Bahagia, Duka, dan Dosa

Bahagia, Duka, dan Dosa

Dedi Susanto

ehidupan wanita desa yng menikah dengan seorang laki- laki kota yang penuh duka, lara, dan bahagia. Wanita itu

adalah Santi, seorang wanita yang baik hati dan lugu. Sedang- kan laki-laki kota itu adalah Rendra, seorang laki-laki yang tam- pan dan baik hati. Mereka bertemu di desa, tempat tinggal Santi. Pada saat itu, Rendra sedang mengunjungi kakek dan neneknya di desa itu. Rendra tidak sengaja bertemu dengan Santi. Mulai saat itu tumbuhlah benih-benih cinta di hati Rendra yang se- pertinya itu merupakan cinta pada pandangan pertama.

Rendra pun mencari informasi tentang wanita yang mem- buatnya jatuh cinta itu. Dia pun mendapatkan semua informasi mengenai wanita yang bernama Santi tersebut. Rendra pun mulai mengadakan pendekatan terhadap Santi. Santi menyam- butnya dengan senang hati sehingga gayung bersambut. Hanya dalam waktu dua minggu Rendra kemudian melamar Santi dan mengajaknya segera menikah. Santi menyanggupi ajakan Rendra.

Setelah menikah, Rendra mengajak Santi hidup di kota. Santi menyambut ajakan Rendra karena ingin berbakti pada suami. Keduanya berangkat ke kota dan tinggal di rumah kon- trakan Rendra dahulu. Mereka mulai hidup baru dengan peuh kebahagiaan. Rendra dan Santi termasuk keluarga harmonis, saling mencintai dn menghormati. Keadaan itu membuat ba- nyak orang yang iri. Rendra adalah suami yang bertanggung

~ PIANO DALAM PASIR ~

jawab. Dia bekerja keras untuk menghidupi istrinya. Sebagai istri, Santi menjalankan kewajibannya dengan baik.

Beberapa bulan berlalu dan Santi mengandung. Betapa ba- hagianya Rendra dan Santi yang akan mendapatkan hasil dari buah cinta mereka. Bayi yangmungil itu pun tak lama lagi akan lahir dan mereka timang. Rendra semakin giat bekerja dan Santi selalu menjaga kesehatan bayi yang dikandungnya. Cinta Rendra kepada Santi pun bertambah besar.

Hari demi hari berlalu hingga saat yang dinanti-nantikan menunggu kelahiran bayi pun tiba. Santi melahirkan bayi laki- laki yang sehat dan lucu dengan selamat. Kebahagiaan Rendra tak terkirakan dan member nama buah hatinya, Rafa. Keduanya merawat dan membesarkan rafa dengan penuh kasih saying.

Satu tahun berlalu, Rafa mulai tumbuh besar sebagai balita yang lucu dan menggemaskan. Perkembangan Rafa, mulai dari tengkurap, merangkak, berjalan, dan berbicara mendapat per- hatian penuh kedua orang tuanya. Keadaan tersebut merupa- kan saat-saat paling bahagia bagi Rendra dan Santi.

Malang tak dapat ditolak dan untung tak dapat diraih, di saat Rendra pulang dari bekerja, ia mengalami kecelakaan hebat yang merenggut nyawanya. Santi sangat terkejut dan terpukul mengalami musibah itu. Santi seolah-olah tak percaya jika Rendra benar-benar telah terbujur kaku di rumah mereka. Ketika sadar akan peristiwa yang dialminya, hati Santi sedih dan hancur. Santi tak kuasa menerima cobaan berat ini. Santi tak menyang- ka, Rendra akan meninggalkannya secepat itu. Santi tak kuasa menghadapi kebahagiaan yang tiba-tiba terenggut darinya.

Kehadiran Rafa membuat Santi sedikit demi sedikit ber- usaha kuat dan tegar. Santi menyadari harus membesarkan Rafa dengan baik, meskipun hanya seorang diri. Santi mulai mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya. Mulai dari menjadi tukang cuci, pembantu, bahkan pemulung dijalani Santi dengan tabah. Meskipun telah seharian membanting tulang, tetapi penghasilan Santi tak cukup untuk hidup, apalagi untuk menyekolahkan Rafa. Santi, wanita desa yang hanya lulusan SMP tanpa memi-

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

liki ketrampilan apa pun pastilah sulit mendapatkan pekerjan yang layak. Di samping bekerja, Santi juga harus merawat Rafa. Kadang Santi merenung, sedih, dan menangis teringat akan almarhum suaminya. Jika Rendra masih kidup, tak akan ia meng- alami hidup yang sesulit sekarang ini.

Santi kemudian sadar bahwa tak ada manfaatnya larut dalam kesedihan. Ia mulai bersemangat untuk mencari pekerja- an kesana-kemari dari pagi hingga petang. Alhasil, suatu hari tetangga Santi yang bernama Helmi menawarkan sebuah peker- jaan di sebuah diskotik jika Santi berkenan. Santi kemudian mempertimbangkannya. Santi merasa bingung akan perawatan bagi Rafa yang masih kecil jika ditinggal bekerja. Di sisi lain, Santi sangat membutuhkan pekerjaan yang menjanjikan uang lumayan besar.

Istri Helmi, bernama nanik kasihan melihat kebingungan Santi dan sanggup untuk menjagakan Rafa selama Santi be- kerja. Santi merasa lega dan bahagia mendapat pertolongan Nanik. Tersebutlah hari itu merupakan hari pertama Santi mulai bekerja di diskotik. Santi merasa canggung dan terkejut saat pertama kali melihat suasana pekerjaannya di diskotik. Santi merasa asing di tempat yang ramai dan gaduh dengan suara music. Terlihat juga banyak wanita dan lelaki berjoget sambil mabuk-mabukan. Santi merasa bingung di tempat yang baru pertama kali didatangi. Santi ragu dan merasa takut be- kerja di diskotik. Hanya saja, Santi sangat membutuhkan uang saat itu maka Santi memberanikan diri tetap bekerja disitu.

Pada suatu malam, ada seorang lelaki hidung belang yang bermaksud menggodanya. Lelaki itu mengajak Santi ke hotel dengan bayaran tiga kali lipat dari gajinya. Santi menolaknya karena sadar bahwa ajakan itu perbuatan dosa dan ia ingin mem- pertahankan harga dirinya sebagai seorang ibu. Berulang kali lelaki itu merayunya, tetapi Santi yang cantik tetap menolaknya.

Ketika Santi sedang bekerja, tiba-tiba Nunik datang mene- muinya dan member kabar bahwa Rafa sakit. Santi bergegas pulang dan segera merawat Rafa. Dibawanya Rafa yang terlihat

~ PIANO DALAM PASIR ~

lemas, lunglai, dengan panas tinggi dan hidung mengeluarkan darah ke rumah sakit. Perasaan Santi bingung bercampur aduk sangat mengkhawatirkan kesehatan Rafa. Kebingungan Santi semakin menjadi setelah dokter memberitahukan bahwa Rafa terkena penyakit kanker darah. Santi sangat terpukul dan tak percaya akan nasibnya yang terlunta-lunta.

Dokter menyarankan agar Rafa segera dioperasi untuk me- nyelamatkan nyawanya sebelum terlambat. Santi semakin putus asa karena biaya operasi Rafa sebesar seratus juta. Uang sebesar itu tak mungkin Santi dapatkan, terlebih dalam waktu yang cepat.

Santi berusaha mencari pinjaman kesana-kemari, terma- suk di tempat kerjanya. Tak ada satu pun yang mau meminjami uang pada Santi. Dalam kepanikan yang memuncak, Santi teringat tawaran lelaki di diskotik kemarin. Kemudian Santi mencari lelaki tersebut untuk menerima tawarannya. Santi tidak sempat berpikir tentang harga diri maupun dosa. Santi hanyalah memikirkan akan keselamatan nyawa Rafa, anaknya. Ternyata untuk mendapatkan uang ratusan juta tidak hanya cukup dengan melayani satu laki-laki sehingga setiap malam Santi melayani tamu untuk mendapatkan uang yang cukup.

Setelah dua minggu, Santi berhasil mendapatkan uang se- ratus juta. Santi bergegas ke rumah sakit untuk menemui dokter agar segera melakukan operasi guna menyelamatkan Rafa. Sesampai di rumah sakit, Santi mendapat kabar dari dokter bahwa Rafa telah meninggal. Bagaikan disambar petir di siang hari, Santi berlari sambil meraung-raung memanggil-manggil nama Rafa. Santi bagaikan orang kesetanan mendapati Rafa pucat pasi dan tidak bernyawa lagi.

Hati Santi remuk tak tersisa. Usahanya selama ini hanya- lah sia-sia saja. Buah hati yang menjadi satu-satunya lentera hidup telah padam. Padam juga semangat hidup Santi yang me- nerima cobaan berat bertubi-tubi. Santi yang hidup sebatang kara tak kuasa lagi menanggung beban hidup yang berat. Santi mengalami gangguan jiwa,

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Gejolak

Astika Nurwidyawati

emang-remang temaram menemaniku merenungi nasib hidupku. Suara jangkrik seakan-akan mengejek dan mener-

tawakanku. Dari bilik bambu yang bolong, ku pandangi langit malam.

“Ah…,” dengusku,” andai saja hidupku seperti bintang, pasti aku akan sangat bahagia. Bisa melihat dan menikmati keindah- an dunia sesuka hati. Tapi apa daya, aku hanya seperti pungguk yang merindukan bulan.”

Ku lihat sekelilingku, kelima adikku tidur dengan pulasnya walaupun mereka harus berdesak-desakkan di atas dipan kayu sempit yang hanya beralaskan tikar anyaman pandan yang sudah rusak. Ku lihat lagi sekelilingku. Tak ada satu pun yang menarik. Sejauh mata memandang hanya terlihat bilik bambu yang sudah bolong sana-sini, lantai tanah yang dapat membuat orang batuk karena debunya, dan barang-barang rumah tangga yang telah usang. Rumahku sangat tidak layak dikatakan sebagai rumah. Dengan ukurannya yang hanya 5 X 5 meter, rumahku harus menampung 10 anggota keluargaku. Belum lagi barang pecah belah yang tidak tertata rapi menambah kepengapan rumahku.

Bapakku hanyalah seorang buruh bangunan yang peng- hasilannya tidak menentu. Bapak harus bekerja keras mencari sesuap nasi demi kelangsungan hidup kami. Sedangkan ibu hanyalah seorang buruh tani yang tenaganya tidak selalu dibu-

~ PIANO DALAM PASIR ~

tuhkan. Selain aku dan kelima adikku, kedua orang tuaku juga harus menanggung hidup kakek dan nenekku yang sudah tua. Betapa berat tanggungan mereka. Ingin rasanya aku membantu mereka. Tapi apa yang dapat dilakukan oleh seorang gadis 16 tahun?

“Ya Allah. Betapa berat ujian yang Engkau berikan kepada kami.” Rintihku sedih. Tanpa terasa air mataku berjatuhan satu per satu.

Suara kokok ayam memecah keheningan malam. Sayup- sayup ku dengar suara adzan dari masjid seberang. Ku lihat jam dinding usang yang menempel di tiang rumahku. Lalu ku langkahkan kakiku keluar rumah. Ku hirup udara pagi yang segar. Ku coba membangkitkan energi positif dari setiap tarikan nafasku dan ku buang jauh energi negatif dari dalam tubuhku melalui hembusan nafasku. Ku rasakan ketenangan. Damai. Setelah merasa tenang, aku langsung mengambil air wudlu dan mulai berkomunikasi dengan Tuhan melalui setiap lantunan do’aku.

“Nduk, ke sini sebentar!” Panggil bapakku. “Ada apa, Pak?” Tanyaku penasaran. Sekilas ku lihat raut

wajah penuh penyesalan dari Bapak. “Nduk, Bapak sudah tidak bisa membiayaimu sekolah lagi. Bapak sudah tidak kuat. Nduk. Maafkan bapak.” Aku hanya bisa diam dan ku biarkan air mataku membasahi wajahku. Hatiku hancur, perih.

“Tapi, Pak..” Kata-kataku terpotong. “Bapak tahu, Nduk. Bapak tahu. Tapi bapak benar-benar

sudah tidak sanggup. Kau tahu bagaimana kondisi kita. Hutang kita sudah menumpuk, belum lagi biaya adik-adikmu yang masih kecil-kecil itu. Maafkan Bapak, mungkin Bapak tidak adil.”

Tanpa kusadari, Bapak meneteskan air matanya. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Aku hanya bisa diam dan menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba Bapak membuka suara,”kamu tahu Ramlan anaknya Pak Mantri?” aku mengangguk.

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

“Dia yang akan menjadi pendampingmu, Nduk. Dia akan menjadi suamimu cepat atau lambat.” Lanjut bapak dengan nada penuh penyesalan.

“Tidak, Pak. Sari masih kecil. Sari juga tidak mencintai lelaki itu!!” Berontakku sambil beruraian air mata. “Tapi, Nduk. Ini jalan kita satu-satunya. Keluarga kita ber- hutang banyak dengan keluarga Ramlan. Dan Bapak tidak sang- gup membayarnya.”

“Tapi apa harus dengan menikah, Pak? Kita bisa mencari usaha lain untuk membayar hutang itu.” “Usaha apa lagi? Bapak sudah berusaha mati-matian me- ngumpulkan uang untuk bayar hutang. Walaupun bapak beker- ja keras selama 10 tahun tidak akan mampu membayar hutang itu. Dan sebagai ganti karena bapak tidak bisa membayar hu- tang, kamu harus menikah dengan Ramlan. Hanya kamu harapan bapak, Nduk. Hanya kamu harapan kami semua. Maafkan bapak.”

“Sebenarnya, berapa hutang Bapak?” “Limabelas juta.” Ketika itu juga ingin rasanya aku berlari meninggalkan

semua yang terjadi. Tapi aku bukanlah seorang pengecut. Aku kasihan melihat keluargaku harus hidup terlunta-lunta. Mung- kin inilah saatnya aku membalas budi orang tuaku. Dengan terpaksa dan membiarkan perasaan yang terus bergejolak hebat, ku putuskan menikah dengan Ramlan. Lelaki yang tak pernah sedikit pun aku cintai. Bahkan aku sangat membenci- nya. Semua itu berawal sekitar 3 bulan yang lalu. Lelaki busuk itu mencoba memperkosaku. Waktu pulang sekolah aku mele- wati jalan setapak yang sepi. Di sana Ramlan berdiri di depan sebuah gudang tua yang kosong. Aku tak curiga sama sekali. Tiba-tiba ia menyeretku bagai binatang. Aku dibawa masuk gudang. Aku berteriak sekuat tenaga, tapi hal itu hanya sia- sia. Tak ada orang yang mendengar. Aku dipojokkan ke salah satu sudut ruangan. Aku terus meronta dan Ramlan masih terus berusaha merusak kesucianku. Aku terus mencari cara untuk melarikan diri sambil berdo’a dalam hati. Akhirnya ku lihat

~ PIANO DALAM PASIR ~

sebuah balok bayu di sampingku. Dengan susah payah ku raih kayu itu sambil terus meronta. Ku lihat wajah Ramlan yang penuh nafsu lalu ku pukulkan kayu itu tepat di tengkuknya. Dia jatuh terkapar. Kesempatan itu ku manfaatkan untuk berlari me- larikan diri. Sesampainya di rumah ku ceritakan kejadian memalukan itu pada Bapak dan Ibu. Ibu hanya bisa menangis dan menyuruhku bersabar. Ku tatap wajah Bapak, tapi Bapak hanya bisa diam. Lalu Bapak berkata,” maafkan Bapak, Nduk. Bapak tidak bisa berbuat apa-apa untuk membelamu. Kita punya banyak hutang pada keluarga Ramlan dan kita tak mungkin melawan mereka.” Sejak itu aku hanya pasrah menerima ke- adaan. Sejak saat itulah aku sangat membenci makhluk yang bernama Ramlan itu.

Hari lamaran pun tiba. Ku pandangi wajahku di cermin. Sepertinya belum lama aku lahir di dunia fana ini. Tapi sekarang aku telah akan menjadi seorang istri. Seorang istri yang mung- kin belum dapat dikatakan sebagai istri, melainkan seorang bocah yang memakai status “KAWIN” di KTPnya. Ku lihat wajah Bapak. Bapak berusaha untuk tersenyum dan itu berhasil, tapi aku yakin tidak dengan hati dan perasaannya. Ku lihat Ibu, beliau hanya dapat meneteskan air mata tanda terharu karena bocahnya kini akan segera menjadi seorang istri.

Rombongan keluarga Ramlan pun tiba. Dengan angkuhnya mereka memasuki rumahku. Aku tidak sudi melihat mereka tapi karena ibu memaksaku, terpaksa ku angkat wajahku dan ku lihat wajah-wajah asing yang ada di hadapanku. Ramlan menyeringai dengan tatapan penuh nafsu kepadaku. Sungguh, aku sangat muak melihatnya. Aku yakin tak satu pun gadis yang menyukainya. Ramlan adalah lelaki yang terkenal karena keburukan tingkahnya. Dia sangat sombong, semena-mena, dan merasa paling berkuasa. Dan aku sangat yakin, hanya gadis bodoh yang mau menikah dengannya. Dan kali ini aku sadar bahwa akulah gadis bodoh itu.

Dua minggu setelah acara lamaran, hari pernikahan yang tak pernah aku inginkan pun tiba. Dengan berurai air mata

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

aku harus melihat diriku terjebak dalam lingkaran hitam yang menyesakkan dada. Aku tak kuasa menahan gejolak perasaan- ku. Gemuruh menyelimuti jiwaku. Sejuta macam rasa meng- aduk-aduk otak dan pikiranku. Aku tidak sanggup dan tidak akan pernah sanggup menjalani semua ini.

Akad nikah pun dilaksanakan. Ku lihat wajah kedua orang tuaku. Hatiku sesak. Aku merasa tak ada oksigen di udara, hanya terpenuhi karbon dioksida dan karbon monoksida yang telah bersiap meracuni sistem pernafasanku. Nafasku terengah-engah, jantungku berdegup kencang, dan mataku tak henti-hentinya mengeluarkan permatanya. Sekarang aku telah syah menjadi seorang istri dari suami yang tidak pernah ku cintai.

Sesuai kehendak Ramlan, aku diboyong untuk tinggal ber- samanya di rumah orang tuanya. Hatiku kalut. “Bu, Sari gak mau pergi.” Rengekku pada Ibu. “Nduk, Ramlan sekarang suamimu.” Kata ibu sambil me-

ngeluarkan air matanya. Aku yakin, hati Ibu sangat perih meli- hat nasib buruk yang menimpa anaknya ini.

“Tapi…..” Kata-kataku terpotong oleh suara Ramlan. “Sudahlah, Sari. Kau sekarang istriku. Dan aku berhak atas

dirimu.” Celetuk Ramlan dengan angkuh. Akhirnya ku tinggal- kan rumahku dengan berat hati.

Rumah Ramlan sangat besar dan berlantai dua. Pintu ger- bangnya menjulang tinggi dengan gagah. Setelah masuk mata akan disuguhi dengan taman yang penuh dengan berbagai macam jenis bunga dan tanahnya ditutupi dengan rumput hijau yang tertata rapi. Tiang-tiang penyangga berdiri kokoh meno- pang atap teras yang dihiasi dengan lampu gantung yang mewah. Jendelanya besar dan berhias ukiran kaca yang indah. Pintunya terbuat dari kayu Mahoni dengan ukiran gaya Jawa yang eksotik berdiri di tengah. Lantainya putih bersih. Semua perabotan rumahnya sangat mewah dan tertata. Di setiap ruangan terpa- sang AC yang dilengkapi dengan parfum pengharum ruangan. Semua itu berpadu dengan cat tembok warna orange yang mem- beri kesan ceria.

~ PIANO DALAM PASIR ~

Kamar tidurku sangat luas, mungkin luasnya hampir sama dengan luas rumahku. Tempat tidurnya sangat besar dan dilapisi dengan kasur yang sangat empuk. Ku lihat seluruh bagian bagian kamarku. Di depan tempat tidur terdapat satu set TV flat 21 inci dan almari kecil berisi kulkas mini. Sebelahnya terdapat kamar mandi yang dilengkapi dengan shower dan bak untuk berendam. Di samping tempat tidur terdapat cermin berhias yang mewah dan sebuah almari yang sangat besar.

“Subhanallah. Seandainya aku bisa membawa serta semua keluargaku, pasti mereka akan sangat senang.” Pikirku dalam hati. Lamunanku buyar ketika sesosok tubuh memelukku dari belakang dan meraba-raba tubuhku.

“Hentikan, Ramlan!!!” berontakku padanya. “Kau ini istriku. Aku berhak melakukan apa pun yang aku

mau.” “Tapi aku tidak mencintaimu, lelaki busuk!!” Teriakku ma- rah. Tiba-tiba, PLAAK…. Ramlan menampar pipiku. “Diam kau. Aku tidak peduli apa katamu. Yang penting kau sekarang telah menjadi milikku.” “Tidak akan.” Kataku sambil mencoba berlari. Tapi usaha- ku sia-sia, Ramlan menyeret tanganku dan aku dilemparkan ke tempat tidur. Aku hanya bisa menangis melihat diriku di- cumbu lelaki busuk seperti Ramlan.

Hari-hariku penuh dengan siksaan dari Ramlan. Hal itu membuatku ingin kabur dari rumah. Setiap kali aku akan me- larikan diri, aku selalu tertangkap basah dan Ramlan serta keluar- ganya selalu mengancamku, apabila aku kabur maka keluargaku yang akan menanggung akibatnya. Aku tidak bisa berkutik. Bukan hanya itu, selama dua bulan aku tinggal di rumah Ramlan, beberapa kali aku meminta izin pada Ramlan untuk menengok keluargaku, tapi beberapa kali itu pula aku malah dimaki-maki dan tidak pernah sekali pun aku diizinkan menengok keluar- gaku. Aku sangat rindu keluargaku. Bagaimana keadaan mereka?

Semakin hari rasa rinduku pada keluargaku semakin da- lam. Suatu pagi aku jalan-jalan untuk mencari udara segar

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

dan mengusir kepenatan. Tiba-tiba secara tidak sengaja aku mendengar percakapan para tetangga tentang keluargaku. Aku mendengar bahwa sekarang keluargaku sudah berkecukupan. Rumah kami pun katanya telah direnovasi, bapak dan ibu sudah tidak terbelit hutang, dan kelima adikku pun sudah tak pusing lagi memikirkan biaya sekolah mereka. Kata tetangga, mereka menjadi hidup berkecukupan karena mendapat uang dari ke- luarga Ramlan. Hatiku hancur. Ternyata keluargaku telah men- jualku demi harta. Hanya demi harta. Mereka bahkan tak per- nah memikirkanku. Kata tetengga pula, kakek dan nenekku telah meninggal dalam selang waktu satu minggu. Setelah kakek yang sudah sangat tua meninggal, nenek nekat meminum Baygon seminggu kemudian. Hatiku tambah perih. Cucu macam apa aku ini? Aku segera berlari dengan air mata yang berhamburan. Emosiku memuncak. Ku lampisakan kemarahanku pada semua isi kamarku. Ku obrak-abrik semua yang ada. Hidupku kini berselimut api kebencian yang terus membara.

Empat bulan kemudian aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam diriku. Akhir-akhir ini aku selalu muntah-muntah tanpa alasan. Karena khawatir aku pergi ke dokter untuk memeriksa- kan diri. Di sana aku sangat terperanjat, karena menurut dokter aku positif mengandung selama satu bulan. Ya Tuhan, aku sangat terpukul. Bagaimana mungkin aku akan punya anak dari Ramlan, lelaki yang tak pernah aku cintai?

Aku berharap setelah aku hamil Ramlan akan mengubah sifatnya. Tetapi semua itu hanyalah harapan semu, Ramlan tak sedikit pun mengubah sifatnya. Hal itu membuat psikisku terguncang dan aku merasa sangat putus asa. Ku ambil cutter yang ada di laci almariku. Aku sudah memutuskan untuk meng- akhiri hidupku. Sambil berurai air mata aku telah bersiap untuk memotong urat nadiku. Tapi tiba-tiba aku mendengar suara ghaib menghampiriku.

“Jangan, Sari. Jangan kau lakukan. Nanti akan tiba saat- nya, Sari. Jangan kau lakukan. Jangan kau lakukan..” Suara itu menggema di telingaku. Ku lempar cutter yang ku genggam lalu ku tutupi kedua telingaku.

~ PIANO DALAM PASIR ~

“Ya Allah, apa yang baru saja akan aku lakukan? Astagh- firullah.” Semakin hari perutku semakin membuncit. Menurut dok- ter satu minggu lagi aku akan melahirkan. Ku ingat pengorbanan ibuku selama ini. Dialah yang melahirkan dan membesarkan aku.

Tiba-tiba perutku mulas, punggungku terasa pegal sekali, nafasku sulit diatur, dan air ketubanku pecah. Segera aku dilari- kan ke rumah sakit. Tepat pukul 12 tengah malam, perutku meregang. Aku berteriak kesakitan, ku lihat darah mengalir deras. Aku pendarahan. Dokter dan para perawatnya datang. Aku terus merintih dan berteriak kesakitan sambil mencoba mengatur nafasku. Keringatku bercucuran dan tanganku meng- genggam sprei erat-erat sambil terus melantunkan do’a. Aku hanya bisa pasrah pada Yang Maha Kuasa. Di tengah perjuang- anku, aku melihat sesosok manusia bercahaya putih bersih menghampiriku. Ia tersenyum dan mengulurkan tangannya kepadaku. Ku balas uluran tangannya dan aku merasa sesuatu yang aneh sedang menerpaku.

OEK, OEK.. Tangisan pertama anakku pecah. Ku lihat manu- sia bercahaya itu lagi. Ia menarikku dan aku pun mengikutinya. Tiba-tiba aku merasa sesuatu keluar dari hidung dan seluruh pori-pori kulitku secara perlahan-lahan. Aku merasa bebas dan lepas. Ku pandangi semua. Bayiku, Ramlan dan keluarganya, serta dokter dan perawatnya. Dan betapa kagetnya aku waktu aku melihat tubuhku masih terbaring di tempat tidur. Aku telah mati.

“Mari ikut denganku.” Kata manusia bercahaya itu sambil menggandeng tanganku. “Apakah aku telah…” “Benar. Kau telah mati secara sahid.” Ku dekati bayiku dan

ku cium keningnya tanda perpisahan. Lalu manusia bercahaya itu membawa aku terbang. Aku meminta pada manusia ber- cahaya itu untuk ke rumahku. Aku ingin pamit dan meminta maaf pada keluargaku. Walaupun mereka tak sadar akan ke-

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

beradaanku, aku sangat lega. Setelah pamit dan minta maaf, aku terbang melintasi planet-planet dan bintang gemintang. Tanpa terasa aku telah keluar dari Galaksi Bimasakti. Aku ter- pesona melihat keindahan alam jagad raya. Gugusan-gugusan bintang yang berwarna-warni seperti lukisan Affandi. Indah sekali. Manusia bercahaya itu mengajakku ke sebuah tempat yang luar biasa indahnya. Rumput hijau dan bunga-bunga menyelimuti tanah, sungai-sungai mengalir jernih, dan istana-istana megah berdiri kokoh di sepanjang jalan.

“Subhanallah..” Lirihku kagum. Manusia bercahaya itu ber- kata,”Anakku, inilah surga yang telah dijanjikan Allah kepada- mu.”

~ PIANO DALAM PASIR ~