Kenangan dan Imajinasi

Kenangan dan Imajinasi

Purwanti

angit mendung, ketika Dinda mulai tenggelam dalam lamunannya. Gelapnya hati seakan-akan mempengaruhi

warna langit yang makin lama makin kelabu. Dalam gelap Dinda mencari-cari, meraba-raba yang tersimpan direlung-relung hati- nya. Api, dia hanya menjumpai rasa pedih yang amat sangat, luka yang terbuka dan berdarah.

Angin dingin berhembus menusuk tulang, Dinda makin meringkuk memeluk lututnya yang mulai gemetar. Gemeletuk giginya beradu karena kedinginan. Kedinginan yang juga berasal dari hatinya yang sudah kehilangan cahaya dan kehangatannya.

Lama sudah ia mencari sebuah kenangan dalam hidupnya. Karena hanya itulah yang tetap membuatnya bertahan hingga sekarang ini.

Sebuah kenangan dan imajinasilah yang selalu menemani Dinda menyusuri liku-liku perjalanan hidupnya, hingga penuh duri-duri yang membutakan mata hatinya dan membekukan jiwanya. Namun kenangan itu bagaikan api yang bersinar tapi tidak menerangi, yang panas tapi tidak mampu menghangat- kannya. Tapi setidaknya kehangatannya mampu memancarkan sedikit semangat hidupnya yang hampir padam. Tiba-tiba Dinda mengeluh.

“Kenapa nasibku seperti ini?” Dia selalu mengulang-ulangi perkataannya. Tapi dalam hatinya ia berkata,”Aku harus kuat

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

dan aku harus semangat untuk hidup.” Sehingga ia menemu- kan bahwa kenangan dan imajinasinya mewujudkan dirinya dan menemani dia disaat suka dan duka.

Tiba-tiba hujan turun rintik-rintik saat air mata Dinda menetes. Ketika ia tersadar, lamunannya tidak akan menjadi kenyataan. Sebesar apa pun usahanya untuk membuat lamun- annya menjadi nyata hanyalah sia-sia. Bagaikan langit yang kelelahan menahan awan-awan hitam yang berat, lelah juga Dinda menanggung derita.

Dinda berusaha tetap hidup dalam kegembiraan. Dunia kenangan dan imajinasi selalu ia ciptakan untuk menipu dirinya agar ia merasa tidak sendiri dan kesepian. Namun beban itu seolah-olah meremukkan tulang-tulangnya. Tiba-tiba Dinda menjerit,”Haaaaaaaaa…”

“Aaaaaaaaaaaaa…….” “Ada apa dengan diriku ini?”Sambil berteriak-teriak seolah-

olah tidak sadar atas apa yang dilakukan dan semua telah men- jadi remuk redam, termasuk harapan-harapannya.

Bagaikan langit yang tak sanggup lagi menahan beban yang menyiksanya dan melepaskannya hingga jatuh ke bumi menjadi derasnya hujan. Begitu juga Dinda, air matanya mengalir deras membasahi pipi. Mukanya pucat tak pernah ada senyum, luka hatinya semakin menganga dengan jeritan melengking. ”Haaaaaaaa…”. “Aaaaaaaaaa……….” Akhirnya ia kelelahan, mencari dan menggapai-gapai putaran kenangan dan imajinasi yang dalam pikirannya. “Seperti apa seharusnya hidup ini,” keluhnya lirih tanpa semangat.

Hujan mulai berhenti ketika awan-awan hitam semakin menipis dan sinar matahari makin benderang. Seperti air mata Dinda yang mulai surut jatuh satu-persatu. Setelah merenungi semua yang telah dilakukan, Dinda tiba-tiba kembali tersenyum penuh kemenangan . Kemenangan atas nasib yang kini tidak akan lagi merenggut kebahagiaanya. Bagi Dinda, kenangan dan imajinasi akanlah tetap seperti apa adanya. Dan yang sudah terjadi tidaklah perlu diingat kembali.

~ PIANO DALAM PASIR ~

Kemudian Dinda bepikir, yang jauh biarlah tetap di kejauh- an, yang dekat tetaplah pada kedekatan masing-masing, meski- pun yang dekat itu dapat semakin mendekat atau yang dekat itu akan menjauh. Dinda kini mengerti bahwa kenangan adalah kenyataan masa lalu dan imajinasi adalah kenyataan yang fiktif dan tidak nyata. Putus asa pada kenyataan pahit berarti menye- rah pada nasib, kecuali jika ia mau mengubahnya menjadi hal yang positif dan berguna lewat kepercayaan dan kemampuan diri sendiri.

Dinda kemudian menyimpan dukanya rapat-rapat dan me- nguburkan dalam-dalam di lubuk hatinya. Kejadian pahit masa lalu hanyalah patut untuk dikenang. Entah mengapa Dinda merasa sedemikian bahagia. Ketika Dinda tersadar bahwa masa lalu biarlah berlalu, dan sekarang biarlah berjalan seperti apa adanya untuk menyongsong hari esok yang penuh dengan harap- an. Wajah Dinda begitu ceria diliputi kebahagiaan bagaikan langit yang cerah oleh sinar kehangatan.

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~