestarian budaya itu sendiri, namun juga dapat menjadi salah satu atraksi menarik bagi wisatawan yang menginginkan pengalaman untuk merasakan budaya yang berbeda dengan budaya daerah asal mereka.

2.3.2. Aspek Sosial Budaya dalam Wisata

Aspek sosial budaya adalah suatu kondisi sosial budaya masyarakat yang ada dan berpengaruh dalam lingkungan hidupnya. Menurut Koentjaraningrat (1986), budaya sebagai bagian kompleks yang menyangkut pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral. hukum, adat istiadat dan

Atraksi

Servis

Transportasi


(39)

kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan dari manusia sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya Koentjaraningrat (1986), menyatakan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai budaya fisik dan tidak memerlukan banyak penjelasan, maka sifatnya paling konkret.

Sementara itu Koentjaraningrat (1986), menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan bersifat universal (cultural universal) yang terdiri dari tujuh unsur yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial. Sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian.

Dalam aspek sosial budaya berhubungan erat dengan lanskap

budayanya (cultural landscape) yaitu suatu model atau bentuk lanskap binaan

yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dan ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan, adat istiadat, kesenian dan struktur lainnya (Nurisjah, 2001). Pola-pola budaya yang perlu diketahui termasuk struktur masyarakat, sistem nilai, kebiasaan, gaya hidup dan perilaku yang akan disesuaikan dengan pengembangan wisata dan pemakaian tenaga kerja setempat ( Inskeep ,1991).

Menurut Inskeep (1991), sosial budaya dalam wisata adalah:

1. Pengembangan wisata yang dapat memikat tanpa menimbulkan kerusakan pada kehidupan sosial budaya dan aktifitas masyarakat, 2. Tingkatan wisata yang dapat membantu memelihara monumen

budaya, seni, sistem kepercayaan, pakaian dan tradisi tanpa efek merusak.


(40)

Perlu diketahui bahwa mau tidak mau pasti akan terjadi dampak akibat adanya wisata. Dampak sosial budaya yang ditimbulkan dengan adanya wisata adalah terjadinya interaksi antara wisatawan yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan penduduk lokal sehingga terjadi saling mempengaruhi antara penduduk lokal dengan wisatawan. Dampak ini dapat memberi pengaruh positif seperti semakin meluasnya cakrawala pandangan penduduk lokal, saling pengertian dan saling menghargai antara wisatawan dan penduduk lokal. Di lain pihak juga memberi dampak negatif seperti adanya komersialisasi yang berlebihan yang dapat menyebabkan merosotnya mutu kesenian, meningkatnya prostitusi dan kriminalitas (Soemarwoto, 1996). Pertimbangan perencanaan yang dapat meminimalisir dampak negatif dan memperkuat dampak positif, sangat perlu dilakukan.

2.3.3. Aspek Masyarakat dalam Wisata

Menurut Suwantoro (2004), dikatakan bahwa pembangunan dan pengembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat dan sekitarnya secara langsung.

Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata ke arah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat tersebut dapat berupa keikutsertaaan sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya. Keikutsertaan ekonomi adalah keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian baik terkait langsung dalam wisata maupun yang tidak terkait secara langsung dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian kawasan wisata, sedangkan perekonomian non wisata merupakan kegiatan pendukung perekonomian di kawasan wisata.

Dalam suatu kawasan budaya yang dilindungi, perlu adanya kerjasama antara 3 mitra yang saling menguntungkan untuk bersama-sama melindungi dan menjaga agar lingkungannya tetap terus berkelanjutan, yaitu komunitas, pengunjung, dan situs itu sendiri. Komunitas ini terdiri dari masyarakat lokal, pemerintah daerah, LSM, forum perwakilan masyarakat, maupun pengusaha sebagai investor. Komunitas yang saling berkoordinasi menyamakan misi dan visi dalam membangun dan melindungi kawasannya akan mendororng keberlanjutan lingkungannya melalui apresiasi dan kebanggaan atas


(41)

keistimewaan budaya yang mereka miliki. Ketika sebuah komunitas menunjukkan rasa bangga dan wibawanya atas kawasan budaya yang dilindungi dan dijaga dengan hati-hati ini, maka hal ini akan menarik para tamu atau pengunjung yang juga menunjukkan rasa penghargaan atas kekagumannya. Jika lingkaran ini sudah terbentuk, maka akan lebih mudah memelihara kawasan budaya yang dilindungi tersebut dan menjaganya agar tetap langgeng hingga generasi berikutnya. Memahami preferensi dan persepsi komunitas dan pengunjung merupakan hal yang sangat penting dalam merencanakan suatu kawasan wisata budaya.

2.3.4. Apresiasi Estetika-Visual Lingkungan dalam Wisata

Apresiasi terhadap estetika lingkungan perkotaan dapat berupa apresiasi visual dan kinestetik. Apresiasi visual terhadap lingkungan perkotaan merupakan hasil dari persepsi dan kognisi. Sedangkan pengalaman kinestetik merupakan apresiasi terhadap lingkungan yang mengikursertakan kepekaan gerakan seluruh anggota tubuh (Carmona et al. 2003).

Nasar (1998), mengatakan ada lima atribut untuk mengatakan bahwa

suatu lingkungan itu disukai. Kelima atribut tersebut adalah: 1) naturalness

(lingkungan yang natural atau unsur alamiahnya lebih dominan dibanding elemen terbangun); 2) upkeep/civilities (lingkungan yang terlihat terawat dan dipelihara) ; 3) openness and defined space (perpaduan antara ruang terbuka dengan

panorama dan vista dari elemen2 yang menarik); 4) historical

significance/content (lingkungan yang membentuk ingatan/memori yang dharapkan); dan 5) order (dalam arti keteraturan, koheren (tepat ), kongruen (sesuai), legible (mudah dipahami), dan ada kejelasan (clarity)). Untuk ruang

terbuka yang berupa jalan atau street, Carmona et al. (2003), mengatakan

bahwa terdapat pertimbangan untuk menilai kualitas visual salah satunya adalah

architectural rhythm.

Dimensi visual lainnya adalah pengalaman kinestetik (kinaesthetic

experience). Cullen (1961) dalam Carmona et al. (2003) mengatakan tentang ‘serial vision” dimana pengalaman merupakan serangkaian penyingkapan banyak hal disertai dengan adanya daya tarik karena unsur kontras seperti

misalnya juxtaposition dalam bidang arsitektur. Bosselmann (1998) dalam

Carmona et al. (2003) mengatakan bahwa seseorang mengukur langkahnya dengan “jarak ritmik” yang berkaitan dengan pengalaman visual dan spasial.


(42)

Lebih lanjut Bosselmann mengatakan bahwa seseorang yang mengambil jarak tempuh yang sama di lingkungan yang berbeda, akan memberikan persepsi terhadap waktu dan pengalaman yang berbeda-beda. Perjalanan di lingkungan yang tidak menarik akan memberi persepsi terhadap waktu yang terasa lebih lama dari kenyataan waktu yang sebenarnya.

2.4. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya 2.4.1. Lanskap Budaya

Kebesaran suatu bangsa tidak hanya cukup diukur oleh tingkat kesejahteraan dan kemantapan perekonomian saja, tetapi juga oleh apresiasi dan sikap bangsa dalam melestarikan nilai dan warisan budaya lama serta keanekaragaman biologis dan ekosistemnya. Warisan alam dan budaya, merupakan sumber yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan mahluk hidup di muka bumi ini.

Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakter tertentu, yang beberapa unsurnya dapat digolongkan menjadi unsur utama atau unsur mayor dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur utama atau unsur mayor adalah unsur yang relatif sulit diubah, sedangkan unsur penunjang atau minor adalah unsur yang relatif kecil dan mudah untuk diubah (Simonds, 1983).

Lanskap budaya (cultural landscape) adalah segala sesuatu yang berada di ruang luar yang dekat dan dapat dilihat. Menurut definisi ini, lingkungan lanskap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia (Lewis (1979) diacu dalam Meinig (1979)). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lanskap budaya adalah segala bagian dari muka bumi yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia.

Lanskap budaya menurut Sauers (1978) diacu dalam Tishler (1982), adalah suatu kawasan geografis dimana ditampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu kebudayaan tertentu, dimana budaya adalah agennya, kawasan alami sebagai medium dan lanskap budaya sebagai hasilnya. Jika kita kehilangan lanskap yang menggambarkan tentang budaya dan tradisi kita, maka kita akan kehilangan bagian penting dari diri kita sendiri dan akar masa lalu. Sebagai arsitek lanskap merupakan tanggung jawab professional untuk menentukan lingkungan khusus ini, setelah diidentifikasi, apakah akan dilindungi atau dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan unsur keberlangsungan sebagai langkah perlindungan warisan bersejarah.


(43)

2.4.2. Warisan Budaya (Cultural Heritage) dan Warisan Budaya Tak Benda

Menurut UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural

Organisation) yang dimaksud dengan cultural heritage adalah yang tergolong

dalam monumen, kelompok bangunan, dan situs. Yang dimaksud dengan monumen antara lain hasil karya arsitektural, hasil karya patung dan lukisan yang monumental. Elemen atau struktur alam yang arkeologis, naskah, gua dan kombinasi fiturnya, dimana nilainya bersifat universal, baik dari sudut pandang sejarah, seni sekelompok bangunan yang saling berhubungan maupun yang terpisah, baik karena bentuk arsitekturnya, keseragamannya dalam suatu lanskap, atau nilainya yang secara universal sangat hebat, baik dari segi sejarah, seni maupun ilmu pengetahuan. Untuk situs, yang tergolong di dalamnya adalah hasil karya manusia atau kombinasi antara alam maupun karya manusia, dan area-area seperti situs bersejarah yang nilainya secara universal tergolong hebat, baik dari segi sejarah, estetika, etnologis maupun antropologis.

Masih menurut UNESCO, bahwa cultural heritage terdiri dari tangible cultural heritage (materiil cultural heritage) dan Intangible cultural heritage (Immateriil cultural heritage). Tangible cultural heritage dapat terdiri dari: 1) warisan budaya yang dapat dipindahkan (lukisan, patung, koin, naskah kuno); 2) warisan budaya yang tidak dapat dipindahkan (monumen, situs arkeologis); 3) warisan budaya di bawah air (kapal karam, situs dan reruntuhan di bawah air). Sedangkan Intangible cultural heritage terdiri atas tradisi lisan, seni pertunjukan, ritual.

Menurut Konvensi UNESCO 2003 mengenai Warisan Budaya Takbenda menyebutkan bahwa warisan budaya takbenda mengandung arti berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu sebagai bagian warisan budaya mereka.

Warisan Budaya Takbenda (WBTB) ini bagi masyarakat, kelompok dan perorangan memberikan rasa identitas dan keberlanjutan, dan cara mereka hidup bermasyarakat. Sumber dari keragaman budaya dan bukti nyata dari potensi kreatif manusia, warisan takbenda secara terus-menerus diciptakan oleh para penerusnya, karena warisan ini dipraktikkan dan disampaikan dari individu ke individu lain dan dari generasi ke generasi.

Warisan budaya takbenda sebagaimana didefinisikan di atas diwujudkan antara lain di bidang :1) tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai


(44)

wahana warisan budaya takbenda; 2) seni pertunjukan ; 3) adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan-perayaan; 4) pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; 5) kemahiran kerajinan tradisional.

Budaya takbenda juga dikenal dengan istilah “budaya hidup”. Melihat dari definisi dan perwujudan bidang dari warisan budaya takbenda, maka kerajinan tradisional batik tergolong sebagai Warisan Budaya Takbenda sebagaimana yang telah ditetapkan oleh UNESCO di tahun 2004 yang lalu.

Menurut ICOMOS-International Cultural Tourism Charter (2002) yang

dimaksud dengan cultural heritage adalah ekspresi tentang cara hidup yang

dikembangkan oleh sebuah komunitas dan diteruskan dari generasi ke generasi termasuk adat istiadat, praktek, tempat-tempat, obyek-obyek, ekspresi dan nilai artistik. Cultural heritage ini seringkali diungkapkan dalam bentuk Intangible atau

Tangible Cultural Heritage. Berkaitan dengan cultural heritage, terdapat istilah

cultural heritage significance yang berarti estetika, sejarah, sosial , spiritual atau karakteristik khusus lainnya dan nilai sebuah tempat, sebuah objek atau adat istiadat yang mungkin dimiliki untuk generasi kini maupun generasi yang akan datang. Wisata hendaknya dapat membawa manfaat bagi masyarakat lokal dan menjadi alat dalam memotivasi mereka untuk menjaga budaya dan warisan budayanya. Wisata yang berhasil adalah yang mampu menyampaikan signifikansi suatu tempat bersejarah atau signifikansi warisan budaya, sehingga mampu dipahami oleh pengunjung maupun masyarakat lokal.

Menurut Burra Charter Australia (1999), cultural significance adalah

sebuah konsep untuk membantu dalam mengestimasi nilai suatu tempat atau ruang yang memiliki signifikansi untuk dapat memahami masa lampau untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang. Terdapat banyak penilaian yang digunakan dalam cultural significance Burra Charter Australia, seperti aesthetic

(estetika), historic (kesejarahan), scientific (keilmuan) dan social (sosial) serta penilaian lain dapat digunakan sesuai dengan konteks permasalahan pada ruang tersebut. Penjelasan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut:

a. Historic value, sebagai nilai yang berasal dari kerangka, kejadian dan aktivitas sejarah yang mempengaruhi sebuah ruang

b. Aesthetic value, sebagai nilai yang berasal dari persepsi yang diterima dengan kriteria-kriteria tertentu, kriteria tersebut dapat berupa bentuk, skala, dan proporsi, warna tekstur dan sebagainya


(45)

c. Scientific value, nilai yang berasal dari ketersediaan dan tingkat representasi serta kontribusi informasi

d. Social value mencakup kualitas suatu tempat terhadap lingkungan sekitar. Pengaruh tersebut dapat berupa spiritual, politik dan budaya. e. Pendekatan lain sebagai tambahan dapat digunakan untuk memahami

cultural significance dari suatu kawasan

Menurut Kerr (1985), Sidharta dan Budihardjo (1989), kriteria dalam

aesthetic value dalam cultural significance adalah estetika dari bangunan atau bagian dari kota yang dipreservasi karena merepresentasikan pencapaian tertentu dalam era bersejarah tertentu. Konstruksi bangunan juga bisa termasuk, jika punya kekhususan seperti bangunan terpanjang, tertua, terbesar, atau bangunan pertama, dll. Pengukuran estetika berkaitan dengan nilai-nilai arsitektural dan seperti bentuk, skala, struktur, tekstur, material, bau, suara yang berkaitan dengan sebuah tempat dan ornamennya

Sedangkan nilai historis (historic value) suatu tempat, Menurut Kerr

(1985) memberi pengaruh atau dipengaruhi oleh figure bersejarah, events ataupun fase terjadinya suatu hal yang bersejarah termasuk lokasi tempat suatu

peristiwa bersejarah berlangsung. Cultural significance menjadi lebih besar

nilainya jika tempat tersebut mengandung event yang masih berkaitan erat atau bahkan settingnya masih tetap lengkap.

Masih menurut Kerr (1985) bahwa cultural significance melibatkan

kualitas tempat yang menjadi tempat pusat spiritual, politik, nasional dan komitmen budaya lainnya untuk perorangan maupun kelompok, baik yang mayor maupun minor.

Dalam lanskap sejarah dan budaya juga tidak terlepas dari kehadiran arsitektur yang merupakan bukti sejarah perkembangan budaya manusia selama periode tertentu di kawasan tertentu. Penilaian terhadap arsitektur juga penting karena arsitektur merupakan bagian dari kehidupan sosial budaya dan sangat merepresentasikan ciri sebuah kawasan atau kota.

Menurut ICOMOS, The Burra Charter (Australia) (1999), yang dimaksud dengan fabric adalah materi fisik dari suatu tempat termasuk komponen, fitur,

konten dan objek. Fabric juga dapat berupa interior bangunan, dan sisa-sisa

yang masih tertinggal di permukaan, maupun material yang sudah diangkat dari permukaan.


(46)

2.4.3. Wisata Budaya dan Interpretasi

Soekadijo (1996) menyatakan objek dapat menjadi tujuan wisata budaya karena memiliki atraksi wisata, yang terdiri dari sumber daya kepariwisataan dalam bentuk budaya, yang dapat berupa peninggalan-peninggalan atau tempat-tempat bersejarah (artifact) maupun perikehidupan, adat-istiadat , yang berlaku di tengah-tengah masyarakat (kebudayaan hidup).

Menurut Gunn (1994) wisata budaya adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumberdaya budaya. Kategori sumberdaya budaya meliputi tapak pra-sejarah, tapak bersejarah, tempat berbagai etnik dan tempat suatu pengetahuan dan pendidikan, lokasi industri, pusat perbelanjaan, dan pusat bisnis, tempat pementasan kesenian, museum dan galeri, tempat hiburan, kesehatan, olah raga dan keagamaan.Wisata budaya akan berhasil bila dibantu dengan perencanaan jalur interpretasi yang dapat menghubungkan cerita antara satu objek budaya dengan objek lainnya sehingga membentuk suatu jalinan cerita yang utuh dan menyeluruh dan membentuk satu pengertian yang baru bagi pengunjung.

Interpretasi merupakan program yang termasuk dalam perencanaan, dalam hal ini adalah perencanaan kawasan wisata budaya. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa perencanaan kawasan wisata budaya hendaklah mempertimbangkan pelestarian kehidupan budaya itu sendiri, maka dengan demikikan upaya interpretasi merupakan upaya yang dirasa perlu untuk mencapai tujuan perencanaan.

Interpretasi akan memberikan pemahaman baru tentang suatu kawasan, baik tentang budaya maupun sejarah kawasan tersebut, bagi para pengunjung. Pemahaman ini diharapkan akan melahirkan keinginan dan semangat bagi pengunjung yang datang untuk turut melestarikannya, baik di dalam kawasan itu sendiri maupun ketika mereka sudah kembali ke tempat asal masing-masing.

Seorang pakar arkeologi , Hodder (1991), menyatakan bahwa warisan budaya tidak hanya memiliki publik yang tunggal tetapi jamak. Masing-masing pihak merasa punya kepentingan dan ingin mengambil manfaat dari warisan budaya.

Wisata interpretatif merupakan salah satu solusi dalam menjembatani informasi antara masyarakat yang ingin tahu tentang budaya, maupun yang tidak

Berbagai kepentingan ini hendaknya disatukan dalam suatu program sehingga memudahkan masyarakat dan berbagai pihak untuk ikut menyelami, memahami dan meresapi apa yang terkandung dalam warisan budaya tersebut.


(47)

ingin tahu sama sekali tentang budaya, sehingga upaya pelestarian budaya dan pemasyarakatan informasi tentang budaya dapat tercapai dengan baik.

Dari sini kita dapat melihat bahwa warisan budaya dapat menjadi asset penting dalam pengembangan industri pariwisata dalam konteks upaya pelestarian dengan sistem yang tepat. Sistem yang tepat inilah yang terus diupayakan , agar tujuan pelestarian budaya dan pariwisata dapat berjalan

seiring dengan harmoni dan sustainable. Salah satunya adalah dengan

mengembangkan kawasan wisata budaya tersebut sebagai kawasan wisata budaya interpretatif.

2.4.4. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya Berkelanjutan

Menurut Inskeep (1991), sustainable tourism atau wisata yang

berkelanjutan adalah suatu industri wisata yang mempertimbangkan aspek-aspek penting dalam pengelolaan seluruh sumberdaya yang ada guna mendukung wisata tersebut baik secara ekonomi, sosial dan estetika yang dibutuhkan dalam memelihara keutuhan budaya, proses penting ekologis, keragaman biologi dan dukungan dalam sistem kehidupan.

Adapun tujuan sustainable tourism menurut Inskeep (1991) adalah

1) Untuk pengembangan yang lebih besar dari pengetahuan dan pemahaman tentang kontribusi yang signifikan dari wisata yang dapat mengubah lingkungan dan ekonomi.

2) Untuk kemajuan sewajarnya dalam pengembangan suatu industri wisata. 3) Untuk memperbaiki kualitas kehidupan dari komunitas kawasan.

4) Untuk memberikan suatu kualitas yang tinggi dari pengalaman pengunjung.

5) Untuk memelihara kualitas lingkungan sebagai obyek yang dapat diandalkan.

Menurut Moscardo dan Kim (1990) dalam Yudasmara (2004), pariwisata yang berkelanjutan harus memperhatikan

1) Peningkatan Kesejahteraan masyarakat

2) Mempertahankan keadilan antara generasi dan intragenerasi

3) Melindungi keanekaragaman biologi dan mempertahankan sistem ekologi 4) Menjamin integritas budaya.


(48)

Menurut EAHTR (European Association Heritage Towns and Regions)

(2006), pendekatan sustainable cultural tourism dapat dilakukan dengan

mempertimbangkan :

1. Pengunjung (kebutuhan, kepuasan dan kenyamanannya) 2. Industry (kebutuhan pariwisata untuk memperoleh keuntungan)

3. Komunitas (menghormati nilai-nilai dan kualitas hidup masyarakat lokal) 4. Lingkungan (melindungi lingkungan fisik dan budaya)

Dalam peningkatan/pengembangan wisata yang harus diperhatikan adalah bagaimana menarik turis sekaligus dapat mempertahankan lingkungan. Oleh karena itu baik pengunjung dan asset wisata, keduanya harus diperhatikan dan dilindungi, begitu juga komunitas yang ada di sekitarnya (Gunn, 1994).

Perencanaan multidimensional bertujuan untuk mengintegrasikan semua aspek pendukung, meliputi aspek sosial, ekonomi, antropologi serta fisik yang terpusat pada masa lalu, sejarah dan yang akan datang (Gunn, 1994).

Untuk dapat merencanakan lanskap wisata budaya yang baik, perlu memahami secara mendalam tentang faktor-faktor yang berpengaruh dan berpotensi dalam lanskap budaya tersebut, termasuk kualitas dan signifikansi dalam lanskap budaya.


(49)

III. GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA

3.1. Kondisi Fisik Kota Surakarta

3.1.1. Kondisi Geografis dan Administrasi 3.1.1.1. Kotamadya

Kota Surakarta terletak antara 110° 45’ 15”dan 110°45’ 35” Bujur Timur dan antara 7°36’ dan 7°56’ Lintang Selatan. Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang maupun Yogyakarta.

Wilayah Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan “Kota Solo

merupakan dataran rendah dengan ketinggian ± 92 m dari permukaan laut, Solo berbatasan di sebelah utara dengan Kabupaten Boyolali, sebelah timur dengan Kabupaten Karangnyar, sebelah selatan dengan Kabupaten Sukoharjo dan di sebelah Barat dengan Kabupaten Sukoharjo.

Luas wilayah Kota Surakarta mencapai 44,06 km² yang terbagi dalam 5 kecamatan, yaitu : Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar kliwon, Jebres dan Banjarsari. Dari beberapa kecamatan ini terbagi lagi menjadi 51 kelurahan. Jumlah RW tercatat sebanyak 595 dan jumlah RT sebanyak 2.669. Dengan jumlah KK sebesar 130.440 KK, maka rata-rata jumlah KK setiap RT berkisar sebesar 49 KK setiap RT. Sebagian besar lahan dipakai sebagai tempat pemukiman sebesar 61,68%. Sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar juga yaitu berkisar antara 20% dari luas lahan yang ada.

3.1.1.2. Kampung Batik Laweyan

Batas wilayah penelitian yaitu Kampung Batik Laweyan, berada di Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan kota Surakarta. Batas bagian utara Kelurahan Laweyan adalah Jl. Dr. Rajiman yang dulu bernama Jl. Laweyan merupakan jalan poros kedua setelah Jl. Slamet Riyadi yang membujur ke arah barat dari alun-alun utara sampai Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Batas bagian timur, adalah Jl. Jagalan yang termasuk dalam Kelurahan Bumi. Batas barat adalah kelurahan pajang. Batas bagian selatan merupakan batas alam, yaitu Sungai Kabanaran (Gambar 6).


(50)

Sumber : Widayati, 2000

Gambar 6. Peta perletakan kawasan Laweyan terhadap Kota Surakarta

Kampung Laweyan mempunyai luas wilayah 24,83 Ha. Terdiri dari 20,56 Ha tanah pekarangan dan bangunan, sedang yang berupa sungai, jalan, tanah terbuka, kuburan seluas 4,27 Ha. Di Kecamatan Laweyan terdiri dari 11 kelurahan dengan 105 RW dan 454 RT dan 24.611 KK (BPS. Surakarta dalam Angka Tahun 2008). Kelurahan Laweyan terbagi menjadi 8 wilayah kampung, yaitu Kwanggan, Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, Setono, Lor pasar, Kidul Pasar, dan Klaseman (Gambar 7).

Kawasan Laweyan terletak pada pinggiran kota Surakarta, yang apabila ditinjau dari struktur kotanya merupakan suatu kantong (enclave), yang secara administratif tidak mungkin akan berkembang. Kawasan tersebut secara administrarif termasuk dalam Kelurahan Laweyan dan Kecamatan Laweyan

Kawasan kampung Laweyan pada bagian selatannya dibatasi oleh Sungai Kabanaran yang dahulunya merupakan lalu lintas utama dari Sungai Bengawan Solo menuju ke Kerajaan Pajang. Bagian sebelah barat dibatasi oleh Kelurahan Pajang (disini terdapat situs Kerajaan Pajang, tetapi sekarang sisa peninggalan tersebut tinggal dermaga sungai), sedang di sebelah utara berupa jalan besar yang menghubungkan Kerajaan Pajang dengan Keraton Kasunanan, sedang di sebelah Timur, berbatasan dengan Kelurahan Bumi. Kelurahan Laweyan ini mempunyai 8 dukuh, 3 RW, 10 RT yang terdiri dari 412 rumah tinggal.


(51)

Sumber :Monografi Laweyan, 1993.

Gambar 7 . Pembagian kampung di kawasan Kelurahan Laweyan,

Surakarta

Kampung Laweyan merupakan kawasan yang homogen dan terdiri dari blok massa serta pola jalan dengan sistem grid. Permukiman di Laweyan terbagi atas tiga grid yaitu saudagar besar mempunyai besaran persil kurang lebih 2400 m2, untuk saudagar sedang besaran persil antara 800-1000 m2, sedang untuk buruh antara 200-400 m2. Besaran persil tersebut luas karena rumah tinggal selalu menyatu dengan usaha batiknya. Batasan persil tersebut selalu dikelilingi tembok tinggi kurang lebih 6 meter.


(52)

Sumber: Priyatmono, 2004

Gambar 8. Pola permukiman Kampung Batik Laweyan

Ditinjau dari sisi tata ruang kawasan, pola penataan ruang dipengaruhi oleh keterikatan hubungan antara pekerja dan pemilik batik. Sisi jalan utama merupakan perumahan para saudagar batik, sedangkan kawasan belakang merupakan kawasan perumahan pekerja batik. Tatanan ini memberikan kemudahan bagi pebatik untuk bekerja sambil menangani tugas rumah tangga. Pola tatanan ruang kawasan juga dipengaruhi oleh pola ikatan kekeluargaan, mengingat industri batik merupakan industry rumahan yang erat kaitannya dengan kekerabatan, sebagai hasil dari ikatan perkawinan antar keluarga. Pola tata ruang tersebut juga merupakan akibat dari peran pembatik yang mayoritas adalah wanita, dimana membutuhkan akses yang dekat dan mudah antara rumah dengan tempat kerja. Ditinjau dari persaingan dagang, keamanan terhadap kekayaan maupun rahasia perusahaan, secara fisik melahirkan bentuk bangunan yang tertutup.

Kelas jalan di Laweyan dibagi menjadi 3 kelas yaitu: Jalan Utama (menghubungkan antar kelurahan), jalan lingkungan (menghubungkan antar blok), dan jalan kampung (yang menghubungkan antar kavling bangunan) (Gambar 9). Kondisi jalan tersebut cukup tersebut cukup bagus tetapi ada beberapa bagian yang di kanan kirinya diberi saluran air hujan. Kondisi pencahayaan lampu jalan di malam hari belum memenuhi standar penerangan jalan.


(1)

Lanjutan Tabel Lampiran 1.

Obyek Absolut value Program Contoh Arah Pengembangan

11.Toko souvenir Pelengkap display hasil kreatifitas masyarakat laweyan dengan tetap menonjolkan budaya kampung Laweyan

Menata kawasan dengan toko souvenir yang mengelompok di satu tempat agar memudahkan pengunjung untuk memilih dan mencari sesuai pilihan, tanpa menimbulkan kemacetan pada jalur wisata yang ada. Kawasan ini ditempatkan di sepanjang jalur Old market

Old market pedestrian (kondisi yang diinginkan) 12. jalur

sirkulasi

Menjadi jalur penghubung antar obyek dan atraksi

- Menata jalan-jalan yang dilewati agar menjadi lebih bersih, dan menarik - Memanfaatkan gang-gang

ini untuk merepresentsikan budaya kawasan

- Dibuat street furniture yang tepat dan papan interpretasi

Kondisi saat ini


(2)

128

Lanjutan Tabel Lampiran 1.

Obyek Absolut value Program Contoh Arah Pengembangan

12. jalur sirkulasi

Menjadi jalur penghubung antar obyek dan atraksi

- Menata jalan-jalan yang dilewati agar menjadi lebih bersih, dan menarik - Memanfaatkan gang-gang

ini untuk merepresentsikan budaya kawasan

- Dibuat street furniture yang tepat dan papan interpretasi

Kondisi yang diharapkan

1


(3)

Lampiran 2. Program pengembangan ruang wisata edukasi (edu-tourism)

No Obyek Cultural significance Program

1 Pabrik batik Mahkota

- Tempat pembuatan batik abstrak yang unik dan satu-satunya di kampung Laweyan

- Menjadikan pabrik batik sebagai obyek dan atraksi menarik untuk memberi pelajaran dan informasi lengkap tentang cara pembuatan batik

- Perlu penataan kawasan agar nyaman bagi pengunjung untuk mempelajari seluk beluk batik

- Penambahan fasilitas wisata yang meningkatkan kenyamanan pengunjung untuk belajar lebih dalam ttg batik

2 Pabrik batik Setono

- Tempat pembuatan batik motif tradisional

- Menjadikan pabrik batik sebagai obyek dan atraksi menarik untuk memberi pelajaran dan informasi lengkap tentang cara pembuatan batik

- Perlu penataan kawasan agar nyaman bagi pengunjung untuk mempelajari seluk beluk batik

- Penambahan fasilitas wisata yang meningkatkan kenyamanan pengunjung untuk belajar lebih dalam ttg batik

3 Rumah pekerja batik

- Menunjukkan pola perkampungan kawasan industry batik seperti Laweyan, dimana rumah pekerja berada di bagian belakang rumah majikan (bagian selatan

Laweyan)

- Perlu peningkatan kualitas jalan di lingkungan kawasan pekerja batik

- Revitalisasi rumah2 kuno milik pekerja batik yang masih menyimpan sejarah dan cirri khas kampung Laweyan -


(4)

130

Lanjutan Tabel lampiran 2.

No Obyek Cultural significance Program

4 IPAL (instalasi pengelolaan Air Limbah)

- Instalasi pengolahan air limbah yang menjadi bahan pelajaran tentang peduli lingkungan dan mengatasi polusi limbah cair bagi masyarakat umum

- Perlu perawatan IPAL yang sudah tersedia, agar layak dijadikan tempat belajar bagi pengunjung dan masyarakAt umum tentang teknik pengolahan limbah dari industry batik

- Perlu penambahan beberapa IPAL dan perlokasian yang tepat , agar tidak menimbulkan polusi udara (bau) bagi masyarakat dan pengunjung)

- Papan informasi yang ada sudah cukup baik dan informatif 5 Rumah juragan

batik

- Bentuk arsitektur iindische yang

mencerminkan kuatnya pengaruh luar terhadap gaya hidup dan pilihan style arsitektur

masyarakat kampung laweyan (terutama pihak juragan batik)

- Perlu upaya kerjasama antara pemerintah daerah dan

masyarakat lokal, terutama pemilik rumah-rumah kuno, untuk melakukan pemilihan dan penetapan rumah mana yang

diperbolehkan untuk ditelusuri gaya arsitektur dan perlengkapan rumah tangganya, hingga detil, sebagai ajang pembelajaran perkembangan disain interior dan eksterior jaman dulu hingga sekarang

13


(5)

(6)