3. Analisis Kualitas Estetika-Visual Lingkungan

secara menarik, maka nilai kelayakannya menjadi sangat rendah. Perlu adanya usaha dari pemerintah dan stakeholder untuk mengangkat citra sungai Kabanaran ini agar dapat lebih banyak memberi informasi sejarah dan budaya kawasan yang sangat berguna bagi para pengunjung dan masyarakat. Hal ini dapat diatasi dengan merencana ulang kawasan Situs Kabanaran agar lebih menarik dan layak untuk dijadikan obyek wisata sejarah di kawasan Kampung Laweyan ini. Kawasan yang tergolong berpotensi sedang adalah Kampung Setono, Kramat, Lor Pasar, dan Klaseman. Kampung Setono sebenarnya justru memiliki beberapa obyek dan atraksi wisata yang sangat potensial seperti makam kuno dan Mesjid Laweyan. Hanya saja, karena letak obyek wisata ini jauh dari jalan raya dan jalan besar, serta memiliki fasilitas wisata yang minim, maka penilaian terhadap kawasan ini menjadi lebih rendah. Sebenarnya akses menuju Mesjid Laweyan, yang merupakan obyek wisata bersejarah yang sangat potensial, sangatlah mudah karena dapat dicapai dengan kendaraan roda empat. Hanya saja, lahan parkir yang sangat terbataslah yang menjadi salah satu kendala. Tata letak fasilitas yang tepat dan mendukung akan sangat membantu meningkatkan potensi kawasan ini. Sedangkan Kampung Klaseman, walaupun memiliki obyek wisata yang sedikit, namun akses menuju obyek ini tergolong mudah karena letaknya dekat dengan jalan raya. Untuk kawasan Lor Pasar dan Kramat, diuntungkan oleh letak yang dekat dengan jalan raya, dan obyek wisata yang memiliki potensi sedang. Keempat kawasan ini dapat ditingkatkan potensinya menjadi sangat potensial dengan menambah fasilitas wisata yang memuaskan pengunjung, dan pembenahan jalan atau gang agar lebih nyaman dilalui.

5.1. 3. Analisis Kualitas Estetika-Visual Lingkungan

Apresiasi terhadap estetika lingkungan perkotaan dapat berupa apresiasi visual dan kinestetik. Apresiasi visual terhadap lingkungan perkotaan merupakan hasil dari persepsi dan kognisi. Sedangkan pengalaman kinestetik merupakan apresiasi terhadap lingkungan yang mengikursertakan kepekaan gerakan seluruh anggota tubuh Carmona, et al 2003. Nasar 1998 mengatakan ada beberapa atribut untuk mengatakan bahwa suatu lingkungan itu disukai antara lain 1 upkeepcivilities lingkungan yang terlihat terawat dan dipelihara ; 2 openness and defined space perpaduan antara ruang terbuka dengan panorama dan vista dari elemen2 yang menarik; 3 historical significancecontent lingkungan yang membentuk ingatanmemori yang dharapkan; dan 4 order keteraturan, koheren tepat , kongruen sesuai, legible mudah dipahami, dan ada kejelasan clarity. Smith 1980 mengatakan bahwa kapasitas intuisi kita terhadap apresiasi estetika memiliki beberapa komponen , salah satunya adalah apresiasi ritme. Keindahan visual bisa diperoleh dari elemen-elemen yang memiliki ritme yang bervariasi mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks Smith, 1980. Ritme diperoleh dari pengelompokkan elemen-elemen untuk menciptakan adanya penekanan, interval, akses, atau pengarahan. Untuk menghindari adanya kesan monoton, perlu adanya kekontrasan dan variasi dalam membentuk ritme yang menarik. Ritme arsitektural merupakan salah satu pertimbangan dalam menyumbang keragaman bagi kualitas estetika-visual Carmona, et al. 2006. Penilaian kualitas estetika-visual dilakukan dengan melakukan penilaian berdasarkan 5 parameter sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasar 1998 dan Carmona, et.al 2006 sebagaimana yang telah dijabarkan di Tabel 26. Berdasarkan hasil penilaian yang ditunjukkan Tabel 37 memperlihatkan kondisi kawasan wisata budaya berdasarkan kualitas estetika-visual lingkungan. Ditunjukkan bahwa kawasan yang memiliki potensi Tinggi ada 4 kawasan sekitar 50 yaitu Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, Setono, dan Lor Pasar Gambar 21. Kawasan ini memiliki nilai tinggi karena lingkungannya masih terpelihara dengan baik, memiliki ruang terbuka yang menciptakan vista yang cukup mengesankan dan lingkungannya sangat representatif terhadap kehidupan sosial budaya kampung batik. Di daerah Setono, kawasannya memiliki keteraturan yang sangat baik. Lingkungannya mencerminkan ciri khas kehidupan sosial budaya kampung batik. Berada di daerah Setono membuat kita benar-benar merasa berada di kawasan kampung batik. Ritme arsitektural di kawasan ini sangat menarik. Banyaknya rumah-rumah kuno dengan ciri khas arsitektur indische, tembok-tembok tinggi yang menjadi ciri khas Laweyan, banyaknya pabrik-pabrik batik, keadaan rumah batik maupun rumah penduduk yang masih terawat dengan baik, menyebabkan penilaian kualitas visual untuk kawasan ini tinggi. Hal ini juga terjadi di kawasan Sayangan kulon, sayangan wetan. Kehadiran Tugu Laweyan di kawasan Sayangan Wetan cukup menjadikannya sebagai landmark yang memudahkan pengunjung untuk mengetahui arah perjalanan yang mereka tuju. Hanya saja disain tugu laweyan ini dirasa kurang menarik dan kurang interpretatif. Disain ulang tugu ini sangat diperlukan untuk meningkatkan dan membantu interpretasi kawasan. Deretan showroom batik beserta pabriknya, deretan tembok tinggi yang dengan jalan sempit yang menjadi cirri khas laweyan di Kawasan Setono dan sayangan wetan ini turut menyumbangkan nilai tinggi untuk kualitas visual kawasan ini. Terdapat 3 kawasan 38 dengan potensi sedang, yaitu Klaseman, Kidul Pasar, dan Kramat. Dari segi keteraturan, keterbukaan dan perawatan, keduanya memiliki nilai rendah karena didominasi ruang terbuka berupa kuburan maupun lahan kosong yang kurang terawat. Kedua kawasan ini berbatasan langsung dengan sungai Kabanaran sehingga memiliki potensi keterbukaan yang tinggi , namun membutuhkan perencanaan ulang yang matang karena keadaan sungai kabanaran yang tidak terawat dengan baik. Namun kelebihan lain dari kedua kawasan ini dari segi visual adalah adanya museum Samanhudi dan Situs Kabanaran. Kedua obyek ini memberi nilai tinggi untuk visual kawasan karena sangat mencerminkan keadaan sosial budaya kawasan. Situs Kabanaran merupakan situs bersejarah yang mengandung sejarah asal usul laweyan. Sedangkan museum Samanhudi menyimpan banyak peninggalan dan cerita tentang tokoh terkenal nasional, KH Samanhudi. Perlu penataan dan perencanaan ulang kedua obyek wisata ini agar dapat meningkatkan daya tariknya. Sedangkan kawasan yang berpotensi rendah hanya ada 1 kawasan 13 yaitu Kwanggan. Pemandangan di kawasan Kwanggan ini didominasi rumah-rumah penduduk sederhana, bengkel, atau fungsi lainnya yang kurang representatif terhadap citra kawasan kampung batik. Kawasan Kwanggan tidak memiliki rumah usaha yang ada kaitannya dengan batik. Lingkungannya juga kurang terawat dan pemandangan yang diberikan juga tidak menarik. Namun secara garis besar hasil penilaian kualitas visual kawasan ini menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan memang potensial secara visual untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya. Kawasan kampung Batik Laweyan ini memang didominasi oleh bangunan yang sudah padat dan sangat mendominasi kawasan. Namun, karena sebagian besar bangunan ini adalah bangunan kuno yang memiliki arsitektur yang menarik, dan dilapisi tembok- tembok tinggi, maka secara visual memberi nilai tinggi dan mencerminkan keadaan sosial budaya kawasan. Hanya saja, arsitektur kuno dan antik ini seringkali banyak yang tidak dibuka untuk umum, dan sangat tertutup oleh tembok tinggi, padahal detil tata ruang di dalamnya sangatlah menarik. Perlu ada campur tangan pemerintah dan stakeholder yang dapat mengangkat obyek- obyek ini agar lebih dapat dinikmati dari luar dan menyumbangkan pemandangan visual yang lebih menarik bagi kawasan. Hal ini sesuai dengan prinsip dimensi visual yaitu pengalaman kinestetik kinaesthetic experience sebagaimana dikemukakan oleh Cullen 1961 dalam Carmona 2003. Ia mengatakan tentang ‘serial vision” dimana pengalaman merupakan serangkaian penyingkapan banyak hal disertai dengan adanya daya tarik karena unsur kontras seperti halnya juxtaposition dalam bidang arsitektur. Cullen mengatakan bahwa dalam lingkungan perkotaan seharusnya didisain dari sudut pandang orang yang bergerak, dimana mereka banyak menemukan pengalaman menarik dari pergerakan atau perjalanan mereka. Prinsip ini dapat diterapkan dalam perencanaan obyek wisata di Kampung batik Laweyan ini, dengan membuka rumah-rumah kuno yang tersembunyi di balik tembok tinggi. Pengunjung dapat berjalan menikmati obyek-obyek wisata dengan melakukan rute perjalanan dengan tema tertentu jalur interpretatif dan berhenti di obyek-obyek wisata tertentu seperti rumah-rumah kuno yang tersembunyi di balik tembok yang tinggi. Unsur kontras ini dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Bosselmann 1998 dalam Carmona 2003, mengatakan bahwa seseorang mengukur langkahnya dengan “jarak ritmik” yang berkaitan dengan pengalaman visual dan spasial. Bila seseorang yang mengambil jarak tempuh yang sama di lingkungan yang berbeda, akan memberikan persepsi terhadap waktu dan pengalaman yang berbeda-beda. Perjalanan di lingkungan yang tidak menarik akan memberi persepsi terhadap waktu yang terasa lebih lama dari kenyataan waktu yang sebenarnya. Prinsip Bosselmann ini dapat memberi inspirasi dalam meningkatkan daya tarik obyek wisata di kampung Laweyan lewat kualitas estetika-visual sehingga menimbulkan rasa betah bagi para pengunjung untuk mengeksplor seluruh kawasan di Kampung Batik Laweyan ini. Tabel 37. Kualitas estetika-visual lingkungan masing-masing kawasan NO Lokasi pengamatan Parameter Visual N K I II III IV V 1 Kwanggan 3 3 3 3 3 15 R 2 Sayangan Kulon 20 51 30 66 72 239 T 3 Kramat 4 24 16 29 21 94 S 4 Sayangan Wetan 31 50 27 72 65 245 T 5 Setono 34 39 21 67 64 225 T 6 Lor Pasar 10 39 18 57 44 166 T 7 Kidul Pasar 5 15 22 33 20 95 S 8 Klaseman 22 36 23 43 41 165 S Sumber: Olahan Data Lapang 2010 Keterangan : I = Architectural rhythm, V = orderketeraturan I I = Perawatan lingkungan, IV = Historical significancecontent III = opennessketerbukaan, K = klasifikasi T= Tinggi, S= Sedang, R= Rendah, Gambar 21. Peta kondisi kualitas estetika-visual lingkungan Gambar 22 di bawah ini menunjukkan kawasan yang memiliki kualitas estetika-visual yang rendah di Kwanggan, sebagian Kramat , dan Kidul pasar. Gambar 22. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan rendah N = nilai; nilai maksimal = 315; nilai minimal = 15 telah disesuaikan dengan skala pembobotan Gambar 23 di bawah ini menunjukkan kawasan yang memiliki kualitas estetika-visual yang tinggi. Kawasan yang dimaksud adalah Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, Setono, dan Lor Pasar. Gambar 23. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan tinggi

5.1.4. Zona Wisata Budaya Potensial

Setelah melakukan analisis kualitas budaya kawasan berdasarkan obyek dan atraksi wisata eksisting, kelayakan kawasan wisata dan analisis kualitas estetika-visual lingkungan, maka diperoleh peta kualitas budaya kawasan, peta kelayakan kawasan dan peta potensi kualitas estetika-visual lingkungan. Lalu dilakukan overlay terhadap ketiga peta potensi tersebut untuk memperoleh zona wisata budaya potensial. Overlay dilakukan dengan pembobotan masing-masing 40 untuk faktor kualitas budaya kawasan, 35 untuk faktor kelayakan kawasan, dan 25 untuk faktor kualitas estetika-visual lingkungan. Tabel 38 menunjukkan luasan dan prosentase wilayah yang memiliki potensi wisata budaya sebagai hasil overlay potensi kualitas budaya kawasan, kelayakan kawasan dan kualitas estetika-visual lingkungan. Tabel 38. Zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan No Lokasi Pengamatan Kualitas budaya kawasan Kelayakan kawasan wisata Bobot 35 Kualitas estetika- visual lingkungan Bobot 25 Potensi wisata budaya Luasan Bobot 45 Ha 1 Kwanggan 1 1 1 R 1.88 7.6 2 Sayangan Kulon 2 3 3 T 3.00 12.1 3 Sayangan Wetan 2 3 3 T 3.43 13.8 4 Lor Pasar 1 2 3 S 4.11 16.7 5 Kramat 1 2 2 S 2.01 8.1 6 Setono 3 2 3 T 5.05 20.3 7 Kidul Pasar 1 1 2 R 2.32 9.3 8 Klaseman 1 2 2 S 3.00 12.1 Total 24.83 100 Sumber: Hasil olahan data 2010 Gambar 24 menunjukkan potensi wisata masing-masing kawasan. Terdapat 3 kawasan sekitar 38 yang memiliki potensi wisata budaya sangat potensial yaitu Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, dan Setono. Ketiga kawasan ini memiliki persyaratan potensi wisata tertinggi. Terdapat tiga kawasan dengan potensi sedang sekitar 38 yaitu Kramat, Lor Pasar, dan Klaseman. Sedangkan kawasan dengan potensi rendah hanya 24 2 kawasan yaitu Kawasan Kwanggan dan Kidul Pasar. Kedua kawasan ini memiki potensi wisata terendah karena kualitas estetika-visual lingkungan yang rendah dan kelayakan kawasan yang tidak potensial. Gambar 24. Peta zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan

5.2. Analisis Tingkat Akseptibilitas Masyarakat Lokal