Analisis Yuridis Putusan Pailit Terhadap PT. Telkomsel Tbk.

(1)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PAILIT TERHADAP PT. TELKOMSEL TBK.

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIM: 090200251 AGNES.W.SAMOSIR

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PAILIT TERHADAP PT. TELKOMSEL TBK.

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIM: 090200251 AGNES.W.SAMOSIR

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP. 197501122005012002 Windha, S.H.,M.Hum.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ramli Siregar,SH.M.Hum Windha,SH.M.Hum

NIP.195303121983031002 NIP.197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PAILIT TERHADAP PT.TELKOMSEL Tbk.

*) Agnes.W.Samosir **) Ramli Siregar ***) Windha

Pada saat ini permasalah mengenai kepailitan, terutama menyangkut pailitnya suatu perusahaan khususnya dalam hal ini adalah suatu perusahaan BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) banyak mendapat sorotan dan perhatian publik dari para ahli hukum, lembaga swadaya masyarakat maupun dari aparat penegak hukum. Penilaian publik apabila terdapat suatu perusahaan BUMN yang besar yang dinyatakan pailit menimbulkan suatu pertanyaan mengapa dapat

terjadi suatu putusan pailit tersebut.

Permasalahan dalam penulisan ini adalah tentang suatu putusan pailit apabila ditinjau dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara pailit, serta mengenai penerapan ketentuan UU Kepailitan dan PKPU dalam kasus putusan pailitnya PT.Telkomsel Tbk.

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini yaitu dengan penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research). Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder. Alat pengumpulan data yaitu buku-buku, artikel, majalah dan internet, yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini.

Adapun kesimpulan dari penulisan ini adalah bahwa adanya suatu kekeliruan dalam hal pengertian putusan pailit berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU apabila tidak dipahami secara lebih jelas, hingga bisa saja suatu putusan pailit terjadi bukan karena adanya utang tapi karena adanya suatu wanprestasi, kewenangan Pengadilan Niaga dalam suatu perkara terutama dalam hal putusan pailit kadang kala dilakukan tanpa adanya suatu kemandirian, atau tanpa memandang kedua pihak secara seimbang, hingga terkadang menimbulkan suatu ketidakpastian hukum.

Kata Kunci : Putusan Pailit, PT.Telkomsel.Tbk

*) Mahasiswa Fakultas Hukum **) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai penulis dalam setiap proses kehidupan terutama yang telah menyertai dalam penyelesaian skripsi ini. Sebuah kebanggan yang tersendiri di saat penulis dapat meyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis Yuridis Putusan Pailit Terhadap PT.Telkomsel Tbk.”

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum dapat dikatakan sempurn, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan dan kritikan dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi mahasiswa pada umumnya dan secara khusus kepada mahasiswa Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi untuk gelar sarjana hukum

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr.Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Prof. Dr.Budiman Ginting, S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.


(5)

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., DFN selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Ibu Windha, S.H., M.Hum selaku ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dan sekaligus selaku Dosen Pembimbing II yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama skripsi ini.

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara Medan dan sekaligus selaku Dosen Pembimbing I yang dengan penuh kesbaran membimbing penulis selama skripsi ini.

8. Untuk Mama, Papa, Vanni, dan Novi,keluarga yang sangat Agnes sayangi dan cintai yang selalu memberi semangat, dan selalu membantu disaat sedang membutuhkan bantuan dari kalian semua.

9. Untuk Daniel.L.Tobing yang Agnes sayank dan cintai yang juga selalu memberi semangat, dan tidak pernah letih untuk selalu memberi begitu banyak nasihat, dan bantuannya selama proses penulisan skripsi ini.

10.Buat Roma Victoria yang selama ini juga memberi nasihat dan berbagi pengetahuan selama proses penulisan skripsi ini, dan untuk perjuangan kita sama-sama selama studi di Fakultas Hukum USU.

11.Buat kakak senior dan teman-teman yang lain, terima kasih banyak untuk bantuannya selama ini.


(6)

Akhir kata penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, 23 April 2013

Penulis


(7)

DAFTAR ISI ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN PAPILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBYARAN UTANG A. Pengertian Pailit ... 20

B. Syarat Pailit ... 25

C. Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit ... 34


(8)

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MEMERIKSA DAN MENGDILI PERKARA KEPAILITAN MENURUT UU KEPAILITAN DAN PKPU.

A. Pembentukan Pengadilan Niaga ... 51 B. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Memeriksa dan Mengadili

Perkara Kepailitan ... 54 C. Hakim dalam Pengadilan Niaga ... 61

BAB IV PENERAPAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM PUTUSAN PAILIT PT.TELKOMSEL TBK

A. Posisi Kasus ... 66 B. Ketentuan Utang dalam Pertimbangan Hakim ... 69 C. Fakta atau Keadaan yang Terbukti Secara Sederhana ... 74 D. Kepastian Hukum Sebagai Implikasi Putusan Pailit

PT.TELKOMSEL Tbk ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 84 B. Saran ... 85


(9)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PAILIT TERHADAP PT.TELKOMSEL Tbk.

*) Agnes.W.Samosir **) Ramli Siregar ***) Windha

Pada saat ini permasalah mengenai kepailitan, terutama menyangkut pailitnya suatu perusahaan khususnya dalam hal ini adalah suatu perusahaan BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) banyak mendapat sorotan dan perhatian publik dari para ahli hukum, lembaga swadaya masyarakat maupun dari aparat penegak hukum. Penilaian publik apabila terdapat suatu perusahaan BUMN yang besar yang dinyatakan pailit menimbulkan suatu pertanyaan mengapa dapat

terjadi suatu putusan pailit tersebut.

Permasalahan dalam penulisan ini adalah tentang suatu putusan pailit apabila ditinjau dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara pailit, serta mengenai penerapan ketentuan UU Kepailitan dan PKPU dalam kasus putusan pailitnya PT.Telkomsel Tbk.

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini yaitu dengan penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research). Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder. Alat pengumpulan data yaitu buku-buku, artikel, majalah dan internet, yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini.

Adapun kesimpulan dari penulisan ini adalah bahwa adanya suatu kekeliruan dalam hal pengertian putusan pailit berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU apabila tidak dipahami secara lebih jelas, hingga bisa saja suatu putusan pailit terjadi bukan karena adanya utang tapi karena adanya suatu wanprestasi, kewenangan Pengadilan Niaga dalam suatu perkara terutama dalam hal putusan pailit kadang kala dilakukan tanpa adanya suatu kemandirian, atau tanpa memandang kedua pihak secara seimbang, hingga terkadang menimbulkan suatu ketidakpastian hukum.

Kata Kunci : Putusan Pailit, PT.Telkomsel.Tbk

*) Mahasiswa Fakultas Hukum **) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(10)

BAB I

PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Telekomunikasi berasal dari dua arti kata yang berbeda, yaitu “tele” dan “komunikasi”. Tele yang berarti jauh, sedangkan komunikasi yang berarti proses penyampaian sebuah pesan atau informasi dari satu individu ke individu lain atau dari satu tempat ke tempat lain. Dengn demikian, telekomunikasi dapat diartikan sebagai proses penyampaian sebuah pesan atau informasi dari satu individu ke individu lain yang dapat dilakukan dalam jarak-jarak jauh.1

Pada abad ke-2 sesudah Masaehi bangsa Romawi menggunakan asap sebagai media telekomunikasi. Mereka membangun jaringan telekomunikasi yang terdiri dari ratusan menara hingga mencapai 4500 kilometer. Setiap menara bisa mengeluarkan asap yang dapat dilihat oleh menara lain yang berada di dekatnya.

Pada abad ke-5 sebelum Masehi, kerajaan Yunani kuno dan Romawi menggunakan api untuk berkomunikasi dari gunung ke gunung atau menara ke menara. Telekomunikasi dilakukan oleh prajurit khusus dengan saling memahami kode berupa jumlah nyala api. Telekomunikasi ini digunakan saat perang dan hanya efektif pada malam hari.

1

Perkembangan Infrastruktur Telekomunikasi, http:/id.scribd.com/doc/3322937/(diakses tanggal 14 April 2013).


(11)

Sistem telekomunikasi ini digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan militer dalam menjalankan pemerintahan atas daerah jajahan yang semakin luas. Perkembangan telekomunikasi di Indonesia berawal dari tahun 1884, pemerintah kolonial Belanda mendirikan perusahaan swasta yang menyediakan jasa pos domestik dan jasa telegraminternasional. Jasa telepon tersedia pertama kalinya di Indonesia pada tahun 1882. Dan sampai dengan tahun 1906, disediakan oleh perusahaan swasta dengan lisensi pemerintah selama 25 tahun.

Tahun 1906, pemerintah kolonial Belanda membentuk departemen yang mengendalikan semua jasa pos dan telekomunikasi di Indonesia. Tahun 1961, beberapa dari jasa ini dipindahkan ke perusahaan milik Negara. Tahun 1965, pemerintah memisahkan jasa pos dan telekomunikasi ke dua perusahaan Negara, yaitu: PN Pos dan Giro, dan PN Telekomunikasi. Tahun 1974, PN Telekomunikasi dipecah menjadi dua yaitu: Perusahaan Umum Telekomunikasi dan PT Inti.2

2

Ibid.

Pada tahun 1961, jasa pos dan telekomunikasi tersebut statusnya berubah menjadi perusahaan pemerintah pertama dengan tujuan menjaga jasa pos dan telekomunikasi di wilayah Sumatera, dimana mulai terbentuk pada tahun 1970 secara nasional. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 dan No.30 Tahun 1965, pemerintah memisahkan jasa pos dengan telekomunikasi pada tahun 1965


(12)

ke dalam 2 (dua) perusahaan milik Negara, yaitu Perusahaan Negara Pos dan Giro, dan Perusahaan Negara Telekomunikasi.

Perluasan gerak Perusahaan Negara Telekomunikasi ditambah dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintahan Nomor 44 tahun 1969 dan Nomor 45 Tahun 1969 tentang bentuk-bentuk Perusahaan Negara yang mengubah Perusahaan Negara Telekomunikasi menjadi bentuk Perusahaan Umum (Perum). Perubahan status ini ditetapkan pada tanggal 28 april 1970 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintahan (Perumtel) yang disempurnakan lagi dengan Peraturan Pemerintahan Nomor 21 Tahun 1984.

Pada akhirnya tahun 1980, pemerintah mengambil kebijakan dengan membeli seluruh saham PT. Indosat, sebuah perusahaan swasta yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing yang kemudian diubah statusnya menjadi suatu Badan Hukum Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero. Penyertaan modal Negara Republik Indonesia dalam PT. Indosat tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1980.

Selanjutnya untuk lebih meningkatkan pelayanan jasa Telekomunikasi untuk umum, maka dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1980 diadakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1974 yakni dengan menetapkan Perumtel sebagai badan usaha yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan telekomunikasi dalam negeri dan PT. Indosat sebagai badan usaha yang diberi wewenang menyelenggarakan telekomunikasi luar negeri.3

3


(13)

Pada tanggal 24 September 1991, pemerintah mengubah Perumtel yang semula merupakan perusahaan umum menjadi perusahaan Negara yaitu Perusahaan Perseorangan (Persero) PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Disingkat Telkom yang didirikan berdasarkan Akte Notaris Imas Fatimah, SH Nomor 128 dengan tujuan utama perusahaan yaitu memberikan layanan untuk masyarakat umum.

Perubahan status ini berdasarkan pemerintah Nomor 25 Tahun 1991 Penawaran umum perdana saham Telkom (Initial Public Pffering/IPO) dilakukan pada tanggal 14 November 1995, sejak saat itu saham Telkom tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek Surabaya(BES), New York Stock Exchange (NYSE) dan London Stock Exchange (LSE), saham Telkom juga diperdagangkan di Tokyo Stock Exchange tanpa pencatatan Public Offering Without Listing (POWL).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999, yang mengatur tentang jasa layanan telekomunikasi, dimana terjadi perubahan pasar, dari semula pasar monopoli (dahulu Telkom) kini menjadi non monopoli/pasar bebas (pasar persaingan sempurna). Hal tersebut membuat Telkom sebagai Incumbent (Operator dominan/operator penyelenggaraan jaringan telekomunikasi pertama kali) tidak lagi menguasai pasar sepenuhnya, melainkan harus mampu bersaing dengan operator penyelenggaraan jasa telekomunikasi lainnya di Indonesia, dan mempersiapkan diri menghadapi operator asing yang akan masuk. Selain adanya perubahan sifat pasar, setiap penyelenggaraan jaringan telekomunikasi juga


(14)

dituntut untuk dapat memberikan layanan yang terbaik bagi konsumen jasa telekomunikasi.

Pada tahun 1974, PN Telekomunikasi dibagi menjadi dua perusahaan milik Negara, yaitu Perusahaan Umum telekomunikasi (Perumtel) dan yang bergerak sebagai penyedia layanan telekomunikasi domestic dan internasional seta PT. Industri Telekomunikasi Indonesia (PT.IMTI) yang bergerak sebagai pembuat perangkat telekomunikasi. PAda tahun 1980, bisnis telekomunikasi internasional diambil alih oleh Pt. Indonesia Satellite Corporation (indosat) yang baru saja dibentuk saat itu.

Sebelum tahun 1995, operasi bisnis Telkom dibagi kedalam dua belas wilayah operasi, yang dikenal sebagai wilayah telekomunikasi atau witel. Setiap witel bertanggung jawab penuh atas seluruh aspek bisnis wilayah masing - masing, mulai dari penyedia layanan telepon hingga manajemen dan keamanan property.

Dalam perkembangannya, TELKOM merombak ke dua belas witel menjadi di visi-divisi, sebagai berikut : 4

4

Ibid.

1. Divisi Infrastruktur Telekomunikasi (INFRATEL)

Divisi yang menyelenggarakan jasa Telekomunikasi jarak jauh dalam negeri melalui pengoperasian jaringan transmisi jalur utama nasional.


(15)

Divisi yang melaksanakan riset dan pengembangan Telekomunikasi dan informasi untuk kepentingan internai PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., baik riset pengembangan produk bara, standarisasi perangkat, grand scenario technology dan uji kaji laboratorium.

3. Divisi Management Service Center (MSC)

Divisi yang bertanggung jawab atas pencapaian perusahaan jasa atelir bagi alat-alat produksi divisi-divisi dan penggunaan lain diluar 7 perusahaan serta jasa-jasa yang berkaitan dengan prioritas pemenuhan pelayanan kebutuhan internai perusahaan.

4. Divisi Telkom Learning Center (TLC)

Divisi yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi pegawai PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Untuk menunjang terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas, professional dan integritas.

5. Divisi Information System Center (ISC)

Divisi yang menyediakan system informasi, informasi costumer, billing, corporate database, interkoneksi billing, dan proses telepon selular. PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk merupakan penyelenggara bisnis T.I.M.E (Telecommunication, Information, Media, and Edutaiment) yang terbesar di Indonesia. Selama ini Telkom telah mengalami berbagai transformasi agar dapat mengikuti perkembangan zaman dan dapat diminati masyarakat. Transformasi terakhir sekaligus yang disebut dengan NEW TELKOM Indonesia adalah tranformasi dalam bisnis, transformasi infrastruktur, transformasi, system dan


(16)

model opera kepada pihak eksternal bersamaan dan transformasi sumber daya manusia.

Tahun 1980, bisnis telekomunikasi internasional dipindahkan dari Perumtel kelndosat. Tahun 1991, pemerintah merubah Perumtel dari "Perusahaan Umum" menjadi Tersero" yaitu PT TELKOM. Tahun 1992, berdiri PT Lintasarta. Tahun 1993, berdiri PTSatelindo yang merupakan joint venture dari beberapa perusahaan telekomunikasi yaitu:TELKOM, Indosat, PT Bimagraha Telekomindo, dan DeTeMobil. Pada tahun ini juga berdiri PT Ratelindo yang merupakan joint venture antara TELKOM dan PT BakrieElectronics. Tahun 1995 dan tahun berikutnya berdiri beberapa perusahaan telekomunikasi lainnya, yang di dalamnya PT TELKOM mempunyai bagian saham,yaitu: Telkomsel,Komselindo, Mobisel, Metrosel, Pasifik Satelit. Selain itu masih ada perusahaan telekomunikasi yang masih dalam tahap proposal, yang bergerak dalam bidang multimedia.

Setiap perusahaan yang melakukan suatu perjanjian kerjasama terkadang dapat terjadi suatu hal yang tidak terduga, seperti halnya suatu kepailitan. Tidak jarang suatu perusahaan, baik itu berupa suatu perusahaan yang besar atau kecil pasti dapat dipailitkan. Suatu kepailitan itu dapat terjadi apabila ada suatu perusahaan, dimana sebelumnya melakukan suatu perjanjian kerjasama dengan perusahaan yang lain, tetapi ternyata setelah berlangsung beberapa lama perjanjian tersebut, perusahaan yang dapat disebutkan sebagai pihak debitur tersebut terdapat suatu utang, dan debitur tersebut tidak dapat membayarkan utang


(17)

tersebut kepada pihak kreditur sebagaimana mestinya, dan utang tersebut telah dinyatakan jatuh tempo.

Secara tata bahasa dapat kita lihat bahwa kata kepailitan itu sebenarnya berasal dari kata istilah "pailit", yang biasa dijumpai dalam pembendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin dan Inggris. Kepailitan dapat pula kita artikan sebagai suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayarkan utangnya dan dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hai ini pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan niaga, karena debitur tersebut tidak dapat membayarkan utangnya.

Pengertian tentang kepailitan sendiri lebih jelas terdapat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 1 Angka l tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu adalah suatu sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

Perusahaan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan pastinya dapat memiliki suatu resiko yang besar. Salah satu resikonya tersebut dapat berpengaruh terhadap perusahaannya. Bisa saja perusahaan tersebut menjadi tutup dan dinyatakan bangkrut. Hingga para karyawan pun tidak jarang jadi terkena dampaknya juga akibat perusahaan tempatnya bekerja dinyatakan pailit.

Pada bulan Juni tahun 2012 yang lalu PT.Telkomsel Tbk. dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor putusan Nomor. 48/ PAILIT/ 2012/ PN.NIAGA/JKT.PST. Putusan pailit terhadap PT.Telkomsel yang


(18)

dilakukan oleh Pengadilan Niaga tersebut terlihat sangat tidak masuk akal, hingga ada upaya hukum yang dilakukan oleh pihak PT.Telkomsel Tbk. tersebut. Upaya hukum yang dilakukan oleh PT.Telkomsel Tbk. adalah dengan mengajukan kasasi kepada pihak Mahkamah Agung.

Upaya hukum kasasi tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan suatu kepastian hukum yang sesungguhnya. Dengan adanya upaya hukum yang dilakukan oleh PT.Telkomsel Tbk. tersebut, membuat putusan dari Pengadilan Niaga tidak diberlakukan lagi. Bahwa pada akhrinya adalah putusan pailit yang dilayangkan terhadap perusahaan BUMN tersebut dihapuskan, dan dinyatakan bebas.

Akibat adanya perbedaan putusan dari Pengadilan Niaga dengan Mahkamah Agung tersebut yang membuat penulis merasa tertarik untuk mencari tahu dan meneliti tentang masalah yang sebenamya terjadi. Hingga dapat diketahui apa yang menjadi perbedaan putusan antara Pengadilan Maga dengan Mahkamah Agung.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka penulis akan mengemukakan beberapa pokok permasalahan yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah putusan pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?


(19)

2. Bagaimanakah kewenangan Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan mengadili perkara kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ?

3. Bagaimanakah penerapan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Putusan Pailit PT.Telkomsel Tbk?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulis

Adanya suatu keinginan dari penulis, untuk mengemukakan masalah secarajuga berkaitan dengan tujuan dan manfaat penulisan. Adapun yang menjadi tujuandapat di uraikan sebagai berikut:

a. Untuk dapat mengetahui bagaimanakah pengertian, syarat ataupun prosedur dalam putusan pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

b. Untuk dapat mengetahui bagaimanakah kewenangan Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan mengadili perkara kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

c. Untuk dapat mengetahui dan memahami bagaimanakah penerapan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Putusan Pilit PT. Telkomsel Tbk.


(20)

2. Manfaat penulisan

Selain dari tujuan diatas, penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat antara lain adalah manfaat secara teoritis dan praktis yakni:

a. Secara teoritis

Maksudnya adalah bahwa pembahasan terhdap masalah ini akan akan memberikan pemahaman dan pandangan yang baru mengenai kasus-kasus kepailitan yang sering terjadi serta untuk dapat mengetahui bagaimanakah kewenangan dari suatu Pengadilan Niaga dalam menghadapi kasus kepailitan yang terjadi pada perusahan-perusahan besar. dan secara teoritis dapat juga memahami bagainakah sebenarnya pengertian dan pemahaman terhadap suatu putusan pailit. Agar tidak adanya kesalahpahaman tentang pengertian putusan pailit yang dilakukan oloeh suatu Pengadilan Niaga.

b. Secara praktis

Seperti yang dapat diketahui bahwa untuk sekarang ini banyak masalah- masalah kepailitan yang menimpa beberapa perusahaan terutama di kota-kota besar sehingga memerlukan penyelesaian yang segera agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih besar dan memberikan hasil yang optimal dan menguntungkan kedua belai pihak. Dengan adanya pembahasan dan tinjauan tentang kepailitan terhadap suatu perusahaan terutama adalah BUMN dapat membantu pengusaha-pengusaha ataupun masyarakat luas agar lebih dapat memahami tentang kepailitan tersebut.


(21)

Analisis yuridis putusan pailit terhadap PT. Telkomsel Tbk. Yang diangkat penulis sebagai judul skripsi ini telah diperiksa dan diteliti melalui penelurusan Kepustakaan Fakultas Hukum USU. Tema diatas adalah hasil pemikiran sendiri dibantu dengan referensi, buku-buku, dan pihak-pihak lain dan judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara sebelumnya.

Data yang dipakai guna melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi dari berbagai media, baik cetak maupun pengumpulan informasi melalui internet, sehingga data-data yang dipakai secara garis besar adalah data yang factual dan up to date. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Keputustakaan

Apabila kita membahas mengenai hukum kepailitan, maka tidak terlepas dari ketentuan peraturan perundang-undangan lain diluar dari peraturan mengenai kepailitan. Dari sejarahnya diketahui bahwa pada mulanya dalam hokum Belanda tidak dikenal perbedaan antara kooplieden ( pedagang ) dengan niet kooplieden ( bukan pedagang ) dalam kepailitan. Namun pada permulaan abad ke 19, yaitu ketika Negeri Belanda dijajah Prancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte berlakulah Code du Commerce ( sejak 1 januari 1814 s/d 30 September 1838 )

Pada masa Code du Commerce itu juga dikenal adanya perbedaan antara Kooplieden dengan niet kooplieden, dan Code du Commerce hanya berlaku bagi Kooplieden. Kemudian sesudah Belanda merdeka, Belanda membuat sendiri Wetboek van Koophandel ( WvK ) yang mulai berlaku pada 1 Oktober 1838.WvK


(22)

ini dibagi dalam 3 buku dan buku ke III nya adalah Van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden yang diatur dalam Pasal 764- Pasal 934, dan dibagi dalam 2 titel, yaitu :

1. Van Faillisement, dan 2. Van Surseance van Betaling5

Pemisah hukum kapailitan antara pedagang dan yang bukan pedagang di dalam sistem hokum Belanda membawa pengaruh terhadap hokum kepailitan di Indonesia. Di Indonesia, hokum kapailitan diatur dalam 2 Undang-Undang, yaitu

.

6

1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), buku ke tiga yang berjudul Van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden ( tentang peraturan ketidak mampuan pedagang ) yang diatur dalam Pasal 794 sampai Pasal 910WvK.

:

2. Reglement op de Rechtcvordering ( RV ), buku ke tiga Bab ke tujuh, berjudul Van de staat van kennelijk onvermogen ( tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu membayar bagi orang yang bukan pedagang ) yang diatur dalam Pasal 899 sampai dengan Pasal 915 RV.

Dalam mengajukan suatu putusan pailit ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, dimana tentang syarat pailit tersebut ada terdapat dalam Pasal 2 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yakni “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu

5

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Medan: USU Press, 2009, hal 6 6


(23)

Dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

Terjadinya kasus pailit atau kepailitan tidak jarang karena adanya suatu utang Yang ditimbulkan anatara kedua pihak yang melakukan suatu perjanjian kerjasama. Pengertian tentang utang dapat dilihat dalam pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU adalah suatu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.

Putusan pailitnya PT.Telkomsel Tbk. adalah merupakan putusan dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dimana putusan tersebut terjadi akibat adanya pengaduan dari pihak PT.Prima Jaya Informatika akibat adanya tindakan pelanggaran perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.Telkomsel Tbk hingga dapat timbul suatu utang dan adanya tindakan wanprestasi.

Seperti yang dapat diketahui bahwa PT.Prima Jaya Informatika melakukan perjanjian kerjasama dengan PT.Telkomsel Tbk. Dimana perjanjian kerjasama tersebut adalah untuk mendistribusikan Kartu Prima Voucher Isi Ulang. Perjanjian tersebut telah berlangsung beberapa bulan, tetapi ternyata tiba-tiba saja dari ihak PT.Telkomsel Tbk. Tidak melanjutkan lagi perjanjian tersebut.


(24)

Dikarenakan adanya pelanggaran perjanjian kerjasama tersebut PT.Prima Jaya Informatika pun mengajukan gugatan ke pengadilan Niaga hingga adanya putusan pernyataan pailit terhadap PT.Telkomsel Tbk. Pelanggaran perjanjian tersebut sebenarnya termasuk kedalam tindakan wanprestasi. Wanprestasi adalah satu tindakan mengingkari atau melanggar tidak memenuhi perjanian atau perikatan antara kedua pihak yang telah melakukan perjanjian kerjasama untuk beberapa waktu yang telah ditentukan.

Terhadap putusan pailit tersebut pihak PT.Telkomsel Tbk. Merasa tidak sepantasnya perusahaan mereka dipailitkan. Oleh karena itu, pihak PT.Telkomsel Tbk pun melakukan suatu upaya hokum, dimana mereka mengajukan upaya kasasi kepada pihak Mahkamah Agung. Dimana pengertian kasasi adalah pembatalan atas keputusan pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dimana menetapkan perbuatan pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertengtangan dengan hokum, kecuali keputusan pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan.

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya lebih terarah dan dpat dipertanggungjawabkan maka digunakan berbagai metode. Dapat diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, kemudian menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut cara tertentu.

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian deskriptif analitis. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperolah gambaran


(25)

yang lengkap dan secara jelas tentang permasalahan yang terdapat pada masyarakat yang digunakan dapat dikaitan dengan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hokum yang berlaku, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh suatu kesimpulan.

Penelitian ini merupakan penelitian Hukum yang bersifat Normatif (Yuridis Normatif) dan Empiris (Yuridis Empiris), yakni penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data Sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksudkan penulis antara lain baha hukum primer, sekunder, dan tersier.

Bahan hukum primer yaitu semua dokumen peraturan yang mengukat dan detetpkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen resmi yang merupakan informasi atau hasil kajian mengenai kepalitan dan penundaan Kewajiban pembayaran Utang, seperti buku-buku teks, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan permasalahan dlam skripsi ini. Sedangkan baha tersier, yaitu semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, biografi dan lain-lain.

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode pengumpulan data libary Research (Penelitian Keputusan) yakni mengumpulkan bahan-bahan penulisan skripsi ini melalui bacaan-bacaan seperti buku, majalah ilmiah, hasil-hasil seminar, surat kabar, pendapat sarjana, dan juga bahan- bahan bacaan yang relevan sebagai dasar penembangan urian teoritis penulisan skripsi ini.


(26)

G. Sistematika Penelitian

Untuk menghasilkan suatu karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya diuraikan secara sistematis dan diperlukan suatu sistematik penulisa yang teratur. Dimna penulis membagi menjadi bab per bab masing-masing bab ini saling berkaitan antra suatu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan, dimana pada bab ini dipaparkan hal-hal yang umum sebagai langkah awal dari penulisan skripsi. Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN PAPILIT

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBYARAN UTANG

Pada bab ini akan dibahas mengenai bagaimanakah pengertian tentang suatu kepailitan tersebut, bagaimanakah suatu syarat-syarat dalam kepailitan, prosedur tentang permohonan pernyataan pailit, dan bagaimanakah pengertian tentang suatu putusan pailit itu.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN


(27)

MENGDILI PERKARA KEPAILITAN MENURUT UU KEPAILITAN DAN PKPU.

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai bagaimanakah proses pembetukan dalam suatu Pengadilan Niaga tersebut, kemudian bagaimanakah sebenarnya kewenangan dari Pengadilan Niaga

Dalam memeriksa dan mengadili dalam perkara kepailitan,dantentang bagaimanakah peran hakim dalam suatu Pengadilan Niaga.

BAB IV PENERAPAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR

37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM PUTUSAN PAILIT PT.TELKOMSEL TBK

Pada bab ini akan dipaparkan tentang bagaimana sebenarnya kasus kepailitan terhadap PT.Telkomsel Tbk. Tersebut dapat terjadi apakah sudah sesuai dengan UU kepailitan yang berlaku, kemudian akan di bahas pula tentang ketentuan utang antara debitor dengan kreditor sesuai dengan dari pertimbangan hakim, lalu akan pula disampaikan tentang bukti nyata, fakta atau keadan yang terbukti secara sederhana tentang kasus pailitnya PT.Telkomsel Tbk. Dan kepastian Hukum Sebagai Implikasi Putusan Pailit PT.TELKOMSEL Tbk


(28)

Bab ini merupakan bab penutup yang merugikan mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan serta saran-saran atas permasalahan tersebut


(29)

BAB II

PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG

A. Pengertian Pailit

Pengertian kata “pailit” itu terdapat dalam pembendaharaan dalam bahasa Belanda, Prancis, Latin dan Inggris. Kalau dalam bahasa Prancis, istilah kata pailit itu biasanya disebut dengan “faillitie” yang artinya adalah pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang melakukan kegiatan mogok atau macet melakukan tindakan berhenti membayar utangnya disebut dengan Le failli. Kalau dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang memiliki arti ganda yaitu bisa sebagai kata benda dan bisa sebagai kata sifat juga. Sedangkan di dalan bahasa Inggris istilah yang dipergunakan adalah istilah to fail, dan kalau di dalam bahasa latin adalah failure.

Poerwadarminta mengatakan bahwa arti kata “pailt” artinya adalah “bangkrut”, dan “bangkrut” artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya).7 Menurut John M. Echols dan Hassan Shadily, bankrupt artinnya adalah bangkrut, pailit dan bankrupty artinya adalah kebangkrutan, kepailitan.8

7

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999 8

John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta 1979 pengertian pailit adalah dimana debitur dalam


(30)

keadaan berhenti membayar hutang dikarenakan tidak mampu. Kata pailit juga dapat diartikan sebagai Bankcrupt.

Kata Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi. Menurut pasal 1 angka 1 UU Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kepalilitan adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur oleh undang-undang.

Seperti yang terdapat dalam Black’s Law Dictionary pailit atau “Bankrupt” adalah “ the state or conditional of a person (individual, partnership, Corporation, municipality who is unable to pay it’s debt as they are, or became due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been field, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupty”.9

Berdasarkan dari pengertian bakrupty yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary diatas diketahui bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seseorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan untuk membayar tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskupun telah ditagih dan ketidak mampuan tersebut haru disertai dengan proses pengajuan ke

9

Epstein, David G., Steve H. Nickles., James J. White, Bankruptcy, ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1993.


(31)

pengadilan, baik atas permintaan itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.

Pernyataan yang terdapat dalam pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 apabila dikaitkan dengan Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan Dan PKPU, dapat diketahui bahwa pernyaan pailit merupakan suatu putusan pengadilan. Ini berarti bahwa sebelum adanya suatu putusan pailit oleh pengadilan, seorang debitur tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit. Dengan adanya pengumuman putusan pernyataan pailit tersebut, maka berlaku umum bagi semua kreditur konkruen dalam kepanitiaan, tanpa terkecuali, untuk memperoleh pembayaran atas seluruh piutang-piutang konkruen mereka. Dalam hal yang demikian berarti terjadi sitaan umum terhadap seluruh harta kekayaan debitur, yang diperlukan untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan ketentuan pasal 1132 Kitab Undang-Undang KUPerdata baik secara pari passa dan prorata.

Selain itu, ada pula beberapa asas-asas yang menjadi landasan pengundangan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU guna menggantikan Undang-undang Kepalitan lama. Asas-asas tersebut antara lain :

1. Asas Keseimbangan

UU ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujua\dan dari asas keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitur yang tidak jujur. Di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat


(32)

mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditur yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan usaha

Dalam UU ini terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan, asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitur, dengan tidak memperdulikan Kreditur lainnya.

4. Asas Integrasi

Asas integrasi dalam UU ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.10

1. Right to payment, wheter or not such right is reduced tu judgment, liquidated, unliquidated, fixed, cintingent, matured, unmatured, disputed, undisputed, legal, equitable, secured or unsecures ; or

Di dalam Bankrupty Code Amerika Serikat, Section 101; Claim means :

10


(33)

2. Right to an equitable remedy for breach performance if such breach gives rise ti aright to payment, wheter or not such right to an equitable remedy is reduced to judgment fixed, contingent, matured, unmatured, disputed, undisputed, secure or unsecured.11

Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpusah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan dengan hak masing-masing. Dan yang menjadi manfaat adanya kepailitan tersebut adalah sebagai berikut :

Berdasarkan defenisi tentang pengertian kepailitan tersebut ada pula yang dapat menjadi suatu manfaat dan tujuan dari hukum kepailitan tersebut. yang dimana tujuan dari hukum kepailitan tersebut adalah, untuk melakukan pembagian antara para kreditr atas kekayaan debitur oleh kurator.

12

1. Untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator

2. Untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur

3. Untuk menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.

11

Ibid.

12

Manfaat dari Adanya Kepailitan,

tanggal 14 april 2013


(34)

B. Syarat Pailit

Dalam melakukan pelaksanaan pailit tidak boleh sembarang atau sesuka hati mematikan suatu perusahaan, oleh sebab itu maka diperlukanlah syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagaimana hal tersebut dapat dilihat pada pasal 2 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004, yakni sebagai berikut :

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kkreditornya.”

Syarat-syarat mengenai permohonan pailit sebagaimana terdapat didalam pasal 2 angka1 UU No. 37 Tahun 2004 tersebut dapatlah dijelaskan lebih mendalam sebagai berikut :

1. Syarat adanya dua Kreditur atau lebih (Concursus Creditorum)

Syarat bahwa debitur harus mempunyai minimal dua kreditur sangan terkait dengan filosofis lahirnya bukum kepailitan. Dengan adanya pranta hukum kepailitan, diharapkan pelunasan utang-utang debitur kepada kreditur-krediturnya dapat dilakukan secara seimbang dan adil. Setiap kreditur (konkuren) mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan dari harta kekayaan debitur. Jika debitur hanya mempunyai satu kreditur, maka seluruh harta kekayaan debitur otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pro rata dan pari passu. Dengan demikian jelas bahwa


(35)

debitur tidak dapat dituntut pailit, jika debitur tersebut hanya mempunyai satu kreditur.13

13

Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta:Sinar Grafika, 2010Ed 1, Cet.2,hal 5

Berdasarkan dari pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004, pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah seorang debitur yang mempunyai dua atau lebih krediturnya dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya, kemudian permohonan tersebut dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.

Debitur adalah merupakan bank, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Apabila seorang debitur tersebut adalah Perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Dan apabila debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Seperti itulah yang ada terdapat dalam pasal 4 UU No. 37 Tahun 2004 ada dikatakan bahwa dalam hal suatu permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur yang masih terikat dalam hal pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas dari persetujuan suami atau istrinya.


(36)

Dapat kita lihat bahwa pasal 4 ini berkaitan dengan pasal 2 ayat 1 UU No. 37 tahun 2004, mengajukan kepailitan untuk dirinya sendiri, dimana hal ini juga termasuk dalam kepailitan sementara. “Dalam hal permohonan” atau biasa juga disebut “Voluntary Petition”.

Secara umum, ada 3 (tiga) macam kreditur yang dikenal dalam KUHPerdata yaitu sebagai berikut :

a. Kreditor Konkuren.

Kreditor konkuren ini ada diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Kreditur konkuren adalah para kreditur dengan hak pari passu dan pro rata, artinya pada kreditur secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap pituang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta Kekayaan debitur tersebut.14

b. Kreditur prefen

Istilah yang digunakan dalam Bahasa inggris untuk kreditor konkuren adalah unsecured creditor.

Kreditor ini memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang kepada kreditor pemegang hak jaminan dan para kreditor dengan hak istemewa.

14

Kartini Muljadi,Kreditor Preferens dan Kreditor Separatis Dalam Kepailitan, “Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta:Pusat Pengkajian Hukum,2005,hal 164-165.


(37)

Atau kreditur yang diistimewakan, yaitu kreditur yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditur preferen merupakan kreditur yang mempunyai hak istemewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya (Pasal 1134 KUHPerdata).

c. Kredit seperatis

Adalah kreditur pemegang hak jaminan kebendaan inrem, yang dalam KUHPerdata disebut dengan gadai dan hipotek. Golongan kreditur ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor. Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya merupakan karakteristik kreditor separatis.

Seperatis yang dimaksudkan adalah terpisahnya hak eksekusi atas benda-benda yang dijaminkan dari harta yang dimiliki debitor pailit. Dengan demikian, kreditor separatis mendapatkan posisi paling utama dalam proses kepailitan, sehubungan dengan hak atas kebendaan yang dijaminkan untuk piutangnya sepanjang hari nilai piutang yang diberikan oleh kreditur seperatis tidak jauh melampui nilai benda yang dijaminkan dan kreditur berkuasa atas benda tersebut, maka proses


(38)

kepailitan tidak akan banyak berpengaruh pada pemenuhan pembayaran piutang kreditur tersebut.

Berdasarkan UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang No. 37 Tahun 2004 apabila kuasa atas benda yang dijaminkan ada pada debitor pailit atau pada kurator, maka hak esekusi terpisah tersebut diatas ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama (90) sembilan pulh hari sejak pernyataan pailit dijatuhkan. Sedangkan, jika nilai eksekusi benda tersebut ternyata tidak mencukupi untuk menutup utang debitor, maka kreditor seperatis dapat meminta dirinya ditempatkan pada posisi kreditor konkuren untuk menagih sisa piutangnya. Oleh karena demi kepastian hukum, hak eksekusi langsung yang dimiliki oleh kreditor seperatis hanya bisa digunakan dalam jangka waktu dua bulan setelah terjadinya keadaan insovensi. Setelah lewat jangka waktu tersebut, eksekusi hanya dapat dilakukan oleh kurator, meskipun hak yang dimiliki kreditor seperatis sebagai kreditor pemegang jaminan tidak berkurang. Perbedaan proses eksekusi tersebut akan berakibat pada perlu tidaknya pembayaran biaya kepailitan dari hasil penjualan benda yang dijaminkan.15

2. Syarat harus adanya utang

15Jenis-jenis Kreditur dalam kepailitan, http://arsyadshawir.blogspot.com/


(39)

Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah harus adanya utang. UU No. 37 Tahun 2004 tidak menentukan apa yang dimaksudkan dengan utang. Dengan demikian para pihak yang terkait dengan suatu permohonan pernyataan pailit dapat berselisih pendapat mengenai ada atau tidak adanya utang. Pihak-pihak yang dimaksud ialah (Penasihat hukum dari) pemohon, (penasihat hukum dari) Debitor, dan majelis Hakim Peninjauan Kembali.16

16PengertianSyarat harus adanya Utang,

Undang-undang No.4 Tahun 1998 tidak memberikan defenisi sama sekali mengenai utang. Oleh karena itu telah menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dan para hakim juga menafsirkan utang dalam pengertian yang berbeda-beda (baik secara sempit maupun luas). Namun kontroversi mengenai pengertian utang dalam pengertian yang berbeda-beda (baik secara sempit maupun luas). Namun kontroversi mengenai pengertian utang, akhirnya dapat diartikan dalam pasal 1 ayat 6 UUK, yaitu :

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”


(40)

3. Syarat cukup utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

Dalam pasal 1 ayat (1) UUK tidak membedakan tetapi menyatukan syarat utang yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Pada perjanjian kredit perbankan, kedua hal tersebut jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu ialah utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu, menjadi waktu dan karena itu pula kreditor berhak menagihnya.

Utang hanyalah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit atau perjanjian utang-piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitor sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian itu. Misalnya saja telah sampai jadwal cicilan bagi pelunasan kredit investasi yang ditentukan bertahap, misalnya setiap 6 (enam) bulan sekali setelah masa tenggang (grace period) lampau, dan harus telah dilunasi seluruhnya pada akhir perjanjian yang bersangkutan. Namun, suatu utang sekalipun jatuh waktunya belum tiba, mungkin saja utang itu telah dapat ditagih, yaitu karena telah terjadi salah satu peristiwa yang disebut events of default sebagaimana ada ditentukan dalam suatu perjanjian tersebut.

Maka kata-kata di dalam pasal 1 ayat (1) UUK yang berbunyi “utang yang telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih “diubah menjadi cukup berbunyi” utang yang telah dapat ditagih” atau “utang yang telah dapat ditagih baik utang tersebut telah jatuh waktu atau belum”. Penulisan seperti kalimat yang penulis usulkan itu akan menghindarkan selisih pendapat apakah utang yang “telah


(41)

dapat ditagih” tetapi belum “jatuh waktu” dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan.

Bunyi pasal 1 ayat (1) didalam Perpu No.1 Tahun 1998 sebagaimana telah disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 merupakan perubahan dari bunyi Pasa 1 Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348. Bunyi Pasal 1 ayat (1) sebelum diubah, yaitu bunyi pasal 1 ayat (1) Fv :

“setiap debitor yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhentu membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau beberapa orang kreditornya, dapat diadakan putusan oleh hakum yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaan pailit.” Salah Satu syarat untuk mengajukan permohonan pernyatan pailit terhadap seseorang kreditr adalah bahwa selain debitur memiliki lebih dari seseorang kreditur tersebut harus pula dalam keadaan insolven, yaitu tidak membayar lebih dari 50% (lima puluh persen).17

Dalam pasal 1 ayat (1) UU kepailitan maupun dalam pasal-pasal lain, tidak ditentukan bahwa apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang kreditur, dipersyaratkan bahwa utang kepada kreditur pemohon hharus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih serta tidak dibayar oleh debitur. Dengan demikian dapat dipertanyakan apakah seseorang Kreditor sekalipun piutangnya belum jatuh waktu dan dapat ditagih boleh sebagai pemohon

17SyaratPailit,http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://hernathesis.


(42)

pernyataan pailit dengan syarat pemohon harus dapat membuktikan bahwa debitur memiliki utang kepada kreditur lain yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Bank pemberi kredit secara mudah dapat mengetahui keadaan keuangan para debiturnya dari laporan hasil pemeriksaan (audit) oleh akuntan publik yang diwajibkan oleh bank yang bersangkutan untuk disampaikan oleh debitur kepada bank dari waku ke waktu. Kalau kreditur hanya boleh mengajukan permohonan pernyataan pailit menunggu sampai utang debitur telah jatuh waktu dan dapat ditagih, yang mungkin saja akan membutuhkan waktu yang masih agak lama.

Sekali lagi, debitur harus dalam keadaan insolven (telah berada dalam keadaan berhenti membayar kepada para krediturnya), bukan sekadar tidak membayar kepada satu atau dua orang kreditur saja, sedangkan kepada para kreditur lainnya debitur masih melaksanakan kewajiban pembayaran terhadap utang-utangnya dengan baik. Dalam hal Debitor hanya tidak membayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para kreditur yang lain Kreditur masih membayar utang-utangnya, maka terhadap debitur tidak dapat diajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga tetapi diajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa).


(43)

Apabila seorang debitur mengalami kesulitan keuangan, artinya tidak mampu membayar hutang-hutangnya, tentu saja para kreditur akan berusaha menempuh jalan untuk menyelamatkan piutangnya. Salah satu jalan yang ditempuh adalah kreditur mengajukan permohonan ke pengadilan agar si debitur dinyataan pailit. Permohonan itu disebut sebagai permohonan pernyataan kepailitan. Berhubung permohonan tersebut diajukan ke pengadilan, maka harus melewati prosedur yang benar.

Menurut undang-undang kepailitan, pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara permohonan pernyataan kepailitan dalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Yang dimaksud pengadilan menurut UUK adalah pengadilan niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkupan peradilan umum. Bila debitur telah meninggalkan wilayah RI, maka pengadilan yang menetapkan keputusan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir diputar.

Pasal 3 UUKepailitan dan PKPU disebutkan, dalam hal debitur berupa persero atau firma, yang mengadili adalah pengalihan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut. Sedangkan dalam hal debitur tidak berkedudukan di wilayah RI, pengadilan yang berwenang memutuskan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitur menjalankan profesi atau usahanya dan bila debitur badan hukum maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.


(44)

Permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh seorang advokat, dalam UUKepailitan lama harus diajukan oleh pengacara praktek, karena di pengadilan Niaga hanya ada beberapa Pengadilan dan tidak semua pengacara praktek itu berada diwilayah pengadilan niaga dimana hal ini dapat dilihat dalam Pasal 7 UU Kepailitan dan PKPU. Prosedur permohonan pernyatan pailit sebagaimana dapat dilihat jelas dalam Pasal 6 UU Kepailitan dan PKPU, sebagai berikut:18

6.Sidang pemeriksaaan atas permohonsn pernyatan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

1.Permohonan pernyatan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan.

2.Panitera mendaftarkan permohonana pernyataan pailit pada tanggal permohonan yangbersangkutan diajukan, dan kepada permohonan diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

3.Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 jika dilakukan tidaksesuai dengan ketentuan dalam aya-ayat tersebut.

4.Panitera menyampaikan permohonan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 “(dua) Hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

5.Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan , pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.

18

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Kepailitan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000 hal 56.


(45)

7.Atas permohonan Debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Berdasarkan dari Pasal 6 UU Kepailitan dan PKPU tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu prosedur permohonan pernyataan pailit memiliki time frame yang sangat singkat yang berbeda dengan peraturan kepailitan yang lama. Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas, Pasar Modal, atau Menteri Keuangan.

Dapat memanggil kreditur, dalam hal permohonan pernyatan pailit diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakanpailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 telah terpenuhi. Pemanggilan terhadap debitur dilakukan oleh Juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan.

Pemanggilan adalah sah dianggap telah diterima oleh debitur, jika dilakukan oleh juru sita sesuai dengan ketentuaan sebagaimana dimaksud dalam Angka 2. Permohonan pernyatan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam pulu) hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.


(46)

Apabila seluruh persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi semuanya, maka pengadilan akan memberikan putusannya. Tetapi, apabila ternyata harta pailit tidakcukup untuk membayarkan biaya kepailitan tersebut, maka Pengadilan atas usul Hakim Pengawas dan setelah mendengar panitia kreditor sementara apabila ada, serta setelah memanggil secara sah atau mendengarkan dari pihak debitur, dapat memutuskan pencabutan putusa pernyataan pailit.19

Tujuan utama dalam suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan Hakim yang berketekunan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruaan dan kehilafan itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum.20

Demikian pula terhadap putusan dari Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan. Namun, perbedaandari Pengadilan Niaga ialah hanya tersedia upaya hukum kasasi ke Makamah Agung. Pengadilan Niaga disebut sebagai pengadilan tingkat pertama dan tidak ada tingkat kedua atau sering disebut sebagai tingkat

19

Ibid. hal 58

20

Fuady, Munir. Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktik, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002, hal 20.


(47)

banding. Terhadap putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tersedia upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali.

Terhadap suatu putusan pencabutan pernyataan pailit tersebut dapat pula diajukan suatu kasasi dan/ atau peninjauan kembali. Apabila setelah pencabutan pernyataan pailit diucapkan diajukaan kembali permohonan pernyataan pailit, maka debitor atas permohonan wajib membuktikan bahwa ada cukup harta untuk membayar biaya kepailitan berdasarkan dari pasal 19 UU No.37 Tahun 2004.

Dalam kasus putusan pailitanya PT. Telkomsel Tbk., dapat dilihat bahwa dari pihak PT. Telkomsel tersebut mengajukan upaya hukum secara kasasi. Dimana pengertian kasasi tersebut adalah pembatala atas keputusan Pengdilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. UU No. 8 Tahun 1981 tentang dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung.

Tetapi dalam UU No. 37 Tahun 2004 UU Kepailitan dan PKPU sebenarnya tidak ada diatur tentang upaya hukum secara banding. Hal ini menunjukan bahwa berdasarkan dari UU No. 37 Tahun 2004, terhadap suatu perkara kepailitan tidak dapat diajukan suatu banding tetapi langsung mengajukan kasasi ke Makamah Agung. Dalam Pasal 11 UU No. 37 Tahun 2004 mengatur tentang Kasasih ke Makamah Agung, yaitu:


(48)

1.Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit, adalah kasasi ke Makamah Agung.

2. Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari tentang sejak tanggal putusan yang Dimohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkannya pada Panitera Pengadilan yang telah memutuskan permohonan pernyataan pailit.

3.Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2, selain dapat diajukan oleh Debitor dan Kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tiodak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit.

4.Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tulis yang ditandatangani Panitea dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.

Mengenai permohonan kasasi terdapat dalam pasal 12 yang mengatakan bahwa Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan memori kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kepada pihak temohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.

Termohon kassasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada Panitera Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi


(49)

menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan panitera Pengadilan wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterima. Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Makamah Agung paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima.

Tercantumkan dalm pasal Pasal 13 yang menetukan bahwa Makamah Agung harus mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lamat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Sidang Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk aman. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara anggota dengan ketua majelis maka perbedaan pendapat tersebut wajib dimuat dalam putusan kasasi.

Panitera pada Makamah agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada Panitera pada Pengadilanh Niaga paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan. Jurusita Pengadilan waji menyampaikan salinan putusan kasasi diucapkan. Jurusita menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat 5 kepada


(50)

Demikian halnya UU No. 2 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No.8 Tahun 2004 Tentang peradilan umum, dalam pasal 8 dinyatakan secara tegas “Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan Pengkasusan yang di atur dengan Undang-undang.

Undang-undang memberikan ruang untuk terbentuknya Pengadilan khusus yang berada dibawah lingkungan peradilan Umum dengan syarat bahwa pembentukan pengadilan khusus tersebut ditetapkan melalui UU. Pembentukan Pengadilan Niaga ini menunjukan bahwa sejarah peradilan di indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari segi struktur organisasi, kedudukan Pengadilan Niaga merupakan bagian khusus didalam Peradilan Umum.21

Tujuan utama dibentuknya Pengadilan Niaga ini adalah agar dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian hutang piutang diantara pihak yaitu debitur dan kreditur secara cepat, adil, terbuka, dan efektif, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan prekonomian pada umunya. Selain itu sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang piutang swasta22

21

Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), Jakarata: softmedia, 2010,hlm 21.

22

Ibid, hlm.229

, hal ini merupakan salah satu positif dalam hal memperbaiki carut-marutnya UU Kepailitan terdahulu yang lahir.


(51)

Akibat desakan International Monetery Fund (IMF) karena peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan kurang memenuhi tuntutan zaman.23

1. Kurator melakukan pemberesan harta pailis

D. Putusan Pailit

Putusan Pailit adalah adjucation order yaitu putusan pengadilan yang menyatakan bahwa seorang debitur telah dinyatakan pailit sehingga penguasaan dan pemberesan harta debitur diserahkan kepada kurator untuk kepentingan para kreditur. Tindakan-tindakan hukum yang dapat dilakukan setelah adanya putusan pernyataan pailit adalah sebagai berikut :

2. Hakim Pengawas mengawasi tindakan Kurator

3. Dilakukan rapat Vertifikasi (pencocokan hitang piutang) 4. Dilakukan rapat kreditor

5. Atas usulan hakim pengawas, permintaan kurator dan permintaan kreditor,Pengadilan dapat memerintahkan supaya debitor pilit ditahan dibawah pengwasan Jaksa yang ditunjukan oleh hakim pengawas. (Pasal 93).

Pernyatan putusan pailit harus dikabulkan apabila ternyata terdapat suatu fakta ataupun keadaan yang telah terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dapat dinyatakan pailit telah dapat terpenuhi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang telah terbukti secara sederhana adalah adanya dua atau lebih Kreditor dan adanya fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak/tidak

23

Ahmad yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Kepailitan, Jakarta : Rajawali,2009,hml20.


(52)

dapat dibayarkan, sedangkan besarnya utang yang dimiliki oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhnya putusan pernyataan pailit.

Dalam putusan permohonan pernyataan pailit yang diajukan kepada Pengadilan Niaga harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap dan jelas atas pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta memuat pula :24

1. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum yang tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili: dan

2. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis

24

Jono,Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika 2010,Ed. 1 Cet.2 hal91.

.

Terkait dengan hal tersebut, selanjutnya diatur bahwa salinan putusan Pengadilan tersebut wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada Debitor, pihak yang mengajukan permohonan pailit, Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan. Dalam putusan pernyataan pailit tersebut, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengwas yang ditunjuk dari hakimPengdilan dan dalam hal Debitor, Kreditor, atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU.


(53)

Tidak mengajukan usul pengangkatan Kurator kepada Pengadilan maka Balai Harta Peninggalanakan diangkat selaku Kurator. Adapun kurator yang diangkat tersebut harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kredit, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan pnundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) Lebih dari 3 (tiga) perkara.25

1. Nama, alamat, dan pekerjaan Debitor;

Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator dan Hakim Pengawas, Kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas mengenai ikhsar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut

2. Nama Hakim Pengwas;

3. Nama, alamat, dan pekerjaan Kurator

4. Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia anggota panitia Kreditor sementara, apabila telah ditunjuk;

5. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama Kreditor. Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali (PK)

Dengan dijatuhkannya putusan kepailitan kepada debitur, maka mempunyai pengaruh bagi debitur dan harta bendanya. Bagi debitur, sejak

25

Nating, Imran, Edisi Revisi : Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta : PT. RajaGrafindo


(54)

diucapkannya putusan kepailitan, debitur kehilangan hak untu melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya. Dan pada dasarnya pelaksanaan putusan atau ekekusi merupakan suatu pelaksanaan putusan atau eksekusi merupakan suatu pelaksanaan terhadap suatu putusan yang sudah berketekunan hukum tetap (BHT) yang dilakukan dengan bantuan pengadiulan. Dan dengan dijatuhkannya putusan pailit tersebut, maka “kurator” bertindak sebagai pewngampu darisi pailit dan tugas utamanya adalah melakukan pengurusan atau pemberesan terhadap harta (boedel pailit). Kurator adalah perseorangan atau persekutuan perdata yang memiliki keahlian khsus sebagaimana diperlukan untuk mengurus dan memberskan harta pailit dan telah terdaftar pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Pasal 1 angka (5) UU Kepailitan dan PKPU.

Seorang debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, membawa konsekuensi hukum yaitu, bagi debitur dijatuhkan sita umum terhadap seluruh harta debitur paillit dan hilangnya kewenangan debitur pailit untuk menguasai dan mengurus harta pailitnya. Sedangkan bagi kreditor, akan mengalami ketidak pastian tentang hubungan hukum yang ada antara kreditor dengan debitur pailit. Untuk kepentingan itulah undang-undang telah menentukan pihak yang akan mengurusi persoalan debitur dan kreditur melalui seorang Kurator.

Dalam menjalankan tugasnya kurator tidak hanya bagaimana menyelamatkan harta pailit yang berhasil dikumpulkan untuk kemudian dibagikan kepada para kreditor tapi sebisa mungkin bisa meningkatkan nilai harta pailit tersebut. Dengan drmikian, kurator dituntut untuk memiliki integritas yang berpedoman pada kebenaran dan keahlian serta keharusan untuk menaati standar


(55)

profesi dan etika. Hal ini untuk menghindari adanya benturan kepentingan dengan debitur maupun kreditur.

Namun pada prakteknya tidak sedikit kinerja kurator menjadi terhambat oleh permasalahan, seperti debitur pailit yang tidak mengacuhkan putusan pengadilan atau bahkan menolak untuk dieksekui, dan hampir sebagian besar kurator memiliki permasalahan dengan debitur yang tidak kooperatif dalam hal menolak memberikan informasi dan dokumen, menolak menemui, bahkan menghalangi kurator memeriksa tempat usaha debitur, sehingga kinerjanya menjadi tidak maksimal karena faktor-faktor sebagaimana disebutkan.

Salinan atas putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan KUH Perdata itu merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan.26

26

Ibid.

Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya secara propesional, kecuali bagi krediturnya dengan hak mendahului (hak preferensi). Jadi pada dasarnya, asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUH perdata dan 1132 KUH perdata ini adalah bahwa UU mengatur tentang hak menagih bagi kreditur atau kreditur-krediturnya terhadap transaksinya dengan debitur.


(56)

Bertolak dari asas tersebut di atas sebagai lex generalis, maka ketentuan kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional. Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai :

(1) Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan bertaggunf jawab atas semua hutang-hutangnya kepada kreditur-krediturnya.

(2) Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.

Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Sistem pengaturan yang taat asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam rangka memberikan kepastian hukum.

Oleh karena itu lembaga kepailitan berfungsi sebagai pengawas implementasi pelaksanaan Peraturan Kepailitan dan mekanisme pembayaran utang terhadap semua kreditur dengan mengacu yang diperintahkan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata yang merupakan dasar hukum dari kepailitan.27

Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga, menurut Sudargo Gautama merupakan pencangkokan institusi baru, Artinya Pencangkokkanya itu diambil dari berbagai lembaga baru dalam sistem hukum dan praktek hukum yang sudah ada dalam rangka Faillisemen. Dianggap wajar oleh pembuat Undang-Undang, jika dalam rangka untuk, menyediakan sarana hukum sebagai landasan untuk

27

Sri Redjeki Hartono, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam kerangka Pembangunan Hukum, Semarang: Elips Project, 1997, hlm.5.


(57)

menyelesaikan hutang piutang, dianggap perlu peraturan kepailitan yang dapat memenuhi kebutuhan dunia usaha yang makin berkembang secara cepat dan bebas.28

(2) Dalam rangka penyelesaian akibat-akibat dari gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997, khususnya berkenaan dengan masalah utang piutang di kalangan dunia usaha nasional, dianggap perlu adanya penyelesaian yang cepat mengenai masalah ini. Untuk itu perlu kesediaan perangkat hukum untuk memenuhi kebutuhan. Penyelesaian masalah utang piutang. Dengan demikian perusahaan perusahaan dapat segera beroperasi secara normal. Bila kegiatan ekonomi berjalan kembali, akan berarti pengurangan tekanan sosial yang menurut pengamatan pemerintah sudah terasa banyak di lapangan kerja. Maka perlu diwujudkan penyelesaian utang-piutang ini secara cepat dan efektif.

PERPU (Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang) No.1 Tahun 1998 dipilih untuk melakukan penyempumaan atas peraturan Faillissemen yang sudah ada Karena dengan demikian dapat diharapkan bertindak lebih cepat dengan dasar pertimbanganya yaitu :(1) Adanya kcbutuhan yang besar yang sifatnya mendesak untuk secepatnya mewuawujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang dapat berlangsung secara cepat, adil, terbuka, dan efektif untuk menyelesaikan piutang perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap perekonomian nasional.

29

28

Sudargo Gautama, Komentar Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Bandung:Citra Adytia Bakti, 1998, hlm.9

29


(58)

Dalam Pasal 8 UU N0. 3 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Umum disebutkan bahwa : “Yang dimaksud dengan ‘diadakanya pengkhususan’ ialah adanya diferensiasi / spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, misalnya Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak dan Pengadilan Ekonomi”. Dengan demikian dalam UU N0. 4 Tahun 1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum.

Ketentuan Pasal 300 UUK-PKPU sccara tegas menentukan :

(1) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan peryataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang penjagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang.

(2) Pembentukan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden (KEPRES), dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan.

Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).30

30

Sunarmi, Ibid hlm.229

Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara


(59)

formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan lain.

Pasal 300 ayat (1) memberikan kekuasaan kepada Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan selain perkara Kepailitan dan PKPU. Namun tidak terdapat penjelasan apa yang dimaksud dengan perkara lain di bidang perniagaan tersebut, hal ini disebabkan Undang-Undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Dengan demikian, Undang-Undang Undang yang akan mengatur hal tersebut kelak, hendaknya, harus jelas bidang-bidang perniagaan apa saja yang menjadi kewenangan yurisdiksi dalam mengadili antara Pengadilan Niaga dengan Pengadilan Negeri.


(60)

BAB III

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERKARA KEPAILITAN MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

A. Pembentukan Pengadilan Niaga

Yang mendasari dan melatar belakangi lahirnya Pengadilan Niaga adalah pasal 27 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berisi: 1. Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkingan peradilan yang berada dibawah Makamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU.No.48 Tahun 2009.

2. Ketentuaan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang. Dan Oleh sebuah Makamah Kontitusi.

Dalam Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Makamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Dan Peradilan Tata Usaha Negara). Beberapa bentuk Pengadilan khusus lainnya, antara lain seperti Pengadilan Hubungan Industrial yang ditetapkan dengan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial yang berada di bawah lingkungan Peradilan umum, Pengadilan Anak yang telah ditetapkan dengan UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yang berada dibawah lingkungan Peradilan Umum.31

31


(61)

Demikian juga tertulis dalam Pasal 295 menentukan bahwa :” Terhadap Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dapat diajukan peninjauan kembali dapat diajukan apabila, setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada tetapi tetap ternyata belum ditemukan.

Dalam permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan pada dua macam alasan saja, yang masing-masing secara khusus telah dibatasi jangka waktu tertentu. Pasal 295 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan menetukan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan dengan satu alasan, dan alasan tersebut secara khusus ada pula diatur dalam Pasal 296,yakni :32

32

Lontoh, Rudy A.; Kailimang, Denny & Ponto, Benny, Penyelesaian Utang-piutang:

Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,Bandung : Penerbit Alumni, 2001.hal 32)

1. Pengajuan Permohonan peninjauan kembali berdassarkan alasan bagaimana ada disebut dalam Pasal 295 ayat 2 huruf a, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh ketentuan hukum tetap ;

2. Pengajuan Permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan bagaimana ada disebut dalam Pasal 295 ayat 2 huruf b, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh ketentuan hukum tetap ;


(62)

4. Paniter Pengadilan mendaftar permohonan peninjauan permohonan peninjauan kembali pada tanggal permohonan diberikan tanda terima tertulis yang ditanda tangani Panitera Pengadilan dengan tangaal yang sama dengan tanggal

permohonan didaftarkan.

5. Panitera Pengadilan menyampaikan permohonan peninjauan kembali kepada Panitera Makamah Agung dalam jangka waktu 1 × 24 jam terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan.

Prosedur permohonan peninjauan kembali diatur tersendiri pada BAB IV , Pasal 295 sampai dengan 298 Undang-Undang Kepailitan. Permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada Panitera Pengadilan. Panitera Pengadilan mendaftarkan permohonan diberikan tanda terima tetulis yang ditandatangani Panitera Pengadilan dengan tanggal yang sama dengan tanggal permohoinan peninjauan kembali kepada Panitera Makamah Agung dalam jangka waktu 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Permohonan penijauan kembali wajib menyampaikan kepada Panitera Perngadilan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali dan untuk termohon salinan permohonan peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung yang bersangkutan, pada tanggal permohonan didaftarkan. Panitera Pengadilan menyampaikan salinan permohonan peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari setelah tangal permohonan didaftarkan. Pihak termohon dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tangga permohonan


(1)

BAB V

PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian BAB I, BAB II, BAB III, dan BAB IV apabila dikaitkan dengan putusan pailit terhadap PT.Telkomsel Tbk. dalam putusan No.48/ Pailit/ PN.JKT.PST dengan UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No.37 Tahun 2004 dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Putusan pailit yang terjadi terhadap PT.Telkomsel Tbk. sebenarnya adalah merupakan kekeliruan yang dilakukan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Putusan berdasarkan dari UU Kepailtan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Masalah timbul akibat adanya tindakan wanprestasi bukan karena utang seperti yang terdapat pengaturannya dalam UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang. Suatu putusan pailit juga dapat terjadi akibat adanya orang ketiga dalam suatu masalah kasus pailit. Seperti ada dikatakan bahwa suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit apabila memiliki dua atau lebih krediturnya.

2. Kewenangan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak dilaksankan secara baik dan mandiri. Terlihat bahwa pengadilan niaga seolah-olah hanya memihak kepada sebelah pihak saja,tanpa membaca dan memahami secara jelas tentang pengaturan UU Kepailitan dan PKPU dan tidak menilai suatu masalah secara seimbang (balance). Hingga dapat timbul


(2)

suatu upaya hukum dari pihak lain, diakibatkan karena merasa tidak puas dengan hasil yang diberikan oleh pengadilan niaga.

3. Mengenai penerapan UU Kepailtan dan PKPU dalam putusan pailitnya PT.Telkomsel Tbk. terlihat tidak sesuai, adanya suatu ketidakpastian hukum. Oleh karena adanya ketidakpastian hukum tersebut membuat terjadinya kekeliruan antara putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Mahkamah Agung.

B. Saran

1.Dengan adanya UU Kepailitan, setiap orang dan badan usaha perlu lebih berhati-hati, khususnya terhadap perjanjian-perjanjian yang mereka tanda tangani dengan pihak ketiga. Hal ini karena permohonan pailit dapat diajukan atas dasar wanprestasi terhadap perjanjian. Inilah yang menjadi dasar utama pengajuan permohonan pailit terhadap Telkomsel. Oleh karena itu sebaiknya berhati-hati dalam melakukan suatu perjanjian kerjasama, agar tidak terjadinya suatu putusan pailit terhadap perusahaan yang bersangkutan.

2. Pengadilan Niaga seharusnya dapat lebih berhati-hati dalam mengambil suatu putusan. Karena apabila putusan tersebut tidak sesuai dengan dasar hukum yang ada, dapat mengakibatkan suatu ketidakpastian hukum. Tentu juga akan dapat merugikan pihak yang bersangkutan, dan pengadilan niaga juga tentu akan merasa malu karena apabila terjadi kesalah bisa saja Majelis Hakim pengadilan niaga akan digantikan posisinya.


(3)

3. Dengan adanya putusan dari Mahkamah Agung yang menyataka bahwa PT.Telkomsel Tbk. tentu membuat perusahaan tersebut merasa lega. Tetapi, sebaiknya untuk kedepannya perushaan tersebut harus lebih berhati-hati, agar tidak terjadi lagi kasus yang sama. Karena tentu akan merugikan banyak masyarakat luas apabila PT.Telkomsel Tbk. sebagai BUMN yang terbesar dinyatakan pailit.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, Bandung: Alumni,2007

Epstein, David G., Steve H. Nickles., James J. White, Bankruptcy, ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1993.

Fuady, Munir. Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktik, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002.

John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta 1979

Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta:Sinar Grafika, 2010Ed 1, Cet.2

Kartini Muljadi,Kreditor Preferens dan Kreditor Separatis Dalam Kepailitan, “Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta:Pusat Pengkajian Hukum,2005

Lontoh, Rudy A.; Kailimang, Denny & Ponto, Benny, Penyelesaian Utang-piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,Bandung : Penerbit Alumni.

Nating, Imran, Edisi Revisi : Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004.


(5)

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Medan: USU Press, 2009

Sri Redjeki Hartono, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam

kerangkaPembangunan Hukum, Semarang: Elips Project, 1997.

Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Kepailitan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

C. Internet

Jenis-jenis Kreditur dalam kepailitan, http://arsyadshawir.blogspot.com/ 2011/11/jenis-jenis-kreditor-dala-kepailitan.html.

ManfaatdariAdanyaKepailit

PengertianSyaratharusadanyaUtang

PembuktianSederhana(Sumir)DalamPerkaraPa


(6)

PerkembanganInfrastrukturTelekomunikasi,http:/id.scribd.com/doc/33229 37/

SyaratPailit,http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http:/ /hernathesis.multiply.com/review/item/13