Landscape Planning of Coastal Tourism Area in Lalong Luwuk City,Central Sulawesi

(1)

DEBORA BUDIYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Debora Budiyono NIM A451110031

____________________________

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.


(4)

RINGKASAN

DEBORA BUDIYONO. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh SITI NURISYAH dan LUKY ADRIANTO.

Kota Luwuk merupakan kota pesisir yang memiliki beragam sumber daya, baik yang alami maupun binaan, yang dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata. Salah satu kawasan yang memiliki sumber daya wisata yang berada di Kota Luwuk adalah teluk atau Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah. Secara geografis Lalong Kota Luwuk terletak antara 122°45´-122°49´ BT dan 0°55´-0°58´ LS dengan luas kawasan 2330.67 ha. Pertumbuhan kota dan pertambahan jumlah penduduk Kota Luwuk cenderung menimbulkan pengaruh negatif terhadap kondisi Lalong Kota Luwuk. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya perencanaan lanskap kawasan wisata pesisir yang dapat memperbaiki lingkungan fisik, meningkatkan pendapatan masyarakat dan PAD pemerintah, dan meningkatkan kesadaran lingkungan bagi masyarakat sekitar Lalong Kota Luwuk.

Tujuan penelitian adalah merencanakan lanskap kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk sebagai suatu kawasan wisata pesisir yang berkelanjutan dengan mengidentifikasi dan menganalisis kondisi ekologis kawasan pesisir, potensi objek dan atraksi serta kondisi view kawasan pesisir untuk mendukung daya tarik wisata, dan keikutsertaan masyarakat lokal, pemerintah, dan pihak swasta dalam mendukung keberlanjutan kawasan pesisir.

Penelitian menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis ekologis untuk mengetahui kepekaan kawasan pesisir, analisis potensi objek dan atraksi melalui kuisioner dan analisis visual kawasan menggunakan scenic beauty estimation (SBE) untuk mengetahui daya tarik wisata pesisir, analisis sosial perkotaan melalui focus group discussion (FGD) untuk mengetahui dukungan masyarakat lokal, dan analisis preferensi stakeholder menggunakan analysis hierarchy process (AHP) untuk mengetahui arah pengembangan rencana lanskap kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk.

Hasil analisis menunjukan kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk cukup berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir. Potensi kawasan wisata pesisir diklasifikasikan menjadi tiga zona pengembangan kawasan wisata pesisir yaitu zona pengembangan wisata dengan klasifikasi tinggi seluas 170 ha (7.30%), klasifikasi sedang seluas 2113.38 ha (90.67%), dan klasifikasi rendah seluas 47.29 ha (2.03%).

Perencanaan kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk didasari oleh konsep menciptakan kawasan wisata pesisir yang berkelanjutan. Konsep tersebut bertujuan untuk melindungi sumber daya alam dan budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Zona pengembangan dan penataan kawasan wisata pesisir disesuaikan dengan karakter lanskap yang dipusatkan pada kawasan wisata dengan klasifikasi potensi dan cukup potensi. Penerapan konsep pada lanskap berupa model rencana pengembangan yang diterjemahkan dalam tiga unit lanskap yaitu lanskap alami, lanskap semi alami, dan lanskap binaan. Zona pengembangan lanskap alami berada di Desa Tontouan, Kelurahan Mangkio Baru, dan Kelurahan Kaleke. Zona pengembangan lanskap semi alami berada di


(5)

Kelurahan Keraton, Kelurahan Luwuk, dan Kelurahan Bungin. Zona pengembangan lanskap binaan berada di Kelurahan Soho dan Kelurahan Baru.

Kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk secara umum memiliki kepekaan tetapi memiliki daya tarik wisata yang tinggi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya implementasi aspek legal daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui RTRW, merelokasi pemukiman liar di kawasan sempadan pantai dan sekitar kawasan hutan alami dengan buffer zone serta mengubah orientasi ke arah teluk, menginventarisasi dan melestarikan bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah dan jenis kuliner khas lokal yang merupakan aset Kota Luwuk, dan sosialisasi melalui pembinaan pada masyarakat lokal yang memiliki kepekaan apabila dilakukan rencana pengembangan kawasan wisata pesisir.

Kata kunci: analysis hierarchy process, ekowisata, perencanaan lanskap, wisata pesisir


(6)

SUMMARY

DEBORA BUDIYONO. Landscape Planning of Coastal Tourism Area in Lalong Luwuk City,Central Sulawesi. Supervised by SITI NURISYAH and LUKY ADRIANTO.

Luwuk City is a coastal city that have resources variety both natural and man-made which can be developed into tourism area. One of the tourist resources in Luwuk City is bay or Lalong of Luwuk City, Central Sulawesi. Geographically, Lalong of Luwuk city is located between 122°45´-122°49´ EL and 0°55´-0°58´ SL with an area of 2330.67 ha. The urban growth and population growth of Luwuk City tend to cause negative effect of Lalong of Luwuk City condition. Therefore, it takes efforts of landscape planning of coastal tourism area which can improve physical environment, increase society and government budget revenues, and promote environmental awareness to Lalong Luwuk City society.

The study purpose is to plan the landscape of Lalong Luwuk City as the coastal tourism areas to be a sustainable coastal tourism area by identifying and analyzing ecological condition of coastal area, potential objects, attractions and coastal area view to support a tourism attraction, local communities, government and private participation to support coastal area sustainability.

The study used quantitative descriptive method. The analysis method that used was ecological analysis to determine the sensitivity of coastal area, potential objects and attractions analysis by using questionnaires, and visual quality analysis by using scenic beauty estimation (SBE) to determine coastal tourism attractiveness, urban social analysis by using focus group discussion (FGD) to determine local support, and stakeholder preferences analysis by using analysis hierarchy process (AHP) to determine landscape plan model of coastal tourism area in Lalong of Luwuk City.

The results showed that coastal area in Lalong of Luwuk City is potential enough for coastal tourism development. The coastal tourist development zone is classified into high classification area of 170 ha (7.30%), medium classification area of 2113.38 ha (90.67%), and low classification area of 47.29 ha (2.03%).

Coastal tourism area planning in Lalong Luwuk City based on the concept of creating sustainable coastal tourism area. The concept goal is to protect natural and cultural resources and to improve local communities walfare. The

development zone and coastal tourism planning were adapted from landscape characteristic that centered on tourism area by potential and potential enough classification. The concept implementation of landscape is dvelopment planning model which interpreted in three landscape units are natural landscape, seminatural landscape, and man-made landscape. Natural landscape

development zone located in Tontouan Village, Mangkio Baru Village, and Kaleke Village. Seminatural landscape development zone located in Keraton Village, Luwuk Village, and Bungin Village. Man-made landscape development zone located in Soho Village and Baru Village.

Coastal area of Lalong Luwuk City generally has sensitivity, but it has high tourism attraction to be developed as coastal tourism area. Therefore, it needs implementation effort in legal aspect that issued by government through territorial spatial plan, relocate informal settlements in coastal border area and natural forest


(7)

area with buffer zone, and change its orientation toward the bay, inventory and preserve historical buildings and various local culinary which are the assets of Luwuk City, and socialization through counseling to local people which have sensitivity if it would be conducted coastal tourism area development planning.

Key words: analysis hierarchy process, coastal tourism, ecotourism, landscape planning


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA PESISIR

LALONG KOTA LUWUK, SULAWESI TENGAH

DEBORA BUDIYONO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Alinda Fitriany Malik Zain, MSi


(11)

Judul Tesis: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah

Nama : Debora Budiyono

NIM : A451110031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Siti Nurisyah, MSLA Ketua

Dr Ir Luky Adrianto, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap

Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr


(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis berjudul Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 sampai April 2013.

Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian penelitian ini. Terima kasih disampaikan kepada:

1. Komisi pembimbing, yaitu Dr Ir Siti Nurisyah, MSLA selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Luky Adrianto, MSc selaku anggota komisi pembimbing atas pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis. 2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa

pendidikan pascasarjana.

3. Pemerintahan Kota Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah selaku responden yang telah memberikan data dan informasi dalam penyusunan tesis.

4. Universitas Tribhuwana Tunggadewi di Kota Malang yang telah

memberikan kesempatan untuk melanjutkan kuliah.

5. Keluarga, yaitu kedua orang tua, ketiga adik, dan seluruh keluarga besar, atas doa, kasih sayang, motivasi, dan dukungan yang besar kepada penulis. 6. Sahabat, yaitu IJL, Iwi, dan Lidya yang senantiasa memberi dukungan dan

motivasi selama survei penelitian. Teman Lanskap Arsitektur 2011, yaitu Roosna Adjam, Wiwiek Dwi Serlan H, Vina Pratiwi, Presti Ameliawati E. Junatan Muakhor, Ratsio Wibisono, Prita Indah P, Rosyidamayanti TM, Muhammad Guriang, Delyanet, Femi, Pranawita Karina, Listya Aderina, Dedi Ruspendi, Arkham HS, M. Arthum Artha, Janiarto Paradise, Anggi Mardiyanto, dan Arif Budiman yang senantiasa memberi masukan dan dukungan selama penyelesaian studi penulis.

Besar harapan penulis agar karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan masyarakat umum.

Bogor, Mei 2014

Debora Budiyono


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat Penelitian 3

1.5 Kerangka Pikir Penelitian 3

2 METODE 4

2.1 Tempat dan Waktu Penelitian 4

2.2 Alat dan Bahan Penelitian 5

2.3 Metode dan Tahapan Penelitian 5

3 KONDISI UMUM KOTA LUWUK 20

3.1 Kota Luwuk 20

3.2 Sejarah Pemerintahan 21

3.3 Kondisi Biofisik 22

3.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi 27

3.5 Potensi Pariwisata 29

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 30

4.1 Kepekaan Ekosistem Pesisir Lalong Kota Luwuk 30

4.2 Daya Tarik Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk 35

4.3 Dukungan Masyarakat Lalong Kota Luwuk 54

4.4 Zona Potensial Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk 55

4.5 Analisis Preferensi Stakeholder terhadap Konsep Lanskap LKL 56

4.6 Zona Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir LKL 62

4.7 Daya Dukung Kawasan Wisata Pesisir LKL 64

4.8 Rencana Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir LKL 66

4.9 Rencana Lanskap Kawasan Wisata Pesisir LKL 72

5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 90

5.2 Saran 90

DAFTAR PUSTAKA 91

DAFTAR LAMPIRAN 94

DAFTAR RIWAYAT HIDUP 102


(14)

DAFTAR TABEL

1 Lokasi penelitian 4

2 Alat dan bahan 5

3 Data penelitian 7

4 Daftar dan jumlah responden 8

5 Penilaian kepekaan ekosistem teresterial pesisir LKL 9

6 Penilaian kepekaan ekosistem akuatik pesisir LKL 10

7 Penilaian daya tarik wisata eksisting LKL 12

8 Kelas lereng di Kota Luwuk 22

9 Kelas jenis tanah di Kota Luwuk 23

10 Pola penggunaan lahan di Kota Luwuk 24

11 Sarana dan prasarana di Kota Luwuk 28

12 Data kunjungan wisatawan di Kota Luwuk 29

13 Luas ekosistem kawasan wisata pesisir LKL 30

14 Penilaian kepekaan ekosistem teresterial kawasan pesisir LKL 31

15 Luas kepekaan ekosistem teresterial kawasan wisata pesisir LKL 32

16 Penilaian kepekaan ekosistem akuatik kawasan pesisir LKL 33

17 Luas kepekaan ekosistem akuatik kawasan pesisir LKL 34

18 Penilaian potensi objek dan atraksi wisata pesisir LKL 36

19 Luas potensi objek dan atraksi wisata pesisir LKL 37

20 Potensi objek dan atraksi wisata pesisir LKL 38

21 Luas potensi kualitas visual wisata pesisir LKL 45

22 Potensi daya tarik wisata pesisir LKL 46

23 Luas potensi daya tarik wisata pesisir LKL 47

24 Potensi penilaian daya tarik wisata pesisir berdasarkan kepekaan LKL 49

25 Luas daya tarik wisata pesisir berdasarkan kepekaan LKL 50

26 Zona wisata pesisir LKL 52

27 Akseptibilitas masyarakat terhadap wisata pesisir LKL 54

28 Peluang ekonomi masyarakat terhadap wisata pesisir LKL 54

29 Zona potensial wisata pesisir LKL 55

30 Zona pengembangan wisata pesisir LKL 62

31 Daya dukung kawasan wisata pesisir LKL 65

32 Program pengembangan wisata pesisir LKL 71

33 Rencana aktivitas dan fasilitas wisata pesisir LKL 83

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 3

2 Peta lokasi penelitian 4

3 Tahapan penelitian 6

4 Hierarki struktur perencanaan lanskap kawasan wisata pesisir LKL 18

5 Peta orientasi Kota Luwuk 20

6 Peta administrasi Kota Luwuk 21

7 Peta kelas lereng Kota Luwuk 22


(15)

9 Peta pola penggunaan lahan Kota Luwuk 25

10 Peta rencana pola ruang Kota Luwuk 26

11 Peta distribusi kepadatan penduduk Kota Luwuk 27

12 Peta ekosistem kawasan pesisir LKL 31

13 Peta kepekaan ekosistem teresterial kawasan pesisir LKL 33

14 Peta kepekaan ekosistem akuatik kawasan pesisir LKL 35

15 Peta potensi objek dan atraksi kawasan pesisir LKL 37

16 Grafik nilai SBE kawasan pesisir LKL 42

17 Penilaian kualitas visual lanskap kawasan pesisir LKL 43

18 Peta kualitas visual kawasan wisata pesisir LKL 45

19 Peta daya tarik wisata pesisir LKL 48

20 Peta daya tarik berbasis kepekaan lingkungan LKL 50

21 Peta rencana BWK Kota Luwuk 51

22 Peta zona wisata pesisir 53

23 Peta zona potensial kawasan wisata pesisir LKL 56

24 Penilaian bobot dan prioritas pada level kriteria 57

25 Nilai bobot prioritas utama untuk kriteria pola ruang 57

26 Nilai bobot prioritas utama untuk kriteria penggunaan lahan 58

27 Nilai bobot prioritas utama untuk kriteria pola sirkulasi 58

28 Nilai bobot prioritas utama untuk kriteria vegetasi dan satwa 59

29 Nilai bobot prioritas utama untuk kriteria prilaku sosial 59

30 Nilai bobot prioritas utama untuk kriteria teknologi 60

31 Nilai bobot prioritas utama untuk kriteria bangunan dan struktur 60

32 Nilai bobot prioritas utama untuk kriteria institusi 61

33 Penilaian alternatif kawasan wisata pesisir LKL 61

34 Peta zona pengembangan wisata pesisir LKL 64

35 Peta rencana pengembangan lanskap kawasan wisata pesisir LKL 67

36 Konsep rencana tata ruang wisata pesisir LKL 68

37 Konsep rencana sirkulasi wisata pesisir LKL 70

38 Peta rencana tata ruang wisata pesisir LKL 73

39 Peta rencana sirkulasi wisata pesisir LKL 75

40 Peta rencana rencana blok kawasan wisata pesisir LKL 76

41 Peta rencana blok lanskap alami wisata pesisir LKL 77

42 Peta rencana blok lanskap semi alami I wisata pesisir LKL 78

43 Peta rencana blok lanskap semi alami II wisata pesisir LKL 79

44 Peta rencana blok lanskap semi alami III wisata pesisir LKL 80

45 Peta rencana blok lanskap semi alami IV wisata pesisir LKL 81

46 Peta rencana blok lanskap binaan wisata pesisir LKL 82

47 Peta rencana lanskap alami wisata pesisir LKL 84

48 Peta rencana lanskap semi alami I wisata pesisir LKL 85

49 Peta rencana lanskap semi alami II wisata pesisir LKL 86

50 Peta rencana lanskap semi alami III wisata pesisir LKL 87

51 Peta rencana lanskap semi alami IV wisata pesisir LKL 88


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai SBE lanskap wisata pesisir LKL 94

2 Potongan detail rencana lanskap alami wisata psisir LKL 96

3 Potongan detail rencana lanskap semi alami I wisata pesisir LKL 97

4 Potongan detail rencana lanskap semi alami II wisata pesisir LKL 98 5 Potongan detail rencana lanskap semi alami III wisata pesisir LKL 99 6 Potongan detail rencana lanskap semi alami IV wisata pesisir LKL 100


(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota Luwuk merupakan kota yang memiliki beragam sumber daya, baik yang alami maupun binaan, yang dapat dikembangkan menjadi objek dan atraksi wisata. Salah satu di antara sumber daya wisata yang berada di Kota Luwuk adalah teluk atau Lalong Kota Luwuk. Keberadaan Lalong Kota Luwuk (LKL) sangat penting bagi sektor ekonomi masyarakat Kota Luwuk dan hinterland sebagai penunjang kehidupan dan sarana transportasi. Pada masa dahulu dan sekarang, LKL berperan sebagai sarana prasarana yang menghubungkan wilayah Kota Luwuk dengan pelabuhan dagang di seluruh Kabupaten Banggai dan antarprovinsi (Departemen Perhubungan Laut 2003).

Pertumbuhan kota dan pertambahan jumlah penduduk Kota Luwuk cenderung menimbulkan pengaruh negatif terhadap kondisi LKL. Menurut Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (2011), pemanfaatan sumber daya kawasan LKL saat ini adalah sebagai pusat konsentrasi ekonomi atau daerah central bussiness district (CBD), pemerintahan, pemukiman, dan pusat rekreasi masyarakat Kota Luwuk. Sebagai akibatnya, LKL mengalami pencemaran dan sedimentasi sehingga kualitas fisik lingkungan menjadi buruk, kumuh, dan produktivitas ikan menurun.

Berdasarkan kondisi saat ini, perbaikan lingkungan LKL adalah mengubah image LKL dari back yard menjadi front yard. Keberadaan LKL dapat menjadi elemen kota yang menunjukkan kualitas dan karakter pendukung keunikan suatu kota. Konsep pengembangan perencanaan adalah LKL menjadi point of view lanskap Kota Luwuk yang berfungsi sebagai identitas untuk penduduk kota dan pengunjung kota. Hal ini ditujukan untuk memulihkan, mempertahankan, dan melestarikan sumber daya alam serta mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi sumber daya kawasan pesisir lebih lanjut.

Keberadaan LKL sebagai identitas kota harus didukung dengan kualitas lingkungan fisik dan kualitas ekologi yang secara langsung akan meningkatkan kualitas estetika lingkungan kawasan LKL tersebut. Kawasan LKL dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata yang berwawasan lingkungan, yang merupakan bagian dari wisata perkotaan. Di samping itu, objek dan atraksi yang terdapat di kawasan wisata juga dapat menjadi daya tarik kawasan tersebut. Menurut Inskeep (1991), wisata pada beberapa kota besar dan kota kecil selalu sukses menjadi atraktif dengan mengkombinasi karakter dramatik perkotaan dengan atraksi yang spesifik.

Wisata kota pesisir berkelanjutan adalah model penyelenggaraan wisata yang mengeksplorasi di dalam dan sekitar kota pesisir, dimana kegiatannya selain menghargai, mengapresiasikan, dan mengkonservasi sumber daya alam dan budaya kota, juga berfungsi meningkatkan kualitas ekologis kota, serta mendorong ekonomi lokal (Inskeep 1991). Menurut Higham dan Luck (2002), pengembangan wisata perkotaan berkelanjutan akan merestorasi daerah alami, mengurangi degradasi lingkungan (erosi, kebisingan, dan polutan), memberi edukasi lingkungan untuk semua latar belakang sosial yang lebih luas (Okech 2009), dan meningkatkan pendapatan serta menjaga kebudayaan lokal.


(18)

LKL berpotensi sebagai wisata kota pesisir berkelanjutan yang dapat memperbaiki lingkungan fisik, meningkatkan pendapatan masyarakat dan PAD pemerintah, melestarikan budaya, dan meningkatkan kesadaran lingkungan bagi masyarakat sekitar LKL. Dalam rencana pengembangannya, objek dan atraksi, aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat setempat dapat ditingkatkan dan dikembangkan menjadi sumber daya wisata kawasan LKL berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah

Kawasan pesisir merupakan daerah ekoton yang dinamis dan rentan apabila tidak terencana dengan baik, kekhasan visual dan keanekaragaman ekosistem pesisir merupakan sumber daya yang potensial sebagai daya tarik wisata. Keindahan lanskap kawasan Lalong Kota Luwuk berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata perkotaan pesisir. Potensi yang dapat dilihat di kawasan tersebut adalah kondisi alam yang khas dan indah dengan penduduk setempat yang ramah, serta tersedianya objek alam dan budaya lokal yang menarik di sekitar pesisir. Hal ini merupakan daya tarik bagi kawasan pesisir LKL. Namun, kondisi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar karena sarana prasarana yang kurang memadai dan ketidaksadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekologis teluk serta tidak mengetahui nilai wisata.

Kondisi ekosistem LKL terus mengalami degradasi akibat pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Karakteristik lanskap Lalong yang pada awalnya adalah ekosistem hutan mangrove berubah menjadi pusat kosentrasi ekonomi atau daerah CBD, pemerintahan, dan pemukiman (DCKTR 2011). Akibatnya, banyak terdapat pencemaran lingkungan yang terjadi di teluk yang berasal dari pembuangan limbah pelabuhan, sampah pemukiman, dan tingginya sedimentasi yang terjadi secara terus-menerus sehingga mengancam keanekaragaman hayati biota perairan di kawasan LKL (DPL 2003). Berdasarkan latar belakang dan pemasalahan dasar tersebut, untuk memberikan solusi dapat dengan menjawab pertanyaan berikut: 1. Bagaimana memanfaatkan potensi kawasan pesisir LKL sebagai wisata?

2. Bagaimana mengatasi kepekaan kawasan pesisir tetapi memiliki nilai keindahan yang tinggi apabila dikembangkan sebagai kawasan wisata?

3. Bagaimana bentuk keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal?

4. Bagaimana model rencana lanskap yang sesuai untuk kawasan pesisir LKL untuk mewujudkan kawasan wisata kota pesisir berkelanjutan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah merencanakan lanskap kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk yang melestarikan sumber daya alam dan budaya serta meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian antara lain:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi dan kendala pengembangan kawasan wisata pesisir berdasarkan:


(19)

a. Kondisi ekologis kawasan pesisir sebagai ruang wisata.

b. Potensi objek, dan atraksi wisata serta kondisi visual kawasan pesisir untuk mendukung daya tarik wisata.

c. Keikutsertaan masyarakat lokal, pemerintah, dan pihak swasta dalam mendukung keberlanjutan kawasan.

2. Menentukan zona untuk pengembangan kawasan wisata pesisir.

3. Merencanakan lanskap kawasan wisata pesisir LKL yang berkelanjutan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Dasar untuk menerapkan sistem perencanaan wisata pesisir dan pedoman perancangan bagi pemerintah Kota Luwuk.

2. Bahan kajian ilmiah dalam penelitian, perencanaan, dan penataan kawasan wisata pesisir di Kota Luwuk.

1.5 Kerangka Pikir Penelitian

Pemanfaatan kawasan sebagai wisata pesisir berkaitan dengan masalah kepekaan kawasan pesisir, perilaku sampah masyarakat yang negatif, tata ruang yang tidak mendukung, dan peraturan daerah sebagai destinasi wisata. Permasalahan tersebut mengindikasikan aspek ekologi kawasan, aspek potensi wisata, dan aspek sosial di sekitar kawasan pesisir akan terpengaruh. Oleh karena itu, diperlukan sebuah upaya perencanaan fisik yang sesuai untuk kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk sehingga menghasilkan lanskap wisata kota pesisir berkelanjutan (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Sistem Sosial-Ekologi Pesisir Zona Kepekaan Ekosistem Pesisir

Isu Permasalahan di Kawasan Pesisir Lalong Kota Luwuk

Rencana Lanskap Kawasan Wisata Pesisir di Kawasan Lalong Kota Luwuk Akseptibilitas dan Peluang Ekonomi Masyarakat Lokal

Zona Daya Tarik Wisata Pesisir

Aspek Legal Kawasan Pesisir (BWK Kota Luwuk) Zona Wisata Pesisir

Zona Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir Zona Daya Tarik Wisata Berbasis Kepekaan Ekosistem


(20)

2 METODE

2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan batas ekosistem pesisir dan administrasi kota. Secara geografis Lalong Kota Luwuk terletak antara 122°45´-122°49´ BT dan 0°55´-0°58´ LS. Secara administrasi lokasi penelitian mencakup 7 kelurahan dan 1 desa yang letaknya langsung bersinggungan dengan kawasan pesisir LKL (Tabel 1). Lokasi penelitian LKL dapat dilihat pada Gambar 2. Waktu penelitian dilakukan selama enam bulan dimulai dari bulan November 2012 sampai bulan April 2013.

Tabel 1 Lokasi penelitian kawasan pesisir LKL

No Kelurahan/Desa Luas

ha %

1 Baru 16.84 0.72

2 Bungin 99.55 4.30

3 Kaleke 762 32.70

4 Keraton 75.66 3.24

5 Luwuk 183 7.89

6 Mangkio 477.50 20.50

7 Soho 21.24 0.90

8 Tontouan 693.31 29.75

Total 2330.67 100

Sumber: Bappeda (2011)


(21)

2.2 Alat dan Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan alat dan bahan yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Alat dan bahan

2.3 Metode dan Tahapan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Kegiatan penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu 1) pengumpulan dan pengklasifikasian data, 2) analisis data, dan 3) perencanaan lanskap (Gambar 3).

2.3.1 Pengumpulan dan Pengklasifikasian Data

Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder (Tabel 3). Pengumpulan data primer diperoleh melalui survei yaitu wawancara, pengamatan, dan pengukuran di lokasi penelitian. Wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang telah ditentukan dengan cara metode purposive sampling dan accidental sampling terhadap stakeholder. Menurut Cheng et al. (2011) dan Dahuri et al. (1996), stakeholder yang ditentukan terdiri dari institusi, masyarakat lokal, swasta (pengusaha), dan wisatawan atau pengunjung. Tabel 4 menunjukkan kategori, asal, dan jumlah responden. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka yang terkait dengan penelitian.

Alat Kegunaan

Hardware

Notebook Pengolahan data

Kamera digital Dokumentasi kondisi kawasan penelitian

GPS Tracking kawasan penelitian

Software

Microsoft office 2007 (word, excel, dan powerpoint)

Analisis data tabular, pelaporan, dan Presentasi

ArcView 3.1 dan ArcGIS 9.3 Pengolahan peta

AutoCad 2010 Pengolahan peta

Expert choice versi 11 Analysis hierarchy process (AHP)

Photoshop CS 3 dan Sketchup 8 Pengolahan peta dan finishing

Bahan Kegunaan

Peta tematik 1:150.000 Pengolahan data spasial


(22)

Gambar 3 Tahapan penelitian

Kawasan Pesisir Lalong Kota Luwuk

Peta Dasar Peta Tematik

Survei Lapangan Studi Pustaka

Pengumpulan dan Pengklasifikasian Data

Sistem Ekologi Pesisir di Kawasan LKL

Zona Kepekaan Ekosistem Pesisir (IKL)

Preferensi Stakeholder (AHP)

Rencana Lanskap Kawasan Wisata Pesisir LKL

Tahap 1

Tahap 2

Tahap 3

Aspek Legal Kawasa Pesisir (BWK Kota Luwuk)

Akseptibilitas Masyarakat dan Peluang Ekonomi (FGD)

Daya Dukung Kawasan Wisata Pesisir (DDK) Zona Wisata Pesisir

Zona Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir LKL Estuari

Hutan Lahan Atas Tempat Bernilai Penting Pantai Terumbu Karang Padang Lamun

Ekosistem Teresterial Ekosistem Akuatik

Zona Daya Tarik Wisata Pesisir (Objek dan Atraksi Wisata, Kualitas Visual) Zona Daya Tarik Berbasis Kepekaan Ekosistem


(23)

(24)

Tabel 4 Data dan jumlah responden

2.3.2 Analisis dan Sintesis

Analisis dilakukan terhadap: 1) kepekaan ekosistem kawasan, 2) daya tarik wisata pesisir, dan 3) dukungan masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mengetahui zona yang sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir LKL.

1. Kepekaan Ekosistem Pesisir Lalong Kota Luwuk

Menurut Peterson dalam Wibowo (2009), analisis penilaian kepekaan ekosistem ditujukan untuk mengetahui tingkat kepekaan atau sensitivitas sumber daya yang ada di kawasan pesisir. Menurut Sloan (1993) dalam Dahuri et al. (1996) dan Wibowo (2009), penilaian kepekaan berdasarkan kerusakan oleh sumber pencemaran berupa tumpahan minyak dan sedimentasi. Formula analisis penilaian kepekaan kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk, yaitu:

(NKEi, EPi)...(1) NKEi = (VETi, VEAi)

EPi = (E, P, PL, TK, HL, LB) Keterangan:

IKL : Indeks kepekaan lingkungan NKEi : Nilai kepekaan ekosistem ke-i EPi : Ekosistem pesisir ke-i

VETi : Variabel ekosistem teresterial ke-i VEAi : Variabel ekosistem akuatik ke-i E : Estuari

P : Pantai

PL : Padang lamun TK : Terumbu karang HL : Hutan lahan atas LB : Lahan bernilai penting

No Tujuan Responden Asal institusi/lembaga Jumlah

1 Preferensi stakeholder Pemerintahan Bappeda 1

Dinas Perikanan dan Kelautan 1

Departemen Perhubungan dan Laut 1

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 1

Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang 1

Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah 1

Dinas Kehutanan 1

Disiplin ilmu Universitas Tompotika Luwuk 1

Universitas Muhamadiyah Luwuk 1 2 Daya tarik wisata pesisir

 Studi historis Pemerintahan Dinas Pariwisata 1

Museum Kota Luwuk 1

Masyarakat lokal Tokoh masyarakat 1 3 Penilaian daya tarik wisata

 Keunikan Pemerintahan Dinas Pariwisata 1

 Kelangkaan Masyarakat Masyarakat lokal 8

 Keaslian Swasta Hotel 1

Agen perjalanan 1

 Keindahan Wisatawan Mancanegara 5

Domestik 55

4 Sosial perkotaan Masyarakat lokal Nelayan 16

Pertanian 16

Pedagang dan jasa 16

Tokoh masyarakat 32


(25)

Menentukan nilai kepekaan ekosistem teresterial LKL menggunakan parameter kepekaan (Tabel 5). Formula penilaian kepekaan ekosistem teresterial: (VETi)...(2) VETi = (VT1 + VT2 + VT3 +VT4 + VT5 + VT6)

Keterangan:

NKETi : Nilai kepekaan ekosistem tersesterial ke-i VETi : Variabel ekosistem teresterial ke-i

VT1 : Penutupan lahan VT2 : Luasan

VT3 : Keterwakilan (representativeness) VT4 : Keutuhan ekosistem (integrity) VT5 : Keutuhan sumber daya (intacness) VT6 : Topografi

Analisis penilaian tingkat kepekaan terhadap ekosistem pesisir LKL dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5 Penilaian kepekaan ekosistem teresterial pesisir LKL

No Kriteria Sub kriteria Skor Keterangan

1 Penutup lahan Tidak alami 3 Penutupan ekosistem < 40 % Semi alami 2 Penutupan ekosistem 40-80% Alami 1 Penutupan ekosistem alami > 80%

2 Luasan Sangat luas 3 Wilayah jelajah (home range) besar, tidak tergangu Luas 2 Wilayah jelajah (home range) sedang, cukup terganggu Tidak luas 1 Wilayah jelajah (home range) kecil, terganggu 3 Keterwakilan Tidak terwakili 3 Ekosistem tidak dilindungi, flora dan fauna rendah

Terwakili 2 Ekosistem cukup dilindungi, flora dan fauna cukup tinggi Sangat terwakili 1 Ekosistem/habitat dilindungi, flora dan fauna tinggi 4 Keutuhan ekosistem Tidak lengkap 3 Rantai siklus makanan (food cycle) tidak lengkap

Lengkap 2 Rantai siklus makanan (food cycle) kurang lengkap Sangat lengkap 1 Rantai siklus makanan (food cycle) sangat lengkap 5 Keutuhan sumber daya Tidak utuh 3 Dimanfaatkan

Utuh 2 Cukup dimanfaatkan Sangat utuh 1 Belum dimanfaatkan 6 Topografi 0 < x ≤ 15% 3 Aktivitas tinggi

15 < x ≤ 25% 2 Aktivitas sedang > 25% 1 Aktivitas rendah

Sumber: Sloan (1993) dalam Wibowo (2009), Dahuri et al. (1996), Hutabarat et al. (2009), dan Widiatmaka dan Hardjowigono (2007)

Penentuan klasifikasi kepekaan ekosistem teresterial LKL, yaitu: Klasifikasi tingkat kepekaan teresterial =

Penilaian indeks kepekaan ekosistem teresterial LKL diklasifikasikan, yaitu: Tidak peka (TP) dengan nilai 14-18. Artinya, kawasan memiliki tingkat kepekaan

rendah terhadap kerusakan apabila terjadi gangguan dan kemampuan untuk memulihkan diri dari gangguan membutuhkan waktu yang tidak lama.

Cukup peka (CP) dengan nilai 9-13. Artinya, kawasan memiliki tingkat kepekaan sedang terhadap kerusakan apabila terjadi gangguan dan kemampuan untuk memulihkan diri dari gangguan membutuhkan waktu yang cukup lama. Peka (P) dengan nilai 4-8. Artinya, kawasan memiliki tingkat kepekaan tinggi

terhadap kerusakan apabila terjadi gangguan dan kemampuan untuk memulihkan diri dari gangguan membutuhkan waktu yang lama.


(26)

Sedangkan menentukan nilai kepekaan ekosistem akuatik LKL menggunakan parameter kepekaan (Tabel 6). Formula perhitungan penilaian:

(VEAi)...(3) VEAi = (VA1 + VA2 + VA3 + VA4 + VA5 + VA6 + VA7)

Keterangan:

NKEAi: Nilai kepekaan ekosistem akuatik ke-i VEAi : Variabel ekosistem akuatik ke-i VA1 : Penutupan lahan

VA2 : Luasan

VA3 : Keterwakilan (representativeness) VA4 : Keutuhan ekosistem (integrity) VA5 : Keutuhan sumber daya (intacness) VA6 : Tipologi ekosistem

VA7 : Topografi

Tabel 6 Penilaian kepekaan ekosistem akuatik LKL

No Kriteria Sub kriteria Skor Keterangan

1 Penutupan lahan Tidak alami 3 Penutupan ekosistem < 40 % Semi alami 2 Penutupan ekosistem 40-80% Alami 1 Penutupan ekosistem alami > 80%

2 Luasan Sangat luas 3 Wilayah jelajah (home range) besar, tidak tergangu Luas 2 Wilayah jelajah (home range) sedang, cukup terganggu Tidak luas 1 Wilayah jelajah (home range) kecil, terganggu

3 Keterwakilan Tidak terwakili 3 Ekosistem/habitat tidak dilindungi, flora dan fauna rendah Terwakili 2 Ekosistem cukup dilindungi, flora dan fauna cukup tinggi Sangat terwakili 1 Ekosistem/habitat dilindungi, flora dan fauna tinggi 4 Keutuhan ekosistem Tidak lengkap 3 Rantai siklus makanan (food cycle) tidak lengkap

Lengkap 2 Rantai siklus makanan (food cycle) kurang lengkap Sangat lengkap 1 Rantai siklus makanan (food cycle) sangat lengkap 5 Keutuhan sumber daya Tidak utuh 3 Dimanfaatkan

Utuh 2 Cukup dimanfaatkan Sangat utuh 1 Belum dimanfaatkan 6 Tipologi ekosistem Bervegetasi 3 Sangat baik

Berbatu/berpasir 2 Baik Berlumpur 1 Tidak baik 7 Topografi Landai 3 Aktivitas tinggi

Cukup landai 2 Aktivitas sedang Curam 1 Aktivitas rendah

Sumber: Sloan (1993) dalam Wibowo (2009), Dahuri et al. (1996), Hutabarat et al. (2009), dan Widiatmaka dan Hardjowigono (2007)

Penentuan klasifikasi kepekaan ekosistem teresterial LKL, yaitu: Klasifikasi tingkat kepekaan akuatik =

Penilaian indeks kepekaan ekosistem akuatik LKL diklasifikasikan, yaitu: Tidak peka (TP) dengan nilai 16-21. Artinya, kawasan memiliki tingkat kepekaan

rendah terhadap kerusakan apabila terjadi gangguan dan kemampuan untuk memulihkan diri dari gangguan membutuhkan waktu yang tidak lama.

Cukup peka (CP) dengan nilai 10-15. Artinya, kawasan memiliki tingkat kepekaan sedang terhadap kerusakan apabila terjadi gangguan dan kemampuan untuk memulihkan diri dari gangguan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Peka (P) dengan nilai 4-9. Artinya, kawasan memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap kerusakan apabila terjadi gangguan dan kemampuan untuk memulihkan diri dari gangguan membutuhkan waktu yang lama.


(27)

2. Daya Tarik Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk

Faktor daya tarik menurut Perret (1995), diklasifikasikan dalam elemen scenery pemandangan yang khas, budaya dan sejarah lokasi yang mempunyai event-event yang menarik, keunikan (uniqueness), seperti makanan atau bangunan yang unik, flora, dan fauna. Selanjutnya menurut Law (1993), lanskap perkotaan merupakan salah satu atraksi penting dan alasan berkunjung ke wisata perkotaan.

Analisis daya tarik dilakukan melalui studi pendahuluan yaitu studi histori oleh responden yang memiliki latar belakang pengetahuan tentang sejarah dan menentukan potensi objek dan atraksi. Selanjutnya penilaian objek dan atraksi dilakukan melalui kuesioner oleh responden dengan teknik purposive sampling.

Penilaian kriteria keunikan, kelangkaan, dan keaslian dilakukan oleh stakeholder yang terdiri dari pemerintahan, masyarakat umum, dan swasta. Sedangkan penilaian kriteria keindahan dilakukan oleh wisatawan yang berkunjung di Kota Luwuk dengan teknik accidental sampling. Jumlah responden dapat dilihat pada Tabel 4. Menurut Supranto (1998), rumus pengambilan jumlah sampel menggunakan rumus Slovin:

Keterangan:

n : jumlah sampel N : jumlah populasi e : margin error (10%)

Analisis nilai daya tarik wisata (attractiveness value) pesisir Lalong Kota Luwuk meliputi analisis keunikan (uniqueness), kelangkaan (rarity), keaslian (originality), dan kualitas visual. Analisis daya tarik terhadap objek dan atraksi wisata pesisir dilakukan penilaian untuk mengetahui tingkat daya tarik wisata (Inskeep 1991). Menentukan nilai daya tarik wisata pesisir di kawasan Lalong Kota Luwuk dengan rumus penjumlahan skor dari tiap layer kriteria yang dipakai dengan menggunakan software ArcGIS. Formula analisis penilaian daya tarik wisata pesisir LKL, yaitu:

(NDTi, NKEi)...(4) DTi = (NDTi + NKEi)

NDTi = f (NOAi, NVi) NDTi = (NOAi + NVi)

NKEi = f (E, P, PL, TK, HL, LB) Keterangan:

DTi : Daya tarik ke-i NDTi : Nilai daya tarik ke-i

NKEi : Nilai kepekaan ekosistem ke-i NOAi : Nilai objek dan atraksi wisata ke-i NVi : Nilai visual ke-i

E : Estuari

P : Pantai

PL : Padang lamun

TK : Terumbu karang

HL : Hutan lahan atas LB : Lahan bernilai penting


(28)

Analisis penilaian daya tarik wisata terhadap ekosistem pesisir LKL dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Penilaian daya tarik wisata pesisir LKL

Sumber: Modifikasi Inskeep (1991), Damanik dan Weber (2006), dan Hutabarat et al. (2009)

a. Objek dan Atraksi Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk

Menentukan potensi objek dan atraksi wisata pesisir menggunakan parameter keunikan, kelangkaan, dan keaslian (Tabel 7). Formula perhitungan penilaian potensi objek dan atraksi wisata pesisir LKL, yaitu:

(NOAi)...(5)

NOAi = (KEU + KEL + KEA)

Keterangan:

NDTi : Nilai daya tarik ke-i

NOAi : Nilai objek dan atraksi wisata ke-i KEU : Keunikan

KEL : Kelangkaan KEA : Keaslian

Penilaian potensi objek dan atraksi yang diperoleh dari seluruh kawasan pesisir LKL kemudian diklasifikasikan atas dasar distribusi nilai tersebut:

Klasifikasi potensi objek dan atraksi =

Penilaian potensi objek dan atraksi wisata pesisir LKL diklasifikasikan berdasarkan tiga tingkat potensi daya tarik, yaitu:

Tinggi (T) dengan nilai 77-99. Artinya, kawasan memiliki potensi objek dan atraksi tinggi sebagai kawasan wisata pesisir.

Sedang (S) dengan nilai 54-76. Artinya, kawasan memiliki cukup potensi objek dan atraksi sebagai kawasan wisata pesisir.

Rendah (R) dengan nilai 31-53. Artinya, kawasan memiliki potensi objek dan atraksi rendah sebagai kawasan wisata pesisir.

b. Keindahan (Kualitas Visual) Kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk

Scenic beauty diartikan sebuah keindahan alami (natural beauty), estetik lanskap (landscape aesthetics), atau sumber pemandangan (scenic resource) untuk memecahkan kemonotonan (Daniel dan Boster 1976). Estetika digunakan sebagai dasar dalam kualitas visual (Booth 1983).

No Kriteria Sub kriteria Skor Keterangan

1 Keunikan Sangat unik 3 Mempunyai kekhususan, istimewa dan menjadi kekhasan lokasi tersebut Unik 2 Bersifat khusus dan cukup istimewa

Tidak unik 1 Tidak khusus dan tidak istimewa

2 Kelangkaan Sangat langkah 3 Hanya ada di lokasi tersebut dan sangat terawat Langkah 2 Hanya ada di lokasi tersebut dan kurang terawat Tidak langkah 1 Tidak ada objek dan atraksi yang langka 3 Keaslian Sangat asli 3 Asli dari kawasan tersebut

Asli 2 Mengalami percampuran Tidak asli 1 Tidak asli dari kawasan tersebut 4 Keindahan Sangat indah 7-10 Keindahan tinggi

Indah 4-6 Keindahan sedang Tidak indah 1-3 Keindahan rendah


(29)

Menurut Daniel dan Boster (1976), keindahan pemandangan lanskap merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting walaupun secara obyektif keindahan pemandangan sulit untuk diukur. Simonds (1983) juga menyatakan bahwa keindahan merupakan hubungan yang harmonis dari semua komponen yang dirasakan.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik non parametrik untuk menguji persepsi responden. Pendugaan kualitas visual dilakukan melalui metode scenic beauty estimation (SBE). Penilaian kualitas visual melibatkan reponden yang berasal dari wisatawan yang berada di kawasan LKL (Tabel 4). Foto lanskap ditampilkan satu persatu dengan durasi 8 detik. Berdasarkan Daniel dan Boster (1976), penilaian image harus dilakukan secara spontan karena responden bersikap jujur dalam menilai. Persamaan matematik dari rumusan SBE, yaitu: Keterangan:

SBEi : Nilai pendugaan keindahan pemandangan suatu lanskap ke-i Zyi : Nilai rata-rata z lanskap ke-i

Zyo : Nilai rata-rata z suatu lanskap tertentu sebagai standar

Pendugaan nilai keindahan suatu scenic pada lanskap lokasi menggunakan sebaran nilai rating 1-10. Proses berikutnya adalah klasifikasi kelas keindahan berdasarkan interval skor. Interval nilai tersebut dibagi menjadi tiga kelas keindahan tinggi (T), sedang (S), dan rendah (R).

Klasifikasi keindahan lanskap wisata pesisir LKL berdasarkan interval nilai keindahan, yaitu:

Klasifikasi keindahan =

Penilaian keindahan LKL diklasifikasikan tiga kelas keindahan, yaitu: Tinggi (T) dengan nilai 100-150. Artinya, kawasan memiliki keindahan visual

yang tinggi sebagai kawasan wisata pesisir.

Sedang (S) dengan skor 49-99. Artinya, kawasan memiliki keindahan visual sedang sebagai kawasan wisata pesisir.

Rendah (R) dengan nilai < 48. Artinya, kawasan memiliki keindahan visual yang rendah sebagai kawasan wisata pesisir.

c. Daya Tarik Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk

Menentukan potensi daya tarik wisata pesisir LKL diperoleh dari gabungan kondisi nilai potensi objek dan atraksi dengan nilai potensi kualitas visual.

Klasifikasi tingkat daya tarik =

Penilaian potensi objek dan atraksi dengan keindahan visual diklasifikasikan berdasarkan tiga tingkat potensi daya tarik, yaitu:

Tinggi (T) dengan nilai 189-249. Artinya, kawasan memiliki potensi daya tarik tinggi sebagai kawasan wisata pesisir.

Sedang (S) dengan nilai 128-188. Artinya, kawasan memiliki cukup potensi daya tarik sebagai kawasan wisata pesisir.

Rendah (R) dengan nilai 67-127. Artinya, kawasan memiliki kurang potensi daya tarik sebagai kawasan wisata pesisir.


(30)

d. Daya Tarik Wisata Pesisir Berdasarkan Kepekaan Ekosistem LKL

Menentukan potensi daya tarik wisata pesisir Lalong Kota Luwuk yang diperoleh dari gabungan atau overlay kondisi nilai potensi objek dan atraksi dan nilai potensi kualitas visual dengan kepekaan lingkungan untuk mengetahui potensi daya tarik wisata yang akan direncanakan sebagai wisata pesisir. Hal ini dikarenakan aspek ekologi memiliki peran yang penting untuk keberlangsungan kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk yang memiliki kepekaan.

Hasil penggabungan diklasifikasikan berdasarkan tiga tingkat potensi daya tarik wisata berdasarkan kepekaan lingkungan, yaitu:

Klasifikasi tingkat daya tarik =

Penilaian potensi objek dan atraksi, keindahan visual dengan kepekaan lingkungan diklasifikasikan berdasarkan tiga tingkat potensi daya tarik, yaitu: Tinggi (T) dengan nilai 8434-10860. Artinya, kawasan memiliki potensi daya

tarik tinggi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir.

Sedang (S) dengan nilai 6007-8433. Artinya, kawasan memiliki cukup potensi daya tarik untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir.

Rendah (R) dengan nilai 3580-6006. Artinya, kawasan kurang memiliki potensi daya tarik untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir.

e. Zona Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk

Penentuan zona dilakukan menggunakan bantuan ArcView atau ArcGIS dengan teknik overlay (Prahasta 2002) untuk mengetahui kesesuaian zona wisata pesisir kemudian menyelaraskan peta RTRW atau BWK yang berlaku di Kota Luwuk. Menurut Hutabarat et al. (2009), zona wisata pesisir dapat ditentukan sebagai zona inti, zona khusus, zona penyangga, dan zona pemanfaatan dengan pertimbangan faktor ekologi, sosial, dan ekonomi. Formula zonasi wisata pesisir Lalong Kota Luwuk, yaitu:

(DTKi, BWK)...(6) Keterangan:

ZPWi : Zona wisata pesisir ke-i

DTKi : Daya tarik wisata pesisir berbasis kepekaan ekosistem ke-i BWK : BWK Kota Luwuk

Hasil zonasi tata ruang wisata pesisir LKL merupakan bahan pengembangan lanskap kawasan wisata pesisir. Bahan perencanaan terdiri dari beberapa alternatif dalam menentukan model perencanaan. Keputusan alternatif arah model perencanaan yang akan digunakan melalui pertimbangan para ahli yang terkait dengan perencanaan wisata pesisir.

3. Dukungan Mayarakat Lalong Kota Luwuk

Analisis sosial perkotaan bertujuan mengetahui penerimaan dan prilaku kurang mendukung masyarakat lokal serta peluang ekonomi yang diharapkan. Data yang digunakan dalam analisis sosial perkotaan adalah data kesediaan masyarakat lokal tentang pengembangan wisata pesisir melalui focus group discussion (FGD).

Metode FGD bertujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok (Bungin 2001). Diskusi dilakukan oleh responden


(31)

masing-masing desa diambil n=10, sehingga jumlah dari responden (8 kelurahan) yang diteliti adalah 80 responden (Tabel 4). Analisis meliputi akseptibilitas dan prilaku yang kurang mendukung masyarakat serta persepsi masyarakat terhadap jenis peluang ekonomi yang dipilihnya.

a. Akseptibilitas Masyarakat

Derajat penilaian yang dilakukan harus mendukung kondisi sosial masyarakat disekitarnya. Apabila daerah telah dilindungi oleh tradisi lokal maka keadaan tersebut harus diberi dukungan dan daerah tersebut harus diberi penilaian yang lebih tinggi. Penilaian akseptibilitas dan prilaku yang kurang mendukung masyarakat menggunakan metode FGD dan responden adalah masyarakat lokal LKL. Rumus yang digunakan untuk menghitung dukungan masyarakat adalah: Am = ( ∑ Ps/ ∑ Po) x 100%

Keterangan:

Am : Dukungan masyarakat lokal dalam persen

∑ Ps : Jumlah masyarakat yang setuju dengan penunjukan

∑ Po : Jumlah masyarakat yang menjadi responden

b. Peluang Ekonomi

Derajat penilaian yang dilakukan dapat mendukung ekonomi masyarakat disekitarnya. Keberadaan wisata pesisir hendaknya memberi kesejahteraan masyarakat lokal sehingga pelaku wisata adalah masyarakat lokal. Penilaian peluang ekonomi menggunakan metode FGD dan responden adalah masyarakat lokal LKL pada pada masing-masing kelurahan. Rumus yang digunakan untuk menghitung peluag ekonomi masyarakat lokal adalah:

Pe = ( ∑ Ms/ ∑ Mo) x 100% Keterangan:

Pe : Peluang ekonomi masyarakat lokal dalam persen

∑ Ms : Jumlah masyarakat yang setuju dengan penunjukan

∑ Mo : Jumlah masyarakat yang menjadi responden

4. Zona Potensial Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk

Zona potensial wisata pesisir Lalong Kota Luwuk merupakan hasil zona wisata pesisir berdasarkan kepekaan lingkungan yang selanjutnya menyesuaikan sosial perkotaan yang meliputi analisis akseptibilitas dan prilaku masyarakat yang kurang mendukung serta peluang ekonomi terhadap perencanaan lanskap kawasan wisata pesisir LKL. Menurut Hutabarat et al. (2009), wisata pesisir dibutuhkan informasi aspek sosial berdasarkan dukungan masyarakat kawasan wisata pesisir. Hasil zona potensial wisata pesisir akan digunakan sebagai bahan pengembangan wisata pesisir LKL. Formula zona potensial wisata pesisir LKL, yaitu:

ZPOWi = (ZWi, Ami, Pei)...(7) Keterangan:

ZPOWi: Zona potensial wisata pesisir ke-i ZWi : Zona wisata pesisir ke-i

Ami : Akseptibilitas masyarakat wisata pesisir ke-i Pei : Peluang ekonomi wisata pesisir ke-i


(32)

5. Preferensi Stakeholder terhadap Konsep Lanskap Kawasan Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk

Analisis ini bertujuan mengetahui preferensi stakeholder terhadap orientasi atau arah konsep pengembangan kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk. Menurut Hutabarat et al. (2009) menyatakan perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam serta jasa-jasa lingkungan pesisir mencakup keterpaduan ekologis, sektor, disiplin ilmu, dan stakeholder. Oleh karena itu, keberhasilan rencana lanskap wisata sangat dipengaruhi oleh bentuk respon stakeholder. Dengan pertimbangkan prioritas stakeholder akan menghasilkan rekomendasi yang tepat dalam merumuskan model rencana lanskap wisata Lalong Kota Luwuk.

Pengumpulan data menggunakan wawancara dengan kuesioner. Responden yang dipilih adalah para pakar dengan kriteria: memiliki keahlian atau menguasai secara akademik bidang yang diteliti, memiliki reputasi atau jabatan dan sebagai ahli pada bidang yang diteliti, dan memiliki pengalaman dalam bidang penelitian yang dimiliki. Responden berjumlah 9 orang (Tabel 4).

Data kemudian dianalisis menggunakan analysis hierarchy process (AHP) dengan softwareexpert choise versi 11. Menurut Saaty (1991), prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan suatu kompleks yang tidak terstruktur dan menatanya dalam suatu bentuk hierarki. Parameter pada masing-masing aspek kemudian dianalisis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan dalam mempengaruhi hasil dari sistem tersebut. Menurut modifikasi Inskeep (1991) dan Indriastjario (2003), komponen-komponen struktur hierarki dalam perencanaan lanskap kawasan wisata LKL ini terlihat pada Gambar 3.

Tahapan dalam AHP menurut Saaty (1991), yaitu:

a) Penetapan sasaran studi yaitu kriteria atau faktor apa yang paling berpengaruh dalam suatu perencanaan wisata pesisir.

b) Membuat struktur hierarki yang terdiri dari empat level. Level pertama, merupakan tujuan utama. Level kedua, merupakan level komponen utama pembentuk wisata pesisir. Level ketiga, merupakan variabel komponen pembentuk wisata pesisir. Level keempat, merupakan alternatif keputusan berupa aspek yang paling berperan dalam mencapai wisata pesisir.

c) Melakukan perbandingan berpasangan dengan mengajukan kuesioner kepada pakar atau ahli. Dilakukan perhitungan bobot dengan software expert choise v 11. Pada proses menentukan faktor pembobotan hierarki maupun faktor evaluasi, uji konsistensi consistency ratio (CR) harus dilakukan. Metode AHP memiliki cara khusus untuk menentukan apakah data yang diperoleh valid (layak), yaitu dengan menghitung konsistensi rationya. Jika nilai CR < 0.10 (10%) menunjukkan preferensi penilaian konsisten. Apabila tidak konsisten maka pengambilan data perlu diulangi.

d) Prosedur pengambilan sampel pakar dengan cara penyebaran kuesioner AHP kepada pihak pakar atau ahli. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik purposive sampling.


(33)

(34)

6. Zona Pengembangan Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk

Zona pengembangan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk merupakan hasil zona potensial wisata pesisir. Menurut Hutabarat et al. (2009), zona pengembangan merupakan zona kesesuain wisata pesisir yang terdiri dari aspek ekologi, aspek daya tarik, dan aspek dukungan masyarakat lokal. Hasil zona pengembangan wisata pesisir akan digunakan sebagai bahan perencanaan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk. Formula zona pengembangan wisata pesisir LKL, yaitu:

ZPWi = (ZPOWi)...(8) Keterangan:

ZPWi : Zona pengembangan wisata pesisir ke-i ZPOWi: Zona potensial wisata pesisir ke-i

7. Daya Dukung Kawasan Pesisir Lalong Kota Luwuk

Analisis daya dukung ditujukan pada pengembangan zonasi wisata pesisir yang akan dikembangkan di kawasan Lalong Kota Luwuk. Menurut Hutabarat et al. (2009), daya dukung lingkungan (carrying capacity) sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumber daya alam juga membatasi pembangunan fisik yang dapat mengganggu kesinambungan pembangunan wisata tanpa merusak alam. Zona pemanfaatan kawasan yang dikembangkan akan disesuaikan dengan karakter sumber daya dan peruntukan.

Menurut Hutabarat et al. (2009), menghitung daya dukung pengembangan wisata alam dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). DDK adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Rumus perhitungan DDK, yaitu:

DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp Keterangan:

DDK : Daya dukung kawasan wisata (orang/hari) K : Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp : Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt : Unit area untuk kategori tertentu

Wt : Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata per hari Wp : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu

2.3.3 Rencana Lanskap Kawasan Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk

Perencanaan lanskap kawasan wisata pesisir merupakan analisis zona pengembangan wisata pesisir yang disesuaikan dengan daya dukung kawasan wisata pesisir. Formula perencanaan lanskap kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk, yaitu:

RLi = (ZPWi, DDKi)...(9) Keterangan:

RLi : Rencana lanskap ke-i

ZWPi : Zona pengembangan wisata pesisir ke-i DDKi : Daya dukung wisata pesisir ke-i

Hasil zona potensial wisata pesisir dan daya dukung merupakan bahan untuk merencanakan kawasan lanskap wisata pesisir Lalong Kota Luwuk. Perencanaan lanskap kawasan wisata terdiri dari konsep lanskap untuk


(35)

pengembangan kawasan wisata dan rencana lanskap. Konsep pengembangan lanskap terdiri dari konsep ruang dan aktivitas serta konsep sirkulasi.

a. Konsep pengembangan kawasan wisata

Konsep perencanaan yang dikembangkan pada kawasan Lalong Kota Luwuk adalah kawasan wisata perkotaan yang berkelanjutan. Arah konsep pengembangan disesuaikan dengan hasil rekomendasi dari para ahli dengan menggunakan metode AHP. Menurut Gunn (1994) dan Inskeep (1991), konsep

tersebut merupakan konsep rencana pengembangan kawasan yang

mengakomodasikan keberlanjutan dan kualitas lingkungan.

b. Konsep ruang dan sirkulasi wisata

Konsep lanskap pengembangan terdiri dari konsep ruang dan sirkulasi. Konsep ruang wisata yang akan dikembangkan merupakan zona wisata pesisir terpadu. Menurut Gunn (1994), ruang menjadi wadah untuk melakukan aktivitas, dimana aktivitas yang dilakukan disesuaikan dengan fungsi yang akan dikembangkan pada ruang tersebut. Ruang pada tapak terdiri dari ruang utama dan ruang penunjang wisata.

Konsep sirkulasi digambarkan dengan membuat jalur wisata yang menghubungkan kelompok kegiatan wisata dan antara kegiatan wisata dengan kegiatan wisata lainnya di dalam kawasan (Gunn 1994). Pola pergerakan prilaku pengunjung akan dipengaruhi oleh objek dan atraksi yang dibentuk dalam ruang (Lew dan McKercher 2006).

c. Rencana ruang dan sirkulasi wisata

Rencana ruang adalah hasil analisis konsep pengembangan ruang. Ruang wisata terdiri dari ruang wisata utama dan ruang wisata penunjang. Ruang wisata utama adalah ruang untuk melakukan aktivitas wisata. Ruang penunjang terdiri dari ruang penerima dan ruang transisi. Sedangkan rencana sirkulasi merupakan penghubung antara ruang wisata. Sirkulasi wisata terdiri dari sirkulasi primer, sirkulasi sekunder, dan sirkulasi tersier.

d. Rencana aktivitas dan fasilitas wisata

Keberhasilan suatu aktivitas apabila menyesuaikan dengan kondisi lingkungan (WALROS 2011). Aktivitas yang direncanakan diarahkan pada aktivitas yang mengajak wisatawan terlibat langsung dalam berbagai atraksi wisata sehingga mengalami kesan dan pengalaman yang menyenangkan serta dapat menjaga kelestarian kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk. Sedangkan fasilitas pendukung aktivitas wisata yang dikembangkan disesuaikan dengan aktivitas pada masing-masing ruang yang terdapat di kawasan wisata pesisir LKL.


(36)

3 KONDISI UMUM KOTA LUWUK

3.1 Kota Luwuk

Kota Luwuk merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Banggai yang berada di pesisir Selat Peleng Selatan Kabupaten Banggai dan secara administrasi terletak di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis Kota Luwuk terletak antara 122°42´-122°57´ BT dan 0°54´-1°3´ LS. Batas wilayah yaitu sebelah Utara dengan Teluk Tomini, sebelah Timur dengan Laut Maluku, sebelah Selatan dengan Selat Peling Kabupaten Banggai Kepulauan dan Teluk Tolo, dan sebelah Barat dengan Kabupaten Poso (Gambar 5). Kondisi tersebut menjadikan Kota Luwuk menjadi salah satu wilayah yang strategis dalam berbagai sektor sehingga perkembangan kota cukup pesat.

Perkembangan wilayah Kota Luwuk diawali oleh pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang, hal ini terbukti dengan adanya pusat pemerintahan kota lama di Kelurahan Soho dan Kelurahan Bungin. Kota Luwuk mengalami perkembangan pesat setelah kedatangan para pedagang dari Cina dan Arab serta masuknya suku Gorontalo, Buton, Raha, dan Manui yang membentuk pola perkampungan baru (Djalumang 2012). Luas wilayah Kota Luwuk 150.27 km2 yang terdiri dari 20 kelurahan/desa (Gambar 6) dengan jumlah penduduk 50190 jiwa(Badan Pusat Statistik 2010).


(37)

Gambar 6 Peta administrasi Kota Luwuk (Bappeda 2011)

3.2 Sejarah Pemerintahan

Banggai awal kesejarahannya merupakan kerajaan kecil yang masuk dalam sebelas wilayah Kerajaan Kediri (1041 M) dengan nama Ping ye yang berarti Banggai dan dipimpin oleh seorang raja yang berkedudukan di Banggai Kepulauan sampai saat ini. Pada tahun 1906 pemerintahan kolonial Belanda menguasai kerajaan Banggai dengan nama Onderafdeling dan membagi wilayah kekuasaan menjadi dua yaitu Landschap Luwuk berkedudukan di Luwuk (Kota Luwuk) dan Landschap Banggai Kepulauan berkedudukan di Banggai (Djalumang 2012). Setelah Jepang mengalahkan Belanda, Jepang menguasai pemerintahan Kerajaan Banggai dan mendarat di Luwuk pada tanggal 15 Mei 1942. Selanjutnya kemerdekaan Bangsa Indonesia mengubah status pemerintahan Swapraja Banggai menjadi Daerah Tingkat II yang dipimpim oleh seorang bupati yang berkedudukan di Luwuk sampai saat ini.

Kota Luwuk di pimpin oleh seorang bupati yang diangkat berdasarkan pemilu secara demokratis melalui masing-masing partai. Luwuk terdiri dari tiga kecamatan dan masing-masing kecamatan dipimpin oleh seorang kepala camat. Setiap kecamatan di Luwuk terdiri atas kelurahan atau desa yang dipimpin oleh kepala kelurahan. Klasifikasi kelurahan terdiri dari swadaya, swakarya, dan swasembanda. Ditingkat lingkungan kelurahan terdiri dusun, rukun warga (RW), dan ruang tetangga (RT). Pada masing-masing-masing kelurahan memiliki banyak lembaga pemerintahan yaitu LKMD atau LKML dan PKK. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban warga di setiap kelurahan terdapat Linmas atau Hansip dan terdapat petugas blok sensus penduduk.


(38)

3.3 Kondisi Biofisik 3.3.1 Topografi dan Kemiringan Lahan

Kondisi alam Kota Luwuk sebagian besar bergelombang dan bergunung (Tabel 8). Kondisi topografi dapat lihat pada Gambar 7.

Tabel 8 Kelas lereng di Kota Luwuk

No Kelas Luas Jenis penggunaan

ha %

1 Datar (0-8%) 3163.37 21.05 Kawasan tepi pantai

2 Bergelombang (8-15%) 5480.18 36.47 Kawasan pemerintahan, perdagangan, dan jasa 3 Berbukit (15-45%) 2733.35 18.19 Pemukiman

4 Bergunung (> 45%) 3650.09 24.29 Kawasan hutan lindung Total 15027 100

Sumber: Bappeda (2011)

Gambar 7 Peta kelas lereng Kota Luwuk (Bappeda 2011)

3.3.2 Geomorfologi

Geomorfologi pesisir Kota Luwuk berupa barisan Stable cruisal yang memanjang hingga kepulauan Sula sampai Papua. Pantai pesisir Kota Luwuk di dominasi sifat-sifat fisik yang berupa batu-batuan dan perbukitan dengan topografi agak curam. Karakteristik perairan di wilayah pesisir terletak pada bagian selatan yaitu Selat Peleng dengan kedalaman laut relatif dalam yaitu 0-1000 m (Dinas Perikanan dan Kelautan 2009). Secara vertikal, zona perairan Kota Luwuk termasuk zona mesopelagis, zona ini merupakan bagian teratas dari zona afotik atau sampai isoterm 10 °C.


(39)

Pasang surut di kawasan pesisir Kota Luwuk termasuk campuran cenderung semi-diurnal. Hal ini menunjukkan terjadinya pasang surut dua kali sehari dengan ketinggian pasang yang berbeda-beda (Lalli dan Timothy 1993). Pasang tertinggi sekitar 1.8 m dan surut terendah 0.6 m (Bakosurtanal 2012). Suhu perairan di Kota Luwuk sekitar 28-32 °C, dimana semakin mendekati pantai suhu air semakin tinggi. Salinitas perairan laut berkisar antara 30-33 ppt. Menurut Lalli dan Timothy (1993), karakteristik perairan tersebut tergolong laut terbuka. Sedangkan gelombang yang terjadi maksimum 2.13 m dengan periode 5.75 detik dengan arah gelombang dominan berasal dari arah Selatan (Theresia 2007). Hal ini menunjukkan gelombang yang terjadi tidak cukup besar.

Substrat dasar yang dimiliki oleh pesisir yang berbentuk pantai yaitu pasir putih dan batu koral sehingga memiliki potensi daya tarik wisata. Sedangkan kawasan Lalong dahulunya merupakan ekosistem hutan mangrove sehingga memiliki substrat berlumpur dengan kedalaman 5-15 m (DPL 2003). Ekosistem pesisir di Kota Luwuk terdiri dari ekosistem teresterial dan ekosistem akuatik. Ekosistem teresterial yaitu hutan lahan atas dan lahan bernilai penting. Sedangkan ekosistem akuatik yaitu estuari, pantai, padang lamun, dan terumbu karang.

3.3.3 Iklim

Kota Luwuk memiliki musim kemarau dan penghujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin bertiup dari Australia yang tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin yang banyak mengandung uap air berhembus dari Asia dan Samudra pasifik sehingga terjadi musim hujan (Bappeda 2011).

Suhu udara di Kota Luwuk ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut dari permukaan air laut dan jaraknya dari pantai. Berdasarkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Luwuk (2013), suhu rata-rata Kota Luwuk 25-28.9 °C. Suhu maksimum terjadi bulan November yaitu 28.9 °C dan suhu minimum terjadi bulan Juli yaitu 25.1 °C. Kota Luwuk memiliki kelembaban udara relatif tinggi rata-rata 72-81%.

Curah hujan di Kota Luwuk antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim dan perputaran arus udara. Oleh karena itu, jumlah curah hujan beragam yaitu rata-rata 3.4-284.9 mm/bulan. Kecepatan angin umumnya merata setiap bulannya, yaitu berkisar 4-6 knot dengan arah angin 270° (BMKG 2013).

3.3.4 Jenis Tanah

Jenis tanah Kota Luwuk pada umumnya memiliki jenis tanah mediteran, tanah litolit, dan tanah podsolit (Tabel 9). Jenis tanah dapat dilihat pada Gambar 8.

Tabel 9 Kelas jenis tanah di Kota Luwuk

No Jenis tanah Luas Jenis penggunaan

ha %

1 Mediterania 13285.10 88.40 Kawasan pemukiman

2 Litolit 1736.66 11.57 Hutan lindung

3 Podsolit 5.24 0.03 Hutan

Total 15027 100


(40)

Jenis tanah mediteran merupakan jenis tanah yang tergolong tidak subur karena terbentuk dari pelapukan batuan kapur dan tingkat erosi tinggi. Distribusi tanah mediteran dimanfaatkan sebagai kawasan pemukiman dengan luas 137285.10 ha dari luas total kawasan. Distribusi tanah litolit merupakan hutan lindung dengan luas 1736.66 ha. Tanah podsolit merupakan jenis tanah dengan tingkat kesuburan sedang yang pada umumnya berada di pegunungan dengan curah hujan tinggi dan suhu rendah atau dingin. Distribusi tanah podsolit memiliki luasan kecil yang merupakan kawasan hutan dengan luas 5.24 ha.

Gambar 8 Peta jenis tanah Kota Luwuk (Bappeda 2011)

3.3.5 Pola Penggunaan Lahan

Pola penggunaan lahan yaitu lahan atas sampai lahan bawah meliputi hutan lindung dan hutan semak, pertanian lahan kering, lahan terbuka, semak, pemukiman, pemerintahan dan pendidikan, perdagangan dan jasa, dan kawasan wisata (Bappeda 2011). Pola penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Pola penggunaan lahan di Kota Luwuk

No Jenis penggunaan Luas

ha %

1 Hutan 4.887 32.52

2 Hutan semak 2.181 14.51

3 Semak 3.520 23.42

4 Pertanian lahan kering 1.698 11.29

5 Lahan terbuka 1.121 7.48

6 Pemukiman, pemerintahan, CBD, dan kawasan wisata 1.620 10.78

Total 15027 100


(41)

Pola penggunaan lahan di Kota Luwuk cukup bervariasi yang didominasi oleh hutan seluas 4.887 ha atau 32.52% dan semak seluas 3.520 ha atau 23.42% yang menyebar hampir di seluruh bagian hulu di Kota Luwuk. Pola penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Peta pola penggunaan lahan Kota Luwuk (Bappeda 2011)

Bagian Wilayah Perkotaan yang selanjutnya disingkat BWP atau BWK adalah bagian dari kabupaten/kota dan atau kawasan strategis kabupaten/kota yang akan atau perlu disusun rencana rincinya, dalam hal ini RDTR, sesuai arahan atau yang ditetapkan di dalam RTRW kabupaten/kota yang bersangkutan, dan memiliki pengertian yang sama dengan zona peruntukan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang.

Berdasarkan rencana pola penggunaan lahan di Kota Luwuk untuk periode tahun 2003-2013 di bagi menjadi 5 bagian wilayah kota (BWK) yang meliputi BWK A, BWK B, BWK C, BWK D, dan BWK E. BWK A fungsi utama sebagai pusat transportasi dengan arah pengembangan bandara, pemukiman, dan pelayanan umum. BWK B fungsi utama sebagai pusat pemerintahan dengan arah pengembangan pusat pemerintahan dan pemukiman.

BWK C fungsi utama central bussiness district (CBD) dengan arah pengembangan perdagangan dan jasa skala kota dan regional, transportasi regional, pelayanan umum skala kota, dan pemukiman. BWK D fungsi utama kawasan transisi dengan arah pengembangan pemukiman dan pelayanan umum. BWK E fungsi utama kawasan cadangan peluasan kota dengan arah pengembangan pemukiman dan pelayanan umum.


(42)

Kawasan pesisir Kota Luwuk memiliki ekosistem teresterial yaitu hutan lahan atas (alami, semi alami, dan tidak alami) dan lahan bernilai penting (pemukiman dan CBD). Ekosistem akuatik yaitu estuari, pantai (berpasir dan berbatu), padang lamun, dan terumbu karang. Luas sempadan pantai wilayah Kabupaten Banggai yaitu 8812.18 ha. Sedangkan panjang garis pantai Kota Luwuk ± 35.36 km (DPK 2009).

Ekosistem mangrove di Kabupaten Banggai memiliki luas 3370 ha yang hanya terdapat di Kecamatan Bunta seluas 320 ha, Kecamatan Pagimana/Bualemo seluas 1.600 ha, Kecamatan Lamala seluas 50 ha, dan Kecamatan Toili seluas 1400 ha (DPK 2009). Jenis terumbu karang di Kabupaten Banggai yaitu karang bercabang dari marga Porites, Millepora, Acropora, Pocillopora, dan Seriatopora (DPK 2009). Keberadaan ekosistem tersebut merupakan potensi sumber daya alam yang memiliki fungsi dan peran yang saling terkait. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk menjaga dan melestarikan sumber daya tersebut.

Perencanaan BWK Kota Luwuk merupakan pedoman dalam pengembangan masa depan Kota Luwuk. Namun, BWK Kota Luwuk belum terintegrasi dengan kawasan pesisir yang pada umumnya merupakan kawasan dengan ekosistem yang peka. Hal ini terlihat dari fungsi utama pada BWK yang akan direncanakan. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya penyelarasan rencana wisata pesisir dengan rencana BWK Kota Luwuk.

Dengan keselarasan tersebut diharapkan dapat mendukung rencana pemerintah untuk menjaga kawasan pesisir di Kabupaten Banggai khususnya di Kota Luwuk sehingga tercipta kawasan pesisir yang berkelanjutan. Pembagian rencana ruang atau BWK Kota Luwuk dapat dilihat pada Gambar 10.


(43)

3.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi 3.4.1 Kependudukan

Faktor kependudukan memiliki peran yang penting dalam proses suatu perencanaan kawasan. Pada dasarnya pembangunan ditunjukan sebesar-besarnya untuk memenuhi kepentingan penduduk. Penduduk kota cenderung lebih padat di pusat kota, hal ini terkait dengan konsentrasi kegiatan perkotaan.

Jumlah penduduk Kota Luwuk setiap tahun mengalami peningkatan. Tahun 2009 jumlah penduduk 50190 jiwa dengan laju pertumbuhan 1.99% pertahun (BPS 2010). Kenaikan jumlah penduduk disebabkan oleh faktor tingkat kelahiran atau migrasi dari wilayah lain. Jenis kelamin penduduk Kota Luwuk lebih dominan jenis kelamin perempuan yaitu sebesar 25150 jiwa atau 50.10% dibandingkan laki-laki 25040 jiwa atau 49.90% dengan perbandingan rasio 98.71.

Persentase penduduk menurut agama di Kota Luwuk didominasi oleh agama Islam yaitu 83.34%. Kota Luwuk terdiri dari suku asli yaitu Saluan, Balantak, Banggai, dan pendatang (Tionghoa, Bajo, Bugis, Manui, Raha dan Buton). Kepadatan rata-rata Kota Luwuk yaitu rendah dan tinggi. Kepadatan tertinggi terdapat di pusat kota (Gambar 11).

Menurut Permen No.11/M/2008 tentang keserasian kawasan perumahan dan pemukiman, standar zona perkotaan tergolong kepadatan rendah <500 jiwa/km2, sedang antara 500-1000 jiwa/km2, dan kepadatan tertinggi >1000 jiwa/km2. Pentingnya mengetahui distribusi kepadatan penduduk terkait dengan dampak negatif yaitu terjadinya penyimpangan prilaku sosial. Kepadatan Kota Luwuk dikategorikan kepadatan sosial, hal ini dikarenakan jumlah individu bertambah tanpa diiringi dengan penambahan luas ruangan .


(44)

3.4.2 Mata Pencaharian

Menurut BPS Kota Luwuk (2010), proposi sektor terhadap PDRB di Kota Luwuk yaitu jasa 24%, pertanian, 19%, perdagangan, hotel dan restoran 13%, industri pengolahan 12%, pengangkutan dan komunikasi 11%, bangunan 10%, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 8%, pertambangan dan penggalian 2%, listrik dan air bersih 1%.

Berdasarkan komposisi sektor ekonomi, pada umumnya penduduk Kota Luwuk bergerak di sektor perdagangan dan jasa daripada pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kota Luwuk tergantung pada daerah sektor jasa. Berdasarkan usia produktif dengan rentang usia 15-55 tahun di Kota Luwuk sebanyak 40288 jiwa atau sekitar 61.471% dari total jumlah penduduk. Hal ini menunjukkan Kota Luwuk memiliki potensi sumber daya manusia yang tinggi sehingga dapat mendukung rencana wisata pesisir.

3.4.3 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarna Kota Luwuk cukup lengkap dan memadai sehingga memiliki potensial dalam mendukung rencana wisata pesisir Lalong Kota Luwuk (Tabel 11).

Tabel 11 Sarana dan prasarana di Kota Luwuk

No Sarana dan prasarana Jenis Jumlah (unit)

1 Pendidikan TK 33

SD 44

SMP 12

SMA 23

PT 4

2 Peribadatan Masjid 517

Gereja 177

Pura 40

Vihara 4

3 Kesehatan Rumah sakit milik pemerintah 1

Rumah sakit bersalin 2

Puskesmas 12

Posyandu 42

Apotik 9

Toko obat 12

Puskesmas 12

4 Utilitas Jaringan listrik (PT. PLN Persero) 2

Jaringan air bersih (PDAM) 1

Jaringan telekomunikasi

-Sentral telepon 2

-Sambungan 6904

-Umun 121

TPA 1

5 Hotel dan penginapan Hotel 14

Penginapan 8

6 Perdagangan dan jasa Pasar 187

Toko 2

Kios 260

Restoran 1515

Warung 102

Keuangan (Bank, BPR, Asuransi, KUD, KPN, dan Koperasi) 58

7 Transportasi Udara (lapangan udara) 1

Darat (agen travel, mobil penumpang, dan bus) 830

Laut (PELNI, ASDP, dan kapal rakyat) 31

8 Olahraga Sepak bola, voley, bulu tangkis, dan tenis meja 58


(45)

3.5 Potensi Pariwisata

Kota Luwuk memiliki banyak potensi sumber daya alam, salah satunya potensi wisata pesisir. Kota Luwuk memiliki daya tarik wisata pesisir karena berada di antara bukit dan pantai yang membentuk teluk sehingga memiliki karakter pemandangan lanskap kota pesisir yang indah. Kota Luwuk memiliki fauna endemik berupa tarsius dan biota endemik berupa ikan hias. Kota Luwuk memiliki pusat kota tua dan memiliki bangunan-bangunan arsitektur kolonial.

Kota Luwuk memiliki berbagai jenis makanan khas lokal. Selain itu, Kota Luwuk memiliki fasilitas, akomodasi, dan transportasi kota yang cukup mendukung kegiatan wisata. Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banggai Tahun 2013, delapan tahun terakhir yaitu periode tahun 2005 sampai 2012 jumlah kunjungan wisatawan mengalami peningkatan (Tabel 12). Hal ini ditujukan dengan peningkatan hotel dan penginapan.

Tabel 12 Data kunjungan wisatawan di Kota Luwuk

No Tahun

Wisatawan

Domestik Mancanegara

Total Rata-rata (hari) Total Rata-rata (hari)

1 2005 450 3 115 3

2 2006 2475 3 153 3

3 2007 958 3 24 3

4 2008 415 3 167 3

5 2009 5956 3 86 3

6 2010 11179 3 48 3

7 2011 6948 3 96 3

8 2012 7550 3 154 3

Total 35931 843 36774

Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (2013)

Kunjungan rata-rata wisatawan domestik 4491 orang/tahun dan wisatawan asing 105 orang/tahun. Wisatawan domestik pada umumnya berasal dari Palu, Manado, Makasar, Surabaya, dan Jakarta. Wisatawan asing berasal dari Malaysia, Jepang, Australia, Austria, Prancis, Spanyol, Swiss dan Amerika. Tujuan utama wisatawan domestik dan wisatawan asing adalah melihat view LKL, menelusuri bangunan peninggalan bergaya arsitektur kolonial, dan menikmati makanan khas Kota Luwuk dengan rata-rata lama tinggal 3 hari.

Salah satu faktor meningkatnya kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara di Kota Luwuk adalah telah dibukanya sektor tambang minyak gas di wilayah Kecamatan Batui yang terletak di sebelah Barat Kota Luwuk dengan jarak kurang lebih 30 km dari pusat Kota Luwuk. Kegiatan tambang gas tersebut secara tidak langsung telah mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Luwuk.

Kota Luwuk merupakan pusat kota di Kabupaten Banggai dengan sarana dan prasarana yang cukup memadai, memiliki pemandangan lanskap kota yang indah, fauna endemik Tarsius Sulawesi, biota endemik Banggai cardinalfish, bangunan peninggalan kolonial, kuliner khas Kota Luwuk, aktivitas penduduk lokal, dan tarian (suku Banggai, suku Saluan, dan suku Balantak) sehingga Kota Luwuk menjadi potensi tujuan bagi para pengunjung. Kondisi ini menjadi potensi untuk pengembangan wisata di kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk.


(46)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kepekaan Ekosistem Pesisir Lalong Kota Luwuk 4.1.1 Ekosistem Kawasan Pesisir Lalong Kota Luwuk

Ekologi kawasan pesisir terdiri dari ekosistem-ekosistem yang membentuk lanskap pesisir. Pendekatan ekologi berbasis ekosistem merupakan salah satu bentuk konsep pembangunan berkelanjutan. Menurut Sloan (1993)dalam Dahuri et al. (1996), setiap kawasan pesisir memiliki karakteristik ekosistem yang berbeda. Karakteristik ekosistem menunjukkan tingkat kerapuhan suatu ekosistem. Kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk terdiri dari ekosistem tereterial dan ekosistem akuatik.

Tabel 13 Luas ekosistem kawasan wisata pesisir LKL

No Kelurahan

Ekosistem teresterial Ekosistem akuatik Hutan

lahan atas

Lahan bernilai penting

Estuari Pantai Padang

lamun Terumbu karang A la mi S em i al am i Ti d ak a la m i P em u k im n

CBD Semi terb

u k a B er p asi r B er b at u P en u tu p an 40 -8 0 % P en u tu p an 40 -8 0 %

1 Tontouan 640.30 43.95 0.39 8.65 - - - - - -

2 Mangkio 443.27 14.28 2.19 17.74 - - - - - -

3 Kaleke 691.94 62.21 3.75 5.66 - - - - - -

4 Soho - - 3.10 18.14 - - - - - -

5 Bungin - 28.55 5.45 51.91 - - 1.90 - 4.57 7.15

6 Luwuk - 47.95 6.39 64.16 27.31 37.87 - - - -

7 Baru - - 0.34 15.84 - - - - - -

8 Keraton - 6.51 8.15 46.95 5.14 - 1.04 0.09 1.75 6.02

Total (ha) 1775.51 203.45 29.82 229.05 32.45 37.87 2.94 0.09 6.32 13.17 2330.67

Total (%) 76.18 8.73 1.28 9.84 1.39 1.62 0.12 0.003 0.27 0.56 100

Sumber: Olahan data lapang (2013)

Tabel 13 menunjukkan luas ekosistem teresterial di kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk lebih besar dibandingkan dengan luas ekosistem akuatik, yaitu 2270.28 ha atau 97.41%. Ekosistem teresterial terbesar yaitu hutan alami yang berada di Desa Tontouan, Kelurahan Mangkio, dan Kelurahan Kaleke. Ketiga lokasi memiliki karakter lanskap alami di kawasan wisata pesisir LKL. Sedangkan ekosistem akuatik terbesar yaitu estuari yang berada di Kelurahan Luwuk. Hal ini menunjukkan kondisi lanskap kawasan pesisir LKL memiliki karakter lanskap alami. Kota yang memiliki karakter lanskap alami merupakan salah satu aset yang dapat dikembangkan sebagai potensi wisata perkotaan.

Ekosistem akuatik di kawasan pesisir LKL umumnya memiliki karakteristik lanskap alami tetapi memiliki luas yang kecil. Hal ini menunjukkan ekosistem akuatik memiliki potensi tingkat kerusakan yang tinggi. Semakin kecil luasan suatu ekosistem akan semakin tinggi tingkat kerusakan atau gangguan. Mengingat pertumbuhan pemukiman di kawasan pesisir LKL yang cukup tinggi dan padat sehingga peluang perubahan lanskap atau kerusakan semakin tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan penilaian kepekaan untuk mengetahui tingkat kerusakan setiap ekosistem tersebut. Zona kawasan pesisir LKL dapat dilihat pada Gambar 12.


(47)

Gambar 12 Peta ekosistem kawasan wisata pesisir LKL

4.1.2 Kepekaan Ekosistem Pesisir Lalong Kota Luwuk

Indeks kepekaan kawasan pesisir untuk mengetahui tingkat kepekaan sumber daya kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk.

4.1.2.1 Kepekaan Ekosistem Teresterial Lalong Kota Luwuk

Kepekaan ekosistem teresterial pesisir Lalong Kota Luwuk dilihat dari kondisi tutupan lahan, luasan, keterwakilan, keutuhan ekosistem, keutuhan sumber daya, dan topografi.

Tabel 14 Penilaian kepekaan ekosistem teresterial kawasan pesisir LKL

No Ekosistem teresterial Parameter N K

I II III IV V VI

1 Hutan lahan atas Hutan alami 1 1 1 1 1 3 8 P

Hutan semi alami 2 2 2 2 2 2 12 CP

Hutan tidak alami 2 3 3 3 3 1 15 TP

2 Lahan bernilai penting Pemukiman 2 3 3 3 3 1 15 TP

CBD 3 3 3 3 3 1 16 TP

Sumber: Olahan data lapang (2013)

Parameter (I: tutupan lahan, II: luasan, III: keterwakilan, IV: keutuhan ekosistem, V: keutuhan sumber daya, VI: topografi), N: nilai, K: klasifikasi, TP: tidak peka (14-18), CP: cukup peka (9-13), P: peka (4-8)

Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan teresterial pesisir Lalong Kota Luwuk tidak peka dan tidak rentan apabila dikembangkan sebagai kawasan wisata. Sedangkan sebagian kawasan memiliki kepekaan dan rentan apabila dikembangkan sebagai kawasan wisata.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Paisubatu pada tanggal 08 November 1984 sebagai anak sulung tiga bersaudara, putri dari Bapak Yohanes Budiyono dan Ibu Sarlina Potindingo. Pendidikan Diploma III ditempuh di Program Studi Arsitektur Pertamanan, Fakultas Pertanian Brawijaya Malang, lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Arsitektur Lanskap Universitas Tribuawana Malang dan menamatkannya pada tahun 2009. Kesempatan untuk melanjutkan ke program pascasarjana diperoleh pada Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS tahun 2011. Penulis bekerja sebagai dosen tetap di Universitas Tribuwana Tunggadewi Malang sejak tahun 2009. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti adalah perencanaan lanskap.