menambah sisi permintaan, tetapi juga akan meningkatkan kualitas lingkungan kawasan tujuan wisata. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa yang dapat
ditawarkan adalah di tempat tujuan wisata adalah sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
yang mampu mempertahankan keberlangsungan kawasan dan lingkungan adalah tujuan utama dari seorang perencana kawasan wisata.
2.3. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata
Menurut Inskeep 1991 secara umum yang dimaksud dengan perencanaan adalah mengorganisasikan masa depan untuk mencapai tujuan
tertentu. Berkaitan dengan perencanaan wisata, Inskeep 1991 mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan perencanaan yang dapat dilakukan
sehubungan dengan pengembangan kawasan wisata. Pendekatan perencanaan dengan mempertimbangkan keberlanjutan kawasan dan lingkungan adalah salah
satunya. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya kualitas kehidupan yang lebih baik karena kondisi fundamental yang terdiri dari lingkungan manusia,
kehidupan budaya, dan kehidupan alam yang senantiasa terjaga, selalu menjadi pertimbangan utama selama perkembangan terjadi.
Lebih lanjut Nurisjah 2000 menyatakan bahwa perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk
mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan.
Menurut Gunn 1994, perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk mengembangkan kawasan wisata untuk mengakomodasi keinginan pengunjung,
pemerintah daerah, penduduk atau masyarakat sekitar. Dikatakan pula bahwa perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat menjadi
lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan sensitif terhadap lingkungan, dan dapat diintegrasikan dengan masyarakat dengan dampak negatif yang
minimal.
Pengertian-pengertian sebagaimana dikemukakan di atas memberi arahan bagi seorang perencana kawasan khususnya dalam hal ini adalah
perencana kawasan wisata untuk mempertimbangkan banyak faktor yang berpengaruh dalam wisata. Pertimbangan yang dilakukan tidak hanya untuk
kepentingan keuntungan secara materi bagi industri wisata sendiri, tetapi mempertimbangkan kepentingan lain yang menyertai keberlangsungan
kehidupan industri wisata itu sendiri seperti masyarakat lokal, lingkungan, kehidupan ekonomi dan budaya, serta alam. Pemilihan pendekatan perencanaan
yang tepat merupakan kunci sukses dalam keberhasilan sebuah perencanaan. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan kawasan
wisata adalah sebagai berikut.
2.3.1. Sumberdaya Wisata
Untuk merencanakan suatu kawasan wisata perlu diperhatikan sumberdaya dan permintaan wisata. Sumberdaya wisata merupakan gambaran
tentang ruang, fasilitas dan pelayanan. Sumber daya wisata adalah potensi wisata yang dapat berupa objek-objek wisata baik alami maupun objek-objek
buatan manusia. Objek-objek alami meliputi iklim, pemandangan alam, wisata rimba, flora dan fauna, sumber air, kesehatan, dan lainnya. Sedangkan objek-
objek buatan manusia antara lain yang bercirikan sejarah, budaya dan agama, sarana dan prasarana wisata dan pola hidup masyarakat Hardjowigeno,2001.
Menurut Darsoprajitno 2002, sumber daya wisata adalah ketersediaan objek dan daya tarik wisata baik wisata binaan, lingkungan alam yang masih
murni alami, maupun yang sudah terpengaruh oleh budidaya manusia yang bersifat tetap atau temporal di suatu kawasan tertentu. Selanjutnya Avenzora
2008, menyatakan sumber daya wisata recreation resources adalah suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen-elemen
ruang tertentu yang dapat : 1 menarik minat orang untuk berekreasi, 2 menampung kegiatan rekreasi, dan 3 memberikan kepuasan orang berekreasi.
Supply atau penawaran adalah daftar yang menunjukkan jumlah dari suatu produk yang akan membuat ketersediaan untuk pembelian bermacam level
harga. Sedangkan tourism supply adalah fungsi dari suatu kawasan alami dan karakteristik sosial ekonomi yang dengan sebaik mungkin dapat mendukung
atraksi dan objek yang ada dari suatu kawasan budaya dan atau sumberdaya alam dimana bentuk atraksi yang ditampilkan cocok dengan komponen wisata
Jafari, 2000. Dalam tourism supply, perlu dipahami pengertian tentang : 1 apa dan berapa yang dapat diberikan, 2 kapan dapat diberikan,dan 3 kepada
siapa dapat diberikan Avenzora, 2008. Selain sumberdaya fisik dan alami maka sumberdaya lain seperti aspek
budaya maupun sejarah, menjadi salah satu atraksi yang dapat mendukung pengembangan kawasan wisata. Hal ini didukung oleh keterkaitan etnik yang
tinggi yang dimiliki oleh suatu kawasan. Namun demikian walaupun mempunyai potensi untuk dikembangkan tapi bila tanpa dukungan sarana prasarana
tranportasi, atraksi yang menarik, maupun pelayanan yang baik serta informasi dan promosi, maka akan kurang dikenal. Oleh karena itu sumber daya wisata
dapat dikembangkan menjadi suatu pariwisata yang marketable jika memenuhi persyaratan sebagaimana gambar di bawah ini.
Sumber : Gunn, 1994
Gambar 5.. Komponen fungsi dari suplai Perencanaan dan pengembangan suatu kawasan wisata harus
memperhatikan semua sumberdaya alam dan budaya, serta lingkungan agar tidak terjadi degradasi. Pengembangan kawasan wisata harus selalu melindungi
sumber daya yang ada karena penting sekali bagi keberhasilan wisata, selain itu juga harus menonjolkan kualitas asli atau lokal dari suatu tempat Gunn, 1994.
Salah satu sumber daya wisata adalah budaya kehidupan masyarakat. Pemahaman terhadap budaya suatu masyarakat tidak hanya dapat membantu
melestarikan kelestarian budaya itu sendiri, namun juga dapat menjadi salah satu atraksi menarik bagi wisatawan yang menginginkan pengalaman untuk
merasakan budaya yang berbeda dengan budaya daerah asal mereka.
2.3.2. Aspek Sosial Budaya dalam Wisata
Aspek sosial budaya adalah suatu kondisi sosial budaya masyarakat yang ada dan berpengaruh dalam lingkungan hidupnya. Menurut
Koentjaraningrat 1986, budaya sebagai bagian kompleks yang menyangkut pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral. hukum, adat istiadat dan
Atraksi
Servis Transportasi
Informasi Promosi
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan dari manusia sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya Koentjaraningrat 1986,
menyatakan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini
disebut sebagai budaya fisik dan tidak memerlukan banyak penjelasan, maka sifatnya paling konkret.
Sementara itu Koentjaraningrat 1986, menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan bersifat universal cultural universal yang terdiri dari tujuh unsur
yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial. Sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian.
Dalam aspek sosial budaya berhubungan erat dengan lanskap budayanya cultural landscape yaitu suatu model atau bentuk lanskap binaan
yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat
tersebut. Lanskap ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dan
ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan
kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan,
adat istiadat, kesenian dan struktur lainnya Nurisjah, 2001. Pola-pola budaya yang perlu diketahui termasuk struktur masyarakat, sistem nilai, kebiasaan, gaya
hidup dan perilaku yang akan disesuaikan dengan pengembangan wisata dan pemakaian tenaga kerja setempat Inskeep ,1991.
Menurut Inskeep 1991, sosial budaya dalam wisata adalah: 1. Pengembangan wisata yang dapat memikat tanpa menimbulkan
kerusakan pada kehidupan sosial budaya dan aktifitas masyarakat, 2. Tingkatan wisata yang dapat membantu memelihara monumen
budaya, seni, sistem kepercayaan, pakaian dan tradisi tanpa efek merusak.
Perlu diketahui bahwa mau tidak mau pasti akan terjadi dampak akibat adanya wisata. Dampak sosial budaya yang ditimbulkan dengan adanya wisata
adalah terjadinya interaksi antara wisatawan yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan penduduk lokal sehingga terjadi saling
mempengaruhi antara penduduk lokal dengan wisatawan. Dampak ini dapat memberi pengaruh positif seperti semakin meluasnya cakrawala pandangan
penduduk lokal, saling pengertian dan saling menghargai antara wisatawan dan penduduk lokal. Di lain pihak juga memberi dampak negatif seperti adanya
komersialisasi yang berlebihan yang dapat menyebabkan merosotnya mutu kesenian, meningkatnya prostitusi dan kriminalitas Soemarwoto, 1996.
Pertimbangan perencanaan yang dapat meminimalisir dampak negatif dan memperkuat dampak positif, sangat perlu dilakukan.
2.3.3. Aspek Masyarakat dalam Wisata
Menurut Suwantoro 2004, dikatakan bahwa pembangunan dan pengembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat dan
sekitarnya secara langsung. Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan
pariwisata ke arah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat tersebut dapat berupa keikutsertaaan sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial
budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya.
Keikutsertaan ekonomi adalah keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian baik terkait langsung dalam wisata maupun yang tidak terkait secara langsung
dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian kawasan wisata, sedangkan perekonomian non wisata merupakan kegiatan
pendukung perekonomian di kawasan wisata. Dalam suatu kawasan budaya yang dilindungi, perlu adanya kerjasama
antara 3 mitra yang saling menguntungkan untuk bersama-sama melindungi dan menjaga agar lingkungannya tetap terus berkelanjutan, yaitu komunitas,
pengunjung, dan situs itu sendiri. Komunitas ini terdiri dari masyarakat lokal, pemerintah daerah, LSM, forum perwakilan masyarakat, maupun pengusaha
sebagai investor. Komunitas yang saling berkoordinasi menyamakan misi dan visi dalam membangun dan melindungi kawasannya akan mendororng
keberlanjutan lingkungannya melalui apresiasi dan kebanggaan atas
keistimewaan budaya yang mereka miliki. Ketika sebuah komunitas menunjukkan rasa bangga dan wibawanya atas kawasan budaya yang dilindungi
dan dijaga dengan hati-hati ini, maka hal ini akan menarik para tamu atau pengunjung yang juga menunjukkan rasa penghargaan atas kekagumannya. Jika
lingkaran ini sudah terbentuk, maka akan lebih mudah memelihara kawasan budaya yang dilindungi tersebut dan menjaganya agar tetap langgeng hingga
generasi berikutnya. Memahami preferensi dan persepsi komunitas dan pengunjung merupakan hal yang sangat penting dalam merencanakan suatu
kawasan wisata budaya.
2.3.4. Apresiasi Estetika-Visual Lingkungan dalam Wisata
Apresiasi terhadap estetika lingkungan perkotaan dapat berupa apresiasi visual dan kinestetik. Apresiasi visual terhadap lingkungan perkotaan merupakan
hasil dari persepsi dan kognisi. Sedangkan pengalaman kinestetik merupakan apresiasi terhadap lingkungan yang mengikursertakan kepekaan gerakan seluruh
anggota tubuh Carmona et al. 2003. Nasar 1998, mengatakan ada lima atribut untuk mengatakan bahwa
suatu lingkungan itu disukai. Kelima atribut tersebut adalah: 1 naturalness lingkungan yang natural atau unsur alamiahnya lebih dominan dibanding elemen
terbangun; 2 upkeepcivilities lingkungan yang terlihat terawat dan dipelihara ; 3 openness and defined space perpaduan antara ruang terbuka dengan
panorama dan vista dari elemen2 yang menarik; 4 historical significancecontent lingkungan yang membentuk ingatanmemori yang
dharapkan; dan 5 order dalam arti keteraturan, koheren tepat , kongruen sesuai, legible mudah dipahami, dan ada kejelasan clarity. Untuk ruang
terbuka yang berupa jalan atau street, Carmona et al. 2003, mengatakan bahwa terdapat pertimbangan untuk menilai kualitas visual salah satunya adalah
architectural rhythm. Dimensi visual lainnya adalah pengalaman kinestetik kinaesthetic
experience. Cullen 1961 dalam Carmona et al. 2003 mengatakan tentang ‘serial vision” dimana pengalaman merupakan serangkaian penyingkapan
banyak hal disertai dengan adanya daya tarik karena unsur kontras seperti misalnya juxtaposition dalam bidang arsitektur. Bosselmann 1998 dalam
Carmona et al. 2003 mengatakan bahwa seseorang mengukur langkahnya dengan “jarak ritmik” yang berkaitan dengan pengalaman visual dan spasial.
Lebih lanjut Bosselmann mengatakan bahwa seseorang yang mengambil jarak tempuh yang sama di lingkungan yang berbeda, akan memberikan persepsi
terhadap waktu dan pengalaman yang berbeda-beda. Perjalanan di lingkungan yang tidak menarik akan memberi persepsi terhadap waktu yang terasa lebih
lama dari kenyataan waktu yang sebenarnya.
2.4. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya