Tradisi Literasi

Tradisi Literasi

ARU saja, pesta demokrasi di helat di kota ini. Terpilih walikota dan wakil walikota Ponianak untuk lima tahun ke depan. Terselip harapan-

harapan warga kota Ponianak, agar walikota dan wakil walikota terpilih membuat terobosan- terobosan program yang tepat sasaran, seperi pembangunan pada bidang kesehatan, pendidikan, fasilitas kota, dan lain sebagainya.

Bagi masyarakat yang berkecimpung di dunia pendidikan, dunia akademisi, dunia baca tulis (literasi), dan sejenisnya tak terkecuali. Sebagaimana halnya penulis, terselip harapan agar walikota dan wakil walikota Ponianak terpilih, mendukung terwujudnya program-program yang membuat masyarakat kota sadar peningnya tradisi literasi. Ini pening, sebagaimana kita semua menyetujui tentang betapa rendahnya kesadaran literasi di kota ini.

32 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan

Padahal, kesadaran literasi sebuah masyarakat berkorelasi posiif dengan keadaan masyarakat yang cerdas dan maju. Berdasarkan asumsi inilah, tradisi literasi perlu bertumbuh dan berkembang pada keseharian masyarakat kita.

Tradisi literasi yang dimaksud pada tulisan ini adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak. Jelas ini berkorelasi posiif dengan kemajuan pemikiran dan perkembangan ilmu pengetahuan serta keadaban di masyarakat. Ringkasnya, tradisi literasi ini harus bertumbuh dan berkembang di kota ini, terutama jika kita hendak merealisasikan mimpi Kota Ponianak sebagai Kota Cerdas.

Menyeriusi pembangunan isik kota memang pening. Tetapi membangun kesadaran masyarakat tentang peningnya tradisi literasi juga pening. Kesadaran akan peningnya membangun tradisi literasi sama arinya dengan kesadaran tentang peningnya membangun SDM.

Pengalaman penulis menimba ilmu d Kota Pelajar, DI Yogyakarta perlu penulis ceritakan pada tulisan ini. Dalam hal kesadaran peningnya tradisi literasi, masyarakat Kota Ponianak hemat penulis masih teringgal jauh dengan masyarakat Kota Pelajar, DI Yogyakarta. Hal ini bisa dilihat dari kurang antusiasnya masyarakat mengunjungi perpustakaan atau pameran buku. Forum-forum diskusi mahasiswa di kota ini idak begitu hidup. Kalaupun ada yang

Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 33 Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 33

Kebiasaan membeli atau mengoleksi buku semasa menjadi mahasiswa nampaknya idak berlaku di Kota Ponianak. Wajarlah, idak banyak penerbit buku di kota ini, jika ingin membandingkan dengan kuanitas penerbit di Yogyakarta. Semua ini penanda, masih kurangnya kesadaran masyarakat akan peningnya tradisi literasi.

Untuk itu diperlukan komitmen dan dukungan program, terutama dari orang nomor 1 di Kota Ponianak. Kampanye tentang peningnya tradisi literasi ini harus terus menerus dilakukan. Pemerintah Kota Ponianak dalam hal ini perlu menggandeng lembaga pendidikan yang ada di Kota Ponianak, dari mulai PAUD sampai Perguruan Tinggi. RT, RW, Kelurahan, hingga Kecamatan juga perlu dilibatkan dalam hal ini.

Perlu juga dipikirkan, tentang bagaimana mengapresiasi penulis-penulis muda di Kota Ponianak. Atau, kalau perlu ada ajang pemilihan duta baca Kota Ponianak. Di kampus-kampus, skripsi-skripsi mahasiswa yang layak terbit boleh dibantu biaya penerbitannya, sehingga memoivasi mereka untuk terus menggelui dunia literasi.

Pengalaman penulis kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sebelumnya bernama IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), mahasiswa-mahasiswa yang menggelui dunia kepenulisan, akif menulis

34 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan 34 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan

Meski sepi peminat, Pemerintah Kota jangan sampai kehilangan antusias untuk terus menggelar event pameran buku. Pada konteks ini, penerbit nasional dan penerbit lokal perlu digandeng untuk menyemarakkannya. Resiko kerugian akibat sepi pengunjung pameran mungkin akan diderita oleh paniia penyelenggara, tapi resiko tersebut anggap saja resiko yang pantas dibayar untuk pencerdasan masyarakat kota ini.

Selain itu, perlu digalakkan “koran dinding”, yaitu koran yang ditempel di dinding, seperi di Kecamatan, Kelurahan, di RT/ RW, bahkan di sudut gang-gang. Hal ini semata untuk membiasakan warga masyarakat dengan sarapan “koran” di iap paginya. Di perguruan inggi hal tersebut juga perlu dilakukan, maka koran dinding kampus juga perlu diperimbangkan. Harapannya, koran-koran idak saja menumpuk “idak dibaca” di ruangan pejabat- pejabat kampus, tetapi bisa dibaca siapa saja, terutama oleh mahasiswa.

Perkara membangun tradisi literasi bukanlah hal mudah, apalagi di tengah-tengah masyarakat yang lebih mengedepankan tradisi lisan keimbang tradisi

Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 35 Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 35

Mimpi sebagai Kota Cerdas bukan sesuatu hal yang mustahil untuk kita wujudkan, manakala masyarakat kota ini telah memiliki kesadaran bagus tentang tradisi literasi. Semoga ini idak hanya sebatas mimpi yang kita rajut!.***

36 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan