Satu Hari dalam Hidupku

Satu Hari dalam Hidupku

Fr. Anita Dyan K

enja. Aku duduk sendiri di kamar atas dan kupandang sebuah sarang kecil di sela dahan pohon beringin yang cukup

besar itu. Mungkin jika digunakan untuk bersandar sangat nyamanlah. Senyumku pun semakin merebak ketika terdengar kicauan induk burung hinggap untuk memberi makan anak- anaknya. Iri rasanya melihat kedatangan induk burung itu. Kupejamkan mataku yang seketika terkenang peristiwa 13 tahun silam, akan sebuah hari senja di mana sepasang suami istri menghampiri seorang anak kecil dengan membawa manis- an. Dipeluknya anak kecil itu dengan kasih sayang, digandeng dan diajak anak itu menuju taman di seberang ujung jalan.

“Cit…cittt…,” terdengar rem dadakan yang membuat anak kecil itu terpental dan hanya tatapan kosong anak kecil itu yang terbayang, menyaksikan sepasang suami istri tadi tergeletak di depannya. Perlahan kudengar lagi kicauan burung itu sayup- sayup. Ke mana perginya?

Perlahan kuatur nafasku yang semakin tersenggal ketika tak kutemukan kicauan itu. Mataku kubuka perlahan. Kuamati lagi sarang di sela pohon itu. Namun, yang kudapati seorang anak lelaki kecil meraihnya dari dahan.

“Hai, berhenti!” Teriakku pada anak itu. Tanpa menghiraukanku, anak itu lekas turun dari batang

pohon. Hatiku yang tak tega melihat induk burung yang pasti

~ PIANO DALAM PASIR ~

akan mencari anak-anaknya itu, segera kuberanikan turun melewati pipa di samping jendela kamarku. Panasnya tangan tidak menghalangiku tuk mengejar anak itu yang sudah turun dari batang pohon. Kukejar tanpa henti. Rupanya gesit pula langkah anak itu hampir aku tertipu oleh derap larinya. Pasar Grenjeng yang terletak tak jauh dari kompleks pohon beringin tersebut merupakan arena yang dimasuki anak kecil itu. pusing aku dibuatnya berputar-putar tanpa henti.

“Grubak!” Tiba-tiba anak kecil itu menabrak seorang anak muda. Langkahku sempat berhenti melihatnya. Yang kukira muda itu akan menghalangi langkah anak itu, namun ternyata bisikan kecil membuat seorang muda itu menuntunnya meng- hilang tanpa kuketahui. Kulihat ke sana-ke mari di sela lemari- lemari yang berjajar yang penuh dengan barang dagangan di dalamnya tentunya dan di bawah meja-meja yang terlihat.

“Permisi, Bapak tadi melihat dua anak laki-laki berlari tadi? Yang satu masih berumur sekitar tujuh tahun dan yang satu….” Belum sempat kuselesaikan pertanyaanku bapak yang kutanya menyela, “Maksud Adik, yang berlari barusan?” “Iya, Bapak tahu siapa mereka?” “Bukan hanya tahu tapi juga kenal.” “Siapa mereka, Pak? Mungkin Bapak bisa memberitahu

tempat tinggal mereka?” “Kamu masuk gang sebelah kiri itu. rumah menghadap selatan nomor lima.” Tanpa banyak bicara Bapak yang sedang sibuk membaca koran tadi langsung meneruskan membacanya. “Terima kasih, Pak.” Kutapaki jalan menuju gang itu. Suasana tenang tanpa

kebisingan kendaraan bermotor menggiringku terus melangkah. Hari yang semakin larut mengingatkanku untuk segera menye- lesaikan masalah besar yang walau sebenarnya teruntuk hanya padaku saja.

Larut itu aku telah berdiri di depan rumah deretan nomor lima seperti yang diungkapkan Bapak tadi. Terlihat banyak

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

keranjang bertumpukan di kanan rumah itu. Kayu pintu, din- ding, dan atap yang sudah rapuh menyiratkan ketidaklayakan rumah itu untuk dihuni. Bersyukur rasanya aku masih men- dapat rumah yang layak dihuni bersama keluarga tiriku yaitu ayah, nenek, kakek, dan kakak.

“Krompyang, therr…” Terdengar beberapa barang pecah mengagetkanku dari lamunan. “Keluar! Sebelum kau bisa mengganti barang-barang ini. Sebagai hukuman untuk malam ini jangan berani tidur di rumah!” Teriak seorang Bapak yang menyentakkan pikiranku.

Dibukanya pintu oleh anak kecil yang mengambil sarang burung tadi. Segera kuhampiri anak itu. Belum sempat aku me- ngeluarkan kata. Tatapan yang berkaca-kaca tersorot dari anak itu menggugurkan niatku untuk menasihatinya mengembalikan sarang burung itu.

“Kau tidak…” “Untuk apa kamu datang kemari?” Potong anak itu dengan

nada marah. Belum sempat aku menjawab anak itu pergi tanpa meng- hiraukanku lagi. Dengan sedikit bertanya dalam hati, bukankah seharusnya akulah yang marah? Namun, kenapa tidak sopan sekali itu anak langsung pergi tanpa mendengarkan penjelasan- ku.

Kubalikkan badanku dengan menghela nafas. Terlihat anak itu menangis di pelukan seorang muda yang menuntunnya tadi. Ditatapnya aku dengan tajam oleh anak muda itu.

“Kau apakan anak ini hingga menangis seperti ini?” Gertak- nya. “Menuduh tanpa bukti.” “Mau bukti apalagi? Ini dia menangis. Kamu tadi kan yang

mengejarnya?” “Kalau iya kenapa? Tapi, maaf bukannya aku…..” “Sudahlah, Kamu pergi saja dari pada hanya memperkeruh

keadaan.”

~ PIANO DALAM PASIR ~

Sungguh kata-kata anak muda itu menusuk hatiku,” se- enaknya itu orang menuduh tanpa bukti, memang dia siapa sampai berani membentakku? Seruku dalam hati.

“Masih bengong lagi. Pulang sana! Anak gadis sepertimu jangan keluar rum…” “Apa urusanmu menasihatiku? Asal kamu tahu aku tidak membuat anak itu menangis. Dia sendiri yang berbuat salah.” “Sudahlah pulang sana sebelum….” “Tapi, maaf sebelumnya. Sebab aku kemari hanya...” “Siapa suruh berdebat di depan rumahku? Pergi kalian se-

mua! Mengganggu orang nonton teve saja!” Bentak Bapak anak kecil itu tiba-tiba yang lagi-lagi memotong omonganku, yang kesekian kalinya membuatku tertegun.

“Tunggu apa lagi? Pergi!” Teriak Bapak itu yang sudah siap- siap akan melempar sandal yang dikenakannya. Lari pulang adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan diri sendiri. Kecewa yang kubawa, sedih rasanya mengapa aku tidak bisa menggugah anak kecil tadi untuk sekedar mengem- balikan burung-burung kecil itu berkumpul dengan keluarga- nya.

“Plak,,,” jidatku adalah sasaran kepikunanku. Mengapa baru terpikir bahwa wilayah itu adalah baru bagiku. Lupa gang menuju jalan utama adalah masalah berikutnya yang hinggap padaku.

“Kan baru tadi pagi ya aku sampai di sini. Berani-beraninya lagi keluar rumah tanpa izin. Aduh gimana ini?” Linglung tiba- tiba aku di pertigaan gang Melati itu, “Aagh…!” Teriakku ketika tepukan lembut menyentuh bahuku.

“Mbak Dyan kenapa bisa sampai sini?” “Mbok, aduh kaget saya. Untunglah simbok di sini. Saya

tersesat, Mbok,” “Ya sudah, mari pulang.” Sesampainya di depan pintu rumah, nenek dan kakek ter-

dengar sedang berbincang-bincang dengan nada tinggi. Melihat- ku, nenek dan kakek berhenti saling menyalahkan, “Masuk

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

kamar sekarang!” Nada marah sangat terasa ketika kekek melihat- ku saat itu. Nenek yang terlihat mencemaskanku langsung menghampiriku dan memapahku menuju kamar.

“Marti, siapkan makanan dan bawa ke kamar Dyan, ya!” “Ya, permisi.” Aku hanya diam tanpa kata. Merasa bersalah itulah yang

berkecamuk di dalam dadaku. Ketika melintasi ruangan terbuka sebelum menuju tangga, terlihat kamar yang tertata rapi yang jelas tidak mungkin itu kamarku.

“Nenek tidak mau kamu mengulanginya lagi!” “Maaf Nek, aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku akan

izin lebih dahulu sebelum pergi-pergi.” “Nenek bukannya melarang kamu untuk bepergian, tapi...,” nasihat Nenek terhenti seketika setelah melihat penyesalan yang terlihat dari raut sedihku dan anggukanku.

“Tok…tok...tok…,” Terlihat sosok laki-laki muda dengan kaos hitam bercelana

panjang dan rambutnya masih hitam panjang rapi seperti Rojer Danuarta. Seketika membuatku semakin menahan tangis.

“Baiklah kamu makan, ya. Nenek tinggal dulu. Temani Kakekmu di bawah,” “Iya, Nek. Makasih.” Tinggal aku dan Kak Beni yang masih mematung mena- tapku. Jantungku menjadi tak menentu melihat tatapan mata- nya. Kak Beni pun mendekatiku perlahan membawakan makan malamku.

“Nih dimakan! Kakak gak mau kamu sampai sakit dan melihat tindakanmu seperti hari ini lagi.” “Maaf, bukannya aku tidak mau pamit tapi….,” kataku pun tak dapat kulanjutkan lagi. “Asal kamu tahu, Kakak mencari kamu di kota yang baru kamu datangi ini.” Aku memang baru menyadari bahwa aku orang asing di tempat ini. Sekian lama aku di panti asuhan dan kembali lagi ke kota ini. Sebagian ingatanku pun pudar. Hanya kepergian

~ PIANO DALAM PASIR ~

ayah dan ibuku saja yang kuingat. Air mata yang dari tadi telah membendung di pelupuk mata tertumpah sudah di kedua tela- pak tanganku sendiri. Ketakutan dan kekecewaan yang mem- buat dadaku terisak-isak.

Belaian tangan Kak Beni terasa membuatku semakin ter- isak. “Sudahlah, tapi tidak perlu seperti ini dong, Dik! Pasti ada sesuatu. Coba cerita pada kakakmu ini.” Kuceritakan dengan isakan akan kenangan yang teringat ketika aku melihat induk burung yang memberi makan anak- anaknya di dahan pohon tadi sore.

“Kakak tahu. Sulit melihat orang tua kita pergi secara tiba- tiba. Apalagi itu demi menyelamatkan kita. Tegarlah adikku sayang!” Nasihat Kak Beni langsung memelukku yang menenang- kan tangisku.

“Lalu kenapa sampai kamu tersesat, Dik?” “Gara-gara anak itu lari kayak kuda lumping. Aku ngejar

sampai tak lihat kanan kiri jalan pulang. Mana sempat kehi- langan jejak. Eh, tahunya Kak, setelah ketemu di depan rumah- nya, dia itu dimarahi bapaknya. Entah kenapa, tapi sepertinya karena memecahkan barang. Mana setelah keluar rumah raut wajahnya marah melihat aku dan mangkelnya lagi ada anak muda yang ikut-ikutan membelanya. Kan dia ngajak adu mulut tu, eh bapaknya keluar bawa sandal. Ya udah kita yang kumpul di depan rumah pergi,” curhatku panjang yang didengar dengan sesakma oleh kakakku

“Ya udah, sekarang makan dulu ya!” “Makasih ya, Kak. Kakak tu selalu ada kalau aku butuh-

kan.” Kecupan Kak Beni di keningku pun menutup curhatanku padanya pada malam itu. Aku yang merasa gerah tidak lang- sung makan namun mandi dulu untuk menyegarkan pikiran dari kesuntukan senja itu.

Selesai mandi aku menuju piring makan. Terdapat lipatan kertas kecil. Kubuka perlahan penuh tanya, berharap itu dari

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

seorang pangeran yang mengajak sekedar menawarkan mene- mani makan malamnya.

Dear: Senthir Membaca tertujunya pesan dalam lipatan kertas itu mem-

buyarkan anganku untuk membayangkan kebersamaanku bersama seorang pangeran.

Tepat pukul 11 pm temui aku di bawah pohon beringin depan kamarmu. From: Black heart

“Black heart? Oh, dia. Tapi aku kan sudah janji tidak keluar rumah tanpa izin. Apalagi jam 11? Dipikir gak sih kalau buat janji,” pikirku dalam hati yang menjadi bimbang. Doa mohon petunjuk untuk mengambil keputusan terbaiklah yang kulaku- kan setelah merenungkan sebuah pilihan yang masih bimbang, “Tuhan, semoga malam ini induk burung itu mau memaafkan anak yang mengambil sarangnya tadi. Berkatilah Kakek – Ne- nekku dan Ayah tiriku. Kepada kakakku, Engkau Maha Tahu. Bantulah aku untuk mengubur rasa ini ya, Bapa. Maafkan se- gala kesalahanku. Amin.”

“Teng….teng….teng…,” suara jam dinding yang berdenting

11 kali menandakan pukul 11 telah menyapa. Dalam kamar aku masih bimbang, “namun tidak salah dicoba sekali, ah ke- sempatan itu kan gak datang ketiga kali,” pikirku pendek.

Dengan menyelinap lewat jendela seperti senja tadi, sam- pailah aku di bawah pohon. Namun, tidak kutemukan seorang pun. Hanyalah secarik kertas yang bertuliskan,

Laju terus ke barat dan masuk ke dalam gang bersemak tanpa berisik dan takut-takut. Good luck

~ PIANO DALAM PASIR ~

Langkahku tertuntun oleh rasa penasaran yang mendalam. Ketakutan berkecamuk dalam batinku saat itu. Terdengar derap langkah yang cepat mengikutiku di belakang. Langkahku sema- kin cepat namun kakiku dijegalnya dari belakang. Mulutku di- bungkam dengan tisu.

“Tuhan, tolonglah aku!” Pintaku dalam hati yang kuingat sesaat sebelum pingsan. “Hai,, bangun…! Bangun …!” “Eh , di man a in i?” Jawa bku sete lah sada r ya ng

memandangi sekeliling. Tahukah kalian yang kudapat? Saat itu aku telah duduk di seberang danau yang penuh dengan semak. Bulan sabit menghiasi langit malam. Banyak bin- tang bertebaran di langit menemaninya serta semarak cahaya yang terapung di danau. Cahaya yang merebak dari pancaran lilin-lilin kecil yang terapung bergerak mengikuti arus malam itu. Sungguh membuatku lupa bagaimana aku bisa sampai di tempat itu.

“Kamu senang?” “He-em, eh tapi…,” jawabku mencari asal suara itu. “Jangan sedih lagi ya!” Tanpa kata, kutatap sosok yang bersua padaku saat itu.

Senyum bibirnya yang menghiasi pipinya membuatku semakin bertanya-tanya, “Mengapa dia, Tuhan? Yang Kau kirim untuk menemaniku menghabiskan malam ini?”

“Hai…?” “Maksud dari semua ini apa? Gak ada cara yang lebih lem-

but lagi?” “Ikut aku sekarang!” Ajaknya menuntunku dengan gan- dengan tangan. Meja bundar yang bertaplak merah muda, taburan mawar putih di atas meja itu dan kue tart di atasnya terlihat olehku. “Selamat ulang tahun…selamat ulang tahun……selamat hari ulang tahun…..selamat ulang tahun, Dyan, selamat ulang tahun…,” sepotong nyanyian semakin membuatku terbelalak dan tak percaya apa yang sedang kualami.

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

“Aku sayang kamu,” bisiknya menyentuh sanubariku dan seketika membekukan jemariku yang selain kedinginan juga kaget tak berdaya oleh pengakuannya.

“Tapi kita tidak mungkin bisa…” “Selamat ulang tahun…selamat ulang tahun……selamat

hari ulang tahun…..selamat ulang tahun, Dyan. Selamat ulang tahun…,” nyanyian yang terdengar seperti koor itu semakin jelas menghampiriku.

“Kakek, Nenek, Ayah?” Hanya senyum yang mereka lempar. “Apa perlu disaksikan mereka dulu baru mau jawab?” “Kita saudara, Kak?” “Lihat ayah dan jawablah!” Tanpa berpikir pendek aku pun tersenyum menjawab.

Dalam batin aku berdoa, “Oh, Tuhan kau jawab doaku. Benar indah pada waktunya. Terima kasih.”

Malam yang takkan pernah terlupa. Disaksikan lilin-lilin kecil yang terang. Bintang bertaburan dan semak yang bergo- yang. Itulah malam terindah yang kudapat beserta kado spesial dalam hidupku.

~ PIANO DALAM PASIR ~

Bingkai Kehidupan

Galih

ebuah gubuk tua di pinggir sungai. Pepohonan menyelimuti gubuk itu. Merdunya kicau burung kecil di pagi hari, mem-

buat suasana lebih indah. “Srek ... srek ... srek...,” bunyi orang menyapu di depan gubuk itu. Ibu Romlah setiap harinya membersihkan gubuk tua. Ibu Romlah setelah membersihkan gubuk itu segera bersiap-siap bekerja mencuci pakaian dari tetangga satu ke tetangga yang lain. Sedangkan sang suami, yaitu Pak Darmo sejak pagi sudah berkeliling menjual bubur ayam dari desa ke desa. Dari hasil mereka bersusah payah, Alhamdulillah cukup untuk menghidupi keluarga. Pasangan Pak Darmo dan Bu Romlah dikaruniai se- orang anak, Andi, yang taat beribadah dan patuh kepada ketua orang tuanya.

Matahari mulai malu menampakkan wajahnya dan kemu- dian senyumnya mulai hilang. Ibu Romlah kembali pulang dari tempat bekerja dengan upah dua puluh ribu setiap rumah se- hingga mampu menyekolahkan anaknya sampai tingkat SMA.

“Gruduk .... gruduk .... gruduk....” Terlihat dari kejauhan Pak Darmo mendorong gerobaknya, pulang dari menjual bubur ayam. Dengan memakai pakaian seadanya dan tak lupa handuk kecil di bahunya untuk membersihkan keringat dari badannya.

“Assalamu’alaikum...,” sapa Pak Darmo. “Wa’alaikum salam. Sudah pulang, Pak?”

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

“Sudah, Bu! Di mana Andi?” “Mandi di sungai Kentheng, Pak! Kok belum pulang!” “Nanti juga pulang!”

Suasana pun jadi ramai ketika Andi dan kawannya pulang dari memancing di sebuah sungai dekat dari rumahnya. Dilihat- nya sang ibu dan bapak sedang minum teh di kursi depan gubuk itu.

“Itu Andi, Pak! Alhamdulillah, ia sudah pulang, Bu!” “Assalamu’alikum …,” sapa Andi dan langsung bersalaman

kepada kedua orang tuanya. “Wa’alaikum salam, kok baru pulang, Nak?” “Iya, Bu. Tadi sambil berenang!” Itulah Andi, sang buah hati yang taat kepada orang tua

dan agama. Teman-teman Andi pulang menuju rumah masing- masing yang letaknya tidak jauh dari rumah Andi. Andi lang- sung masuk ke rumah dengan membawa plastik hitam yang di dalamnya banyak ikan kecil dan besar. Andi bergegas mandi ke- mudian melaksanakan shalat maghrib. Setelah shalat, tak lupa Andi mengaji walaupun hanya satu ayat. Itulah sebagian kecil dari rutinitas dalam kehidupan Andi.

Mengaji bagian yang penting bagi Andi, yang dilakukan sehabis Shalat maghrib sampai isya. Andi pulang dengan perasaan yang tidak seperti biasanya ia menemui ibu dan ayahnya minum teh di gubuk. Perasaan cemas tidak terjawab hanya dengan menemui ibu dan ayahnya. Ibunya berkata tak seperti biasanya yang akhir-akhir ini berbi- cara seolah-seolah ingin meninggalkan sesuatu.

“Ada apa dengan, Ibu?” Terlintas terus di hati Andi. Andi pamit untuk belajar lalu tidur. Andi yang tak pernah

gelisah, ia gelisah memikirkan ada apa sebenarnaya ini. Mulai dari air sungai yang terlihat sosok wajah Ibu Romlah yang ter- senyum kepada Andi yang seakan-akan akan mengatakan se- suatu yang amat penting hingga gelapnya malam datang kege- lisahan menyelimuti Andi. Kali ini bertambah kuat imajinasi

~ PIANO DALAM PASIR ~

yang terlalu berlebihan dari Andi, membuat air mata Andi tak terbendung. Dia merasa belum siap jika harus kehilangan ibu yang teramat dicintainya. Terlebih pada ayah yang selalu meng- ajarkan arti kehidupan. Bukan karena takut hidup sendiri, melainkan Andi merasa belum bisa membahagiakan, membang- gakan kedua orang tuanya, sebagai rasa cinta dan kasih sayang serta rasa hormat Andi kepada kedua orang tuanya. Senyum bahagia dan rasa bangga dari kedua orang tuanya adalah suatu yang tak ternilai bagi Andi. Malam pun semakin larut dan akhir- nya Andi tenggelam dalam mimpi–mimpinya.

Kicauan burung yang merdu, dengan udara yang agak ba- sah oleh embun, yang sedang menyambut senyumnya mentari pagi di hari ini. Sang Ayah telah bergegas dengan gerobak tua- nya. Ibu yang sedang menunggu Andi memakai seragam yang juga siap dengan keranjang kosong yang kemudian berkeliling untuk mencari pakaian kotor untuk dicucinya.

Perasaan cemas dan gelisah ternyata masih lekat di hati Andi. Ketika mau berangkat sekolah Andi melihat ibunya yang dari tadi menunggunya, sedang batuk-batuk. Dilihatnya wajah ibu yang agak sedikit pucat. Andi mengurungkan niatnya untuk sekolah karena merasa kasihan dengan ibunda tersayangnya.

Namun sayang, Ibu tak mau mengorbankan anaknya, “Ke- napa, Andi? Ibu baik-baik saja. Kamu harus pergi sekolah!” “Nggak, Bu! Andi mau di sini menunggui ibu. Andi takut terjadi apa-apa pada ibu.” “ Andi, Ibu tahu Andi sayang pada ibu. Andi nggak mau ibu kecewa, kan? Maka, Andi harus sekolah!” Dengan berat hati akhirnya Andi berpamitan pada Ibu dan kemudian pergi ke sekolah. Sepanjang perjalanan wajah Ibu dan Ayahnya terlintas di benak Andi. Sesampainya di sekolah, Andi duduk seperti biasa.

Bel pun berdering. Tanda pelajaran jam pertama dimulai. Pak Amin, guru Bahasa Inggris telah datang. “Berdoa mulai...!” Ajak sang ketua kelas.

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Setelah Pak Guru mengucap salam, dimulailah pelajaran seperti biasa. Suasana tenang menyelimuti ruang kelas. Semua murid berkonsentrasi dan memperhatikan dengan penuh se- mangat. Lain halnya dengan Andi. Pikiran yang melayang. Hati yang cemas dan gelisah mengganggu otak Andi tak kunjung lenyap, malah semakin menjadi-jadi.

“Assalamu’alaikum” teriak Andi di depan rumahnya. Tiga kali Andi salam, tak ada yang menyahut. Kemudian, Andi masuk. rumah. Dilihatnya perabot rumah yang tertata tak seperti biasa- nya. Suasana sepi dan aneh. Satu jam lebih Andi menunggu, namun tak ada seorang pun. Andi keluar rumah dan dilihatnya Pak Mijo, seorang tetangga Andi. Andi bertanya pada beliau, “Pak, pada ke mana ya, kok gak ada orang?”

“Andi belum tahu ya .....!” “Tahu apa ...? Ada apa, Pak? Apa yang terjadi?” “Sabar dulu, Nak ...!” Diajaklah Andi duduk sambil minum teh. “Tabahkan hatimu, Nak ...! Kedua orang tuamu telah lebih

dulu kembali pada yang Kuasa.” “Apa ...?! Tidak mungkin ....!” Sambil meneteskan air mata. “Ibumu tadi jatuh pingsan, lalu telah tiada. Sementara ayah-

mu tertabrak mobil saat mau menyeberang jalan. Tapi, tak usah bersedih semua yang ada di dunia akan kembali pada yang Kuasa. Tak ada yang kekal. Tak ada yang abadi di dunia ini.”

“Tapi, saya belum sempat membahagiakan mereka. Saya belum bisa jadi apa yang mereka inginkan.” “Sudah. Gak usah bersedih. Mereka gak akan nuntut apa- apa darimu. Mereka hanya ingin kamu tahu. Segala yang ada di dunia pada akhirnya akan musnah. Akan kembali pada Tuan- nya. Siapa itu? Dia adalah Tuhan. Dan mereka punya pesan padamu agar kamu rajin sekolah dan jadilah seseorang yang berguna bagi siapa saja.”

“Masya Allah! Ibu! Ayah! Maafkan aku! Maafkan aku!”

~ PIANO DALAM PASIR ~

Tet ... tet .... tet ....! “Andi, bangun... Bangun, udah bel pulang. Mau pulang gak!”

Kata teman Andi sambil menggoyang-goyang badan Andi ber- usaha membangunkan Andi.

“Masya Allah! Alhamdulillah! Ternyata hanya mimpi, to...!” Andi bergegas pulang dan menemui ibunya. Ternyata ayah

dan ibu Andi telah menunggu di meja makan. Andi bersyukur, ternyata itu hanya mimpi. Walaupun kejadian dalam mimpi itu akan terjadi suatu saat nanti namun dia takkan lupa tentang mimpinya. Dia akan berusaha agar ayah dan ibunya bangga pada Andi.

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Gangsal

Kurnia Sridamayanti

ak Mangun memandang Dewa dengan mata mendelik. Seakan-akan semua amarah terwakilkan dengan sorot

mata keras dan dingin itu. Kumisnya yang lebat melintang tak teratur, membuat wajah hitam legamnya makin garang. Belum ada semburan kata-kata makian yang terlontar dari bibirnya yang hitam karena rokok. Hanya dengus napasnya yang menan- dakan bahwa dia sedang benar-benar murka pada anak laki- lakinya, Dewa.

“Dasar anak ndak tahu diuntung! Sudah syukur diopeni, kok masih bikin ulah!” semburnya, keras melengking memenuhi seluruh ruangan rumah.

“Maaf. Maaf, Pak…!” Dewa menunduk lesu. Tidak berani memandang bapaknya

yang -sekali lagi- memarahinya. Memarahi Dewa, hanya karena masalah jemuran yang lupa belum diangkat dan kehujanan.

“Maaf… Maaf… sekali sudah maaf. Diulangi lagi. Bapak ndak sabar!” Dewa, salah satu anak pak Mangun dari 4 bersaudara, yang dapat dibilang sedikit (maaf) cacat. Anak kedua setelah Bimo, dan sesudah si kembar Satrio dan Kinan. Dari ketiga anak laki- laki pak Mangun, hanya Dewa-lah yang keadaan fisiknya lebih rendah. Kakinya yang kiri lebih kecil dari yang kanan. Itu sebab-

~ PIANO DALAM PASIR ~

nya Dewa tidak bisa beraktivitas seperti saudara-saudaranya yang lain.

“Dewa ndak akan mengulanginya lagi pak,. Janji!” “Halah…!!” Pak Mangun mengibaskan tangannya di depan wajah Dewa.

Dia memilih meninggalkan Dewa yang hanya makin menaikan tensi darahnya. Pak Mangun masuk ke kamarnya dengan masih bersungut-sungut. Meninggalkan Dewa yang tetap terduduk di karpet lusuh ruang tengah.

Wajah Dewa tidak dapat digambarkan. Sakit hati, kesal, marah, kecewa, menyesal, bercampur menjadi satu. Tapi untuk -sekali lagi- dia bisa memaklumi kemarahan bapaknya dengan hanya mengelus dada. Berdoa pada Tuhan agar dia diberi kesa- baran lebih untuk menghadapi setiap tantangan dalam hidup- nya. Sekaligus menerima kenyataan bahwa dia memang berbeda dari saudara-saudaranya, dan dia tidak dianggap oleh bapaknya

Di balik dinding bambu, 2 anak kembar yang tidak lain ada- lah saudara Dewa, mengintip kakaknya yang masih duduk di ruang tamu.

“Kin, Mas Dewa dimarahin bapak lagi. Jadi kasihan aku,” bisik Satrio. “Padahal, Mas Dewa kan cuma lupa ndak angkat jemuran saja tho? Kok bapak sampai tega-teganya marahin Mas Dewa setiap hari.”

Satrio berujar, “Ya, sudah Kin. Lebih baik kita ndak ganggu Mas Dewa dulu.” Petang menjelang. Keluarga Pak Mangun berkumpul di ruang makan untuk santap malam. Namun hanya Dewa yang belum muncul di meja untuk makan, saat itu. Karena hanya ada bapak sendiri, ibu, Bimo dan si kembar Satrio dan Kinan. Semuanya berkumpul mengelilingi meja.

“Bu, Dewa ke mana?” tanya Bimo. “Lha, tadi ke mana? Ibu ndak lihat dari tadi siang.” Kinan menyahut, “Kinan lihat Mas Dewa tadi masih di

kamar Bu. Dari tadi belum keluar.”

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Pak Mangun melirik Kinan, sebentar. Lalu acuh kembali. Si ibu tahu, bahwa ada sesuatu yang sudah terjadi di rumah

itu, selama dia keluar ke kebun tadi. Ibu pun melirik ke arah bapak dengan tatapan kecewa. Dia ingin membela anaknya - sekali lagi- tapi si ibu tahu bahwa bapak tidak akan pernah luluh dengan semua yang dia katakan sebagai pembelaan. Ibu tahu bahwa bapak memang tidak akan pernah menerima Dewa menjadi anaknya, karena kekurangan itu.

“Ya, sudah. Biar Ibu juga ndak makan kalau Dewa juga ndak makan,” Ibu meninggalkan meja makan. “Kalau sudah waktunya makan ya, makan. Ndak usah nung- gu-nunggu si Dewa,” kilah Bapak dengan nada suara meninggi. Suasana meja makan yang seharusnya hangat, berubah sedikit dingin. Ibu tidak mendengarkan usulan Bapak, karena dia juga sudah tidak tahan dengan perlakuan tidak adil Bapak pada Dewa. Ibu berkata:

“Bagimana Ibu bisa kenyang, kalau anak laki-lakiku saja kelaparan?” “Heh… Sulastri!!!” “Bapak…,” sela Bimo. “Sudahlah…” Satrio dan Kinan yang baru berusia 11 tahun memilih untuk

diam. Melihat dan mendengar semua yang terjadi di tengah keluarganya. Tidak ada sedikitpun hak yang bisa diambil kedua anak kembar itu untuk membela kakaknya, karena usia mereka yang kata bapak masih bau kencur.

Akhirnya, malam itu -sekali lagi- sebuah keluarga tidak dapat makan bersama. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Karena usaha si ibu untuk membuat Dewa bisa di”anggap ada” oleh Bapak, akhir- nya Bapak yang setiap hari hampir selalu marah-marah, kini mulai sadar dan lebih sabar. Meskipun Dewa belum sepenuh- nya dianggap oleh bapak sama seperti anak laki-lakinya yang lain, tapi beruntung bagi Dewa karena dia tidak akan mendapat cacian yang menyakitkan hati dari bapak kandungnya sendiri.

Seperti hari ini, ketika Dewa membuat kesalahan yang tidak dia sengaja, dengan lupa bahwa hari ini Dewa harus mem-

~ PIANO DALAM PASIR ~

beri makan ternak sapinya, Bapak hanya memandangnya tajam dan kemudian melengos pergi.

“Astaghfirullah…,” sahut Bimo dari belakang Dewa. “Mas? Kok sudah pulang? Ndak ada les di sekolah?” Bimo yang sebagai guru honorer di sebuah SD menatap

adiknya. “Ndak, Wa. Bapak marah sama kamu lagi?” Dewa tersenyum kecil, menunduk, lalu mengangkat wajah-

nya lagi sembari menggeleng, “Ndak kok, mas. Bapak ndak ma- rahin Dewa lagi. Mas ndak denger bapak teriak lagi kan tadi?”

“Tapi, Wa…” “Sudahlah Mas. Masih untung Bapak ndak marahin Dewa

lagi, daripada Dewa ndak dianggap anak selamanya. Inggih, tho?” “Ya, sudah kalau begitu. Yang sabar ya, Wa? Bapak itu sa- yang sama kamu.” Seolah ragu-ragu, Dewa mengangguk kecil, “Inggih Mas. Mau ngaso dulu?” Akhirnya Bimo dan Dewa berpisah di ruang tamu. Waktu makan tiba lagi. Kini, satu keluarga itu bisa ber-

kumpul di satu meja untuk santap malam. Tidak seperti biasa- nya, Bapak tidak berbincang tentang apapun. Seperti bertanya bagaimana kerjaan Bimo di sekolah, nilai-nilai yang si kembar dapatkan di SD kelas 6, dan sebagainya. Sejak awal setelah melihat Dewa duduk di meja makan bersama mereka, Bapak acuh dan diam saja.

“Le, mau makan apa?” Tanya Ibu ke Dewa. “Sudah bu, biar Dewa yang ambil sendiri.” “Iya!” sahut Bapak. “Kalau bisa sendiri ndak usah ditolong-

tolong.” Ibu, Bimo, dan si kembar menatap Dewa. Sedangkan Dewa sendiri tersenyum dipaksakan. Wajahnya menunduk seolah tidak berani memandang orang tua dan saudaranya.

Melihat semua itu hati si ibu trenyuh. Anak yang sudah dikandungnya sembilan bulan sepuluh hari dan dia besarkan dengan kasih sayang, tidak bisa diperlakukan semena-mena

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

oleh bapak kandungnya sendiri. Makanya kemudian, dengan berani si ibu bilang pada Bapak:

“Pak, walaupun bapak ndak bisa menerima Dewa sebagai anak Bapak, tapi Dewa tetap anak Ibu dan ndak ada yang boleh memarahinya walaupun itu Bapak sendiri.”

“Apa maksudmu Sulastri?!” “Kalau Bapak masih mengaggap Dewa ini orang lain di mata

Bapak, Ibu juga akan jadi orang lain buat Bapak. Ibu ndak peduli walaupun bapak akan memarahi Ibu sama seperti maeahnya bapak pada Dewa. Yang pasti, bapak ndak bisa memarahi Dewa seenak Bapak lagi.”

“Apa?” “Pak,” sahut Bimo. “Dewa juga anak Bapak, dan kita satu

keluarga. Ndak peduli apapun yang Dewa derita, Dewa tetap saudara-saudara kami. Bimo sebagai wakil dari saudara Dewa yang lain memohon pada bapak, untuk mengaggap Dewa sama halnya seperti Bapak menganggap kami semua.”

“Halah… apa-apaan ini?!” “Mas Dewa tetap mas kita kan, Pak?” sahut Satrio. “Mas Dewa tetap mas kita,” tambah Kinan. “Kalian semua ini…!!!” Tapi semua mata memandang bapak dengan pandangan

yakin dan pasti. Hal itu membuat bapak tidak punya pilihan lain selain memperlakukan Dewa seperti anaknya sendiri, atau kehilangan perhatian dan penghormatan anggota keluarga lain.

“Ya, sudah kita makan.” Dewa yang sejak tadi tidak dapat membela ataupun menga-

lah, akhirnya tersenyum memandang Ibu, Bimo, dan kedua saudaranya. Kemudian memandang Bapak dengan wajah yang sumringah. Bapak pun berkata:

“Bapak akan berusaha…” “Terima kasih, Pak.” Pak Mangun mengangguk, dan memandang Dewa dengan

sorot mata berpengharapan baru. Seperti yang ibu dan yang lain harapkan, sikap bapak pada Dewa sedikit demi sedikit mulai terasa perubahannya. Dari yang

~ PIANO DALAM PASIR ~

setiap hari sering marah-marah bila Dewa melakukan kekeliru- an, sampai bapak dengan sabar bisa memaklumi semua keku- rangan Dewa.

Dewa yang merasakan keberadaannya di rumah mulai dianggap bapak, berusaha sekuat mungkin untuk tidak melaku- kan kesalahaan apapun. Dewa tidak akan mengecewakan apa yang ibunya pertaruhkan demi dia, dengan membuat bapak marah besar sekali lagi.

Sampai akhirnya, ada berita gembira yang membuat sua- sana keluarga itu lebih dekat dan hangat. Semua anggota ke- luarga yang mendengarnya turut berbahagia. Ibu mengandung

2 bulan. “Wah, Kinan sama Satrio mau punya adik baru.” “Iya, yang sayang ya Le sama adikmu nanti,” kata ibu. “Jelaslah bu, Dewa juga pastinya sayang sama calon adik

baru kami.” Bimo mengangguk dengan puas. Bapak juga sudah bisa tertawa sebagai respon semua pendapat Dewa yang dia sampai- kan di forum keluarga. Akhirnya keluarga yang dekat dan ha- ngat seperti yang mereka harapkan, tercipta juga.

Lima bulan kemudian. Dari dokter yang memeriksa ibu, sudah dapat dipastikan bahwa anak yang masih ada dalam kan- dungan bu Sulastri berjenis kelamin laki-laki. Semua anggota keluarga berbahagia untuk menyambut anggota baru di ke- luarga itu. Bapak, ibu, Bimo, Dewa, dan si kembar yang kelihat- annya senang sekali akan mendapatkan adik.

Hanya saja, di antara kebahagiaan itu, bapak mulai me- ragukan sesuatu. Bapak teringat akan sebuah mitos yang sudah awam di kalangan penduduk Jawa. Yaitu mitos Pandawa Lima. Bahwa siapapun yang memiliki lima anak dan mereka semua adalah anak laki-laki, akan ada satu orang anak yang mening- gal. Entah karena alasan apa, bapak yang jarang mempercayai mitos-mitos tidak masuk akal seperti itu, mulai merasa bahwa mitos itu memang harus dipercaya.

“Wah, anak-anak bapak dan ibu jadi lima orang. Laki-laki semua,” kata Ibu bangga.

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

“Lima orang? Laki-laki?” ulang Bapak. “Jadi Pandawa Lima.” “Pandawa Lima?” Bimo memandang bapaknya, sambil mengeriyitkan dahi. “Kenapa Pak sama Pandawa Lima?” Tanya Dewa. “Ah, ndak apa-apa. Cuma mitos orang-orang Jawa.” Sore di suatu hari yang beruntung, ibu merasa bahwa bayi

di dalam kandungannya mulai menunjukkan tanda-tanda akan lahir. Akhirnya Bimo, anak laki-laki tertua memanggil dukun beranak. Saat akhirnya si dukun beranak tiba, semua anggota keluarga menunggu di ruang tengah.

Wajah Pak Mangun terlihat biasa saja. Namun sebenarnya di dalam hatinya, dia mempertimbangkan sesuatu. Dia akan memiliki lima anak laki-laki, bila bayi dalam kandungan lahir. Pak Mangun tidak ingin salah satu anak laki-lakinya meninggal, seperti mitos Pandawa Lima yang dipikirikanya sejak waktu itu.

Satu per satu Pak Mangun memperhatikan anak-anaknya. Bimo, anak laki-laki pertama yang sudah berusia 25 tahun, dan sudah bisa membantu kedua orangtuanya karena bekerja menjadi guru honorer di sebuah SD. Dewa, anak kedua yang seharusnya seusia SMA. Tapi putus sekolah saat SMP gara- gara fisiknya yang “berbeda”. Sedangkan si kembar Satrio dan Kinan, sudah kelas enam SD. Mereka akan lulus dan ke SMP.

Tiba-tiba Pak Mangun punya ide, yang menurutnya cukup bagus. “Wa, bisa bantu bapak menyiapkan kudapan buat orang- orang yang nanti ke sini ndak?” Tanya bapak. Sebelum Dewa menjawab, Bimo dan si kembar sudah me- nawarkan diri. “Biar kita saja Pak yang menyiapkan. Bapak dan Mas Dewa di sini saja,” usul Kinan. “Iya, Pak. Kalau nanti ada tamu, kan bisa langsung ketemu bapak.” “Halah, ndak usah. Sama saja,” kata Bapak. “Kalian di sini saja, biar Bapak sama Dewa yang ke dapur.”

~ PIANO DALAM PASIR ~

“Ndak apa-apa, Mas. Biar Dewa yang bantu Bapak.” Akhirnya Pak Mangun dan Dewa ke dapur. Dengan niat

menyiapkan kudapan bagi tetangga-tetangga yang mungkin akan datang menjenguk bayi mereka. Awalnya, apa yang bapak maksudkan, berlangsung biasa saja. Mereka berdua menyiap- kan kudapan-kudapan untuk para tamu. Namun, apa yang tidak anak-anak Pak Mangun perkirakan, tiba-tiba terjadi.

Setelah terdengar suara jeritan tangis bayi dari kamar si ibu, bapak langsung berlari masuk ke kamar itu sambil menga- cungkan belati. Dengan menggebu-gebu bapak berteriak dengan lantang dan mengacungkan tinggi-tinggi belati di tangannya langsung di depan wajah Bu Sulastri.

“Hahaha… akhirnya anak-anakku ndak ada yang akan mati!!!” Ibu memandang Bapak, dan anak-anak yang lain berlari menuju ke ruangan itu. “Ada apa?!” Tanya ibu. “Karena kelahiran bayi laki-laki ini, anak laki-laki kita

menjadi lima bersaudara. Dan menurut mitos Pandawa Lima, akan ada satu anak laki-laki kita yang akan mati. Dan karena bapak takut kehilangan anak-anak kesayangan bapak, maka Dewa telah bapak bunuh! Hahahaha… Dewa sudah bapak tikam… Hahahaha…,” Pak Mangun berteriak dengan lantang.

Matanya mendelik dan dengan suara kemenangan, dia terus bilang bahwa dia telah membunuh anak cacat keparat itu. Demi anak bayi yang lahir saat itu dan juga harapan bahwa setelah dia membunuh Dewa, dia tidak akan kehilangan anak laki-laki kesayangannya lagi. Biar Dewa yang mati demi sau- dara-saudara laki-lainya yang lain.

“Hahahaha….” “Bapak?!” Pekik Ibu, “Anak bayi kita cacat, Pak!” Pak Mangun menghentikan tawa bangga dan kemenangan-

nya. “Anak bayi kita cacat, Pak!”

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Untuk membuktikan, bapak menghampiri si dukun bayi untuk melihat anak bayi laki-lakinya yang kata ibunya sendiri cacat. Saat melihat tubuh si bayi yang memiliki kecacatan lebih parah dari Dewa yang telah dibunuhnya, dengan tiba-tiba Pak Mangun menjatuhkan belatinya yang berlumuran darah. Mun- cul penyesalan yang sangat besar, karena bapak ternyata mem- bunuh anak yang lebih baik dari bayinya sekarang.

“Anakmu cacat dan idiot, Ngun,” kata si dukun bayi. “Ndak… ndak… Ndak!” Dengan lantang ibu berteriak pada bapak penuh dengan

amarah sambil melotot. “Terkutuk… Kau Mangunnn!”

~ PIANO DALAM PASIR ~

Karangan dalam Cerita

Soekamto

GORES berlanjut goresan . . .

etenangan dan bukan kesunyian membalut tebal dengan hawa kesuraman di Desa Palang Batu. Di sebelah sudut

utara desa terlihat sebuah bukit yang begitu tak kuasa bila mata seorang manusia melihat keindahan yang terpancar. Orang biasa menyebutnya Bukit Sana.

Hari telah sore. Sekelebat seseorang memapahkan kaki menuju Bukit Sana. Bersusul kemudian, satu demi satu pen- duduk desa hingga desa berada dalam suasana sepi senyap. Akan tetapi, dua orang laki-laki masih tertangkap mata di se- buah rumah penduduk. Satu tinggi tua dan satunya pun beda lagi, masih terlihat lebih muda. Mereka terdengar sedang berbi- cara setengah berbelit, agaknya takut orang lain mendengarnya pula.

“Apa sebenarnya tindak kelakuan yang diperbuat pendu- duk desa ini, Paman Rajit? Mengapa pula mereka selalu ke bukit setiap malam datang?”

“Jaga prasangkamu, Maeja. Mereka hanya mencari ke- damaian di sana.” “Maeja tak mengerti, Paman.”

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

“Sudahilah kau berucap dan bertanya seperti itu. Kau pun akan ke sana bersama Paman.” Usaha Maeja mendapat penjelasan dipatahkan begitu se- kejap karena saat itu mereka bergegas melangkah mengikuti penduduk desa. Rasa keingintahuan masih mengepul di benak Maeja.

Berada dalam waktu yang tidak begitu lama, palang batu terasa mencekam ditinggal semua penghuninya. Semua pergi menuju balik bukit. Tak terkecuali Maeja dan Rajit. Di balik bukit itu hanya ada sebuah goa yang memiliki dua pintu, di dalamnya sangat luas.

Semua orang duduk berderet, berdiam dengan pandangan terpusat pada seorang yang duduk di bagian sebelah depan. Dia duduk membelakangi semua orang. Dengan suara penuh geram terdengarlah, “selamat datang, wahai pengikutku.”

“Sembah kami, Paduka Lawa Lonta,” jawaban itu serentak terlontar dari mulut penduduk Desa Talang Batu. Sedang Maeja sendiri sedang dalam keheran-heranan.

“Jadi, demikian yang orang desa tidak lakukan. Apa gerang- an akan suatu hal yang membuat mereka seperti sekarang.” Keheranan demi keheranan menumbuhkan Maeja untuk mendapati jawaban ketidakberdayaan penduduknya akan sebuah kebenaran. Dalam pikiran terus berputar, terdengar lagi suara dari sosok di depan deretan penduduk.

“Apa yang kalian inginkan malam ini dan apa pula yang menjadi persembahan dari padamu.” Dengan serta merta mereka menjawab, “Dua ekor kerbau.” Lalu, Rajit melanjut ucapan, “Dan, kami . . . Dan, kami

ingin engkau mencipta haluan mutiara yang hanya sebuah butir.”

“Hoah . . . Capek.” Jam 21.35. Cuma itu yang kucari di layar HP dengan mata

merem satu. Rasa kantuk telah menambah beban di mataku.

~ PIANO DALAM PASIR ~

Otakku pun tak mampu lagi berjalan melanjutkan cerita yang kukarang. Terpaksa sudah, aku mengakhiri goresan-goresan penaku. Aku tak kuat terus menahan letih lelah akibat kegiatan siang tadi. Langsung saja kurebahkan tubuhku di dipan kamar- ku. Sembari berkata, “saatnya berlayar di alam mimpi ....”

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Temaram Bulan Sabit

Tri Puji Pangesti

ap…. Tap…. Tap. Langkah gontai syahdu menggiring raga ini memapas asa membuang puing- puing derita hati. Kapan

harus kumulai bahtera baru dalam hidupku? Setelah duri–duri kepenatan menghantam sanubari. Sempat terlintas di benakku kejenuhan untuk hidup. Beku hatiku tercipta sejak lima tahun yang lalu. Sejak ayahku merasakan pedih amat sangat hebat. Karena, ibu memutuskan untuk meninggalkan kami, aku, ayah, dan kakak Dion. Untuk mencari kesenangan sendiri, kami hidup dengan uang pensiunan ayah karena ayah tak mungkin bekerja lagi. Usianya semakin senja. Kak Dion juga kuliah semester akhir. Sedangkan aku baru saja menempuh UNAS di SMA.

“Tita, kelak kamu punya rencana kuliah di mana ?” Tanya Ayah padaku. “Entahlah, Ayah. Tita tidak punya bayangan. Tita bingung, Ayah.” Bagaimana aku bisa memikirkan kuliah, sedangkan uang pensiunan Ayah tidak seberapa. Kak Dion juga butuh biaya untuk menyelesaikan segala macam tugas akhir sebelum sar- jana. Mungkin aku akan merawat Ayah saja di rumah. Biarkan. Tragis sekali sepertinya. Jika kak Dion menikah, aku dan Ayah akan ditinggalkan. Jika aku mencari kerja, apa yang bisa aku lakukan? Lalu bagaimana dengan Ayah? Siapa yang akan men- jaga dan merawatnya?

~ PIANO DALAM PASIR ~

“Tita, kamu tidak boleh patah semangat. Kamu harus kuliah, Nak! Kamu harus pikirkan masa depanmu! Masalah biaya, kamu tidak perlu khawatir. Ayah masih bisa usahakan sesuatu,” tutur Ayah.

“Ayah, kalau Tita kuliah, beban Ayah akan semakin berat. Lalu siapa yang akan merawat Ayah di rumah. Lagipula biaya masuk saja sudah sangat banyak. Belum lagi kakak yang juga butuh biaya yang tidak sedikit. Tita tidak mau memberatkan Ayah. Tita sayang Ayah”

“Tidak, Tita! Kamu harus kuliah,” sergah Ayah menggebu- gebu. Ayah memang seperti itu. Keras kepala. Bertolak belakang dengan Kak Dion. Dia sangat lembut, tapi juga mudah goyah. Sayangnya, kakakku semata wayang itu sangat ambisius dan sedikit egois. Seperti Ibu, yang melanglang buana sesuka hati- nya tanpa peduli keluarga.

Inilah hidupku. Beragam kelam datang dan pergi. Sesaat kucium aroma bahagia namun segera angin menghempasnya. Aku mencoba terus mencari-cari sisi keindahan dalam kelam itu, namun hasilnya nihil. Tak ada secercah cahaya pun yang menuntunku, meskipun remang–remang namun itu hanya khayalan.

“Sedang melamun, Ta? Jangan banyak melamun. Hadapi saja dengan enjoy!” Suara Kak Dion mengagetkanku. “Ah, Kakak. Bagaimana bisa Tita enjoy? Kalau saja ibu ada dan berperan layaknya seorang Ibu. Pasti Ayah akan terurus. Tidak sakit dan mampu bekerja dan Tita bisa kuliah dengan tenang.”

“Kamu mau kuliah, Ta?” “Maunya Ayah begitu. Mau bagaimana lagi?” “Terserah kamulah. Kakak cuma mau bilang, bulan depan

kakak mau melamar Aisyah,” ucap Kak Dion datar. Ya, Allah! Masalah apa lagi ni? Aku bagai dihantam meteor besar di atas kepalaku. Mulutku ternganga seketika. Dan, mata- ku memancarkan tatapan mengiringi kepergian Kak Dion dari

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

hadapanku. Semuanya nampak seperti mimpi buruk yang tak tahu kapan berakhirnya. Di benakku telah tertoreh seorang ka- kak yang begitu egois. Akan lepas tangan begitu saja tak peduli dengan Ayah dan adiknya. Aku tertegun entah berapa lama.

“Tita?” Suara itu mengagetkan dan membuyarkan sejuta lamunanku. Aku hanya menoleh tanpa mengucap satu kata pun. Ku- tegakkan badanku bagai peleton yang menunggu instruksi dari pemimpin.

“Tita, tolong panggil ambulance. Ayah pingsan. Cepat!” Suara kegugupan Kak Dion menyerangku. Langkah seribuku mulai terayun. Dihimpit oleh tembok–

tembok kecemasan yang amat dahsyat. Bulir–bulir air mataku mengiring raga Ayah yang lunglai tak berdaya dan tengah diberi tetek bengek alat medis. Semua rasa ini tak karuan jadinya. Kak Dion yang terus–terusan mengucap makian kepada dirinya sendiri, menambah gusar hati ini. Sementara terlihat di celah tirai ruang ICU, beberapa tenaga medis tengah sibuk merawat Ayah. Aku hanya menunggu, terus menunggu sambil memejam- kan mata dan menikmati detakan jam dinding Rumah Sakit. Sesaat kemudian aku membuka mataku dan melihat gagang pintu tergerak. Aku terperanjat dan kutatap lekat-lekat wajah dokter itu penuh harap.

“Bagaimana Ayah saya, Dokter?” Tanyaku. “Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi,

Tuhan berkehendak lain,” jawab Dokter itu dengan suara lemah. Kupejamkan mataku dengan sejuta pilu. Jeratan histeris pun menyibak kesunyian. Tangis pedih Kak Dion samar ter- dengar. Aku mulai terduduk di lantai bersandar dinding koridor. Sepertinya kini air terjun Niagara kupaksakan di kedua mataku. Dengan kaki yang tiba-tiba terasa berat, kupaksakan menopang tubuh ini. Kupeluk raga Ayah yang pucat pasi. Kuraba lengan Ayah yang terasa dingin dan layu. Ayah adalah sosok yang paling berharga untukku. Seorang ayah yang sangat mengutamakan kepentingan keluarganya. Tapi, kini beliau telah tiada. Mau

~ PIANO DALAM PASIR ~

tak mau aku harus menerima kenyataan ini. Meskipun begitu aku tetap menyimpan benci yang amat dahsyat pada Kak Dion. Ini semua karena Kak Dion. Kak Dion yang membunuh Ayah.

Di sela–sela seonggok harapan, aku mencoba memahami makna hidup. Semua terasa samar–samar bagai cahaya bulan sabit. Aku masih terisak dalam tangis di upacara pemakamam Ayah. Tak kuasa aku menahan kepedihan ini.

“Kak Dion jahat!” Teriakku sekeras mungkin sambil berlari kencang sekuat tenaga. Samar–samar kudengar teriakan Kak Dion memanggilku. Semakin jauh dan kemudian menghilang. Berganti dengan samar- samar suara deburan ombak Pantai Sundak. Semakin cepat aku berlari semakin jelas terasa aura pantai. Kuberteriak sekeras mungkin berharap semua kesedihanku berlalu bersama ombak lautan yang kembali diringi arus angin. Aku memaki diriku sen- diri sejadi-jadinya. Namun, mereda di tengah senja yang men- jemput malam.

“Tita…! Tita, Sayang, “ suara itu samar. “Ayah!” Suaraku terkejut. “Kemarilah, Sayang! Kau jangan sedih.” “Ayah! Ayahku!” “Ya, Sayang! Kau jangan terlarut akan kesedihanmu. Jika

kamu sedih, ayah juga akan sedih. Kau jangan menyalahkan kakakmu. Biarkan dia mencari kebahagiaannya. Dan, kau juga harus mencari kebahagiaanmu. “

“Bagaimana bisa Tita bahagia, Ayah? Tita akan bahagia bersama Ayah tapi Ayah meninggalkan Tita.” “Sayang, segeralah kamu pulang. Kakakmu mencemaskan- mu. Dia amat khawatir padamu.” “Tidak, Kak Dion itu egois, Yah.” “Sudahlah, sekarang kamu pulang! Kalau tidak ayah akan

sedih. Kamu sayang ayah kan, Nak?” “Iya, baiklah, Ayah “ “Jaga dirimu baik-baik, Nak. Ayah akan selalu menyertaimu.” “Ayah ….! Ayah, jangan tinggalkan Tita!” Ucapku setengah

terjaga.

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Kemudian aku mulai terbangun dan terheran sembari kecewa. Ternyata itu semua hanya mimpi. Sejenak kemudian kuayunkan langkah ini menjauhi pantai. Aku mencoba tegar dalam hidupku. Akan aku terima semuanya. Tapi, entah kapan kebahagiaanku akan kembali.

“Tita, kamu dari mana saja? Kakak cemas, Ta?” Tanya Kak Dion menyambut kedatanganku. “Dari pantai,” jawabku singkat. “Tita, ada yang mau Kakak bicarakan denganmu. Masalah

Aisyah.” “Kenapa? Kakak nikah aja sama dia. Tita tidak apa–apa.” “Tapi, masalahnya Ibu Aisyah adalah ibu kita. Kakak ter-

kejut setelah pemakamam tadi. Aisyah mengenalkan ibunya dan ternyata itu adalah Mama.”

Aku ternganga. Mungkin ini hanya candaan kakak. Dan, hanya gurauan semata. Tapi, kenapa harus dikatakan pada saat seperti ini. Kak Dion memang sulit dimengerti. Kenapa harus membawa–bawa wanita itu. Wanita yang menumbuhkan sejuta benci dalam hati ini. Sungguh keji.

“Tidak, Kak Dion pasti bercanda,” kataku dengan senyum semu. “Kakak tidak bercanda, Ta. Kakak serius.” “Tita, walau bagaimanapun dia ibu kita. Yang melahirkan

kita dengan bertaruh nyawa. Kamu jangan durhaka, Ta.” “Tapi, Tita benci, Kak. Benci sekali.” “Ta, Kakak mencintai Aisyah. Kakak juga pedih mengetahui

kenyataan ini yang ternyata ibu tiri Aisyah adalah ibu kandung kita. Tapi, Kakak bisa menerima semuanya. Kenapa kamu tidak?”

Buliran air mata ini keluar lagi, membentuk sungai kecil dan bermuara di sudut bibir. Aku masih tertunduk kaku dan menangis pilu. Ingatanku kembali pada masa lalu. Ketika aku kecil bersama kakakku dan bercanda riang bersama Ayah dan Ibu. Tangisku pun semakin menjadi.

“Tita, Tita anakku,” terdengar suara wanita memanggilku penuh haru. “Ibu,” jawabku.

~ PIANO DALAM PASIR ~

“Maafkan Ibu, Sayang. Ibu menyesal telah meninggalkan kalian. Kamu boleh maki ibu semaumu.” “Untuk apa Ibu ke mari? Apa untuk menelantarkan kita lagi?” tanyaku dengan nada sadis. Ibu memelukku dengan penuh penyesalan. Sudah lama aku tak merasakan pelukan ibu yang penuh kasih sayang. Kini aku menyesal semua yang telah terucap dan semua sikapku pada ibu. Aku tidak bisa bohongi diriku sendiri. Sejujurnya aku merindukan belaian Ibu yang penuh kasih.

“Tita, kau besok bisa kuliah bersama Aisyah,” kata Ayah Aisyah menyela.

“Iya, Tita. Ayah sudah mengurusnya,” timpal Aisyah. “Terima kasih,” ucapku. Semua tampak baik–baik saja tanpa kejanggalan. Aku sudah

menyadari pentingnya rasa kasih sayang bukan demi sebuah keegoisan tapi untuk pengorbanan demi kebersamaan.

“Ayah, Tita akan selalu mengenangmu.” Hari yang cerah kulalui. Pagi ini awalku masuk bangku

kuliah. Aku berjalan menyusuri koridor dan …. Gubrakkk…! Aku menabrak sesuatu. Tapi, sepertinya manusia.

“Hay, kamu, kan…?” Pertanyaanku belum sempat kuteruskan. “Maaf, aku buru–buru,” sanggah laki–laki itu kemudian ber-

lalu. “Ini, dari dia?” Kata Aisyah sambil memberikan bingkisan pink berbentuk hati. Manis sekali jika dipandang. Sejuta rasa penasaran meng- hujani pikiranku. Segeralah kubuka dan kudapat kertas kecil bertuliskan.

MESKI KEBERADAANKU TEMARAM BAGAI SINAR BULAN SABIT NAMUN CINTAKU PADAMU SETERANG SANG MATAHARI

Semua yang tampak temaram, bukan berarti sebuah ke- pedihan. Jika hidupku ini akan terus bersinar, maka kadang redup dan kadang terang.

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Trouble is a Friend

Nuri Fatimah

ore. Temaram mulai mengusir siang, diiringi taburan angin beserta nyanyian rerumputan yang mulai terteduhkan oleh

datangnya senja. Di bukit belakang rumahku aku berbaring, menemani mentari yang mencoba beristirahat setelah seharian menemaniku beraktivitas. Dan, menanti datangnya rembulan yang akan senantiasa menemani tidur malamku.

Semilir angin menusuk pori-pori tubuhku, mengantar aku dalam kedinginan dan kesunyian. Sambil mengenang masa laluku, indah di kala itu kurasakan. Dulu tawa serta canda selalu menghiasi cantiknya wajahku. Tapi, kini semua hanya bisa aku kenang, semenjak ditinggal Defand pergi. Aku bagaikan manu- sia yang tak bernyawa lagi. Aku selalu bertanya-tanya dalam hati, ‘kenapa Tuhan tak adil denganku? Kenapa Tuhan selalu mengambil orang yang aku sayangi?

Dulu, Tuhan telah mengambil Ayahku ketika aku masih SMP. Aku sangat terpukul dengan kematian Ayahku yang men- dadak itu. Aku terpuruk dan hancur. Beruntunglah aku karena ada Mama yang selalu sayang dan tegar menjalani hidup. Mama adalah segalanya bagiku dan hidupku. Kini aku ditinggal oleh kekasihku, Defand namanya. Defand pergi meninggalkanku ke Singapura tanpa kata pamit. Defand dipaksa orang tuanya untuk mengurusi hotel milik keluarganya. Aku sangat terpukul dengan kepergiannya.

~ PIANO DALAM PASIR ~

Tak kurasa senja kini berganti malam. Udara dingin kian menusuk pori-pori tubuhku. Tiba- tiba ada seorang wanita sepa- ruh baya berteriak memanggilku.

“Vicent...” “Ya, Ma...!” “Cepat masuk ke rumah. Di luar udaranya dingin. Kamu

bisa sakit!” “Ya, Ma. Tunggu sebentar.” Aku sangat beruntung mempunyai Mama yang sangat baik

dan perhatian kepadaku. Mama yang selalu menjadi motivasiku untuk selalu tegar dan sabar menjalani hidup, walaupun kita telah ditinggalkan orang yang kita sayangi.

Pagi ini mentari bersinar cerah, seolah-olah menunjukan rasa semangat kepada seluruh manusia di bumi. Seperti aku yang semangat menjalani aktivitasku sehari-hari, yaitu sekolah dan sebagai pelayan bubur ayam di warung Pak Han. Aku beker- ja di warung Pak Han sudah sekitar satu tahun semenjak diting- gal oleh Defand. Dulu aku bekerja di warung Pak Han karena aku ingin mendapat biaya untuk pergi ke Singapura untuk ber- temu dengan Defand. Tapi, entah mengapa setelah tabunganku cukup aku merasakan keraguan. Ragu bahwa Defand tak lagi mengingat aku. Defand adalah segalanya bagiku. Hanya Defand dan mama yang mampu membuat aku bangkit dari keterpuruk- an. Hanya Defand yang mampu membuat aku tersenyum di tengah beban hidup yang aku jalani. Semenjak Defand pergi, hidupku terasa hampa. Walaupun ada Caca, David, dan Samuel, aku tetap saja merasa hampa. Caca, Samuel, dan David adalah sahabatku. Caca dan aku sama-sama bekerja di warung Pak Han. Sedangkan Samuel dan David adalah orang yang ber- untung. Mereka mempunyai keluarga yang sempurna. Hidup mereka pun sangat bahagia dan semua hal tercukupi. Mereka bertigalah yang kini memberiku motivasi untuk bertemu dengan

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Defand. Dan, karena mereka, kini aku memberanikan diri untuk menyusul Defand.

“Vicent, ayo cepat berangkat. Nanti kamu bisa ketinggalan pesawat.” “Eh iya, Ca,” “Ma, Vicent berangkat dulu, ya!” “Iya Vicent, hati-hati.” “Iya, Ma.” Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke Singapura untuk

menyusul Defand. David, Samuel, dan Caca mengantarku ke bandara. Di dalam mobil aku melamun dan terdengar suara cempreng memanggil dan memecahkan lamunanku.

“Vicent!” “Ya, Ca. Ada apa?” “Kamu kenapa sih ngelamun terus? Harusnya kamu itu

seneng akhirnya bisa ke Singapura menemui Defand.” “Hmmm..., aku ragu, Ca. Aku takut kalau Defand melupa- kan aku.” “Cent, aku yakin sampai kapan pun Defand tetap meng- ingatmu karena Defand cinta mati sama kamu!” Celetuk David. “Ah kamu, Vid. Biasa aja.”

Setibanya di Singapura, aku langsung menuju hotel milik keluarga Defand. Di sana aku melihat Defand yang tampak ga- gah mengenakan jas dan dikawal oleh bodyguard-nya. Aku berteriak memanggilnya. Tapi, Defand tak meresponku. Alih- alih malah aku diusir oleh satpam. Aku semakin ragu. Tapi, aku mencoba untuk positif thinking bahwa Defand tak mendengar suaraku.

Lalu aku menunggu Defand di depan hotel sembari melihat orang-orang yang berlalu lalang di hotel itu. Tapi, hingga siang berganti senja Defand tak kunjung keluar hingga aku putuskan untuk pergi menikmati indahnya Singapura.

Senja kini berganti malam. Semilir udara dingin kian me- nusuk tubuhku hingga aku memutuskan untuk mencari

~ PIANO DALAM PASIR ~

Defand ke dalam hiruk pikuk hotel itu. Rasa lelah menyerbuku. Rasa takut kini melandaku. Seribu keraguan pun muncul dalam benakku. Berat rasanya aku melangkahkan kaki ini, untuk masuk ke dalam hotel itu. Tapi, aku tetap mencoba untuk masuk dan berkeliling mencari Defand hingga aku menemukan sosok yang rasanya tak asing lagi untukku. Sosok Defand yang familiar itu membuatku semakin mudah untuk mengingat wajahnya.

Tapi, seketika itu juga aku terperangah, melihat Defand bercanda mesra dengan seorang wanita yang tak aku kenal. Hatiku terasa teriris-iris. Kakiku sulit untuk bergerak. Ingin rasanya aku berlari, menangis, dan berteriak sekencang mungkin. Tapi, apa dayaku. Aku tak bisa berbuat apa pun. Aku bagaikan patung.

Defand pun akhirnya melihatku. Tapi, ia berpura-pura tak mengenalku. Lukaku kini kian mengangga. Aku benar-benar menemukan jawaban atas semua keraguan dan ketakutanku selama ini. Aku mencoba melangkahkan kakiku untuk keluar dari hotel itu. Aku bingung. Aku tak tahu harus bagaimana seka- rang. Aku terus berdiri di samping gedung hotel yang megah itu dan memikirkan sifat Defand yang berubah drastis. Aku kecewa pada Defand. Kini aku tak dapat membendung air mataku lagi. Aku jatuh dalam lubang kesakitan dan aku tak bisa menghindari lagi.

“Vicent....!” Aku terperangah melihat sosok yang telah memanggilku.

Aku melihat Caca, David, dan Samuel di belakangku. Ingin rasa- nya aku mencurahkan rasa kecewaku ini. Aku ingin mencurah- kan rasa kecewaku ini kepada mereka. Aku menangis dalam pelukan Caca.

“Sudah kuduga akan terjadi seperti ini. Maaf, Cent. Se- belumya aku tidak memberitahumu bahwa Defand sekarang telah berubah,” celetuk Samuel.

Tapi, aku tak memperdulikan itu. Aku tak mampu berkata- kata lagi dan hanya bisa menangis. Aku benar-benar hancur.

Semenjak pulang dari Singapura, aku benar-benar trauma dengan namanya cinta. Tapi, kini aku tegar menjalani hidupku.

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Toh, masih ada mama dan teman-temanku yang menyayangiku. Jika Defand bukan untukku, tapi setidaknya aku pernah me- rasakan kebahagiaan bersamanya dan pernah menjadi bunga dalam tidurnya. Kebahagiaanku bersamanya tak mungkin aku lupakan.

Sebulan berlalu semenjak aku pulang dari Singapura. Kini aku tetap menjalani aktivitasku seperti biasa di sekolah dan di warung Pak Han. Tiba-tiba David dan Samuel datang mengham- piriku.

“Vincent, dah selesai belum tugasmu? Jalan-jalan, yuk... Ajak Caca juga.” Dalam sejenak aku memikirkan tawaran David, “oh, su- dah.... Tunggu sebentar, ya. Aku panggil Caca dulu.” Aku berfikir kenapa aku tidak jalan-jalan dengan teman- teman. Aku pikir dengan jalan-jalan bisa membantuku melupa- kan Defand, lelaki kejam itu.

Sore itu indah dan cerah. David dan Samuel ternyata meng- ajakku pergi ke suatu tempat yang terasa asing bagiku. Tempat itu mewah, indah, dan elegan. Rumah itu terletak di atas bukit yang tinggi. Dari rumah itu kita dapat melihat indahnya kota.

Lalu David mengajak kita bertiga ke taman belakang rumah itu. Di sana sudah ada seorang pria jangkung yang aku kenal sebagai Defand. Caca, David, dan Samuel pergi meninggalkan aku dan Defand. Sungguh getir hatiku melihat wajah Defand lagi. Hening sejenak.

“Vicent, aku mau minta maaf atas kejadian yang lalu. Aku sungguh menyesal telah mengkhianati cinta kita. Aku ingin kita seperti dulu.”

Aku terdiam sejenak, “Maaf, Def. Aku tak bisa seperti dulu. Walaupun aku dulu sangat yakin kamu bisa mendapat wanita yang lebih baik dariku. Dan, lupakan masalah itu. Aku sudah memaafkanmu.”

Jujur sebenarnya aku masih mencintai Defand. Tapi, aku takut kalau suatu hari nanti Defand akan mengkhianati aku lagi. Aku berjalan tertunduk menghampiri Caca, David, dan Samuel.

~ PIANO DALAM PASIR ~

“Vicent, bagaimana?!” Tanya Caca penasaran. “Apanya, Ca?” “Kamu dan Defand.” “Oh, aku dan Defand kini berteman. Pulang, yuk! Sudah

malam. Kasihan Mama di rumah sendirian,” kataku sembari mengalihkan perhatian mereka bertiga.

Hari ini di sekolah ada murid baru. Siswa itu bernama Rifky. Bagiku Rifky adalah sosok yang baik dan pintar bergaul. Rifky sangat baik padaku. Padahal aku baru mengenalnya. Ber- minggu-minggu ini aku sering bermain bersama Rifky dan tanpa aku sadari aku telah mengaguminya. Entah mengapa hatiku terasa nyaman. Aku berharap sosok itu dapat menggantikan Defand. Hingga tiba saat yang kuanggap tepat untuk menyata- kan cintaku pada Rifky.

“Rif, a....aku.... aku suka kamu...,” kataku sambil terbata- bata saking nervous-nya. Sejenak hening suasana di sekitarku. Lalu suara Rifky memecah keheningan itu. Aku semakin deg-degan menanti jawaban darinya.

“Maaf, Vicent. Aku gak bisa jadi pacarmu. Aku selama ini dekat denganmu karena aku melihat kamu sosok yang asik untuk dijadikan teman dan tidak lebih dari itu.”

Aku terdiam. Dalam hati kuberkata, sampai kapan Tuhan mau mengujiku dengan segala cobaan yang berat ini? Lagi-lagi aku gagal mendapatkan cinta dari laki-laki yang aku sayang. Tapi, kali ini aku tak terlalu memikirkan hal itu. Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk mendapatkan cinta yang tulus dari orang yang aku cintai. Aku harus tetap tegar dan menatap ke depan. Aku yakin suatu saat aku akan bertemu dengan pangeranku yang akan selalu setia padaku. Aku tetap bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan aku orang- orang yang sayang padaku. Masa bodoh dengan pria-pria yang mencampakkan aku.

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Arti Sebuah Kehidupan

Anita Puspita Sari

ORE mendung. Gadis cantik duduk menyangga wajahnya dengan kesepuluh jari lentiknya. Dia menatap langit men-

dung dengan penuh harapan. Sebut saja dia: Krei. Krei adalah anak pemurung sejak kedua orangtuanya meninggal akibat kecelakaan, tepat ulang tahun Krei yang ke-17.

“Andai saja langit tahu isi hatiku. Pasti ia akan menyampai- kan pada Tuhan, betapa aku merindukan orangtuaku...,” ujar Krei dalam hati.

Waktu pun terus beranjak. Telepon pun berbunyi, “Kriiing... Kriiing.... Kriiing...!” Krei segera bergegas mengangkat telepon itu, “Halo..., de- ngan siapa saya bicara?” “Hai, Krei! Ini aku. Lusi. Hari ini ada pesta ultah di tempat Ceterine. Kamu juga diundang, kan?” Ujar Lusi dalam telepon. “Iya, aku juga dapat. Tapi, aku bingung, mau berangkat atau tidak.” Akhirnya dengan bujukan Lusi, Krei pun mau datang dalam pesta Ceterine nanti malam. Malam pun datang dengan aroma nuansa kemewahan pesta Ceterine. Lusi dan Krei datang bersama. Mereka segera mencari tempat duduk untuk menikmati jamuan demi jamuan acara pesta Ceterine.

~ PIANO DALAM PASIR ~

“Selamat malam, semuanya...! Terima kasih karena kalian semua telah hadir di acara ulang tahunku,” sambut Ceterine di atas panggung.

Terlihat jelas di wajah Krei, betapa sedihnya ia memandang Ceterine yang begitu bahagia dengan gaun indahnya dan di- temani kedua orangtuanya yang selalu menatapnya dengan penuh rasa cinta.

Lusi pun datang menghampiri Krei. “Andai aku bisa seperti Ceterine. Betapa bahagia hidupku

di dunia ini,” bisik Krei seperti untuk dirinya sendiri. “Kita harus tetap tegar menjalani hidup ini, Krei!” Ujar Lusi. Mereka pun segera bergegas pulang karena waktu juga su-

dah malam. Lusi mengantar Krei pulang ke rumahnya, “Selamat malam, Krei. Semoga esok menjadi hari yang lebih menyenang- kan dari hari ini...!”

Krei pun masuk ke rumah dengan muka pucatnya. Tak per- nah ada semangat dalam tatapan matanya. Yang ada hanyalah sebuah keterpurukan dalam hidupnya.

Hari demi hari ia lalui dengan duduk di balik jendela kamar- nya yang selalu terbuka. Hari itu adalah hari Minggu. Hari yang biasa bagi anak-anak sekolah dipergunakan sebagai hari libur yang menyenangkan. Tapi, lain dengan Krei. Hari Minggu adalah hari yang istimewa. Karena, setiap hari Minggu Krei harus ke makam orangtuanya.

Waktu terus berputar. Seakan tak mau kalah dengan cepat- nya angin berhembus. Hari Senin adalah hari yang cukup mem- bosankan. Seperti biasanya Krei berangkat ke sekolah dengan wajah yang tak pernah ada semangat sama sekali.

“Pagi, Krei. Oya, pulang sekolah nanti kita ke mal belanja?” “Maaf, Lusi. Hari ini aku gak bisa pergi. Aku lagi pengin di

rumah saja.” Lusi selalu gagal mengajak Krei untuk berjalan bersama. “Tapi, kali ini Krei harus mau...!” Ujar Lusi dalam hati de-

ngan semangat. Malam ini Lusi berencana ke rumah Krei. Sesampai Lusi di depan pintu rumah Krei, dia mendengar suara Krei yang

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

sedang meratap dan menangis. Lusi pun semakin tak tega. Lusi masuk ke rumah Krei dengan diam-diam. Semakin dekat dengan kamar Krei, semakin terdengar jelas suara rintihan dan tangisan Krei. Semakin keras.

“Siapa kalian ini...? Aku tak tahu mengapa kalian jahat pada- ku? Kalian sudah membuat harapanku hancur untuk menjadi orang yang bahagia...,” suara Krei semakin merintih dan sema- kin melemah.

Lusi pun tak kuasa mendengar rintihan tangisan Krei. Ia pun meninggalkan rumah Krei dengan kecemasan. Pagi pun datang. Lusi segera mendekati Krei yang sedang melamun di bawah penampungan air belakang sekolah. “Krei, maaf, semalam aku ke rumahmu. Tapi, aku tak jadi masuk karena aku takut. Ada apa sebenarnya, Krei? Ceritakan padaku masalahmu,” ujar Lusi dengan kekhawatirannya.

“Aku kan sudah bilang, jangan pernah sekali-kali kamu masuk ke rumahku. Apalagi ke dalam kamarku!” Dengan wajah marah Krei meninggalkan Lusi.

Lusi mulai bingung dan curiga dengan tingkah Krei yang semakin hari semakin aneh.

Pagi datang dengan keindahan yang tak pernah terlupakan. Di sisi lain Lusi bingung mencari Krei. Karena, hari Krei tidak kelihatan di sekolah. Lusi pun semakin curiga. Ada apa dengan Krei? Lusi segera berangkat ke rumah Krei tanpa memberitahu Krei sebelumnya. Pulang sekolah, ia langsung datang ke rumah Krei. Tetapi, ternyata Krei tidak ada di rumah. Lusi pun bingung. Ia tidak tahu ke mana mencari Krei.

Akhirnya tetangga samping rumah Krei keluar mengham- piri Lusi, “Mencari Krei ya, Mbak? Tadi Krei pergi, Mbak. Tapi, nggak tahu ke mana.”

Lusi pun segera beranjak pergi dari rumah itu. Saat perjalanan pulang Lusi melewati makam umum Ja-

karta Pusat. Tak disangka Lusi melihat Krei sedang duduk di

~ PIANO DALAM PASIR ~

samping makam. Ternyata Krei berkunjung ke makam orang- tuanya. Lusi pun turun dari mobil, menghampiri Krei, “Krei, jadi kamu di sini? Aku tadi barusan dari rumah kamu. Tetang- gamu bilang, kamu lagi pergi.”

“Memangnya ada apa, Lus? Kenapa sih, Lus, kamu selalu ingin tahu tentang masalah aku? Lebih baik kamu pergi dari sini dan tidak usah ikut campur urusan aku!”

Lusi pun pergi meninggalkan Krei yang sedang emosi saat itu. Saat cahaya matahari sudah mulai lelah menghangatkan dunia, bulan dan bintang pun hadir dengan cahayanya. Krei duduk di belakang rumah dan terus menatapi langit yang mendung. Semendung raut wajah Krei.

“Krei... Krei....,” suara yang lemah itu terdengar begitu jelas. Krei mulai merasa gelisah. Ia pun kemudian masuk kamar. Tetapi, tetap saja suara yang pelan dan merintih terus mengikuti Krei. Pandangan Krei menatap ke arah jendela yang terbuka. Terlihat sosok putih yang mendekati Krei.

“Krei.... ini Ibu, Nak. Maaf kalau ibu belum sempat meng- ucapkan selamat ulang tahun padamu.” “Kamu bukan ibuku! Ibuku harusnya datang di hari ulang tahunku. Mendampingiku. Memberi senyuman padaku. Tapi, apa yang ibu berikan padaku? Sebuah harapan yang kini men- jadi sebuah mimpi. Sebuah tatapan kosong yang tak pernah ada harapan. Aku benci pada ibu. Aku benci! Harapanku kini hancur untuk menjadi orang yang bahagia di dunia ini. Kenapa aku harus hidup?!”

Krei melihat seutas tali di cabang pohon mangga. Krei segera keluar dari kamarnya. Ia menghampiri tali itu. Kemu- dian, ia naik ke atas sebongkah batu hingga tangannya menjang- kau tali itu. Ia membelitkan tali itu ke selingkaran lehernya.

Tiba-tiba telepon di rumah Krei berbunyi. Ia mengira itu telepon dari Lusi.

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~

Lusi bingung karena telepon tidak diangkat oleh Krei. Ia segera beranjak ke rumah Krei dengan rasa khawatir di dalam hatinya. Lima menit kemudian Lusi sampai di rumah Krei. Ia segera masuk ke rumah Krei. Ia segera masuk ke kamar Krei, “Krei...! Krei...!” Lusi sudah masuk ke kamar Krei tapi ia tidak menemukan Krei. Begitu ia menoleh ke arah jendela yang ter- buka, ia melihat Krei yang ... akan gantung diri?!

Lusi pun dengan panik berlari menuju tempat Krei, “Kreiii....! Hentikaaan...! Jangan, Kreiii...! Apa yang kamu lakukan?!” “Jangan mendekat, Lus. Biarkan aku mati! Di sini aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Jadi, lebih baik aku mati!” “Krei...! Itu bukan jalan terbaik. Kamu masih punya aku. Keluargaku. Dan, mereka semua keluargamu juga, Krei!” Lusi pun segera menghampiri Krei dan mendorongnya.

Krei terjatuh. Tali terlepas dari lingkaran leher Krei. Gagal- lah aksi Krei yang berniat gantung diri. Lusi menggandeng Krei. Lusi mengajak Krei ke rumahnya. Krei tinggal beberapa hari di rumah Lusi. Dengan tinggal

bersama keluarganya, Lusi berharap Krei terhibur dan bisa me- lupakan aksi nekat itu, “Krei, kamu harus tahu, hidup kita masih panjang.. mungkin kedua orangtua kita belum sempat mem- bahagiakan kita. Tetapi, bukankah kita sebagai anak yang harus membahagiakan kedua orangtua kita?”

“Ya, aku pikir begitu. Aku memang salah. Tidak seharusnya aku melakukan hal sebodoh itu. Lus, sepertinya aku harus pulang. Aku sudah rindu rumahku.”

Karena Lusi sudah yakin dengan keinginan Krei, akhirnya Lusi memperbolehkan Krei pulang. Selang tiga jam kemudian, Lusi pergi menyusul ke rumah Krei. Lusi masih khawatir dengan kondisi Krei. “Krei...? Kamu lagi apa?” “Kenapa, Lus? Masuk saja. Kamu takut ya, kalau aku me-

lakukan hal yang bodoh seperti kemarin?” “Ya, seperti itulah. Aku hanya ingin memastikan saja, apa kamu siap di rumah sendiri?”

~ PIANO DALAM PASIR ~

“Lagian aku tidak sendiri. Lihatlah, aku punya mereka yang akan selalu bersamaku.” Lusi dikejutkan dengan foto kedua orangtua Krei yang sangat besar. Foto itu ditaruh di samping jendela kamar Krei. Lusi pun tersenyum sambil memeluk Krei, “Perjalanan hidup memang sangat sulit. Tapi, cobalah tetap bertahan dan berjalan. Karena Tuhan punya jalan sendiri bagi setiap hamba-Nya yang selalu berusaha....”

Selesai

~ Antologi Cerpen Bengkel Sastra Indonesia 2009 ~