Negatif Kita

Negatif Kita

EBAGAI masyarakat Indonesia, kita kerap mengedepankan sigma negaif keimbang yang posiif dalam menilai. Kadang terlalu terburu-

buru dan idak mengedepankan akal sehat saat menilai. Contohnya rencana kedatangan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush ke Indonesia yang direspon berlebihan oleh masyarakat Indonesia, terutama di kalangan ormas Islam.

Presiden Bush yang rencananya akan singgah enam jam di Istana Bogor membuat kalut orang Indonesia. Bayangkan, pengamanan untuk orang nomor satu di Amerika Serikat ini, melebihi standar pengamanan tamu negara pada umumnya yang berkunjung ke Indonesia. Sekurang-kurangnya, dua satuan seingkat kompi (SSK) atau sekitar 200 personel dan 10 sniper disiapkan untuk mengamankan Bandara Halim Perdana Kusuma, tempat di mana Bush akan transit sebelum bertolak ke Bogor.

Tidak cukup segitu, 3000 personil polisi

Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 131 Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 131

Menguatnya sigma negaif pada Amerika Serikat dan Bush dapat dijelaskan dengan melihat pada beberapa kebijakan internasional Bush yang dirasa amat merugikan negara-negara muslim. Amerika Serikat dan Bush memerankan double standard dalam drama poliiknya: satu sisi menyuarakan keadilan dan HAM, sementara di sisi lain terkesan menginjak- injak nilai-nilai itu. Misalnya, kebijakan internasional Bush dalam lima tahun terakhir, terutama setelah tragedi black September, yang terkesan agresif pada negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Bush mengampanyekan perang melawan terorisme, namun yang diserang adalah negara-negara yang berpenduduk muslim.

Melalui media massa, umat Islam Indonesia menyaksikan bagaimana Afganisthan yang dituduh sebagai pusat gerakan Alqaeda dibombardir dengan peralatan perang super canggih dan memaikan. Taliban yang mengendalikan kekuasaan dan diduga

132 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan 132 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan

Untuk membalas kemaian 2000 orang dari tragedi black September, Amerika Serikat melenyapkan idak kurang 10.000 nyawa manusia di Afganisthan dan Irak. Padahal yang dicari adalah Osama bin Laden serta anggota jaringannya, yang jumlahnya idak lebih dari 1000 orang di seluruh dunia. Penjara-penjara Amerika Serikat seperi Guantanamo (Kuba), Abu Ghraib (Irak), Afganisthan, dan lain-lain juga sama dramaisnya.

Hal inilah yang melahirkan sigma negaif di kalangan umat Islam atas Amerika Serikat dan juga Presiden Bush. Tentunya, sigma ini idak hanya muncul di kalangan umat Islam Indonesia. Hasil survey yang dilakukan the PewGlobal Aitudes Project pada Maret hingga Mei 2006 di 15 negara memberikan informasi tentang sikap publik di berbagai negara terhadap Amerika Serikat yang mengalami perubahan signiikan, dari posiif ke negaif. Kasusnya di Indonesia, kecenderungan

Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 133 Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 133

Munculnya sigma negaif umat Islam Indonesia pada Amerika Serikat dan Bush, dengan demikian cukup beralasan. Hanya saja, idak perlu gegabah dan reaksioner dengan kedatangan orang nomor satu di Amerika Serikat. Pikirkan untung dan ruginya bagi negara kita.

Dalam hal ini, negara kita jelas idak mungkin menolak kunjungan Presiden George W. Bush sebagai tamu negara. Sebagai bangsa yang ramah, santun, dan berbudaya, bukankah sudah sepatutnya tuan rumah menjamu tamunya dengan baik. Saat Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono ke Amerika Serikat, beliau juga disambut baik, dan idak menerima reaksi berlebihan dari pemerintah atau masyarakat Amerika Serikat.

Betul, bahwa dalam hal penyambutan Presiden Bush yang berlebihan dan memakan biaya yang besar, pening dikriisi. Namun kedatangan Bush, penggagas agresi Afganisthan dan Irak ini, juga dapat kita manfaatkan secara posiif untuk kepeningan poliik, ekonomi, dan kerja-kerja kemanusiaan yang belum tuntas pasca bencana alam yang menimpa bangsa ini. Selain itu, Amerika Serikat adalah mitra

134 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan 134 | Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan

Asumsikan seiap negara di Amerika Serikat, misalnya mempunyai 90 mahasiswa saja, maka sekurang-kurangnya ada 4.500 mahasiswa asal Indonesia di Amerika Serikat. Sebagian besar di antara mereka pasilah ada yang kembali ke tanah air, sebagai dosen, penelii, pebisnis, staf ahli, dan bahkan ada pula yang menjadi pejabat.

Bagaimana jikalau mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia idak diterima kehadirannya oleh masyarakat Amerika Serikat? Apa yang dapat kita lakukan? Oleh sebab itu, sigma negaif kita atas Amerika Serikat dan Bush jangan sampai mengalahkan akal sehat kita sebagai warga negara. Pada konteks ini, kepeningan negara harus menjadi prioritas. Bukankah memang sudah seharusnya begitu?.***

Esei-Esei Politik, Sosial dan Pendidikan | 135