(1) Surganya Koruptor

(1) Surganya Koruptor

AYUS Halomoan Tambunan. Sebuah nama yang dikait-kaitkan dengan kasus pencucian uang, suap, dan penggelapan. Belakangan

nama Gayus menjadi terkenal lantaran menjadi langganan disebut di media massa, baik di televisi maupun koran. Siapa Gayus?.

Gayus adalah seorang pegawai pada Ditjen Pajak, yang menurut hasil audit KPK, harta kekayaan yang dimiliki seorang Gayus disangkakan diperoleh dari hasil korupsi, kolusi dan nepoisme. Seorang Gayus, di usianya yang baru menginjak 30 tahun, di rekeningnya pernah mampir angka 25 dengan sembilan angka nol di belakangnya alias 25 miliar rupiah. Sebuah angka yang fantasis untuk seorang pegawai rendahan di Ditjen Pajak. Kasus Gayus ini, harus diakui hanyalah puncak gunung es dari kasus- kasus serupa yang belum terungkap.

Kasus Gayus seolah membenarkan sigma tentang Indonesia sebagai surganya koruptor. Sigma

Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 63 Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 63

Kasus korupsi terjadi idak hanya di pusat tetapi juga di daerah, di berbagai lini dan di berbagai lapisan sosial. Nyaris idak ada lini kehidupan yang idak terjangkii korupsi. Sekat-sekat kehidupan di negeri ini seperi idak ada lagi yang menyisakan ruang nyaman untuk idak korupsi.

Keprihainan muncul bersamaan dengan rasa cemas tentang masa depan Bangsa. “Adakah pengusutan kasus korupsi dapat dilakukan serius, adil, dan tuntas?.” “Cukup tersediakah aparat penegak hukum yang bersih untuk mengusut kasus- kasus yang ada dengan adil dan idak tebang pilih?.” “Sampai kapan?”.

Sejak masa kerajaan, berlanjut pada masa penjajahan, sampai pada masa kemerdekaan seperi saat ini, senyatanya idak ada yang banyak berubah dari negara kita. Masyarakat Indonesia tetap saja miskin. Padahal, negara kita telah lama dikenal sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam yang berlimpah ruah. Ironinya, di negara yang harusnya kaya raya itu, pemerintahnya terlilit banyak utang, serta masyarakatnya masih berada dalam kubangan kemiskinan.

Kemiskinan berkepanjangan yang mendera

64 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan 64 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan

Pada hari ini rasionalitas idak lagi dipuja. Se- baliknya, masyarakat lebih memercayai peruntungan yang digerakkan oleh nasib sehingga perdukunan dan perjudian makin marak. Masyarakat menjadi ter- biasa dengan jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat.

Korupsi merupakan salah satu cara pintas mendapatkan kekayaan. Karena terbiasa dengan budaya “jalan pintas”, masyarakatpun menjadi terbiasa dengannya dan korupsi menjadi wajar. Dapat dibayangkan bagaimana masa depan bangsa ini, jika korupsi dipandang sebagai sesuatu hal yang wajar.

Sungguh demikian parahkah korupsi di Indonesia? Haruskah negeri ini hancur dan tenggelam dalam kubangan dan lumpur korupsi, hingga akhirnya

Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 65 Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 65

Kurikulum pendidikan ani korupsi didasarkan pada perimbangan bahwa pemberantasan korupsi mesi dilakukan secara integraif dan simultan, yang juga mesi berjalan seiring dengan indakan represif pada koruptor. Karena itulah wacana memasukkan materi ani korupsi dalam kurikulum pendidikan layak didukung.

Harapannya, idak menjadi awam terhadap korupsi dan perilaku korupif. Kurikulum pendidikan ani korupsi hakikatnya adalah sosialisasi tentang bentuk-bentuk korupsi, cara pencegahan, pelaporan dan pengawasan terhadap indak pidana korupsi. Kurikulum pendidikan ani korupsi diandaikan pada semua jenjang, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai jenjang perguruan inggi.

Sekurang-kurangnya ada dua tujuan memasukkan materi ani korupsi dalam kurikulum pendidikan. Pertama, untuk menanamkan semangat ani korupsi pada seiap anak bangsa. Melalui cara ini

66 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan 66 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan

Sekali lagi, materi “ani korupsi” selayaknya dapat diperimbangkan untuk masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Dengan cara ini, mudah- mudahan kasus-kasus menghebohkan seperi kasus Gayus Halomoan Tambunan idak terjadi lagi. Semoga.***

Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 67