Tak Lekang oleh Waktu
Tak Lekang oleh Waktu
Theresia Rositasari
“ an… Tantri.Bangun Nduk! Hemm, Eallah…anak perawan kok jam segini belum bangun tidur! Tan… Tantri, heh…!
Ayo bangun!” “Emmh… Sebentar to Bu, aku masih ngantuk ini, lagi pula aku kan libur sekolah, jadi nggak perlu bangun pagi to Bu. Mataharinya juga masih tertutup kabut gitu, dingin pula.”
“Ya walaupun begitu tetap harus bangun pagi. Kalau dingin ya olahraga biar anget, atau bantuin ibu masak di dapur nanti kena api tungku kan anget!” Kata Ibu sembari menarik selimut yang menutupi seluruh badanku.
“Yah… Ibu…” Rengekku seperti anak kecil. “Ga ada yah-yahan… udah ayo!” Terasa tangan Ibu menggengam tanganku dan menarikku
keluar dari tempat tidurku yang cukup empuk… “Huh… Ibu ini, Hari libur kok suruh aku bangun subuh, dingin ni Bu.” Gumamku sepanjang jalan melewati lorong-lorong rumah menuju dapur yang berada paling belakang letaknya.
“Sudah Bu… capek ini,lagi pula Ibu ini nyuruh ngupas kacang kok kacange ga kira-kira banyake.Lha kapan selesainya hemm..,” keluhku sambil meninggalkan setenggok kacang di hadapanku.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Tan… Tantri! Kamu itu lho, anak gadis dah segede gitu kok ya nggak mau bantu-bantu Ibu… lha terus kamu tu mau- nya suruh ngapain?! Heran Ibu sama kamu!” Gumam Ibu pada Tantri,disela-sela pekerjaannya menggoreng tempe.
“Pak… ini sarapannya.Udah pak istirahat dulu, ini udah ibu siapkan makannya, ayo makan! Ini lauknya ada tahu dan tempe. Seadanya ya pak, lha uang simpanan kita semakin me- nipis, jadi ya mesti hemat.”
“Iya Bu, Bapak ngerti kok. Belum lagi bayaran sekolah Tantri.” “Iya Pak padahal akhir bulan ini kan sudah harus dibayar,
mau dapat uang dari mana kita Pak…!” “Kalau pegawai negeri jelas bayarannya, kalau buruh kasar kayak kita ini dapat 50 ribu seminggu aja udah syukur”. “Ya sudahlah Bu, dijalani aja yang sudah ada, yang jelas kita itu harus selalu berusaha dan berdoa ya disyukuri jugalah yang sudah ada, tidak usah terlalu dipikir terlalu berat, nanti malah stress..”Sambil terus melahap makanan,mereka terus berbincang – bincang.
Ayah Tantri adalah seorang kuli pasar dan pendapatannya pun tidak menentu.Yah tergantung dari ramai atau tidaknya pasar dan berapa banyak pengunjung yang membutuhkan ban- tuan Pak Karto yang tak lain adalah ayah Tantri.Dan ibu Tantri adalah seorang tukang cuci baju panggilan.Kebanyakan yang menggunakan jasa Bu Karto adalah para tetangga yang mem- punyai kesibukan di luar rumah, biasanya sekali kerja men- dapat upah sebesar Rp.15.000.
Pada siang harinya Bu Karto bertemu dengan Bu Nanny tetangganya. Bu Karto pun menceritakan segala keluh kesahnya pada Bu Nanny. Mendengar cerita dari Bu Karto, Bu Nanny me- nawarkan sebuah pekerjaan pada Bu Karto sebagai seorang pembantu di tempat kerabat Ibu Nanny. Kebetulan kerabat dari Ibu Nanny kekurangan tenaga untuk merawat rumahnya di kota. Gajinya lumayan besar dari pada penghasilan di desa.
“Kalau jadi, besok Ibu bisa langsung berangkat,semua biaya saya yang tanggung”. Kata Bu Nanny.
~ PIANO DALAM PASIR ~
Bu Karto pun merasa senang mendengar penawaran ter- sebut, dan akan mempertimbangkannya terlebih dahulu.
Hari telah menjelang malam cahaya matahari telah diganti- kan oleh cahaya bulan di temani ribuan bintang yang gemer- lapan di angkasa. Sendiri aku dalam harmoni lampu kamar memandangi langit malam. Pikirku melayang di dalam benakku tersimpan banyak tanya, “Mengapa? Kenapa aku terlahir dan hidup serba pas-pasan seperti ini? Kenapa aku tidak terlahir dan hidup dalam sebuah keluarga yang berkecukupan hidup- nya? Aku bosan hidup seperti ini!” Berontakku dalam hati
Tanpa terasa air mata mengalir dari mataku.Aku menangis. “Tuhan, kenapa engkau tak menciptakan aku terlahir dari
keluarga yang kaya, pasti aku tak akan seperti ini.” Gumamku sambil mengusap air mataku.
“Nduk… ini semua memang salah ibu, harusnya ibu mem- berikan kehidupan yang layak untukmu, memberikan rumah yang bagus, baju yang bagus, makanan yang enak,kasur yang lebih empuk supaya tidurmu lebih nyaman. Tetapi, sayangnya ibu tidak bisa berikan semua itu buat kamu. Ibu ini memang bukan ibu yang baik buat kamu, ibu tidak bisa membahagiakan kamu.”
Perlahan air mata Ibu jatuh bagaikan rintikan air hujan, Ibuku menangis karena aku!! Dadaku sesak.Aku tak bisa ber- nafas melihat Ibuku yang tengah menangis di hadapanku. Ingin kutenangkan hati Ibuku, namun mulutku sulit berkata-kata, lidahku kaku, suaraku hilang. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Kututup mataku dengan kedua tanganku dan bersim- puh di hadapan Ibuku. Ku buka tanganku dan kulihat wajah Ibu tepat di hadapanku, matanya sembab dan masih berlinang air mata. Tangannya perlahan menyentuh wajahku dan meng- usap air mataku yang jatuh tak henti-hentinya
“Sudah Nduk, jangan menangis lagi ya…” kata Ibuku yang masih mengusap air mata di pipiku.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Maaf… maaf Bu…” kataku dengan suara bergetar nyaris tak terdengar. “Bu… Bu’ne! Jaket Bapak yang di cantolan depan kok nggak ada di mana to? “Bu’ne…” “Bu…!” “Tan…Tantri… Tan…” “Weleh… pada ke mana to ini… kok rumah sepi begini?
Tan… bu’ne…” Teriak Bapak sambil mengelilingi lorong ruang dan sampailah Bapak di kamarku dan…
“Bu… Tantri… ternyata pada ngumpul di sini to.. dicari’in kemana-mana makanya nggak ada… jan…” “Lho… lho… lho… pada kenapa ini, kok tangis-tangisan begini ada apa to Bu…?!” “Tidak ada apa-apa kok Pak, sudah ayo kita makan malam sekarang! Tadi ibu masak tumis kangkung sama tempe goreng, kesukaan Bapak sama Tantri.”
“Ya sudah ayo ayo!! Bapak juga sudah lapar ini…” Dan kami semua berjalan menuju ruang tengah. Di atas
tikar berbentuk persegi yang cukup besar kami menikmati makan malam, suasana begitu tenang hingga terdengar suara ibu memecah keheningan.
“Tadi Ibu sudah menemui Bu Nanny, katanya Ibu bisa bekerja di rumah saudaranya di Jakarta, gaji lumayan daripada Ibu buruh di sini, itung-itung untuk memperbaiki ekonomi ke- luarga.”
“Ibu ini yakin mau kerja di Jakarta?” “Ya yakin to Pak, ini kan demi keluarga juga, gimana Tan
menurut kamu? Kamu setuju to Ibu kerja di Jakarta? “Mmm… kalau aku sih terserah Ibu saja.” Jawabku dengan wajah menunduk. “Ya sudah kalau begitu besok Ibu berangkat, biaya kesana ditanggung Bu Nanny. Jadi, Ibu bisa langsung berangkat. Tantri setelah ini bantu Ibu beres-beres ya?!
~ PIANO DALAM PASIR ~
Keesokan harinya entah mengapa aku bisa bangun lebih awal dari biasamya. Kubuka jendela kamarku dan kuhirup udara sekuat-kuatnya.Huh… ternyata udara pagi sangat segar, dari jendela kulihat ibuku sedang menyapu halaman rumah dengan telaten ibu mengambil dedaunan yang terhimpit beba- tuan dan mencabuti rumput liar. Ibuku sungguh tak kenal lelah. Dari pagi hingga tengah malam bekerja terus-menerus.
“Tantri, apa kamu tidak mau mengantar kepergian Ibu? Dari tadi kok nggak keluar kamar? Ibu berangkat nanti siang naik bus… O iya nduk kalau ibu tidak ada kamu bantu bapak beres-beres rumah ya! Terus masak buat Bapak juga, masak yang gampang-gampamg saja, kalau malam pintu-pintu juga jangan lupa dikunci, ngerti ya nduk?!”
Kata-kata Ibu terus mengalir sembari membereskan kamar tidurku dan aku hanya terdiam tak tahu harus berkata apa, kutatap Ibuku dalam-dalam. Hatiku penuh dengan tanya, “Apa aku bisa hidup tanpa kehadiran Ibuku? Apa aku mampu menger- jakan, menggantikan tugas-tugasnya?” Air mataku kembali me- netes tanpa henti, aku berlari menghampiri ibuku dan kupeluk dia erat-erat dan aku hanyabisa berkata,” Jangan pergi Bu, aku sungguh menyayangimu, aku tak ingin kau bekerja di Jakarta, cukuplah di sini saja, aku tak ingin hidup jauh darimu…! Aku mencintaimu Bu… maafkan segala kata-kata dan perbuatanku padamu.Tapi, jangan pergi…” Pintaku pada Ibu, dengan suara terisak-isak.
“Nduk, dengarkan Ibu,yakinlah semua akan baik-baik saja…” “Tet… tet… tet…” Terdengar suara klakson bus yang telah menunggu di depan rumah. “Bu, itu busnya sudah jemput.” “Iya Pak sebentar… Nduk jaga dirimu baik-baik, Bapak
juga ingat, ini semua demi kebaikan kita. Ibu berangkat dulu ya Nduk…!”
“Ibu hati-hati ya Bu..,” kataku menghantarkan kepergian Ibu.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Dengan berat hati aku melepaskan kepergian Ibu ke Jakarta. “Ini hanya sementara,dan semua akan baik-baik saja”. begitu kata terus menerus dalam hati. Dan akhirnya Ibuku berangkat ke Jakarta. Aku tinggal bersama Bapak saja. Kini aku mengerti betapa besar pengor- banan Ibu untukku. Ibu adalah segalanya untukku dan aku berjanji pada diriku sendiri tak akan pernah mengecewakannya dan akan selalu membahagiakannya. Ibu kau adalah segalanya dalam hidupku.
~ PIANO DALAM PASIR ~
Antara Ayahku dan Kekasihku
Nur Hidayati
ehidupan keluarga Redista kurang harmonis. Ayahnya dua kali meninggalkannya dan ibunya. Pertama, ayah
Redista meninggalkannya saat ia berumur 8 tahun (kelas 2 SD). Ayah Redista suka mabuk-mabukan dan berjudi, tetapi Redista dan ibunya masih bisa memaafkan sang ayah. Kedua, ayah Redista meninggalkannya saat ia berumur 14 tahun (kelas
3 SMP). Redista benar-benar sedih, terlebih lagi ibunya. Dalam benaknya, Redista berpikir “Kenapa ayah tega me- lakukan ini? Menyakitiku dan ibuku?!” Kini Redista ikut memi- kirkan nasib keluarganya. Ia tak punya saudara, ia hanya anak tunggal. Hampir 8 bulan berlalu, saat itu Redista bingung. “Seandai- nya ayahku kembali, apakah aku dan ibuku sanggup menerima- nya?” Tanya Redista dalam hati.
Sampai akhirnya dia menemukan teman curhat, Mas Banar namanya. Dia sudah bekerja, dan dia di sini tinggal bersama saudaranya. Ayah dan Ibu Mas Banar jauh tempat tinggalnya. Mas Banar ini sudah kenal dekat dengan keluarga Redista. Pada suatu hari Redista dan Banar sedang duduk berdua. Redista berkata “Bintangnya indah ya? Cahayanya terang, tapi sayang tak seterang hatiku saat ini.”
“Maksud kamu? Kamu sedang ada masalah, sedih, atau putus cinta?” Tanya Banar penasaran. “Jangan ngawur deh mas! Aku serius nih! Boleh aku cerita? Tapi ini rahasia ya?!” Kata Redista.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Boleh, gampang itu. Cerita saja, aku siap mendengarkan dan membantu kamu. Seanadainya aku bisa!” Ucap Banar sam- bil tersenyum.
Ya sudah aku cerita. Begini Mas, aku tuh bingung bagai- mana kalau Ayah nanti pulang? Padahal sebenarnya aku dan Ibuku masih menginginkannya! Cerita Redista. Dis, dengerin Mas ya? Ikuti kata hatimu dan Ibumu, biarkan orang lain mau berkata apa! Ingat kata-kata Mas ya! Percayalah, aku yakin kamu itu anak yang tabah dan sanggup menghadapi cobaan!” “Iya Mas, aku akan coba!” “Terima kasih ya Mas, “ kata Redista dengan tenang.
“Sama-sama!” Jawab Banar dengan gembira. Malam kian larut, mereka pun pulang. Sesampainya di rumah, Redista me- mikirkan kata-kata Mas Banar. Dan akhirnya ia yakin dan per- caya pada kata hatinya.
Dua hari telah berlalu, Ayah Redista pun pulang. Dia diantar saudara-saudaranya. Dan ternyata benar, Redista dan Ibunya memilih jalan sesuai dengan kata hati mereka. Mereka pun berkumpul kembali. Hati Redista sudah mulai tenang. Minggu sore Redista pergi ke sebuah tempat bersama Banar. Sesampai- nya di tempat itu Redista tersenyum sambil berkata, “Mas Banar terima kasih ya tas sarannya. Sekarang aku telah menemukan yang terbaik.”
Sebulan, dua bulan, tiga bulan telah mereka jalani. Hanya saja, waktu bagi mereka berdua untuk bertemu tidak selalu ada karena Ayah Redista tidak merestui hubungan mereka. Dan Banar sebenarnya tidak sanggup menerima keadaan ini. Tetapi ia berusaha menutupinya karena tidak ingin membuat Redista sedih. Banar pasrah pada apa yang akan terjadi nanti.
Tak lama kemudian, Ayah Redista mengetahui bahwa anak- nya masih menjalin hubungan dengan Banar. Ayah Redista marah sambil membentaknya, “Kamu dengarkan Ayah, Redista! Sekarang kamu tinggalkan Banar, Ayah tidak suka padanya!”
“Tapi Ayah, kenapa harus membencinya!? Ayah tidak me- ngerti semuanya! Ayah benar-benar egois!” bantah Redista sambil menangis.
~ PIANO DALAM PASIR ~
“Ayah tidak mau tahu, jauhi Banar sekarang juga! Atau Ayah yang akan turun tangan!” Redista meninggalkn Ayahnya lalu masuk kamar. Dia sangat sedih dan Ibunya mengetahui kesedihan hati Redista. Sambil menenangkan Redista, Ibunya berkata, “Apa kamu ingin menuruti kata-kata Ayah?”
“Aku bingung Bu, aku mencintai Mas Banar. Tetapi aku juga tidak ingin membantah orang tua Bu!” Jawab Redista terisak- isak. “Sayang, kamu pikirkan baik-baik, bagaimanapun ia Ayahmu, nak!” Kata Ibunya dengan sabar.
“Iya Bu, aku akan sabar dan terus berdoa!” Redista tetap merenung di kamar. Dia terus berdoa dan
pasrah pada Tuhan. “Ya Tuhan, jika Mas Banar memang untuk- ku, berikan jalan terang pada kami! Tetapi jika Mas Banar bukan untukku, berikanlah petunjukMu!” Redista berdoa sambil me- nangis.
Redista menjadi susah tidur. Dia terus memikirkan kata- kata Ayahnya. Tak sengaja ia mendengar suara dari kamar Ayahnya. Redista penasaran dan menajamkan pendengaran- nya. Sampai akhirnya ia mengetahui bahwa itu percakapan kedua orang tuanya.
“Bu, Ayah itu tahu bagaimana Banar yang sesungguhnya. Dia dulu pecandu narkoba. Mas Rudi, teman kerja ayah yang tinggal di desa sebelah itu masih saudara Banar. Dia tahu bagaimana Banar sebenarnya! Ayolah Bu bantu Ayah, ini juga demi anak kita!” kata Ayah sambil memohon-mohon kepada Ibu.
“Itu kan dulu, Yah! Memangnya Banar masih seperti itu? Dan apa selamanya dia akan begitu Yah? Ibu mengerti maksud Ayah. Kita memang tidak tahu benar yang sebenarnya. Ayah tenang ya, jangan emosi terus dengan Dista. Kasihan dia Yah! Ibu akan bicara dengan dia,” jawab Ibunya sambil menenangkan Ayah.
Ternyata, makin lama cinta semakin tumbuh di antara Redista dan Banar. Dua minggu berlalu dan keduanya kembali
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
bertemu. Saat itu Banar mengungkapkan semua isi hatinya, demikian pula Redista. Sementara itu, Ayah Redista tetap tidak menyetujui hubungan mereka. Ayah Redista meminta penje- lasan dari anaknya.
“Kenapa harus Banar yang kau pilih, Dis?! Apa tidak ada pria lain!” Jawab Redista, “Kenapa Ayah tega berkata seperti itu?! Mas Banar itu orangnya baik dan sopan. Kenapa sih, Ayah benci banget sama dia? Apa salah dia, Ayah?”
“Anak tidak jelas asal-usulnya, kamu bilang baik? Dia juga bukan siapa-siapa kamu! Kamu itu ngerti tidak!?” Bentak Ayah Redista. “Hanya karena itu, Ayah tidak suka sama Mas Banar?! Ayah egois, tidak bisa mengerti kemauan anaknya!” Bantah Redista sambil menangis.
Esok malamnya Redista pergi bersama Banar dan men- ceritakan semua yang dialaminya. Banar berusaha menenang- kan Redista. “Sudahlah, kamu jangan bersedih. Semua itu juga demi kebahagiaanmu dan yang terbaik bagimu, Dis! Aku bisa memaklumi kenapa Ayahmu tidak menyukaiku.
“Tapi Mas, kalau hnya itu alasannya, mengapa Ayah se- keras itu melarangku berhubungan denganmu! Apa semuanya tidak bisa dirundingkan! Gerutu Redista jengkel.” “Ah.... pokok- nya Ayah itu benar-benar egois!”
“Jangan begitu Dis! Kamu harus sabar. Kamu jangan men- jadi anak pembantah orang tua! Sabar ya, manis!” “Iya deh,” ucap Redista kecewa. Setelah pembicaraan dirasa cukup maka kedua sejoli itu
pulang. Redista masih memendam rasa kecewa terhadap per- lakuan Ayahnya. Dalam hati ia berkata, “Mengapa Ayah tega sekejam itu padaku? Ya Tuhan beri aku ketabahan.”
Di dalam kamarnya, Radista seolah-olah sedang berha- dapan dengan tembok tebal yang berdiri tegak dan kokoh se- hingga dia tidak kuasa untuk menembusnya. Radista tampak lemah, berdiam terpaku lunglai di tepi tempat tidurnya. Ia ber- usaha tegar menghadapi nasibnya dan berusaha menghibur
~ PIANO DALAM PASIR ~
diri dengan memeluk erat boneka kesayangannya. Radista pun menangis sejadi-jadinya, sampai akhirnya kehabisan tenaga dan menyadari usahanya hanya sia-sia saja. Perlahan-lahan, ia mulai menyadari arti dari larangan ayahnya berhubungan dengan Banar.
Ia bergumam dalam hati, “Ya Tuhan, ternyata Ayah me- mang sayang padaku. Ayah menginginkan yang terbaik untuk masa depanku. Aku baru menyadari mengapa Ayah bersikeras melarang hubunganku dengan Banar. Sekarang yang terpenting bagiku adalah konsentrasi pada sekolah dan cita-citaku” Akhir- nya hati Radista merasa tenang dan ia tertidur pulas karena kelelahan.
Keesokan hari, sebelum berangkat ke sekolah, Ibu Radista berharap dapat berbicara dengan anaknya. Radista tahu akan pembicaraan yang diinginkan ibunya. Maka ketika Ibu mende- katinya, Radista langsung berbicara, “Sudahlah Bu, sekarang aku tahu apa yang diinginkan Ayah dan yang terbaik untukku. Dista pamit ke sekolah ya Bu!”
Ibunya terkejut melihat perubahan mendadak yang dialami Radista sehingga tak mampu berucap apa pun. Dalam hati Ibu- nya berkata, “Syukurlah Nak jika engkau telah tahu mana yang baik dan mana yang buruk bagi masa depanmu sendiri. Doa Ibu selalu mengiringimu.”
Keesokan harinya, Banar bertemu dengan Radista dan me- reka saling mengerti hal yang terbaik bagi dirinya masing-ma- sing. Dalam pertemuan tersebut, Banar mengungkapkan niat- nya untuk menjauhi Radista demi kebahagiaan dan masa depan gadis yang dicintainya itu. Meskipun ada perasaan sedih di antara keduanya, tetapi mereka menghargai pada keputusan yang telah disepakati bersama. Keduanya berjanji untuk tetap menjadi persaudaraan.
“Mungkin inilah jawaban atas doanya kepada Tuhan! Gu- mam Radista.” Mulai saat itu, Radista berjanji akan menghapus semua kenangan bersama Banar dan menjadikannya sebagai sahabat.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Anak Pungut
Triwik Kristina
ini aku telah naik kelas XI dengan jurusan IPS, kegiatan BM, berusaha ku ikuti dengan penuh semangat. Kelas
baru dan tahun ajaran baru semakin sulit, tetapi juga biaya yang harus dikeluarkan kedua orang tuaku untuk membeli buku- buku pelajaran, padahal setiap minggunya Ayah harus menge- luarkan uang Rp100.000,- untuk obat Ibuku, sedangkan kakak- ku yang baru saja lulus SMA ingin melanjutka studinya, berarti saatnya aku harus mengalah dan berjuang lebih keras demi Ibu dan kakakku yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Mesti buku pegangan itu sangat penting bagiku, tapi obat Ibu jauh lebih penting dan Ayah hanya seorang petani. Aku tidak bisa menuntut lebih dari orang tuaku, melihat keadaan keluarga yang sangat pas-pasan.
Perpustakaan adalah tempat terbaikku. Meski aku benci dengan membaca, aku berusaha meringkas materi yang kurasa penting. Kadang aku menangis melihat teman-teman yang bisa belajar di rumah dengan buku-buku mereka, kadang aku iri melihat keadaan itu. Namun apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya mampu membeli LKS seharga Rp4.000,- yang materinya sangat terbatas.Tapi aku berusaha mengejar ketinggalanku. Meski gengsi, aku berusaha meminjam buku-buku teman untuk aku pelajari di rumah. Kadang aku juga sangat jata karena aku mengerjakan PR teman-temanku hanya untuk uang, untuk membantu Ayah dan menambah uang saku.
~ PIANO DALAM PASIR ~
Kadang aku sangat egois, karena teman-teman selalu meng- ejek aku, yang selalu meninjam buku. Kadang aku berpikir, “Ke- napa aku harus terlahir dikeluargaku ini? Kenapa bukan keluar-
ga seperti teman-temanku?. Tapi Tuhan selalu setia padaku. Kadang aku terlalu jauh terjatuh, tapi tangan-Nya, tak pernah melepaskan genggaman tanganku.
Senin, 15 Juli 2007, guruku mengarahkan untuk membeli buku paket seharga Rp 30.000,- dan ia mewajibkan kami untuk membeli. Kebimbangan menyelimuti otakku. “Bagaimana aku ngomong sama Ayah? Sedangkan uang bulan yang kemarin saja aku nunggak empat bulan!. Aku tidak takut nanti Ayah membentak aku, tapi aku takut kalau ibu tambah sakit apabila mendengar perdebatanku. Sampai hari Rabu aku belum bicara pada Ayah, dan Kamis sore, aku beranikan diri mengutarakan semuanya.
“Ayah! Ayu mau ngomong, Ayah sibuk? “Kenapa? Ada tagihan dari sekolah? Bilang.., Ayah belum
punya uang. Mungkin bulan depan. “Bukan Ayah, bukan tagihan bulanan!” “Ya sudah. Berarti tidak ada yang lebih penting dari itu! Kata-kata ayah membuat aku sangat sedih, meski aku tahu
ayah benar-benar pusing. Aku hanya bisa menangis di kamar, dan berteriak tanpa suara.
“Ayu..! Kenapa lagi? Ayah marah sama Ayu?’ Tanya Leo, kakakku. “Ayah jahat kak! Ayu butuh buku. Tapi ayah, ....” Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Aku hanya terbaring lemas dengan isak tangisku.
“Ayu, Ayu.., kan punya celengan. Ayu kan juga ikut Bengkel Sastra, masihkan uangnya? “Kak.., uang itu celengan Ayu! Buat jaga-jaga kalau ibu butuh obat kak! Pokoknya Ayu Ayu gak mau pecahin celengan Ayu!” “Oke..! Ya terserah deh! Pilih punya buku atau tidak. Me- mang berapa harga bukunya? Rp 20.000,- cukup gak? Pakai saja uang kakak. Sisanya kamu tambahin!”
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Kak Leo meletakkan uang Rp20.000 di meja kamarku. Kulihat selembar uang itu, ingin ku gapai uang itu, tapi aku tahu, kakak lebih butuh banyak uang.
“Pyar....! Kakak kemudian berlari dan menemui aku lagi. “Ayu?! Kenapa di pecah? Uang dari kakak belum cukup?
Berapa sih harga buku kamu?! “Kak, Ayu tahu kakak sayang sama Ayu, dan Ayu juga tahu kakak butuh uang. Ayu gak bisa terima uang kakak”. Aku mengembalikan uang kakak. Dan kakak, memeluk aku, “Ayu, kakak janji besok kakak akan kerja dapat uang, kakak akan belikan Ayu buku, jadi Ayu bisa belajar, gak diejek teman-teman lagi. Kakak janji kakak akan berusaha buat Ayu.
“Kakak makasih ya ?!. Keesokan harinya, wajah senyum menyambut mentari
pagi. Uang Rp30.000,- sudah di tanganku. Dengan bangga aku pergi ke sekolah, dan membeli buku dari koperasi sekolah. Dengan PD aku berlari menemui teman-teman di perpustakaan, tapi tiba-tiba, ...
“Bruk,...!, buku aku terlempar dan masuk ke dalam ember berisi air kotor, bekas pel. “Bukuku?!, seketika aku menangis. “Ayu! Maaf, Bapak gak sengaja! Buku kamu, ....basah?”
Tanya Pak Iwan. Aku dan Iwan bertabrakkan tanpa sengaja, dan buku baruku masuk ke dalam ember. Isak tangis adalah iringan pertama kejadian itu, dan entah bagaimana lagi, ku dapat buku baru, karena buku itu telah rusak. Aku hanya bisa memegang dan menangisinya. “Ayu, biar Bapak yang ganti. Bapak yang salah!”
“Tidak pak, ini salah Ayu! Ayu lari tanpa lihat-lihat. Bapak gak salah! Dan buku ini,..., tangisku semakin menjadi, meng- ingat buku itu adalah celengan yang kupecahkan. Dan aku malu jika pak Iwan harus menggantinya, karena ini juga kesalahan- ku.
~ PIANO DALAM PASIR ~
“Ayu, buku ini sudah rusak! Dan Bapak wajib mengganti- nya, karena ini juga kesalahan saya!” “Tapi pak, Bapak gak wajib kok menggantinya!” “Baiklah! Bapak gak wajib ganti, karena itu menjadi per-
mintaan kamu!” Pak Iwan diam, dan aku pun merasa menyesal, karena telah menolak tawaran Pak Iwan, padahal aku benar-benar butuh. Tapi kemudian, pak Iwan ke koperasi dan kembali menemui aku dengan buku yang sama seperti yang kubeli tadi.
“Ayu.., kamu kemarin peringkat tiga kan?! “Kenapa Pak?” “Buku ini hadiah dari Bapak, buat Ayu! Berarti bukan
tentang yang tadi. Bukan wajib lagi!” Senyumku kembali terbangun..., “Terima kasih Pak! Ayu butuh buku ini! Ayu.. Ayu gak
bisa nolak! “Tapi ada syaratnya, “Apa?” “Kamu harus tertawa dan gak sedih lagi!” “Aneh! Ya ga bisa dong. Orang gak lucu!” “Ya udah. Tapi saya punya pertanyaan, dan kamu wajib
jawab!” “Apa? Ya, aku berusaha jawab!” “Berapa jumlah gigi kamu?” “Ha...ha...! Bapak ada-ada aja deh!” “Nah, gitu dong! Ini baru Ayu yang saya kenal!” “Makasih Pak udah bikin Ayu ketawa.!” Bel tanda masuk berbunyi, ku ikuti pelajaran dengan
senyum dan penuh semangat Waktu belajar di sekolah teerasa begitu cepat. Bel pulang tiba, ku kemasi buku-buku yang terakhir buku baru pemberian pak Iwan. Serasa ingin selalu tertawa, saat kulihat buku itu. Lalu aku berjalan meninggalkan ruang kelas. Saat sampai di tempat parkir, kembali ku dapat sosok guru yang tadi pagi sempat mem- buatku menangis.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Ayu sudah mau pulang?!” “Iya Pak.. Ayu duluan, takut ketinggal angkot!” “Ya sudah hati-hati ya,. Belajar yang rajin, bapak pasti bantu
kamu, kalau kamu ada masalah, baik masalah ekonomi mau- pun pribadi. Tapi 1, dengan izin kamu!”
“Terima kasih Pak!” Aku sangat bahagia karena masih ada orang yang peduli
padaku. Pak Iwan adalah guru baru disekolahku, dan entah ke- napa kita begitu akrab dan terbuka. Malah kalau di luar sekolah aku memanggilnya kakak, selai itu kita juga memutuskan untuk menjalin persahabatan. Kak Iwan adalah sosok guru yang mem- buat aku kagum, diusia yang masih muda, dia mempunyai banyak prestasi. Aku sangat bangga padanya.
Sampai di rumah, aku memperlihatkan buku baruku pada Ibuku. Dengan senyum kusapa ibu yang sedang duduk di kursi depan.
“Bu..., Ayu sudah punya buku paket”. “Ayu kenapa tak bilang ke Ibu? Kenapa harus memecahkan
celengan kamu? “Em..., maaf Bu, Ayu gak mau bikin Ibu susah. Ayu juga tahu, Ibu butuh obat!” “Ayu..! Sini Nduk!” Ibu memeluk aku erat-erat. Entah kenapa berat sekali
hatiku, sampai air mataku kembali menetes. “Sudah Nduk jangan nangis lagi ya! Itu Ibu sudah bikin keripik pesanan kamu, tapi belum Ibu bungkusin. Memang boleh nitip di koperasi?”
“Ayu sudah pernah tanya ke guru pengurus koperasi, dan katanya boleh. Tapi tadi gurunya gak masuk. Gak apa-apa Bu, sekarang Ayu bungkusin, besok Ayu bawa ke sekolah. Ayu ke kamar ya Bu?!”
Setelah istirahat sejenak aku membungkus keripik bawang buatan ibu. Keesok harinya aku menitipkan di koperasi. Puji Tuhan, keripik buatan ibu laku abis. Aku bangga sudah bisa me- ringankan beban keluarga, mesti masih sangat kecil keuntung- an yang aku peroleh.
~ PIANO DALAM PASIR ~
Satu bulan kemudian,... “Hore...Hore...! Ayu...Ayu... kamu di mana? Kakak punya
kabar baik Ayu,...! Kakak teriak-teriak seperti orang gila, entah apa yang membuatnya salah tingkah.
“Ayu di kamar!” Jawabku Denan kebiasaan yang sama, tanpa mengetuk pintu, kak
Leo masuk ke kamarku. Ia langsung memegang pundakku dan menggoyang-goyangnya.
“Ayu,... kakak seneng banget! Kakak punya kabar baik. Kamu tau apa?” “Ya,...kakak kerasukan setan, di hari Minggu pagi, tepat pukul 10.00, saat kakak dari sawah. Ya kan?” “Ngaco! Enak aja! Tau gak? Kakak dapat surat!” “Jaelah,.... Surat cinta aja dibanggain! Norak!” “Bukan! Bukan surat cinta! Tapi surat panggilan kerja! Kakak
sudah punya kerjaan, jadi kalau sudah gajian, kakak bisa beli buku buat Ayu!”
“Yang bener kak? Wah,... selamat ya! Ayu seneng, kakak dapat kerja! Terus kakak mulai kerja kapan? Kuliah kakak gimana?”
“Mulai kerja besok Kamis, terus kalau kuliah masih dua bulan lagi! Ih kakak” Seneng,....seneng! Tapi jangan pake nyubit dong!”
“Maaf, maaf Gitu aja ngambek!”. Kabar diterimanya kakak sebagai karyawan di gedung olah
raga menjadi kabar yang sangat membahagiakan, termasuk aku. Aku juga bahagia akhirnya kak Leo bisa kerja sambil kuliah, seperti aku juga jual keripik sambil sekolah. Gengsi bukan masalah lagi bagiku, yang penting biaya sekolah aku lebih ringan.
Hari Kamis kakak berangkat ke Jogya dan mulai kerja di sana. Suasana rumah menjadi sepi karena tak ada lagi yang ku ajak bercanda maupun berantem. Malam hari saat nonton tv tak ada lagi yang berebut cannel denganku. Sekarang rumah bagai kuburan. Sepi, sunyi, seperti tanpa penghuni.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Bu, baru saja kakak pergi dua minggu, rumah sudah se- perti kuburan. Coba aku ikut pergi, bisa-bisa kaya ladang tanpa petani! He... he...!”
“Iya, sepi juga gak ada yang diomelin!” “Jaelah,...! Yang suka ngomel protes!” Aku berusaha mencairkan suasana. Kucoba membangun
kuburan menjadi cafe. Aku juga berusaha membantu Ayah di tengah kesibukanku, untuk mengganti sosok kakak yang kini merantau. Meskipun badan ini begitu lesu, capek, aku mencoba sabar dan tak mengeluh. Aku berusaha membuat Ayah dan Ibu bahagia, mesti dengan segala kekuranganku.
Malam ini bulan purnama, teringat masa lalu dalam benak- ku. Dulu setiap malam purnama aku dan kakak selalu bercanda di halaman sampai larut malam. Menatap jauh bintang-bintang di angkasa dan memohon sesuatu saat ada bintang jatuh. Dinginnya malam bukan masalah bagi kami, karena teh manis makanan ringan dan termos, selalu menemani kami saat bulan purnama. Tapi, berbeda dengan malam ini, di teras aku sendiri memandang bintang tanpa kakak di sampingku. Kebiasaan yang indah, kini tak lagi kujumpai. Malam ini aku hanya me- lamun, sebuah sms masuk ke HP ku. Ternyata dari kak Iwan,
“Malem Ayu cantik! Pasti kamu lagi lihat bintang sama bulan ya? Kakak juga! Kakak temenin ya!” “Kaka Iwan itu tau aja ya, kalau aku sendirian dan baru melihat bintang! Jujur, aku kangen sama kak Leo, biasanya malam purnama seperti ini, kita asyik melihat bulan dan bintang. Tapi sekarang, udah gak bisa lagi!” Balasku.
Banyak sms yang masuk dan terkirim dari HP ku. Kejenuh- anku malam ini pun berakhir, karena kak Iwan tampil sebagai sosok pahlawan yang menyelamatkanku dari kesepian. Malam makin larut, ku akhiri sms dengan kata, “good night!”. Lalu aku ke kamar, membaringkan badan dan mencoba memejamkan mata, bertamasya ke alam mimpi.
Beberapa bulan kemudian,.... Ulangan semester gasal tiba. Dengan mantap ku ikuti ulang-
an dengan baik dan berharap bukan juara III lagi, melainkan
~ PIANO DALAM PASIR ~
juara I. Ketegangan demi ketegangan ku lewati dengan penuh peercaya diri. Berharap hasil yang lebih baik dan menjadi ke- banggaan orang tua juga guru dan ke dua kakak ku, kaka Leo dan kak Iwan, yang merangkap 3 jabatan dalam hidupku, per- tama dia guru, ke dua dia sahabat dan ke tiga dia kakak.
Nilai murni hasil TPM telah terpampang di jendela ruang kantor. Berjejalan orang melihat hasil mereka. Termasuk aku ikut berjejalan untuk menyaksikan hasil nilai TPMku. “Oh...my God! Terima kasih Tuhan, ini adalah hasil terbaik yang pernah ku raih!” Hasil TPM ku sangat memuaskan, dengan bangga aku memberitahu orang tua dan kakakku. Tidak sia-sia aku memecah celengan, untuk membeli sebuah buku, meski pada akhirnya, buku yang ku miliki adalah pemberian dari kak Iwan.
Beberapa hari setelah itu, dan tepatnya hari Sabtu, rapor dibagi. Aku menanti hasilnya di rumah. Sudah 2 jam ayah ke sekolah, tapi belum juga pulang. Meski sekarang waktu sudah lebih 5 jam dari keberangkatan Ayah, Ayah belum juga pulang. Dag...dig...dug..., debar jantung mengiringi setiap langkahku. Seharusnya sudah 2 kali aku makan, sekarang 1 kali saja belum. Aku terus berjalan seperti orang linglung, dengan harapan aku adalah juara 1 di kelas XI IPS, 1, bahkan kalau bisa juara 1 seluruh kelas IPS, tapi mungkin itu hal yang mustahil, 30 menit kemudian, Ayah pulang. Saat Ayah masuk rumah, dia hanya diam, bahkan saat ku tanya,
“Ayah, bagaimana rapor Ayu?” Ayah juga diam 1000 bahasa, entah apa yang ayah sembu-
nyikan. Apa mungkin nilaiku jelek? Tapi, aku jelas melihat, nilai murni TPMku bagus. Aku gak tahu Ayah kenapa, yang jelas, roman wajah ayah seram. Aku hanya menunduk dan menunggu sampai ayah bicara. Tak lama kemudian,..
“Ayu...!” Ayah berteriak namaku. Entah itu tertekan apa maksud-
nya, aku gak tau, yang jelas membuat aku kaget setengah mati. Lalu Ayah memegang pundakku, dengan tatapan tajam yang membuatku serasa ingin pingsan, perlahan Ayah bicara,
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Ayu! Ayah bangga sama kamu. Ayah sangat bangga!” Aku hanya ternganga mendengar perkataan ayah. Mulutku
bagai tersumbat apel, sampai tak satupun kata yang ke luar. Wajahku seperti orang linglung saat mendengar perkataan Ayah berusan.
“Ayu, Nduk anakku! Kamu membuat Ayah dan Ibu sangat bangga. Meskipun kemarin saat kamu minta buku ayah tidak membelikan, tapi kamu tetap bisa membuktikan, bahwa kamu adalah yang terbaik! Ayu, maafkan Ayah yang tidak bisa meme- nuhi semua kebutuhanmu. Sampai kamu harus menjual kripik di sekolah. Maafkan Ayah Nduk!”
“Ayah...,maafkan Ayu. Selama ini Ayu terlalu egois dan memaksakan kehendak Ayu, padahal Ayu tau, Ayah belum punya uang. Ayu juga minta maaf, Ayu sering buat ibu marah. Maafkan Ayu Bu!”.
“Keberhasilan Ayu, ayu persembahkan untuk Ayah dan Ibu!” Akupun dirangkul oleh Ayah dan Ibu dengan penuh kasih. Ternyata Tuhan itu begitu adil, dan selalu memberikan kebang- gaan yang tak ternilai di tengah kesulitan ekonomi yang kami hadapi. Terima kasih.
Puas dengan 1 minggu liburan, aku dan teman-teman pun kembali masuk sekolah. Kami berusaha lebih giat lagi belajar supaya besok bisa naik ke kelas XII. Semangat kami terus berkobar layaknya pejuang ’45. Banyak masukan-masukan dari Bapak Ibu guru yang memacu belajar kami. Kami terus berusa-
ha menyebarkan kedudukan dengan sekolah-sekolah yang mempunyai nilai lebih tinggi dari sekolah kami. Hari ini pelajaran belum aktif selama 3 hari masih berlang- sung class meeting, saat-saat inilah yang selalu dinantikan oleh siswa. Bisa bergerak bebas, tanpa beban. Namun, biasanya aku hanya duduk-duduk di perpustakaan dan ruang BK. Esok beri- kutnya, aku duduk di perpustakaan sambil menulis puisi. Aku lebih suka menyendiri daripada kumpul-kumpul bareng teman.
“Hai Ayu, ngapain kok sendiri? Hayo ati-ati! Banyak semut!”
~ PIANO DALAM PASIR ~
“Eh kak Iwan. Maaf maksudnya Pak Iwan. Banyak semut, terus apa hubungannya? Bapak mau bilang Ayu mirip Semut?” “Enggak! Eh, aku punya sesuatu buat Ayu!” “Sesuatu? Semut?” “Bukan! Tapi,...surprise,...!” Kakak Iwan mengeluarkan coklat dari saku celananya. “Wau! Itu buat Ayu bukan?” “Iya, ini buat Ayu cantik. Hadiah dari kakak, eh salah mak-
sudnya Bapak, karena Ayu juara 1. Diterima ya?!” “Makasih, Ayu gak nolak kok!” Setelah itu aku pergi ke kelas. Baru saja aku duduk, HP
ku getar, ternyata sebuah sms dari kak Leo. “Ayu, kakak sudah mengecewakan keluarga. Maafkan kakak!” Sms itu begitu membingungkan, kucoba hubungi lagi, tapi HP kak Leo sudah gak aktif.
Satu minggu kemudian kak Leo pulang. Hari Minggu ayam belum berkokok, tapi rumahku sudah seperti pasar. Bentakan kata bangunkan aku dari mimpi, kucari asal keributan itu, kutemui kak Leo yang sujud di kaki Ayah dan derai air mata, isak tangis dan wajah ibu yang tampak pucat juga wajah serta tatapan tajam mata Ayah pada kak Leo, membuat aku tak be- rani melangkah. Aku hanya melihat dari balik almari.
“Leo, kamu anak kebanggaan Ibu dan Ayah! Kamu satu- satunya anak kami, tapi kenapa kamu membuat malu Ayah dan Ibu?”
Serentak kata-kata Ibu mebuat aku sakit, tapi juga bingung, apa maksud anak satu-satunya. Apa mungkin, Ayu hanya anak pungut?. Kata-kata itu terlintas di benakku.
“Leo! Ibu kecewa sama kamu!” Itu kata terakhir dari ibu sebelum ibu pingsan. Tanpa ku-
pikir kata-kata itu lagi aku langsung berlari mendapati Ibu yang terbaring di pangkuan Ayah.
“Ibu? Bu..., bangun Bu. Ini Ayu! Ibu bangun!” Ayah kemudian ke luar dan mencari mobil untuk mem-
bawa ibu ke rumah sakit.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Kak Leo, apa yang terjadi. Kenapa Ayah dan Ibu begitu marah kak?” “Maafkan kakak Ayu. Kak Leo bukan kakak yang baik. Kakak adalah seorang bajingan, yang telah mengecewakan keluarga. Ayu..., kakak menghamili anak orang...!
Aku sangat shock mendengar penjelasan kak Leo. Kak Leo yang selama ini ku banggakan tak lebih dari seorang bajingan. “Ayu mohon kak Leo pergi! Ayu benci kak Leo! Ayu jijik!!” Emosiku meluap, aku kecewa atas perbutatan bejat kak
Leo, meski aku belum tahu kenapa kak Leo sampai melakukan hal itu.
Ibu dirawat di rumah sakit, tak ada yang bisa aku lakukan selain berdoa. Biaya perawatan pun tak pernah terpikir sebe- lumnya di benak kami. Sore itu Ayah dipanggil dokter. Di pintu kuintip pembicaraan dokter dan Ayah. Ternyata tak hanya dia- betes penyakit ibu, tapi juga ginjal, lever dan lebih parah jan- tung. Ibu harus mendapat donor jantung untuk bisa bertahan hidup. Tapi biaya dari mana. Jangankan mendapat donor jan- tung dan biaya operasi, biaya untuk ruang rawat dan obat semen- tara ini kami sudah kelabakan.
Tak lama kemudian Ayah keluar dari ruang dokter dengan pucat seperti mayat. Aku tau, betapa bingungnya Ayah. Dihadap- kan pada dua pilihan yang sangat sulit, kesembuhan Ibu dengan ratusan juta, atau kepergian Ibu untuk selamanya...
“Ayu, biayanya sangat mahal. Gak mungkin kita bisa dapat- kan uang sebanyak Rp300.000.000,- dalam waktu dua bulan. Hasil buruh ayah 1 tahun saja gak ada 10 juta!”
“Ayah biarkan Ayu berhenti sekolah Ayu akan kerja. Ayu janji, Ayu akan dapetin uang itu!” “Ayu, terima kasih! Jujur, kamu bukan anak kandung Ayah dan Ibu, tapi kami, kami berusaha membahagiakan kamu. Ayu, kamu gak perlu putus sekolah, biar Ayah yang kerja.”
“Ayah, Ayu kan anak ayah. Sudah sewajarnya Ayu mem- bantu ayah. Ayu mohon, biarkan Ayu ikut cari uang!” “Terima kasih Ayu! Kamu adalah anak Ayah yang pantas Ayah banggakan!’
~ PIANO DALAM PASIR ~
Tanpa pikir panjang aku langsung pergi mencari pekerjaan yang bisa aku lakukan. Baru saja kemarin aku bahagia dapat membeli buku dan menjadi bintang kelas dan sekarang, aku harus merasakan sakit yang begitu dalam. Menerima kenyata- an, bahwa aku bukan anak kandung Ayah dan Ibu. Tapi aku gak boleh egois, aku harus ikut mencari uang, karena mereka keluargaku dan membutuhkan aku, terutama Ibu.
Sudah sekian jauh aku berjalan dan mencari kerja, tapi tak satupun yang menerimaku, yang hanya dengan baju kumuh dan tanpa surat-surat lamaran. “Oh Tuhan! Sampai kapan aku begini? Ibu segera membutuhkan uang itu. Tapi sekarang, seperakpun aku tak punya!” Aku bingung, pekerjaan apa yang bisa mendatangkan uang banyak, dalam waktu singkat bagi aku lulusan SMP!
Badanku sangat letih dan tak dapat ku paksa lagi untuk berjalan. Waktu menunjukkan pukul 22.00 dan aku tertidur di sebuah Halte. Belum lama mata ini terpejam seorang tante- tante membangunkan aku. Akhirnya kita ngobrol sampai tante itu bertanya kenapa aku sampai tidur di Halte, melihat aku adalah seorang gadis. Akupun menceritakan apa yang terjadi padaku dan juga keluargaku, aku juga cerita tentang 300 juta itu. Kemudian tante itu memberi aku kartu nama dan meminta aku datang ke alamat dalam kartu nama itu. Tante itu bilang, ia akan memberi sebuah pekerjaan buatku.
Esok paginya, aku mencari alamat itu. Dua jam, tiga jam, aku terus mencari. Penatnya hati bukan problem bagiku, meng- ingat aku harus berjuang demi kesembuhan Ibuku. Baru saat matahari tepat di atas kepalaku, aku berhasil menemukan ru- mah tante itu.
“Selamat datang Ayu. Sepertinya kamu begitu lelah. Ber- sihkan badanmu. Dan istirahatlah sejenak!” “Terima kasih tante”. Melihat penampilan tante yang begitu mentereng dan juga
rumah seisinya yang begitu mewah, aku tahu bahwa tante Stella adalah seorang yang kaya dan terpandang. Aku begitu senang
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
melihat keadaan dan suasana rumah yang begitu mewah. “Tu- han...andaikan aku bisa memiliki semua ini, pasti aku tak perlu pusing mencari uang untuk operasi ibu!”.
“Ayu bisa memiliki semua ini kalau Ayu mau bekerja seperti tante. Tante juga lulusan SMP seperti kamu, tapi buktinya tante bisa!”.
“Tante?! Tante juga lulusan SMP? Tapi kok bisa?” “Ayu, kita wanita, kita harus bisa memanfaatkan tubuh
kita juga, bukan Cuma ijazah. Tubuh kamu bagus, dan kamu cantik”.
“Ayu gak ngerti maksud tante”. “Ayu mau, bekerja dengan tante? Bekerja seperti tante?
Ayu bisa kok! Tapi Ayu harus ikhlas!” Aku semakin bingung dengan perkataan tante Stella. Aku hanya diam dan hanya bertanya ndalam hati, seperti apa sih pekerjaan tante Stella? Kemudian tente Stella berbisik,
“Kita harus mau menjual diri!”. Setelah itu tante pergi meninggalkan aku sendiri. Aku hanya
melongo mendengar kata-kata itu. Apa mungkin, aku harus menjual diriku demi 300 juta? Demi kesembuhan Ibu? Tapi aku tau, itu adalah hal yang sangat menjijikkan! Namun tak ada pekerjaan lain yang bisa aku kerjakan untuk mendapat- kan uang banyak dalam waktu singkat dan cepat!”.
Aku tak ada pilihan lagi. Mungkin pekerjaan itu memang benar-benar harus aku lakukan. “Tante Stella, Ayu mau, kerja sama tante, kerja seperti tante! Kapan aku bisa kerja?!” “Benarkah? Apa kamu ikhlas, merelakan tubuh kamu se- bagai pemuas, untuk bapak-bapak, mas-mas, atau om-om? Kamu siap melayani mereka?
“Ayu siap, demi keselamatan Ibu!” “Oke!” Kemudian tante menghubungi rekannya. Malam itu juga
tante merubah penampilan aku, dan membawa aku ke suatu tempat yang aku tak tau di mana itu. Di tempat itu ku jumpai
~ PIANO DALAM PASIR ~
banyak wanita sexy dengan berbagai macam tipe lelaki. Hampir muntah aku melihat semua itu, namun tetes air mataku tak ada artinya lagi, karna sebentar lagi. Aku akan sederajat dengan mereka itu.
“Ayu...! Kenalkan ini bos mami. Tante kerja dengan dia dan sekarang kamu juga!. “Selamat malam Bu! Nama saya Ayu!” “No...no...no.! Jangan panggil Ibu! You now? Panggil I , bos
mami, yah atau mami. Kamu ngerti?” “Iya Bu! Maksud saya bos mami!” Bos mami dan tante Stella bilang, aku bisa kerja malam
ini, tapi aku takut. Aku takut bagaimana tanggapan Ayah dan Ibu nanti, kalau mereka tahu, uang yang aku dapat adalah hasil aku tidur dengan banyak laki-laki.
“Ayu...! Kamu kenapa? Ow ya, mami bilang, sudah ada orang yang mau sama kamu. Kamu lihat om itu, dia orang kaya, kalau dia tanya kamu minta berapa sebutin aja yang kamu mau! Kamu samperin om itu, ajak dia ke kamar 17 dan layani dia sampai puas!”
Hatiku hancur mendengar perkataan tante barusan. Masa depanku akan hancur di kamar 17 sejalan dengan umurku 17 tahun. “Iya tante” Kemudian, kudekati om itu. “Dag...dig... dug..., detak antung lebih kencang dari ketika aku menatikan nilai rapor kemarin.
“Hai,...! Kenapa cemberut? Takut? Sama om? Terang saja, om gak akan makan kamu. Malam, om akan memberikan ke- senangan buat kamu! Ayok,...! Ow ya, nama kamu siapa?”
“Nama..., nama....” “Iya nama! Nama kamu siapa manis?” Sekali lagi om itu bertanya sambil mencolek pipiku dan
mencubit daguku. Serasa ingin pingsan aku malam itu. Seperti- nya labih baik mati daripada harus menjual diri, tapi Ibu?!”
Tanpa pikir panjang lagi dan sebelum aku berubah pikiran, aku membawa om itu ke kamar nomor 17. Ku kunci pintu ka- mar itu, lalu ku pandang ranjang kamar yang telah terbaring
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
sosok tubuh lelaki yang sama sekali tidak aku kenal dan aku harus memberikan harta yang paling berharga!.
“Manis sini dong, dekat om! Om sudah gak tahan!” “Iya om, sebentar dong, pelan-pelan! Gak usah buru-buru!” Berjuta rasa merasuk dalam jiwaku! Apalagi saat om itu
memegang pundakku, dan membaringkan aku di ranjang itu. Kututup Mataku rapat-rapat, dan tanganku menggenggam erat- erat seolah ingin ku pukul, ingin ku bunuh om-om itu. Kemu- dian om itu sedikit demi sedikit membuka bajuku. Hatiku begitu hancur, setelah aku, tanpa sehelai kain yang melekat di tubuh- ku dan juga om itu ketegangan membelenggu jiwaku, saat ku- tatap om itu dan ia hendak melakukannya. Aku hanya bisa me- mejamkan mata, dan berharap ini tidak akan terjadi.
“Tidak mungkin!!!” Aku tersentak dengan kata-kata itu. Padahal aku sama-
sekali tidak menyentuh om-om itu. “Kenapa om?!” Tanyaku lirih. “Nggak mungkin! Bukan, bukan kamu!” Entah kenapa om itu mengenakan kembali pakaiannya
dan menyuruh aku mengenakan pakaianku lagi, bahkan, ia juga mengenakan jasnya padaku. Aku bersyukur, karena harta itu tidak jadi tercuri, tapi darimana aku dapetin 300 juta?!
“Ayu, siapa nama orang tua mu?” “Kenapa om? Emangnya kalau mau nglakuin ini, harus
tau saya anak siapa?” “Bukan! Tapi tanda itu, tanda lahir di perut mu mirip, bah- kan persis dengan tanda anak perempuan ku, yang dulu tidak saya kehendaki!”
“Ayah saya, .... Bakri dan Ibu saya Ratri, tapi mereka bilang, saya bukan anak kandungnya! Tapi mereka juga nggak bilang, siapa orang tua kandung saya! Yang saya tahu, ibu selalu me- nyuruh saya menyimpan ini!”
Aku menunjukkan kotak kecil, yang sama sekali aku tak tahu isinya. “Apa? Kotak ini? Ayu, aku yakin, kamu adalah anak kan- dung saya!”
~ PIANO DALAM PASIR ~
“Tapi kenapa Anda tidak menghendaki kelahiran bayi Anda?” “Karena dia perempuan! Dan keluarga Wisnu Subandrio, butuh penerus dan itu adalah anak laki-laki. Tapi istri saya, me- lahirkan anak perempuan. Saya meninggalkan kamu di sebuah gubuk dengan kotak ini, yang berisi cincin permata!” Ia men- ceritakan semua yang terjadi. Aku pun percaya, bahwa Pak Wisnu ini ayah kandungku. Dia sering jajan karena istrinya tak mau lagi melayaninya, karena anak pertamanya dibuang. Dan sam- pai sekarang ia tak mendapat keturunan.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Mutiara yang Pernah Hilang
Puput Puji Lestari
etika rembulan hilang ditelan kegelapan malam, bintang- bintang hanya mengintip dibelakang awan kesunyian
datang. Malam ini adalah malam pengumuman hasil ujian. Di- mana malam yang penuh ketakutan dan keraguan. Semua mu- rid SMA N Harapan Jakarta Selatan menunggu pengumuman pagi harinya. Apakah mereka akan lulus? Hari esok adalah hari pengumuman kelulusan. Seperti yang dirasakan oleh Putri anak semata wayang keluarga kaya di Jakarta. Putri adalah anak yang terkenal pelit, sombong, angkuh, keras kepala, dan tidak rajin.
Keesokan harinya Putri bangun pagi-pagi sekali. Tak seperti biasa, ia bangun lebih awal dari hari-hari sebelumnya. Entah apa yang membuat ia begitu resah. Sejenak ia pikirkan, ternyata hari ini adalah hari penentuan kelulusan. Dia begitu terlihat diam. Ia sedih, takut kalau janji mamanya yang ingin membeli- kan tiket ke Bali gagal karena tidak lulus ujian. Ia begitu resah dan seperti mati gaya.
Setelah itu ia mulai bangun dan mendudukkan diri di sam- ping ranjang kakinya mulai mencari-cari sandal bulu. Sampai akhirnya Putri berjalan menuju ke kamar mandi. Segera ia sambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Cibar ... cibur ... ia siramkan air yang begitu dingin dibadannya. Bbrrr ... cepat-
~ PIANO DALAM PASIR ~
cepat ingin selesai mandi dan turun untuk sarapan. Walaupun ia tahu, masih terlalu pagi untuk sarapan.
Pukul setengah enam ia langkahkan kaki ke luar kamar dan menuju meja makan. Setelah sampai di meja makan, wajah bertambah suram.
“Bibi ...” Berteriak dengan begitu kerasnya, sambil memu- kul meja makan. Seorang bibipun berlari terbirit-birit menuju meja makan dengan meninggalkan makanannya di dapur. Karena bibi keta- kutan dengan suara Putri yang begitu marah, bibipun lupa me- nurunkan masakan yang akan dihidangkan kepada Putri yang galak itu.
“Ya non, ada apa tumben non Putri jam segini sudah siap?” Tanya bibi itu dengan ketakutan. “Eh bik ..., emangnya bibi nggak tahu kalau hari ini penen- tuan kelulusanku?” Dengan wajah begitu marah. “Ma ... ma .... maaf non, bibi tahu tapi bibi tidak tahu kalau non Putri bangun pagi-pagi sekali. Biasanya non Putri jam se- tengah tujuh baru siap di meja makan” kata bibi sambil menun- dukkan badan.
“Iya itu kemarin-kemarin, tapi sekarang tidak. Aku mau berangkat sekolah pagi-pagi, cepat siapkan makan pagi untuk- ku.” Kata Putri dengan suara keras.
Bibi hanya terdiam menunduk dengan membawa gula Jawa untuk masak. Dari dapur, tercium masakkan bibi yang gosong. Putri terdiam dan berkata
“Bau apa ini?” Bibi berpikir dan terdiam sejenak. Lalu bibi berteriak. “Haahhh ... non itu masakan bibi” Bibi sambil berlari
menuju dapur. “Dasar bibi bodoh ... “ Kata Putri dengan wajah yang masam. Putri marah-marah dan duduk di meja makan. Ia berpikir
masakan itu bisa hangus karena keteledoran bibi. Dan Putri berpikir, apakah pelajaran disekolah juga akan seperti makanan itu. Hanya karena kesombongan dan malasnya Putri. Putri tidak
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
dapat lulus? Tatapan Putri penuh dengan tanda tanya ???? Otak- nya tidak terhenti memikirkan siapa dirinya. Mampukah ia menaklukkan rasa takut itu? Pikiran Putri seakan kosong.
Thek ... thek ... thek suara sepatu ayah dan ibu Putri yang sudah siap untuk sarapan. Orang tua Putri pun kaget melihat anak gadisnya duduk sendiri melamun di kursi makan dengan sendok di tangannya, seakan Putri memikirkan sesuatu. Ayah- nya pun menghampiri Putri dan berkata.
“Putri ... “ Sambil berteriak “Kenapa kamu nak?” Dengan gaya memanjakan anak ke-
sayangannya itu. “Hah ....” Putri pun berteriak dan kaget. “Mama Papa apa-apaan sih kagetin Putri aja deh, kaya di
....” Mama Putri memutuskan pembicaraan Putri. “Putri sayang kamu kenapa, kamu yang mengagetkan
mama papa, tidak seperti biasanya kamu bangun pagi-pagi terus melamun di meja makan lagi, kamu kenapa nak?”
“Putri takut ma, kalau seandainya Putri nanti tidak lulus.” Jawab Putri. “Kenapa takut? Kamukan anak rajin dan pintar, sampai- sampai nilai ulangan harianmu aja kurang dari 5 terus.” Sambil duduk dengan kata menyindir.
Putri pun menangis keras. “Haaa .... Papa bicara apa sih? Kenapa bicara seperti itu
pada Putri?” “Putri jadi tambah sedih kan pa ...!” Sahut mama Putri. Suasana terdiam setelah bibi datang membawa hidangan
untuk sarapan. “Sayang ayo kita sarapan dulu!” Kata mamanya. “Nggak ma Putri sebel sama papa.” Jawab Putri. “Sayang nggak boleh begitu. Mama janji dech kalau Putri
lulus atau tidak lulus mama beliin tiket tour ke Bali. Mama beliin tiket juga untuk Rina, Nani, dan Nita.” Sambung mama- nya. (Rina, Nani, dan Nita adalah sahabat Putri).
~ PIANO DALAM PASIR ~
“Yang benar ma? Asyik. Makasih ya ma” ucap Putri. “Mama jangan terus memanjakan Putri ma, Putri sudah
dewasa, biarkan Putri belajar mandiri!” Bentak Pak Ihbal! Nafsu makan Pak Ihbal hilang setelah mendengar perkata- an istrinya yang menjanjikan tiket tour untuk Putri, Pak Ihbal pun keluar rumah dan langsung berangkat kerja.
Bu Zani adalah ibu yang suka memanjakan anaknya. Putri adalah anak tunggal. Sehingga dari kecil Putri terbiasa hidup mewah dan suka menghambur-hamburkan uang bersama mamanya untuk pergi ke Mall ke Salon. Sampai-sampai hampir setiap hari Pak Ihbal dan Bu Zani bertengkar masalah uang. Bu Zani adalah seorang ibu rumah tangga, tapi suka menghambur- kan uang.
Karena waktu sudah berjalan begitu cepat Putri langsung pergi berangkat menuju sekolah.
Sesampai di sekolah Puri langsung menghampiri sahabat- sahabatnya itu. “Hai Nan, Rin, Nit apa kabar?” Dengan wajah yang ceria. Ketiga sahabatnya kaget melihat Putri yang begitu senang
padahal belum ada pengumuman kelulusan. Kelulusan akan diumumkan setengah jam lagi.
“Put, kamu kenapa kok ceria gitu sih?” Padahal peng- umuman masih setengah jam lagi !!!” Sapa Nani. Mereka bertiga berpikir, apa Putri gila sebelum kelulusan diumumkan. Tidak seperti biasa, karena setiap ada pengumum- an yang menentukan nasib Putri, Putri selalu resah dan gelisah tetapi meskipun selalu seperti itu Putri tidak mau berubah.
Putri benar-benar anak yang malas dan keras kepala. Tidak pernah mau belajar apalagi di nasihati ataupun dikritik, ia selalu membantah. Ia berpikir bahwa dirinyalah yang paling bagus, baik paling menang sendiri pali...ng Ok!
“Teman-teman, kata mamaku meskipun aku tidak lulus tapi mama tetap akan kasih aku tiket tour ke Bali, kalian juga ikut kok” kata Putri.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Yang bener Put, masak mama mu sebaik itu sih?” Tanya Rina. “Eh, jangan salah Putri kan anak orang kaya mana mung- kin Putri bohong.” “Setiap kemauan Putri kan selalu dituruti oleh orang tua- nya.” Sahut Nani. “Betul kata Nani.” Sahut Nita. Memang di sekolah dan dimanapun Putri terkenal anak
manja dan setiap kemauan Putri pasti dituruti oleh kedua orang tuanya. Hanya saja ayahnya selalu melarang Putri mengham- bur-hamburkan uang.
Ayah Putri mengajari Putri untuk hidup hemat tapi mama Putri yang menggagalkan ajakan Pak Ihbal untuk hidup hemat. Tiga puluh menit pun berlalu. Semua siswa SMA N Harap- an melihat pengumuman di mading dekat perpustakaan. Ketiga sahabatnya itupun berlarian menuju tempat pengumuman. Hanya Putri yang tetap berdiam diri duduk di kursi taman.
Putri diajak teman-temannya tapi tetap tidak mau. Di da- lam pikiran Putri hanyalah kute .... Putri sudah beberapa kali datang ke Bali tapi masih saja belum puas pikirannya hanya Bali, Bali, dan Bali. Di benak Putri selalu berkata hah seandai- nya aku tidak lulus Ujian Nasional tidak masalah bagiku, yang penting aku bisa pergi dan menikmati pulau Dewata bali. Bali sudah membutakan pikiran Putri.
Tak lama kemudian suara pengumuman terdengar. “Panggilan panggilan kepada Putri kelas 3 jurusan IPA
dimohon menghadap kepala sekolah.” Putri pun kaget, kenapa hanya Putri yang dipanggil ada apa???? Di hati Putri tanda tanya besar? Putri pun menuju ruang kepala sekolah.
Sebelum masuk ke ruang kepala sekolah Putri diberi kabar ketiga temannya itu dan kabar itu ialah bahwa Putri tidak lulus ujian dan hanya Putri yang tidak lulus, Putri tetap tersenyum dan tidak kaget. Putri langsung menuju ke ruang kepala seko- lah.
~ PIANO DALAM PASIR ~
Tok tok tok ... suara ketukan jemari Putri memukul pintu ruang kepala sekolah. “Masuk ....” Terdengar suara bapak kepala sekolah dengan suara marahnya. “Ada apa ya pak?” Kok saya dipanggil? Ada yang penting?” tanya Putri dengan wajah yang sok cantik dan kaya itu. “Cepat duduk bapak mau tanya! Kenapa kamu bisa tidak lulus? Di SMA ini belum ada 1 siswa atau siswi yang tidak lulus. Tapi ini terjadi pada kamu. Sekolah ini sudah terkenal sekolah faforit. Saya tidak mau kamu mencemari nama baik sekolah ini!” kata Pak Burhan (kepala sekolah).
“Ya pak, zaman sekarang itu, pelajaran susah semua. Ya wajar donk kalau ada murid yang tidak lulus.” Jawab Putri dengan tatapan yang menantang kepala sekolah.
“Apa katamu? Kamu berani menantang bapak seperti itu?” tanya kepala sekolah. “Eh pak, penyumbang terbesar di sekolah ini siapa kalau bukan ayah saya, jadi bapak nggak usah marah-marah gitu deh! Ayah saya juga bisa kok membeli sekolah ini!” Jawab Putri dengan marah.
Dengan wajah marah Pak Burhan berkata “Cepat kamu tinggalkan ruangan ini! Kamu benar-benar
anak keras kepala dan tidak sopan!!!” Putri langsung keluar dengn tidak sopan dan membanting pintu. Derrrrr .... Suara pintu membuat perhatian para siswa teralih ke Putri. Sampai di luar ruangan Putri diejek teman-temannya. “Heeehhh tidak lulus aja sok benget loe!” Kata salah seorang siswa .... Semua teman-teman memberi sorakan “Huuuuhhh” Putri hanya bilang “Yang penting bisa tour ke Bali ye... kalian semua tidak
bisa kan?” Dengan suasana runyam seperti itu Putri langsung keluar sekolah dan menghampiri mobil mewah yang sudah siap menunggu Putri di depan gerbang sekolah. Nani, Rina, dan Nita
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
memanggil-manggil Putri tetapi Putri langsung masuk ke mobil mewah itu dan menuju rumah. Putri tidak menghiraukan suara ketiga sahabatnya itu.
Pada saat itu juga. Ayah Putri Pak Ihbal tidak banyak pikir langsung memblokir kartu kredit istrinya (Bu Zani) dan anaknya (Putri).
Pak Ihbal tidak mau uang tabungan itu hanya dihabis-ha- biskan untuk hal yang tidak penting. Pak Ihbal tidak menyukai cara istrinya mendidik anak dengan memanjakan seperti itu.
Sesampainya di rumah, Putri langsung masuk rumah dan dengan hati ceria menghampiri mamanya yang sedang mem- baca majalah di lantai belakang. Putri bilang bahwa dirinya tidak lulus dan menanyakan kapan ia dan ketiga temannya bisa be- rangkat tour ke Bali. Putri juga menceritakan kemarahan kepala sekolah ke mamanya, tapi mamanya tidak kaget dan tidak ba- nyak bicara. Mamanya langsung pergi mencari tiket untuk Putri.
Sesampai di tempat, ibu Zani (mama Putri) kaget men- dengar kata-kata petugasnya (penjual tiket), kalau kartu kredit- nya sudah keblokir. Bu Zani malah marah-marah dan langsung berpikir pasti yang memblokir suaminya. Bu Zani langsung pergi ke kantor Pak Ihbal suaminya.
Sesampai di kantor Pak Ihbal tidak kaget melihat keda- tangan istrinya. Karena Pak Ihbal sudah menduga kalau istrinya akan datang. Istrinya langsung marah-marah tetapi karena saat itu ada meetting Pak Ihbal tak banyak dengar langsung keluar ruangan bersama sekretarisnya menuju ruang meetting. Bu Zani sangat marah karena kata-katanya tidak didengar bahkan ditinggal Pak Ihbal meetting. Bu Zani langsung pulang.
Di jalan (dalam mobil) Bu Zani terdiam berpikir, bagaimana nasib Putri setelah mendengar bahwa tour ke Bali akan gagal
~ PIANO DALAM PASIR ~
karena kartu kreditnya diblokir ayahnya. Pikiran Bu Zani sudah tidak brutal. Pikirannya sudah melayang kemana-mana. Bu Zani hanya berpikir apakah Putri mampu dan sanggup mene- rima semua ini? Karena disisi lain Putri tidak lulus. Sampai di rumah Bu Zani hanya terdiam dan langsung duduk di kursi belakang (teras belakang). Wajahnya terlihat begitu sedih. Putri melihat mamanya sedih, Putri langsung ke atas (ke kamar) dan menangis. Mama Putri melihat keadaan Putri lari dan menangis mama Putri langsung panik dan mengikuti langkah Putri ke kamar. Putri langsung menangis tersedu-sedu. Mamanya minta maaf ke Putri dan menjelaskan semuanya. Putri hanya menangis dan meminta mamanya keluar dari kamarnya. Putri ingin me- renungi semua kesalahannya. Dan mamanya pun keluar ka- mar.
Putri terus menangis dan berpikir apakah ini akibat dari keteledoran dan kesombongan dari dirinya. Mungkin tidak akan lagi ada semangat di hidupnya. Baru saja satu bulan Putri me- nangis, mengisi putus dengan pacarnya yang bernama Andri. Dulu Andri juga tidak menyukai sifat dan cara hidup Putri. Andri selalu mengingatkan Putri untuk berubah tetapi Putri tidak mau berubah dan akibatnya mereka putus. Andri benar-benar kecewa dan tak mau lagi melihat bayang-bayang wajah Putri.
Teman-teman Putri sudah masuk di perguruan tinggi, te- man, sahabat, begitu juga Andri mantan pacar Putri. Andri men- dapat Universitas yang favorit, jurusan kedokteran. Putri ber- sedih, tetapi Putri juga ingin mengubah dirinya menjadi kedepan lebih baik.
Putri masuk di SMA N Harapan. Meskipun masih meng- ulang satu tahun kelas 3 Putri tetap semangat. Pada saat masuk pertama juga, Putri minta maaf ke guru-guru dan terutama kepada kepala sekolah yang dulu pernah Putri bentak. Putri juga berjanji kepada kedua orang tuanya untuk mengubah sifat buruknya untuk lebih baik. Ayah dan mama Putri senang me- lihat perubahan Putri. Sekarang Putri menjadi anak yang rajin, pintar, dan baik.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Satu tahun kemudian pengumuman kelulusan. Putri lulus dan dapat juara pertama (juara umum) di SMA tersebut. Putri senang sekali, Putri bangga dengan dirinya begitu juga orang tua dan teman-temannya yang sudah lulus mendahului Putri.
Putri dapat masuk ke Universitas yang favorit juga. Putri mengambil jurusan kedokteran. Pada saat penyesuaian menjadi mahasiswi Universitas favorit itu, dengan tidak sengaja Andri (mantan pacar Putri) menjadi seniornya. Dan Andri melihat perubahan Putri yang begitu dahsyat Andri sekarang menilai Putri adalah cewek yang baik bagaikan mutiara.
Karena satu kampus, Putri dan Andri mulai dekat lagi. Mereka sama-sama masih menyimpan rasa cinta. Dan pada suatu hari Andri mengungkapkan rasa cinta itu ke Putri. Putri pun menerima Andri kembali. Di kampusnya Putri dan Andri dikatakan pasangan serasi. Hubungan mereka berlanjut hingga pelaminan. Mereka pun hidup bahagia. Dan sekarang Putri menyadari, bahwa hidup ini tidak perlu membanggakan harta ataupun kekayaan. Tapi kepedulian terhadap lingkungan harus tetap di lestarikan. Andri pun merasa senang karena telah me- nemukan kembali mutiara yang pernah hilang.
~ PIANO DALAM PASIR ~
Biodata Peserta Bengkel Sastra Indonesia Tahun 2009
Nama: Anita Puspita Sari Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
29 Juli 1991 Agama: Islam Sekolah: SMK Muhammadiyah 1 Wonosari Alamat Sekolah: Jalan Alun-alun Barat 11 Wonosari Alamat Rumah: Gelaran 2 Bejiharjo, Karangmojo Telepon/HP: 087838256103 Hobi: Berenang dan bernyanyi Prestasi: Juara 1 Menyanyi Tingkat Kabupaten
Nama: Arum Danarti Purnomo Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
15 September 1992 Agama: Islam Sekolah: SMA N 2 Wonosari Alamat Sekolah: Jalan Ki Ageng Giring 3 Wonosari, Gunungkidul Alamat Rumah: Singkar II RT 03/RW 06 Wareng, Wonosari, Gunungkidul
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Telepon/HP: 08122955223/087839082217 Hobi: Membaca dan menulis Prestasi: Juara I MSQ Tingkat Kabupaten (2008)
Nama: Astari Juwita Ningtyas Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
5 Maret 1992 Agama: Islam Sekolah: SMA N 2 Playen Alamat Sekolah: Jalan Wonosari- Yogyakarta km Alamat Rumah: Gading II Gading, Playen, Gunungkidul Telepon/HP: (0274) 392031/081931796276 Hobi: Membaca, menulis, dan nonton TV Karya tulis:
- Rokok Daun Sirih (KIR) - Memupuk Rasa Nasionalisme
Generasi Muda Melalui Peringatan Perayaan Kemerdekaan RI (KIR)
Prestasi: - Finalis KIR tingkat Kabupaten (2008) - Juara Harapan II KIR UAD dalam
rangka Hardiknas dan Hari Kebangkitan Nasional (2009)
Nama: Astika Nurwidyawati Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
15 Januari 1993 Agama: Islam Sekolah: SMA N 2 Wonosari Alamat Sekolah: Jalan Ki Ageng Giring,
~ PIANO DALAM PASIR ~
Kepek, Wonosari, Gunungkidul Alamat Rumah: Mulo, Wonosari, Gunungkidul Telepon/HP: 08170430443 Hobi: Menulis, menyanyi, belajar bahasa Inggris Karya tulis: “Modifikasi Kompor Bio Gas” Prestasi:
- Juara II Lomba Menulis Bahasa
Inggris se-Kabupaten Gunungkidul - Juara Harapan I Speech English
Nama: Dedi Susanto Jenis kelamin: Laki-laki Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
19 November 1991 Agama: Islam Sekolah: SMA N 1 Patuk Alamat Sekolah: Bunder, Patuk, Gunungkidul Alamat Rumah: Wareng, Ngalang, Gedangsari, Gunungkidul Telepon/HP: Membaca dan Mendengarkan Musik
Nama: Fransisca Anida Dyan Kusuma Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
25 September 1992 Agama: Katolik Sekolah: SMA N 1 Semin Alamat Sekolah: Bulurejo, Semin, Gunungkidul Alamat Rumah: Sambeng V RT 06/RW 05 Sambirejo, Ngawen, Gunungkidul
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Telepon/HP: 081804288874 Hobi: Membaca, menulis, dan melukis Karya tulis:
1. Kerajinan Akar Wangi di Dusun Kepek, Semin, Gunungkidul
2. Kelengkapan dan Kesiapan Siswa SMA N 1 Semin XI IPS 3 dalam Mengendara Sepeda Motor
Nama: Galih Sri Gunawan Jenis kelamin: Laki-laki Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
8 Maret 1991 Agama: Islam Sekolah: MAN Wonosari Alamat Sekolah: Jalan Sunan Ampel, Trimulyo 2, Kepek, Wonosari Alamat Rumah: Trimulyo 2, Kepek, Wonosari, Gunungkidul Telepon/HP: Hobi: Mendengarkan musik
Nama: Kurnia Sridamayanti Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
19 Juni 1992 Agama: Islam Sekolah: SMA N 1 Playen Alamat Sekolah: Plembutan, Playen, Gunungkidul Alamat Rumah: Saptosari, Saptosari, Gunungkidul Telepon/HP: 087871325521
~ PIANO DALAM PASIR ~
Nama: Nia Susanti Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
23 Oktober 1991 Agama: Islam Sekolah: SMA 2 Playen Alamat Sekolah: Jalan Wonosari Yogyakarta Alamat Rumah: Piyaman II RT 03/RW 02, Wonosari, Gunungkidul Telepon/HP: 085228271251/ 087890928557 Hobi: Membaca Novel, Menulis, Hang Out, Mendengarkan Musik Karya tulis:
1. Cerpen (6 judul)
2. Puisi (3 judul) Prestasi: Juara III Lomba Debat Bahasa Inggris SMA N 2 Playen
Nama: Nur Hidayati Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
16 Oktober 1993 Agama: Islam Sekolah: SMA Muhammadiyah Wonosari Alamat Sekolah: Jalan Kyai Haji Agus Salim, Gg Boegenvil Alamat Rumah: Bendungan, Karangmojo, Gunungkidul Telepon/HP: 085292406266 Hobi: Baca Cerpen, Novel, Mendengarkan Musik
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Nama: Nuri Fatimah Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
2 Oktober 1993 Agama: Islam Sekolah: SMA N 1 Wonosari, Gunungkidul Alamat Sekolah: Jalan Brigjen Katamso 04 Wonosari, Gunungkidul Alamat Rumah: Prampelan II, Kenteng, Ponjong, Gunungkidul Telepon/HP: 08995064594 Hobi: Basket dan Membaca Novel
Nama: Nur Thoyyib Majid Jenis kelamin: Laki-laki Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
2 Agustus 1992 Agama: Islam Sekolah: SMA N 1 Wonosari, Gunungkidul Alamat Sekolah: Jalan Brigjen Katamso 4 Wonosari, Gunungkidul Alamat Rumah: Grogol III, Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul Telepon/HP: (0274) 6912454081904193737 Hobi: Main Game
Nama: Oky Fatmasari Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
28 Oktober 1993 Agama: Islam Sekolah: SMA N 2 Wonosari, Gunungkidul Alamat Sekolah: Jalan Ki Ageng Giring 3, Trimulyo, Kepek, Gunungkidul
~ PIANO DALAM PASIR ~
Alamat Rumah: Karang, Jetis, Saptosari, Gunungkidul Telepon/HP: 087838214292 Hobi: Membaca dan basket Karya tulis: Puisi
Nama: Oki Wiriani Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
21 Oktober 1992 Agama: Islam Sekolah: SMA Muhammadiyah Wonosari Alamat Sekolah: Jalan Kyai Haji Agus Salim, Gg Bauganvil Alamat Rumah: Pakel Rejo, Piyaman, Wonosari, Gunungkidul Hobi: Membaca
Nama: Puput Puji Lestari Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
3 Agustus 1991 Agama: Islam Sekolah: SMK Muhammadiyah 1 Wonosari Alamat Sekolah: Jalan Alun-alun Barat 11, Wonosari Alamat Rumah: Ngleri Kulon, Ngleri, Playen, Wonosari, Gunungkidul Telepon/HP: 081931378521 Hobi: Menyanyi Prestasi: Juara I Menyanyi Hadroh se- Kabupaten Gunungkidul
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Nama: Purwanti Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
13 April 1991 Agama: Islam Sekolah: SMA Pembangunan 1 Wonosari, Gunungkidul Alamat Sekolah: Jalan Tentara Pelajar 44, Trimulyo, Kepek, Wonosari Alamat Rumah: Karang Rejek, Wonosari, Gunungkidul
Nama: Ririn Andaryani Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
27 November 1992 Agama: Islam Sekolah: SMA N 1 Patuk Alamat Sekolah: Bunder, Patuk, Gunungkidul Alamat Rumah: Plembungan, Putat, Patuk, Gunungkidul Telepon/HP: 087838246793 Hobi: Membaca Novel
Nama: Sukamto Jenis kelamin: Laki-laki Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
25 Agustus 1991 Agama: Islam Sekolah: SMA N 1 Panggang Alamat Sekolah: Giriwungu, Panggang, Gunungkidul Alamat Rumah: Girisuko, Panggang, Gunungkidul Telepon/HP: 081904128233 Hobi: Mendengarkan dan Main Musik
~ PIANO DALAM PASIR ~
Nama: Suratini Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
20 Juli 1992 Agama: Islam Sekolah: SMA Pembangunan 1 Wonosari, Alamat Sekolah: Jalan Tentara Pelajar 44, Trimulyo, Kepek, Wonosari Alamat Rumah: Karang Rejek, Wonosari, Gunungkidul
Nama: Theresia Rositasari Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
21 Maret 1992 Agama: Katolik Sekolah: SMA Dominikus Alamat Sekolah: Jalan Mgr. Sugiyopranoto, Wonosari Alamat Rumah: Nglipar, Wonosari, Gunungkidul Telepon/HP: 085729229532 Hobi: Menyanyi, Main Band, dan Membaca
Nama: Tri Puji Pangesti Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
6 November 1991 Agama: Islam Sekolah: SMA N 1 Semin Alamat Sekolah: Bulurejo, Semin, Alamat Rumah: Klepu, Rejosari, Semin, Gunungkidul Telepon/HP: 085643008136 Hobi: Bermain Musik, Mendaki Gunung
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Karya tulis: “Destructio Parasit dalam Tubuh Manusia” (Karya Ilmiah)
Nama: Triwik Kristina Rahayu Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Tangerang,
19 Januari 1993 Agama: Katolik Sekolah: SMA N 1 Semanu Alamat Sekolah: Semanu Selatan, Semanu, Gunungkidul Alamat Rumah: Kropak, Candirejo, Semanu, Gunungkidul Telepon/HP: 085228338430
Nama: Vilda Umami Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
13 Agustus 1991 Agama: Islam Sekolah: SMA Pembangunan 2 Karangmojo, Gunungkidul Alamat Sekolah: Srimpi, Karangmojo, Alamat Rumah: Gentungan, Karangmojo, Gunungkidul Telepon/HP: 087839979441 Hobi: Membaca Buku Cerita
Nama: Yekti Ageng Lestari Jenis kelamin: Perempuan Tempat, tanggal lahir: Gunungkidul,
11 Desember 1993 Agama: Islam Sekolah: SMK N 1 Wonosari Alamat Sekolah: Jalan Veteran Wonosari
~ PIANO DALAM PASIR ~
Alamat Rumah: Mojo, Dadapayu, Semanu, Gunungkidul Telepon/HP: 081999961009 Hobi: Baca Buku dan Bermain
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~