Tak Disangka Tak Diduga
Tak Disangka Tak Diduga
Oki Wiriani
A duk di beranda rumahnya sambil merasakan angin yang sejuk
IR mata itu akhirnya menetes juga. Dia tak menyangka kalau akan bertengkar dengan sahabatnya. Gadis itu du-
semilir. Dia memikirkan peristiwa yang dialaminya di sekolah. Sepulang sekolah dia hanya duduk termenung di situ. Tak per- nah terpikir olehnya jika peristiwa itu akan membuat sedih dan pilu hatinya. Dia yang biasanya ceria, kini terlihat murung.
Adiknya yang mengetahui keadaan sang kakak berusaha menegurnya pelan, “Kak Nisa, kenapa melamun? Nanti kesam- bet lho. Tapi, kayaknya kakak lagi sedih?” Tanya adiknya pena- saran.
“Aah, nggak papa. Cuma menikmati udara aja,” katanya sambil menyembunyikan air matanya. Dia lantas masuk dan membiarkan adiknya yang masih asyik bermain. Dengan berjalannya waktu dia mencoba untuk tersenyum dan menjalani hari dengan ceria walau masalah menyelimuti hatinya.
Sampai di sekolah dia berusaha menyapa sahabatnya tapi jawaban yang tak diinginkan yang dia dapatkan, “Kamu kenapa, Tik? Kok cemberut?” Tanya Nisa sambil duduk di dekat Atik.
“Nggak kenapa-kenapa. Biasa aja tuh!” Jawab Atik cuek. “Kalau nggak apa-apa, kok dari tadi kamu cemberut aja?”
Tanya Nisa heran. “Udah deh, nggak usah sok tahu!” Bentak Atik.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Bagaikan disambar petir di pagi bolong. Nisa terkejut dan kaget mendengar perkataan Atik. Nisa hanya terbengong-be- ngong melihat tingkah Atik yang lain dari biasanya. Antara per- caya dan nggak percaya dia heran dengan kelakuan sahabatnya yang cenderung mendadak cuek dan sadis. Dia langsung pergi meninggalkan Atik. Sesaat kemudian Vira datang dan langsung menghampiri Nisa. Dia juga heran melihat Nisa yang nggak ceria seperti biasanya. Dia terlihat diam dan merenung sendiri.
Vira mencoba menghibur Nisa, “Kamu kenapa, Nisa? Kok kayaknya sedih?” Tanya Vira penasaran. “Aku lagi punya sedikit masalah nih! Dan, aku pengin cur- hat sama kamu,” jawab Nisa pelan. “Emang apa sih masalahmu?” Tanya Vira. “Ya, gini lho. Tadi aku menyapa Atik tapi kayaknya dia sinis
banget sama aku. Dari kemarin juga,” kata Nisa memulai pem- bicaraan.
Vira memperhatikan perkataan sahabatnya. Dia berbisik lirih, “Ya, udah nggak usah terlalu dipikirin. Biar aja nanti juga bosen sendiri,” kata Vira menasihati.
Nisa berusaha tersenyum. Dia tak mau mengecewakan sahabatnya, “Makasih, Ra,” katanya pelan. Tapi, dalam keadaan itu Atik justru semakin menunjukkan kekesalannya. Tiba-tiba ia menangis dan teman-temannya sudah banyak yang berkerumun di situ. Dia melirik Nisa dengan sadis. Waktu itu Nisa hanya bingung dan saling berpandangan dengan Vira.
Ketika itu teman-temannya saling bertanya kenapa Atik menangis, “Tik, kenapa kamu menangis?” Tanya salah satu temannya.
Tak ada sahutan dari Atik. Dia hanya diam. Nisa berbisik kepada Vira, “Ra, kamu tahu nggak, kenapa
Atik menangis?” Tanya Nisa ingin tahu. “Aku juga nggak tahu kenapa dia menangis. Mungkin ada masalah sama pacarnya. Biasanya kan begitu. Ah, nggak usah dipikirin deh, Nis.”
~ PIANO DALAM PASIR ~
Nisa mencerna kata-kata sahabatnya. Vira berusaha me- nenangkan sahabatnya. Dia tak mau kalau Nisa terlarut-larut dalam kesedihan yang belum pasti dan dia nggak mau kalau Nisa terus-menerus mikirin orang lain dan nggak peduli dengan dirinya sendiri.
Dalam keadaan itu, tiba-tiba Atik lari sambil menangis dan meninggalkan teman-temannya. Jam tanda masuk pun dibunyi- kan. Mereka kembali masuk kelas diikuti Pak Guru.
Beberapa saat kemudian tibalah jam pulang sekolah. Nisa lalu pulang bersama teman-temannya. Tiba-tiba Atik muncul dari gerbang dan melengos begitu saja.
Yani mencoba menegurnya, “Atik, kamu kenapa sih? Kok tampaknya lagi marah?” Tapi, tak ada jawaban dari Atik. Yani berkomentar lagi, “Tuh, kan. Aku ikut didiemi. Pada-
hal aku nggak tahu apa-apa,” sambung Yani. “Udahlah, Yan. Nggak usah dipikirin. Kamu itu nggak salah apa-apa. Biar saja dia begitu,” kata Nisa menasihati. Tiba-tiba dari arah gerbang muncul Fandy dan dia berlari sambil memanggil Atik. Nisa yang dari tadi diam dan bengong nggak menyangka Fandy segitunya sama dia, sampai berlari mengejar Atik. Padahal Fandy pacar Nisa. Nisa tidak pernah diperlakukan begitu istimewa layaknya Atik. Teman-teman yang melihat hanya geleng kepala. Mereka heran pada kelakuan Fandy. Ada pula yang menenangkan Nisa yang perasaannya hancur berkeping-keping. Dia melihat sendiri bagaimana cowoknya memperlakukan Atik.
“Tik, tunggu...!” Teriak Fandy sambil mengejar Atik, “Kamu kenapa sih?” Tanya Fandy penasaran. “Udah deh. Nggak usah sok baik. Nanti Nisa cemburu!” Ben- tak Atik melepaskan tangan Fandy. Nisa yang dari tadi melihat hanya bisa meneteskan air mata. Dia tidak menyangka kalau Fandy segitu perhatiannya pada Atik. Dan, yang lebih menyakitkan ketika Atik melepaskan tangan Fandy sambil ngomong sadis dengan melirik Nisa.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Nis, kamu yang sabar ya. mungkin ini ujian buat kamu,” kata Viona yang juga heran dengan kelakuan Fandy, “Iya, Nis. Dia itu memang keterlaluan,” kata Viona menambahkan.
Setelah itu mereka pulang dan meninggalkan Atik dan Fandy. Nisa tak kuasa menahan air mata. Tetapi, ia sebisa mungkin menyembunyikan air matanya. Ia nggak mau kalau teman- temannya tahu dia sedang sedih. Sampai di rumahnya dia hanya diam dan menangis. Kebetulan di di rumah sendirian. Akhirnya dia terus-terusan di kamar dan memikirkan kenapa Fandy ber- buat begitu serta kesalahannya pada Atik sampai dia begitu sadisnya.
Waktu pun berjalan. Tibalah hari Rabu. Seperti biasa Nisa masuk sekolah. Tapi, Atik sama sekali nggak menyapa Nisa. Dan, menurut teman-teman, Atik marah pada Nisa tapi Nisa nggak tahu apa-apa soal itu. Dan, Nisa nggak mau berlama-lama marah pada Atik. Nanti siang pulang sekolah Nisa berusaha mengajak ngobrol Atik.
Selama di sekolah dia Cuma diam dan nggak mau ter- senyum. Padahal biasanya dia ceria. Vira yang dari tadi memperhatikan sahabatnya, berusaha menegurnya, “Nis, kamu kenapa kok diem aja?” “Nggak apa-apa,” jawab Nisa singkat. “Kayaknya kamu sedang mikirin yang kemarin ya?” Vira
ingin tahu. “Aku nggak nyangka, Ra. Dia segitunya sama Atik. Aku juga nggak pernah digituin,” kata Nisa lirih, “Tapi, apa ya, kira- kira salahku sama Atik. Sampai dia begitu sadis dan tampaknya dosaku begitu besar sama dia,” lanjut Nisa.
“Aku juga nggak tahu. Kamu coba ngomong saja sama dia,” kata Vira memberi ide. “Ha?! Apa dia mau ngomong sama aku?” Kata Nisa kaget. “Ya, coba dulu. Siapa tahu berhasil,” sahut Vira meyakin-
kan Nisa. Sepulang sekolah Nisa berusaha menemui Atik. Seperti apa yang dia rencanakan, dia berusaha ngomong baik-baik.
~ PIANO DALAM PASIR ~
Mereka lalu ngobrol dari hati ke hati karena mereka sahabatan sudah cukup akrab dan akan segera mengakhiri perselisihan itu. Nisa meminta kepada Atik untuk menjelaskan semuanya karena dia tidak tahu sama sekali apa yang membuat Atik men- diamkan dan marah kepadanya. Ternyata dari keterangan Atik, dia mengaku kalau memang lagi kesel pada Nisa.
Nisa justru bingung. Atik mengira kalau Nisa menuduh Atik mau merebut Fandy dari Nisa. Karena sama sekali tidak ber- maksud menuduh atau membantah, Nisa tetap menyangkal.
“Tapi, Tik, aku nggak punya maksud sama sekali nyindir atau menuduh nuduh kamu. Aku, Viona, dan teman yang lain cuma sedang curhat karena kahir-akhir ini Dika ke Viona agak lain. Aku sama sekali nggak ngomongin kamu. Jadi, mungkin kamu cuma salah paham,” kata Nisa dengan sabar.
“Ooh jadi begitu, to? Kirain kamu cemburu karena aku mau merebut Fandy dari kamu,” kata Atik setelah paham. Setelah itu Nisa langsung minta maaf atas semua kesa- lahannya. Mereka belajar dari kesalahan. Selain itu, Nisa curhat tentang perasaannya kepada Febri, sahabatnya tapi sekaligus saudaranya. Febri selalu bisa mengerti keluh kesah Nisa dan dia selalu menyemangati dan menghibur Nisa. Dia nggak suka melihat temannya sedih.
Waktu pun berlalu. Pagi pun datang dengan sinar matahari yang bersinar terang. Kicauan burung mulai terdengar. Sampai di sekolah Nisa menyapa Atik. Atik membalas dengan senyum- an. Mereka mengobrol di hall tentang masalah kemarin. Ternya- ta hanya salah paham.
Hari-hari telah mereka jalani. Akhirnya mereka berteman kembali. Tapi, semua itu tidak membuat Nisa bahagia. Karena, dia mengalami hal yang tidak diinginkan. Ternyata Fandy bukan seperti Fandy yang dulu. Dia seakan sibuk dengan dirinya sen- diri dan tidak perhatian sama sekali pada Nisa. Padahal, saat itu Nisa membutuhkan seseorang untuk menemaninya. Tapi, ternyata Fandy nggak merespons. Justru yang lebih perhatian teman cowok yang lain.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Waktu itu Nisa melihat sendiri. Fandy duduk berdua dengan Atik. Dan, yang lebih menyakitkan lagi ketika sedang sendiri, Fandy nggak merespons. Tapi, begitu Nisa pindah di dekat Vira, tiba-tiba Fandy duduk mendekati Atik.
“Tik, kamu geser dikit dong,” kata Fandy. Atik pun langsung menggeser duduknya. Ketika itu Nisa
melirik ke belakang dan ngomong sendiri, “Ya Allah, sabarkan- lah hatiku,” kata Nisa meneteskan air mata.
“Ada apa, Nis? Kok kayaknya kamu sedih lagi?” Tanya Vira ingin tahu. “Coba kamu lihat ke belakang.” Vira langsung menengok ke belakang. Kebetulan Atik me-
lihat Nisa. “Ya udah, kamu yang sabar ya. Sabar.... Sabar...,” kata Vira menasihati. Tiba-tiba Atik mendekati Nisa, “Nisa, kamu kenapa?” Tanya Atik. “Nggak apa-apa,” jawab Nisa singkat. Setelah itu Atik langsung pindah ke tempat duduk men-
jauhi Fandy. Karena, mungkin dia sudah merasa. Hari-hari pun berlalu. Nisa masih ngediemin Fandy. Bukan karena Nisa benci atau apa pun. Nisa hanya ingin tahu, bagai- mana perasaan Fandy kalau dia cuek. Saat itu fandy nggak nga- sih respons apa apa dan dia jarang ngomong sama Nisa. Sampai- sampai teman-teman yang lain pun heran dengan kelakuan Fandy.
Tapi, pagi-pagi Vira membawa kabar dari Yani lewat SMS. Vira dikasih tahu Yani, kalau Fandy SMS curhat semuanya dan minta solusi dari Yani.
“Ra, ini lho SMS-nya dari Fandy,” kata Yani. “Emang apa sih?” Tanya Vira penasaran. “Eh, Yan, kok Fandy bisa SMS kamu? Biasanya kan dia cur-
hat ke Atik?” Nisa semakin penasaran. “Ya udah, nih. Kamu baca sendiri aja SMS-nya,” kata Vira. Nisa pun langsung membacanya. Betapa terkejutnya
~ PIANO DALAM PASIR ~
setelah dia membaca. Karena, intinya Fandy masih sayang sama dia. Tapi, Fandy sadar kesalahannya begitu besar dan sudah me- ngecewakan Nisa. Tapi, Fandy belum mau jujur karena dia takut kalau Nisa nggak bisa memaafkannya.
Setelah itu Fandy datang. Nisa langsung pergi karena dia nggak mau ketemu dulu. Dan, itu hari terakhir masuk sekolah. Karena, dua minggu kemudian liburan semester. Teman-teman mulai membujuk Fandy agar segera ngomong sama Nisa sebe- lum terlambat.
Akhirnya mereka ngobrol berdua. Teman-teman ikut ba- hagia melihatnya. Beberapa saat kemudian, “Fan, kamu itu sebe- narnya masih sayang nggak sih, sama aku?” Itu kalimat pertama yang keluar dari bibir Nisa.
“Aku tuh masih sayang sama kamu,” kata Fandy menim- pali. “Kalau kamu masih sayang, kenapa kamu ngediemin aku? Kamu gantung cintaku dan selalu memeberi harapan semu?” Tanya Nisa mengutarakan perasaannya.
“Aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya takut kamu nggak bisa maafin aku,” Fandy menjelaskan. “Apakah kesalahan itu selamanya nggak bisa dimaafin? Allah saja Maha Pengampun terhadap umat-Nya. Seharusnya kita manusia lebih berlapang dada untuk memaafkan orang lain,” kata Nisa dengan sabar.
“Nis, aku minta maaf kalau selama ini aku udah ngecewain kamu,” kata Fandy pelan. “Ya, aku maafin. Tapi, aku hanya minta satu hal. Aku pengin kamu kayak dulu lagi dan tidak ada diam tanpa kata kalau ada masalah. Aku juga minta maaf kalau selama ini belum bisa menjadi seperti yang kamu harapkan,” kata Nisa.
“Aku janji akan memenuhi apa yang kamu inginkan,” kata Fandy lega. Nisa telah mengungkapkan semua keluh kesah di hatinya. Dia sadar bahwa cinta itu membutuhkan pengertan agar bisa melengkapi satu sama lain. Dalam hati dia berdoa agar Fandy
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
kayak dulu dan menyayanginya dengan setulus hati dan bisa lebih dewasa dalam menghadapi masalah dan yang paling pen- ting lebih perhatian lagi.
~ PIANO DALAM PASIR ~
Boneka Beruang
Suratini
A nya adik. Terlalu banyak lasan yang membuatku membencinya.
da jarak yang amat jauh antara aku dan adikku Rista. Sejak lahir sampai sekarang belum pernah ku menyebut-
Sati hal yang teramat penting, Rista menggeser kedudukanku sebagai anak bungsu.
Waktu Rista lahir aku kabur ke rumah nenek. Aku sangat membenci Ristakarena Rista merebut apa yang kumiliki. Aku tak bisa lagi bermanja-mnja sama mama dan papa. Perhatian mereka berkurang kepadaku.
Tapi dua hari belakangan ini, tepatnya sejak aku mencakar mukanya, tiba-tiba saja ku mulai sayang sama Rista. Waktu itu aku memang terlalu emosi. Rista mengambil boneka beruang kesayanganku dan membawa ke kamarnya, tentu saja aku marah. Aku mencakar mukanya ketika ia berusaha memper- tahankan boneka itu.
Mungkin aku takkan sejahat itu jika Rista tidak mengambil boneka kesayanganku. Apalagi boneka itu pemeberian Agus cowokku. Aku benar-benar menyesal telah memperlakukan Rista sekejam itu, aku memang egois. Papa dan mama menya- lahkanku, karena semenjak aku mencakrnya, Rista mendadak demam.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Kalau Mbak Rani pergi ke Bali, Rista sedih nggak?” tanya mama memancing saat menyuapinya makan.
“Nggak, nggak!” Jawab Rista dengan nada agak judes. “Bener nih?” Tanya Mama dengan nada agak menggoda. “Beneran, Ma. Rista benci sama dia.” Sambil mengarahkan
pandangan sinisnya ke aku. Waktu menunjukkan tepat pukul 12 malam, aku meng- endap-endap masuk ke kamar Rista, kupandangi wajah Rista, tiba-tiba ku kaget. Cakaranku masih membekas di pipinya. Tak sadar tanganku terulur menyentuh pipinya, tiba-tiba Rista membuka matanya.
“Mbak Rani jahat, pergi dari kamar Rista ...!” “Rista, Mbak Rani nggak jahat, sekarang Rista bobok lagi
ya...!!” “Rista mau bobok sama Mama!” “Mama sudah tidur, Rista bobok sama Mbak Rani aja ya...!!” “Enggak mau, kamu jahat.” “Mbak Rani nggak jahat kok,” jawabku dengan suara
lembut. “Kalau nggak jahat, kenapa pipi Rista dicakar?” Teriaknya dengan suara agak mrah. Nafasku naik turun, hampir saja aku nangis kalau Mama nggak segera datang. Mama menghampiri Rista dan meraba kening Rista.
“Suhu badan Rista tinggi sekali.” Tanpa berpikir panjang dan tanpa disuruh aku lari ke dapur
mengambil air dingin dan handuk kecil untuk mengompres Rista. Tak lupa juga aku ambilkan obat.
Pagi ini aku akan berangkat ke Bali. Semua berkumpul di ruang makan untuk sarapan dan memberi ucapan selamat jalan kepadaku, tapi hanya satu yang tak tampak.
“Rista mana Ma, kok nggak ada?” Tanyaku pada Mama. “Pagi-pagi sekli dia sudah berangkat ke sekolah.” Aku hanya bisa diam menyesali perbuatanku. Mungkin
karena keegoisanku sehingga Rista menghindariku dan tidak mau mengucapkan selamat jalan untukku.
~ PIANO DALAM PASIR ~
“Relakan saja boneka beruangmu. Kamu kan sudh dewasa. Jadi kamu harus mengalah buat adikmu,”tutur Papa di tengah lamunanku.
Iya, relakan saja boneka itu buat adikmu, mama tidak mau kalau kalian berantem, apalagi kalian saudara,” sahut Mama dengn bijak.
Aku hanya bisa mengangguk, tepat pukul tujuh aku mulai melangkahkan kaki meninggalkan ruang makan dan bergegas untuk berangkat, meskipun agak berat karena adikku Rista tak mengucapkan selamat jalan buatku, tapi malah menghin- dariku.
Baru sampai di halaman rumahku, tiba-tiba Rista muncul. “Rista ...!” Teriakku dengan wajah yang gembira. “Mbak Rani!” teriaknya. “Ini boneka yang Rista ambil!” Sam-
bil menyerahkan boneka beruang itu padaku. “Rista nggak mau buat Mbak Rani sedih, Rista sayang sama Mbak Rani.” “Mbak juga sayang kok sama Rista.” Sambil kutarik dan kupeluk Rista seeratnya tanpa berpikir lagi aku langsung mem- batalkan keberangkatanku ke Bali dan memilih bersenang-senang dengan Rista.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Untuk Sebuah Janji
Ririn Andaryani
H mengalir dari keningku. Perlahan membentuk anak sungai di
ARI ini terasa menyengat. Sinar matahari terasa berpuluh- puluh kali lipat lebih panas. Butir-butir keringat mulai
wajahku. Berkali-kali kusingsingkan baju seragam SMA-ku yang tampak lecek. Ubun-ubunku terasa mendidih. Kalau saja ada mie instan, pasti akan langsung kumasak di kepalaku. Kemu- dian, kusantap habis-habis untuk mengganjal perutku yang ke- roncongan.
Dengan langkah yang amat berat, kulangkahkan kakiku menuju halte bus yang masih berada lima puluh meter di depan- ku. Kutengok ke segala arah, berharap ada temanku yang lewat. Kalau memang ada, akan langsung kupaksa ia mengantarku pulang.
Sekali lagi, ku usap keringat di wajahku. Sesaat debu-debu jalanan terhirup ke paru-paruku. Sementara itu, dari arah ber- lawanan kudengar suara sepedamotor meraung-raung meme- kakkan telinga. Belum sempat mataku berkedip, motor itu lewat tepat beberapa senti di sampingku. Jelas saja debu dan tanah jalanan langsung singgah di seluruh baju dan wajahku.
“Woy...! Berhenti, kamu...! Nggak punya mata apa?! Orang segede gini mau ditabrak! Berhenti kalau berani...!” Teriakku seraya mengacungkan jari tengahku.
~ PIANO DALAM PASIR ~
Motor itu langsung berhenti. Sesaat aku berpikir, ia akan berhenti untuk meminta maaf. Tapi, sial. Ia justru mengacung- kan jari tengahnya dan berteriak, “Dasar! Cewek sinting...!”
Dari suaranya tentu aku tahu dia seorang cowok. Darahku terasa begitu panas, “Kamu tu, yang sinting...! Kalau berani tu- run. Jangan jadi banci! Turun, kamu!” teriakku persis seperti orang gila.
Tak sedikit pun ia menggubrisku. Bahkan, dengan tak sedi- kit pun merasa bersalah, ia langsung tancap gas. Aku merasa semakin terhina. Maklum saja, di sekolah aku dikenal sebagai cewek yang tomboi dan galak. Dan, baru kali ini ada cowok gila yang berani memperlakukan aku seperti itu.
Sepanjang jalan menuju halte, tak sedikit pun aku berhenti mengumpat. Orang-orang di jalan menatapku dengan tatapan mata yang tajam. Kalau saja tatapan itu bisa membunuhku, mungkin aku sudah menjadi mayat. Tapi, tak sedikit pun aku mempedulikannya. Dengan amat cuek kuteruskan langkahku. Untung saja, sebuah bus berhenti tepat di saat aku sampai di halte. Tanpa pikir panjang aku naik. Berharap si sopir mau tancap gas. Agar aku bisa sesegera mungkin sampai di rumah. Dan, kali ini aku benar-benar menikmati perjalanan pulangku yang terasa seperti melewati gurun pasir.
Pagi yang sial untukku. Bi Ijah terlambat membangunkan aku. Dan, itu membuat hariku yang semrawut semakin tak karu- an.
Tak perlu mandi atau berdandan rapi. Cukup cuci muka dan gosok gigi. Aku langsung meluncur menuju sekolah. Mene- beng tetanggaku yang juga mau pergi ke kantor yang kebetulan tak jauh dari sekolahku. Di sepanjang jalan menuju sekolah, aku memikirkan alasan mengapa aku terlambat. Berpikir lebih teliti, semoga saja aku tak menggunakan alasan yang sama. Tak mengagetkan memang bila aku terlambat lagi karena itu sudah menjadi agendaku.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Sepuluh menit berlalu. Tak terasa dinding sekolahku sudah terlihat. Sekolahku sepi seperti kuburan. Benar saja. Waktu sudah menunjuk pukul 07.30 saat kulirik jam tanganku.
“Sial! Terlambat setengah jam! Yang benar saja. Kali ini aku pasti tidak akan selamat!” Gerutuku sambil menggaruk- garukk kepalaku yang sungguh tak gatal.
Seperti pencuri yang takut ketahuan, aku mengendap- endap di depan sekolahku. Pagar sekolah telah terkunci rapat. Terpaksa aku harus melompatinya. Dengan tak ragu-ragu aku melompati pagar setinggi satu setengah meter itu. tentu aku berhasil. Kemampuanku memang sudah tak diragukan lagi.
Perjuanganku belum selesai. Aku masih memutar otak, mencari-cari alasan keterlambatanku.
“Tok...! Tok...! Tok...!” Kuketuk pintu kelasku, pelan. Seperti yang kupikirkan, Pak Adam tak perlu lagi menoleh,
“Mau alasan apa lagi, La? Ibu kamu sakit? Atau, kamu tadi no- longin kucing tetangga yang tersangkut di pohon? Atau, jangan- jangan rumah kamu kebanjiran?” Pak Adam memberondongku dengan serentetan pertanyaan.
“Eeh, anu, Pak. Tadi saya kesiangan...!” Terpaksa aku men- jawabnya jujur. “Kesiangan kamu bilang? Memangnya semalam kamu ikut Pak De kamu ronda? Atau, jangan-jangan kamu nemenin Mas Kasim yang suka jualan sate keliling itu?” Kembali Pak Adam melontarkan pertanyaan sinisnya, “Kamu pikir, sekolah ini punya Kakek moyangmu? Sampai-sampai kamu bisa datang seenak- nya? Lala.... Lala...! Kamu ini sudah kelas XI. Kalau begini terus, kamu mau jadi apa?”
“Pilot, Pak...!” Celetuk salah satu temanku di sudut ruangan. “Tunggu! Sepertinya aku belum pernah mendengar suara-
nya. Apa dia murid baru?” Seru batinku dalam hati. “Ya, sudah! Kembali ke tempat duduk kamu...!” Suara Pak Adam terdengar seperti sambaran petir. Tanpa mampu memberi jawaban, aku langsung duduk di kursiku.
~ PIANO DALAM PASIR ~
CEWEK SINTING, KASIHAN BANGET DEH KAMU...! Kubaca tulisan segede gajah yang sengaja ditulis di laci mejaku. Sontak kutengok ke belakangku. Wajah berengsek cowok yang kemarin hampir menabrakku. Terlihat begitu dekat.
Spontan kuangkat jari tengahku ke arahnya, “Dasar banci...!” teriakku keras. Tak diragukan lagi. Sebuah penghapus white board men- darat di kepalaku. “Lala...! Keluaaar...!” Teriak Pak Adam. Dan, hari ini benar-benar menjadi hari paling sial sepan-
jang sejarah hidupku. Dan, aku, Lala Andini, bersumpah tidak akan pernah memaafkan cowok gila itu.
Namanya Rio. Setidaknya itulah informasi yang kudapat dari Sintia, cewek bigos di sekolahku. Cowok tidak waras itu benar-benar menjemukanku. Meski sudah seminggu semenjak ia menulis kata-kata gila di mejaku, tak sedikit pun kebencianku mencair.
“Kamu tahu nggak, La? Ternyata Si Rio tu baik banget lho...! Dia itu sering banget bantuin anak jalanan! Ya, walaupun kelihat- annya dia lebih mirip jadi perampok, tapi sumpah, dia baik hati banget...!” Berkali-kali Nita, sahabat baikku memuji si cowok gila itu.
“Iya deh, Nit. Terserah apa kata kamu aja. Aku ngikut...!” Jawabku ogah-ogahan. Telingaku benar-benar terusik men- dengar pernyataan Nita. Gak mungkin banget dia kayak gitu...! Tapi, akhirnya kuputuskan untuk membuktikan kebenaran ucapan Nita. Dengan sedikit menumbuhkan rasa percayaku, aku membuntutinya sepulang sekolah.
Benar saja. Ia menuju sebuah rumah kecil di sudut gang. Di tempat itu anak-anak jalanan terlihat begitu akrab dengan Si Cowok Gila. Aneh. Rio yang kulihat kali ini sangat berbeda Rio yang kukenal selama ini. Dia bahkan terlihat sangat manis. Senyum kecil muncul di bibirku.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Dan, sejak hari itu aku lebih mengenal dia sebagai cowok baik berhati lembut. Bukan Rio yang berandal. Dan, hampir setahun sejak aku melihat dia membantu anak- anak jalanan, kami berteman akrab. Di mana ada Lala, sudah pasti ada Rio.
Hari ini Rio akan mengikuti balap motor. Ia ingin meng- gunakan uang hadiah balapan untuk membiayai anak-anak jalanan. Setelah berpamitan, Rio langsung berangkat. Aku ter- paksa tidak bisa mengantarnya karena hari ini aku harus me- nyelesaikan tugas sekolahku.
Dua jam kemudian kudengar suara motor Rio. Aku lang- sung keluar rumah. Kulihat Rio lebih gagah di atas motornya, “Rio! Gimana? Menang, gak?” Tanyaku penasaran.
Rio tersenyum kecil, “Iyalah, aku menang. Rio gitu loh...!” Ucapnya bangga, “La, aku boleh minta tolong dong...! Tolong rawat anak-anak, ya...? Aku sudah gak bisa jagain mereka. Mau kan...?” pinta Rio serius.
“Maksud kamu?!” Aku bertanya kebingungan. “Ya, udah. Mau gak? Aku dah capek ni mau pulang....” Kujawab pertanyaannya dengan anggukan. Tak lama Rio
langsung pamit pulang. Aku pun langsung kembali ke kamar.
Entah sudah berapa lama aku di kamar. Seperti baru se- detik saja, setelah Rio pamit dan menitipkan anak-anak jalanan kepadaku.
Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Ternyata dari Nita, “Halo, Nit...! Ada apa?! Tumben nelepon...?!” “Yang sabar ya, La... Rio udah gak ada. Kamu yang tabah ya...?” Bisik Nita disertai isakan. Ucapan Nita benar-benar seperti sambaran petir di siang bolong. Kesadaranku semakin hilang dan semuanya mendadak gelap.
~ PIANO DALAM PASIR ~
MC2 Love
Oky Fatmasari
A sung melihatku. Semua mata tertuju padaku dengan pandang-
“ PA...? Serius, lo....” Tiba-tiba dengan secepat kilat, semua anak XI IPA2 lang-
an yang membuatku jadi kikuk. “Mati gue...,” ucapku dalam hati dengan melirik Bu Suk. “Oops.... Mampus gue di tangan Bu Suk, Nin,” aku berbisik
pada Nindy. Suaraku tadi membuat Bu Suk melihatku dan mengham- piriku, “Ehm... Bagus, Keyla.... Kamu mau nyontek, ya!” Bentak Bu Suk sambil memelototkan matanya padaku.
“E... eng... nggak. Enggak kok, Bu. Gue ... eh, aku cuma mau tanya Nindy, kalau besok pakai seragam apa, Nin...,” ucap- ku sambil mengarahkan pandanganku pada Nindy.
“E... eh....iya. kayaknya besok masih pakai putih abu-abu, deh,” Nindy nyengir. “Alasan apa itu? Tidak logis. Dasar, bukan siswa teladan. Mau jadi apa negara kita ini kalau semua orang seperti kamu. Sudahlah tak usah kau mengelak lagi. Sekarang kerjakan saja di ruang guru. Cepat, Keyla...!” Teriak Bu Suk geram padaku.
“Ukh, sialan. Gara-gara lo nih, Nin. Gue kena hukuman kayak gini. Huh....” “Huuu, Keyla! Dasar!” Teriakan anak XI IPA2 menghiasi kemalanganku kali ini.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Aku jadi nyesel deh. Coba tadi aku gak ngegosip sama Nindy, pasti kejadiannya gak akan jadi begini. Ya, inilah aku, Keyla, anak XI IPA2 yang rajin ngegosip. Sampai-sampai kejadian kayak tadi deh. Topik gosip tadi pun tak lepas dari urusan cowok. Dari kedua temanku, cuma aku yang gak punya cowok. So, aku anak SMA gitu... masa belum punya cowok. Gengsilah....
Sudah dua minggu ini aku bersama kedua temanku, Nindy dan Meta lagi hunting cowok buat aku. Ya, cowok yang ganteng, keren, smart, and so pasti kudu romantis. Itu harus ada. Yang paling sok jual mahal deh kalau urusan senyum. Tapi, anehnya Bu Sukma tuh guru Fisika apa guru PKN sih? Semua omongan- nya aja kayak presiden gitu.
“Keyla, kamu dengar Ibu bicara, gak? Cepat keluar!” Bentak Bu Sukma yang menggemparkan kelasku ini. “I... iya.... Iya, Bu,” sahutku kemudian. Lalu aku mulai beranjak meninggalkan tempat dudukku dan bergegas menuju ruang guru, “Sabar dikit napa sih, Bu? Marah-marah terus. Darah tinggi baru rasain tuh. He... he...,” gerutuku dalam hati.
“Tet... tet.... tet.... tet...!” Bel empat kali pun sudah berbunyi menandakan jam
pelajaran ke-8 sudah berakhir. Semua anak SMA2 Airlangga Mandiri pun berhamburan keluar kelas.
“Minggir...! Minggir...gue duluan!” Teriak Meta menenteng tas ranselnya menuju anak-anak yang berdesak-desakan, “Duh, mana sih mereka?” ucap Meta mulai sebel.
“Hey...! hey.... Keyla! Nindy! Buruan deh! Lama amat. Jadi nebeng gue gak sih?” Ucapnya lagi sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan itu.
“Iya...! Iya, Ta! Tunggu kita dong,”ucap Nindy di sebelahku. Akhirnya kami bertiga pun pulang bareng Meta. Mengguna-
kan mobil AVP-nya Meta. Sepanjang jalan aku BT banget soal- nya Meta cuma ngomongin cowoknya terus.
“Huh... mentang-mentang gue belum punya cowok. Kalian ini seenaknya,” gerutuku kesal. Meta tak bosen-bosennya bercerita. Aku dan Nindy sudah gak betah mendengarkan ocehannya. Aduh, memang Meta itu
~ PIANO DALAM PASIR ~
“Ratu Cerewet”. Sudah 30 menit aku di dalam mobil Meta. Akhir- nya sampai juga di rumahku.
Keadaan di rumah sepi. Aku langsung menuju kamarku. Kurebahkan tubuhku di spring bed. Sungguh hari yang melelah- kan. Kemudian, aku tertidur beberapa jam. Tapi, tiba-tiba aku terbangun gara-gara HP-ku berbunyi. Rupanya ada SMS dari nyokap. Malam ini belum bisa pulang. Mereka pulang lusa.
Huh... Kenapa sih banyak selalu gak ada waktu buat gue. Mending aku ngajak Nindy dan Meta buat makan di luar aja,
ah. Kemudian aku bergegas ke kamar mandi. Lalu, kukenakan dress putihku. Sebaiknya telepon siapa dulu ya? Ah, mending Meta dulu deh. Cepat-cepat aku ambil HP-ku dan mencoba meng- hubungi Meta.
“Halo.... Meta, malam ini kita jalan bareng yuk. Aku lagi ke- sepian nih,” ucapku dengan nada semangat 45 yang membara. “Aduh, Key.... gimana ya? Sebenarnya gue....” “Pasti gak nolak kan? Tenang aja, kali ini gue deh yang
nraktir.” “Ehm... tapi, Key.... Coyi banget. Gue dah ada janji mau jalan sama Gilang. Lo tahu sendiri kan, gak mungkin gue ngecewain dia,” ucap Meta.
“Ya udah. Gak pren lo. Met malem,” kata terakhirku. Satu orang sudah mengundurkan diri. Nindy... ya, Nindy. “Halo, Nin. Jalan yuk....” ajakku. “Kemana?” Aha, bener kan. Dia pasti gak nolak, “Eh, ke mana aja deh.
Gue laper banget nih. Ke tempat nongkrong biasa aja.” “Kita bertiga, Key?” “Gak. Meta udah mau ngedate sama Gilang,” ucapku agak
kesal. “Emmzt, banyak lo kemana? Tumben lo diizinin keluar?” “Biasalah. Mereka belum pulang dari luar kota.” “Oh, urusan kantor ya?” Sahut Nindy lagi. “Ya iyalah. Masa mau TKI ke Malaysia. Jadi, gimana, lo?
Bisa kan?” Ucapku dengan berharap.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Sebenarnya gue gak bisa. Gue udah ada rencana sama Radit buat nonton. Sori deh, Key.” “Huh... kenapa dari tadi gak to the point aja sih? Pulsa tuh mahal tahu dan yang pasti suara gue tuh terlalu bagus. Jadi, harus sehemat mungkin gue ngomong,” sahutku.
“Sorry. Sorry.... sorry deh, Key. Tapi, aha, lo kenal kakak gue kan? Kebetulan banget sampai saat ini dia belum punya cewek. Lo bisa tuh PDKT sama kakak gue. Malem ini dia gak ada acara tuh. Soal ngomongnya, serahin sama gue, gimana?”
“Gak ah. Maksudnya gak mau nolak. Kak Dicky gitu! Cewek mana yang bisa nolak dinner bareng kakak lo itu. Memang mau di mana?” Aku bersemangat.
“Di resto d’lezatos aja. Itu lho di Jalan Kemang.” “OK, aku tunggu ya. Malem Coey and thanks ya....” Kemudian aku langsung menuju ke resto itu. Sebelumnya
aku tak mengira kalau bisa dinner bareng Kak Dicky. Akhirnya aku sampai juga.
“Oh, Kak Dicky. Kok Kakak sudah nyampe duluan sih,” ucapku agak grogi. “Biasalah. Aku kan selalu on time. Apalagi dengan cewek secantik kamu,” ucapnya lembut. Tak lama pelayan datang. “Mau pesen apa, Key...,” ucapnya sambil menyodorkan
buku menu restoran Prancis itu. “Emh, apa ya?” Ucapku bingung. Soalnya aku gak tahu arti ‘dazri’, nama masakan semua ini. Semuanya pakai bahasa Prancis.
“Hayo kamu bingung ya.... Gara-gara gak tahu artinya ya?” Kak Dicky mulai meledekku. “Hufh... Kok Kak Dicky tahu ya?” Gerutuku dalam hati. “Ya gaklah. Aku tuh sudah biasa makan di sini, Kak. Aku
pesen Eschargo and teh anget aja deh. Ya, aku pesen tadi,” ucap- ku dengan percaya diri.
“Yang bener, Key? Tapi, kan... Ah, ya udah aku pesen teh anget sama hot dog aja deh.”
~ PIANO DALAM PASIR ~
Tujuh menit kami menunggu. Akhirnya makanan datang. Dan, aku baru tahu kalau Kak Dicky juga kursus memasak sejak enam bulan terakhir ini.
“Hah?! Ini siput. Menjijikkan deh, makanannya ini!” Teriak- ku. “Hahaha...” Kak Dicky tertawa. Aku baru tahu kalau Eschargo itu adalah makanan dari
siput yang dibakar diberi bumbu BBQ. “Key... Key, kenapa sih kamu gak bilang dari tadi? Jadi, kamu tadi asal pilih ya?” “Hehehe... iya, Kak. Abis dari tadi Kakak ngeledekin aku terus sih.” Sumpah, malam ini aku gak ngira kejadiannya bakalan kayak gini. Tak lama kemudian.... “Hot dog apaan nih? Dagingnya terlalu gosong. Tomatnya udah gak fresh. Saosnya masa pedes gini and kejunya terlalu banyak. Ini gak sesuai dengan menu hot dog yang sehat. Payah...!” ucap Kak Dicky.
Hah?!” aku tercengang heran, “Gila nih. Orang mau makan apa mau jadi komentator kontes masak sih? Aneh juga ni kakaknya Nindy,” ucapku dalam hati.
Malam ini aku sebel banget. Kak Dicky yang sempat mem- buatku jatuh cinta tapi orangnya ternyata aneh. Malam ini aku sempat berharap, kalau Kak Dicky akan mengungkapkan cintanya padaku. Tapi, terlalu banyak berha- rap tentang semua ini. Malam ini pun berlalu dengan lambat.
Saat aku akan pulang dari restoran, aku juga sempat ber- harap Kak Dicky akan menawariku untuk ikut satu mobil de- ngannya. Tapi, kenyataannya dia pergi begitu saja. Ingin rasa- nya aku mengungkapkan semua itu. Bibir ini seakan kaku saat ingin melantunkan kata “I LOVE YOU”. Tuhan, beri aku kekuat- an. Dan, saat kami keluar dari restoran aku mencoba meng- ungkapkannya. Tiba-tiba jantungku berdebar lebih kencang. Dinginnya malam yang menusuk tubuhku seakan tak kurasa- kan. Aku menjadi berkeringat.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
Akhirnya kuyakinkan diriku untuk mengungkapkan isi hatiku. Kami menuju halaman parkir. Lalu.... “Kak Dicky, eh... aku boleh tanya gak?” “Boleh aja. Ada apa?” Sahutnya sambil menatapku. “Kak, sebenarnya aku... aku... aku....” Tiba tiba aku ragu
untuk mengatakannya. Aku tertunduk. Apa yang harus kulaku- kan. Kak Dicky hanya diam saja. Tak lama HP Kak Dicky berde- ring. Ternyata dia mendapat telepon dari seseorang. Tapi, aku tak tahu itu telepon dari siapa. Pacar? Nindy? Nyokap Kak Dicky? Atau, siapa saja. Yang pasti si penelepon tadi membuat Kak Dicky panik dan sedikit tak percaya. Setelah ia sudah selesai menerima telepon itu aku langsung saja menghampirinya. Lalu aku mencoba bertanya kepadanya apa yang terjadi sebenarnya.
Tapi, Kak Dicky hanya sempat bilang padaku, “Key, maaf. Aku harus cepat-cepat pulang. Ada urusan mendadak. Eh, tadi kamu ngomong apa? Eh, ya sudah. Kamu bisa telepon aku aja. Aku buru-buru nih. Night, Keyla,” ucapnya terakhir padaku.
Kemudian Kak Dicky langsung membuka pintu mobilnya dan pergi meninggalkanku sendiri di halaman parkir. Entah mengapa tubuhku terasa berat untuk melangkah. Mata ini tak tertahan untuk segera meneteskan airmata. Selama perjalanan pulang aku hanya bisa menangis. Dalam hatiku, aku ingin me- ronta dan menjerit. Tapi, apa gunanya aku melakukan itu semua.
Sesampai di rumah aku langsung menuju kamarku. Bonyok- ku yang sudah datang dari luar kota tak kusambut dengan se- nyuman malam ini.
“Keyla bodoh! Keyla bodoh...!” Teriakku dalam kamar, “Apa- kah arti seorang Keyla di mata Kak Dicky?” Ucapku dalam hati. Kupandang langit-langit kamarku. Aku berpikir sejenak, buat apa aku menangisi Kak Dicky? Dia bukan siapa-siapaku. Pacar, bukan. Tapi, kenapa aku jadi gila gara-gara Kak Dicky. Aku tak boleh kayak gini. Aku harus jadi Keyla yang periang lagi. Mataku mulai terpejam. Tapi, tiba-tiba akh... HP-ku bergetar. Ternyata SMS dari Brian, temanku sekelas. Dia menanyakan PR Fisika Bu Sukma. Tapi, aku terlalu malas membalas SMS
~ PIANO DALAM PASIR ~
itu. Dan, akhirnya mataku sudah terpejam dan seluruh tubuh- ku telah menyatu dengan alam semesta.
“Huh... oh my God. Give me someone. Cowok yang men- cintaiku, Tuhan.” Keesokan harinya aku coba membuka facebook. Wah, John dengan wajah yang tersenyum lebar. Ya, John. Nanti malam ia mengajak aku nonton. Gila. Ini nyata kan?
Ok, John. Lo pasti keren abis. Pasti lo bule deh dari nama lo aja. John atau kalo gak anak blasteran Jerman-Batak nih. Oh, John. I’m coming.
Malam pun datang. Kita udah janjian di bioskop jam tujuh. Sebelumnya aku dah dandan sefeminim mungkin dan udah sengaja aku beli dua popcorn untuk nonton nanti. John kenalan- ku lewat dunia maya dua bulan ini. Dia ngajak aku nonton Titanic. Sebelumnya aku juga udah pernah nonton sih tapi gak apalah. Demi John.
Tiba-tiba ada orang menepuk pundakku. “Keyla, ya?” Suara lelaki yang kelihatannya amat gagah.
Sejurus kemudian kubalikkan badanku dan aku mendapati seorang cowok yang tinggi tegap lumayan tampan.
Apakah ini John? John temenku di FB? Tapi, mana gak ada tampang bule sedikit pun. Tapi, lumayan juga orangnya. “John...,” sapaku dengan suara lemah lembut. “Yap, kamu Keyla bukan? Buruan filmnya udah mau mulai,”
ajaknya dengan menarik tangan kiriku. “Oh, ya. Ya.. Ya...” Kami duduk di kursi agak tengah. Mulanya kami malu-
malu. “Key, ternyata kamu cantik banget. Lebih dari yang ku- pikirkan,” John mulai merayu.
“Ah, bisa aja. By the way, nama kamu John siapa?” “Nanti saja. Kalau kamu?” John berbalik tanya. “Keyla Anggara Dinata. Hehehe. Belakangnya pake nama
bokap gue. Lha, kamu?” Tanyaku penasaran.
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
“Namaku Sujohno. Keren kan?” Ucap John dengan PD- nya. “Apa? Eh, iya. Gila. Sujohno? Sarap kali ni akan? Keren dilihat dari apa? Cakep? Gak. Keren? Gak juga. Aduh, parah ni anak. Mimpi apa gue semalam?
“Tuh, filmnya sudah mulai.” “Eh, iya. Iya...” “Keyla, biasa aja kali. Gak usah grogi gitu. Mentang-men-
tang deket sama cowok ganteng jadi salting gitu ya? Ucapnya lagi dengan setinggi langit ketujuh.
“What? What you said? Gila ni anak bener-bener sarap. Tampan apaan? Tampang panci? Hufh..., ucapku dalam hati. Sumpah, aku gak ngira semua ini bakal terjadi sama gue. Dua jam lebih aku lihat film itu dan saat terakhir.... Saat Jack tenggelam dan Rose menangisinya.... Tiba-tiba....
“Hi... hi... hi... Gila! Romantis banget. Jack gue salut sama lo...,” ucapnya dengan suara keras dan menangis lagi. Ni cowok apa cewek sih? Lebay banget. Dengan spontan se- mua penonton lainnya pada neriakin John. Maksudnya, Sujohno. “Ih, orang ini benar-benar gila. Badannya aja yang gede. Tapi, hufh... kayak cewek aja,” ucapku dalam hati. Hidup ini memang aneh. Gak sama Kak Dicky. Gak sama John. Keduanya aneh. Cinta ya... may be gak ada kata cinta buat seorang Keyla. Bener kata Bu Sukma, kalau Q tuh MC2. Tapi, ini cinta. Gak kayak rumus Einstein yang sudah pasti. Love emang MC2 juga sih ya....
M = mengubah akal pikiran. C = cari sensasi aneh. C = cemburu and cakit ati pasti ada. Hufh, Keyla... gunain waktumu ini. Jangan hanya untuk cinta. Semangat, Keyla,” ucapku dalam hati dengan penuh keyakinan.
~ PIANO DALAM PASIR ~
Sahabat Baruku Dulu Musuhku
Vilda Umami
“ inggir loe...anak miskin kerjanya ganggu melulu,” kata Siska sambil melotot. Bola matanya yang memang sudah
besar sampai-sampai kelihatan seperti mau copot. “Perasaan, gue nggak berdiri di tengah jalan dech, lagi pula gue nggak pernah tuh gangguin eloe. Yang ada eloe gangguin gue,” aku menoleh menatap Siska dan membalas ucapannya dengan nada lumayan tinggi.
“Loe pikir kalau loe di sini nggak ganggu gue, Hah? Loe tuh ganggu gue banget tau nggak, ganggu pemandangan gue. Please dech...Orang miskin tuh nggak pantes ada di sini. Di sini tuh tempat orang-orang kaya. Anak miskin ja belagu pake acara sekolah segala. Seharusnya jam segini orang miskin tuh kerja di pinggir jalan sana, bukannya berkeliaran di sekolah elite kaya gini,” dengan nada centil Siska terus mengejekku.
Aku hanya bisa diam dan mencerna semua kata-kata Siska. Air mataku sudah mengambang di bola mataku. Tapi aku men- coba menahannya agar tidak menetes. “Aku nggak boleh nangis, Siska akan merasa semakin bangga kalau sudah bisa membuat air mataku jatuh walaupun hanya setetes,” pikirku dalam hati.
Bel masuk sudah berbunyi. Siska bergegas menuju ruang kelas. Aku pun juga melakukan hal yang sama. Aku tidak mau masuk terlambat di hari terakhir ujianku ini. Semua ini aku lakukan demi ayahku. Aku tidak mau mengecawakannya, be-
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
liau adalah satu-satunya orang tua yang kumiliki. Ibuku sudah lama meninggal. Sejak aku berumur tujuh tahun. Beliau mening- gal karena sakit. Awalnya Cuma demam biasa tapi karena kita tidak punya uang buat bawa ke dokter, nyawa ibu tidak ter- tolong lagi. Pekerjaan sehari-hari bapak adalah menjadi tukang becak. Penghasilannya hanya cukup buat makan kami berdua. Yang membuat aku giat belajar, supaya bisa mempertahankan prestasiku di gedung mewah ini. Aku tidak perlu membayar se- mua biaya sekolah asal aku bisa mempertahankan prestasiku. Aku ingin sekolah yang tinggi agar bisa menciptakan perubahan khususnya perubahan dalam lingkungan keluargaku agar bisa hidup lebih baik.
Hari ini adalah hari penentuan. Karena hari ini adalah hari pengumuman kelulusan bagi siswa-siswa SMA. Bapak se- ngaja tidak pergi narik becak, karena ia tidak mau melewatkan momen kebahagiaan ini. Biasanya kalau hanya mengambil raport kenaikan kelas, aku mengambilnya sendiri.
Ketika kami sampai di tempat parkir, aku sudah ribut dengan Siska gara-gara berebut tempat parkir. “Eh...tukang becak, di sini bukan tempat parkir becak tau. Di sini tempat parkir mobil-mobil mewah kaya mobil gue ini,” dengan belagu Siska mengejek ayahku.
“Asal loe tau ya, siapa pun berhak parkir di sini, termasuk bapakku. Loe tahu kan semboyan: “Siapa cepat, dia dapat”, sembo- yan itu juga berlaku di sini.” Kataku sambil berdiri dari tempat duduk becak bapak.
“Kata siapa...? Sekarang itu semboyannya uang adalah raja. Dengan uang kita bisa melakukan apa saja, gue bisa beli atau nyewa tempat parkir ini. Berapa pun gue bisa bayar,” Siska masih terus menyombongkan dirinya.
“Udahlah, Bin, kita pindah tempat parkir aja. Nggak ada guna- nya kita ribut di sini,” ajak Bapak sambil mengayuh becaknya. “Tapi Pak...?” kataku membantahnya. “Udahlah nggak papa, ayo!” Ajaknya sambil mengerutkan
jidatnya yang memang sudah keriput.
~ PIANO DALAM PASIR ~
Sifat penyabar Bapak yang selalu aku banggakan tiba-tiba muncul lagi.
Aku seneng banget karena aku dinyatakan lulus dengan peringkat terbaik di sekolahku. Air mata kebahagiaanku mene- tes ketika aku memeluk tubuh bapak yang sudah rentan.
“Bapak duluan aja ke tempat parkir, entar Bintang nyusul,” kataku.
“Emang kamu mau kemana Bin?” Tanya bapak lirih. “Aku ada urusan sebentar Pak,” jawabku memberi alasan. “Ya udah tapi jangan lama-lama ya, bapak mau nerusin
narik mumpung masih pagi!” “Ya, Pak,” kataku sambil berlari kecil menuju tempat duduk Siska. “Loe kenapa Sis, tumben orang kayak loe bisa nangis?” Kataku dengan penuh penasaran. Siska tetap saja diam, aku pun memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Aku merasa bahwa Siska sedang tidak mau diganggu. Tapi baru satu langkah aku menginjakkan kaki untuk pergi, Siska membuka bibirnya dan berkata,”Maaf ya Bin, selama ini gue udah banyak salah dan nyakitin perasaan loe.” Seperti- nya kata-kata Siska tulus, tapi angin apa yang membuat dia sadar kayak gitu.
“Akting loe bagus Sis, tapi maaf loe nggak bisa nipu gue,” kataku. “Gue serius Bin minta maaf sama loe,”katanya dengan penuh keyakinan. “Sumpah, ini lucu banget, seorang Siska anak konglomerat minta maaf sama Bintang anak tukang becak yang miskin. Ini cara baru loe buat menghina gue ya Sis? Loe pikir loe berhasil Sis? Tidak Sis …. Tidak, loe tidak berhasil karena gue nggak percaya sama loe,”kataku sambil tertawa-tawa sinis dan curiga.
“Mungkin ini lucu bagi loe Bin dan mungkin loe sulit per- caya sama gue. Tapi loe tahu gak kalau gue lebih nggak percaya
~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~
lagi ketika melihat hasil pengumuman dan gue dinyatakan tidak lulus.” Kata Siska sambil menangis dan penuh emosi.
Aku hanya melongo melihat ekspresi wajah Siska. “Mungkin Tuhan marah Bin sama gue, karena gue sering
ngejek loe,”katanya Sambil menangis tersedu. Ya Allah …. Aku bisa merasakan kekecewaan Siska, tapi
mungkin memang benar bahwa ini adalah jawaban atas kesom- bongan dan keangkuhannya.
“Loe jangan negative thinking tentang Allah Sis, ini adalah ujian dari-Nya buat loe, loe harus kuat dan tegar! Gue yakin Allah tuh sayang sama semua umat-Nya termasuk eloe,”kataku me- nasehati dan menenangkan hatinya.
“Jadi loe mau maafin gue kan Bin, dan gue boleh jadi saha- bat loe kan? Gue takut kejadian ini terulang lagi kalau gue bersikap acuh terus sama loe,”kata Siska penuh pengharapan.
“Iya Sis gue maafin loe kok, gue nggak pernah nyimpen den- dam sama loe. Bapak selalu mengajarkan kebaikan sama gue termasuk sifat pemaaf,”kataku sambil memegang pundak Siska.
“Makasih banyak ya Bin,”katanya lirih sambil memelukku. Aku hanya terdiam dan mengangguk.
~ PIANO DALAM PASIR ~