Lampu Merah

Lampu Merah

D prediksi idak lebih dari 10 tahun, mengharap iba

I sudut lampu merah pada sebuah perempatan jalan di Kota Ponianak, nampak beberapa anak kecil berpakaian lusuh, umurnya penulis

pada seiap pengendara mobil dan motor yang berheni. Meski cuaca saat itu cukup terik, bagi mereka berjalan bertelanjang kaki pun tak soal, asal receh demi receh dapat mereka kumpulkan dari pengendara yang iba pada nasib mereka.

Potret anak jalanan di sudut lampu merah Kota Ponianak ini hanyalah puncak gunung es. Saat ini, idak sedikit anak-anak yang berkeliaran di jalan. Lebih dari itu, mereka menjadikan jalanan ini sebagai tumpangan hidup mereka, tempat di mana hari- hari mereka habiskan. Mengemis adalah alternaif pekerjaan yang mereka gelui di samping loper koran.

Anak-anak jalanan ini mana tahu dan ambil peduli, apakah berdirinya mall-mall, gedung-gedung perhotelan, restoran, cafe yang belakangan marak

Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 119 Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 119

Tanggung Jawab Siapa?

Asap yang mengepul dari kendaraan roda empat dan roda dua, – di ruas-ruas jalan, di sudut- sudut lampu merah, dan belas kasihan pengguna jalan, – terkesan berfungsi sekali sebagai penopang ekonomi anak-anak jalanan. Keprihainan yang muncul adalah sebuah hal yang wajar. Tapi itu belum cukup, karena rasa prihain yang muncul idak pernah akan mengobai rasa lapar dan dahaga, dan apalagi menyelamatkan kehidupan mereka di jalanan.

Lantas, siapa yang bertanggung jawab pada kehidupan anak-anak jalanan ini? Apakah Pemerintah? Ataukah lembaga-lembaga sosial? Atau kita semua? Lantas di mana pula fungsi negara?.

Kita semua menyetujui, bahwa anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa. Anak bahkan citra dari masa depan sebuah bangsa. Di antara anak- anak ini, barangkali ada yang memegang tongkat estafet kepemimpinan negeri ini di masa depan. Karena itu kesejahteraan anak-anak jalanan, idak seharusnya disepelekan.

120 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan

Kalau soal cita-cita merawat masa depan anak jalanan, negara tak terbantahkan. Dalam pasal

34 UUD 1945, jelas tertulis: “Fakir miskin dan anak- anak terlantar dipelihara ole negara”. Berdasarkan pada pasal ini, anak jalanan adalah tanggung jawab negara. Namun, ada perasaan ganjil, manakala kuanitas anak jalanan saat ini dikabarkan meningkat, terutama di daerah perkotaan dan di daerah sub-sub urban, termasuk di Kota Ponianak.

Hemat penulis, fakta ini menunjukkan ada yang perlu diluruskan dalam pola kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini, yaitu kebijakan struktural yang belum menyentuh penanganan mereka secara serius. Sementara oknum wakil rakyat sibuk memperkaya diri, di tempat terpisah banyak rakyat di negeri ini yang ditelantarkan dan berkubang dengan kemiskinan. Termasuk anak-anak jalanan ini.

Kalau begitu, jangan-jangan sudah terjadi gagal paham. Bahwa pasal 34 ayat 1 dari UUD 1945 dibaca fakir miskin dan anak-anak terlantar “dipelihara” oleh negara. Jika gagal pahamnya ada pada kata “dipelihara”, pantaslah keberadaan anak- anak jalanan ingin dipelihara untuk terus ada untuk menjadi sebagian potret dari derita kemiskinan bangsa ini. Menggelikan!.

Fakta meningkatnya kuanitas anak jalanan sesungguhnya juga menunjukkan kegagalan sistem perekonomian yang sedang dibangun di negeri ini, yang hanya buat kesenangan segelinir individu atau

Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 121 Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 121

Kecuali gambaran kegagalan sistem pere- konomian yang dibangun di negeri ini, meningkatnya kuanitas anak-anak jalanan juga penanda pudarnya solidaritas sosial masyarakat. Tambahan lagi, ada ke- cenderungan makin menipisnya keadilan distribuif ekonomi yang harus diakui telah menciptakan ruang sempit bagi sekelompok masyarakat terpinggirkan, di antaranya anak-anak jalanan ini.

Masalah anak jalanan ini harus menjadi perhaian kita semua. Hanya dengan begitu, masa depan mereka ada peluang terselamatkan.***

122 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan