GERAKAN SOSIAL, POLITIK PERTENTANGAN, ADVOKASI PERUBAHAN KEBIJAKAN

GERAKAN SOSIAL, POLITIK PERTENTANGAN, ADVOKASI PERUBAHAN KEBIJAKAN

Kajian mengenai gerakan sosial pedesaan dan perlawanan petani di Indonesia umumnya lebih menekankan pada konteks ekonomi politik yang mendorong atau memicu respon dari kelompok- kelompok yang disebut sebagai “korban”. Namun masih belum banyak studi mengenai gerakan sosial di pedesaan yang mencoba untuk melihat perubahan karasteristik gerakan dan politik kaum tani di Indonesia sebagai satu bentuk perubahan partisipasi politik rakyat, atau dalam istilah Tilly (2004) disebut sebagai “sebuah

politik” 1 . Dalam hal ini, melihat gerakan sebagai sebuah pilihan yang secara sadar diambil oleh para aktornya sebagai bentuk untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingan politik. Di sini, gerakan sosial tidak dilihat sebagai bentuk aksi kolektif yang mengalir keluar dari runtuhnya kehidupan sosial, dimana sejumlah akademisi percaya bahwa gerakan sosial terjadi saat mekanisme kontrol sosial

makin kehilangan kekuatannya dalam melakukan pengawasan 2 , namun dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengincar posisi maupun mengejar keuntungan politik. Gamson (1990, hal. 139)

256 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

mengatakan bahwa protes, pemberontakan, dan banyak bentuk aksi kolektif lainnya sesungguhnya adalah “politik yang memiliki agenda tersendiri”. Salah satu studi yang mencoba melihat dinamika gerakan sosial pedesaan sebagai “sebuah politik” dilakukan oleh Bachriadi (2010)yang menunjukan beragamnya kepentingan aktor- aktor gerakan dan proses pertukaran kepentingan antar aktor dalam gerakan dalam upayanya untuk memperpanjang gerakan.

Pandangan “gerakan sosial sebagai politik” terlihat bertolak belakang dengan kebiasaan politik sekelompok orang dalam mengekspresikan kepentingan politik mereka melalui mobilisasi potensi sosialnya secara sistematik. Ini meliputi serangkaian aksi dalam rangka untuk memaknai peluang-peluang dan tantangan politik yang ada, untuk memobilisasi sumberdaya “internal atau “eksternal” yang tersedia, untuk membingkai gagasan dan pengetahuan mereka tentang perubahan sosial, maupun untuk menanggapi reaksi-reaksi dari kelompok lainnya – yang dalam hal ini adalah negara, pemegang otoritas, kelompok gerakan tandingan, dan kelompok gerakan sosial lainnya – atas aksi-aksi tersebut. Sebagai satu bentuk politik arus bawah (popular politics), gerakan sosial tidak hanya menjadi alternatif dari politik institusional atau politik pinggiran. Ini adalah sebuah bentuk lain dari gerakan politik, yang berbasis massa, untuk mempengaruhi struktur politik di masyarakat dan proses pembuatan kebijakan. Politik gerakan sosial berbeda dengan politik yang dibangun oleh partai politik, misalnya, karena ia tidak hanya terlibat dalam pertarungan politik belaka, tetapi berjuang untuk gagasan-gagasan perubahan sosial. Dalam kasus tertentu, organisasi gerakan sosial juga terlibat masuk pertarungan kekuasaan, namun hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk lebih banyak lagi memasukkan agenda-agenda perubahan sosial yang mereka yakini; bukan sekedar untuk merebut Pandangan “gerakan sosial sebagai politik” terlihat bertolak belakang dengan kebiasaan politik sekelompok orang dalam mengekspresikan kepentingan politik mereka melalui mobilisasi potensi sosialnya secara sistematik. Ini meliputi serangkaian aksi dalam rangka untuk memaknai peluang-peluang dan tantangan politik yang ada, untuk memobilisasi sumberdaya “internal atau “eksternal” yang tersedia, untuk membingkai gagasan dan pengetahuan mereka tentang perubahan sosial, maupun untuk menanggapi reaksi-reaksi dari kelompok lainnya – yang dalam hal ini adalah negara, pemegang otoritas, kelompok gerakan tandingan, dan kelompok gerakan sosial lainnya – atas aksi-aksi tersebut. Sebagai satu bentuk politik arus bawah (popular politics), gerakan sosial tidak hanya menjadi alternatif dari politik institusional atau politik pinggiran. Ini adalah sebuah bentuk lain dari gerakan politik, yang berbasis massa, untuk mempengaruhi struktur politik di masyarakat dan proses pembuatan kebijakan. Politik gerakan sosial berbeda dengan politik yang dibangun oleh partai politik, misalnya, karena ia tidak hanya terlibat dalam pertarungan politik belaka, tetapi berjuang untuk gagasan-gagasan perubahan sosial. Dalam kasus tertentu, organisasi gerakan sosial juga terlibat masuk pertarungan kekuasaan, namun hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk lebih banyak lagi memasukkan agenda-agenda perubahan sosial yang mereka yakini; bukan sekedar untuk merebut

kekuasaan politik. Partai politik pasti, dan selalu, berhadapan dengan lingkaran perebutan kekuasaan mengikuti siklus pemilihan umum. Sementara gerakan sosial tidak tergantung pada proses-proses dan siklus tersebut. Pada saat-saat tertentu, sebagai bagian dari strategi perjuangannya, siklus politik tersebut memang dapat mempengaruhi mereka, namun di waktu yang lain bisa saja gerakan sosial tidak memperdulikan siklus politik warga yang penting tersebut. Walaupun demikian, terdapat beberapa kesamaan antara partai politik dan gerakan sosial, terutama yang berkenaan dengan pembangunan keanggotaan dan sistem kaderisasi, dan pengembangan unit-unit lokal untuk menjangkau konstituen mereka. Dalam situasi tertentu, kelompok gerakan sosial dapat bersekutu dengan partai politik atau mendorong pembentukan sebuah partai politik. Namun demikian kelompok-kelompok gerakan sosial sebagai sebuah kekuatan politik relatif otonom dan tetap berada di luar partai politik. Apabila sebuah gerakan sosial atau gabungan beberapa organisasi gerakan sosial kemudian membentuk partai politik dan/atau lebur di dalamnya, dapat dikatakan mereka akan segera lenyap.

Sebagai sebuah politik, McAdam, Tarrow, and Tilly (2001) menempatkan gerakan sosial sebagai salah satu bagian dari “politik perseteruan” (contentious politics). Menurut mereka (2001, hal. 5), yang dimaksud dengan politik perseteruan adalah politik yang “bersifat episodik, publik, dan terjadi interaksi kolektif di antara para pemrakarsa tuntutan dengan objeknya pada saat (a) paling tidak ada satu pemerintahan yang menjadi objek tuntutan, atau bagian dari tuntutan tersebut, dan (b) jika berhasil, tuntutan tersebut dapat berimbas pada kepentingan salah satu pihak-pihak

penuntut” 3 . MacAdam dan kawan-kawan memperhitungkan sejumlah bentuk ketegangan, seperti gerakan sosial, revolusi, gelombang unjuk rasa, demokratisasi, nasionalisme, dan berbagai

258 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

bentuk aksi politik lainnya yang dapat dikaitkan dengan definisi di atas. Namun demikian, tidak semua politik bersifat mengandung makna perseteruan (contentious). Menurut mereka:

“Much of politics – the majority, we would guess – consists of ceremony, consultation, bureaucratic process, collection of information, registration of events, and the like…[which] take place in the internal social relations of a party, bureau, faction, union, community, or interest group and involves no collective public struggle whatsoever. The contentious politics that concern us is episodic rather than continuous, occurs in public, involves interaction between makers of claims and others, is recognized by those others as bearing on their interests, and bring in government as mediator, target, or claimant” (MacAdam, Tarrow and Tilly, 2001: 5).

Terkait dengan landasan teoritis di atas, Bachriadi menyebutkan masih sedikitnya studi yang mendalam mengenai dinamika gerakan sosial pedesaan, dalam hal ini pengaruh dan kontribusinya terhadap perubahan-perubahan ekonomi dan politik di Indonesia (Bachriadi, 2008). Dalam konteks Indonesia, studi yang dimaksud adalah yang mengkaji dinamika internal, “perubahan dan keberlanjutan” serta konsekuensi-konsekuensi dari protes dan tantangan yang di ajukan oleh kelompok-kelompok gerakan sosial pedesaan. Yang dimaksud dengan gerakan sosial pedesaan disini adalah perluasan dari gerakan protes masyarakat desa di Indonesia pada tahun 1980an yang terus berlangsung dan menguat dalam bentuk dan periode yang berbeda, khususnya perubahan bentuk perlawanan dan agenda politik yang menyertainya (Bachriadi, 2008). Gerakan sosial tidak hanya dilihat sebagai “sesuatu” yang mengubah, namun juga mengalami dinamika internalnya sendiri—baik institusi maupun aktor-aktor yang terlibat Terkait dengan landasan teoritis di atas, Bachriadi menyebutkan masih sedikitnya studi yang mendalam mengenai dinamika gerakan sosial pedesaan, dalam hal ini pengaruh dan kontribusinya terhadap perubahan-perubahan ekonomi dan politik di Indonesia (Bachriadi, 2008). Dalam konteks Indonesia, studi yang dimaksud adalah yang mengkaji dinamika internal, “perubahan dan keberlanjutan” serta konsekuensi-konsekuensi dari protes dan tantangan yang di ajukan oleh kelompok-kelompok gerakan sosial pedesaan. Yang dimaksud dengan gerakan sosial pedesaan disini adalah perluasan dari gerakan protes masyarakat desa di Indonesia pada tahun 1980an yang terus berlangsung dan menguat dalam bentuk dan periode yang berbeda, khususnya perubahan bentuk perlawanan dan agenda politik yang menyertainya (Bachriadi, 2008). Gerakan sosial tidak hanya dilihat sebagai “sesuatu” yang mengubah, namun juga mengalami dinamika internalnya sendiri—baik institusi maupun aktor-aktor yang terlibat

di dalamnya, dalam “perseteruannya” dengan kekuasaan dan kelompok-kelompok tandingannya 4 (Bachriadi, 2008) Dalam konteks agenda utama gerakan, perubahan terjadi dari “kembalikan hak rakyat atas tanah” menjadi tuntutan untuk reforma agraria. Tuntutan utama gerakan protes sepanjang ‘80an hingga ‘90an adalah penghentikan proyek-proyek “pembangunan” yang telah menyingkirkan rakyat dan pengembalian tanah yang telah dirampas dari rakyat. Tujuan utama dari tuntutan-tuntutan tersebut adalah adanya perubahan pada kebijakan penggunaan lahan dan penyelesaian sengketa tanah. Pada awal ‘90an, isu-isu mengenai perubahan kebijakan dan penyelesaian konflik tersebut dimasukkan ke dalam agenda reforma agraria yang menempatkan redistribusi penguasaan tanah melalui program land reform sebagai bagian dari agenda atau bahkan inti dari perubahan tersebut. Isu- isu mengenai timpangnya kepemilikan tanah sebagai penyebab akutnya kemiskinan di pedesaan kembali diangkat dan menjadi

agenda utama perubahan kebijakan 5 . Subjek perubahan ini adalah rakyat yang kehilangan dan tidak memiliki tanah, namun membutuhkannya untuk keberlanjutan hidup.

Begitu pula dengan strategi dan taktik gerakan yang mengalami perubahan dari hanya advokasi baik yang bersifat ligitasi dan non- ligitasi 6 , menjadi kombinasi dari kerja-kerja advokasi dan aksi- aksi kolektif pendudukan tanah serta perjuangan untuk merebut kekuasaan politik di tingkat lokal. Selama periode ‘80an dan 90an, kerja-kerja advokasi untuk perubahan kebijakan dalam konflik pertanahan dan mobilisasi rakyat untuk mendesak penyelesaian umumnya dilakukan sebagai upaya mengubah kebijakan yang berkaitan dengan kasus-kasus tanah tertentu. Saat organisasi petani terbentuk di suatu daerah, maka teknik baru bagi para “pendamping masyarakat” atau “community organiser” segera diperkenalkan

260 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

untuk mendukung strategi-strategi baru yang berkenaan dengan perbesaran kekuatan politik berbasis massa pada tingkat lokal. Strategi aksi-aksi kolektif pendudukan tanah dan sejumlah strategi lainnya untuk ambil bagian dalam politik lokal dipergunakan untuk tujuan membangun kekuatan politik orang desa (atau yang berbasis di pedesaan) dalam rangka mendorong perubahan-perubahan

kebijakan maupun untuk menjalankan “land reform by leverage” 7 . Mengenai hubungan Negara-Rakyat dalam negara kapitalis yang sedang berkembang yang memberikan ruang bagi sejumlah gerakan sosial untuk muncul dan menguat, maupun meraih keberhasilan atau kegagalan. Perubahan politik yang terjadi di Indonesia, sejak Orde Baru mengambil kekuasaan pada 1966 hingga kejatuhannya tahun 1998, telah menciptakan beragam bentuk aksi protes dan resistensi dari kaum oposan maupun kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Transisi demokrasi yang dimulai sejak 1998 juga telah menciptakan struktur peluang politik yang berbeda pula bagi gerakan ini serta pengaruh mereka dalam kehidupan politik lokal. Goldstone (2004; 2003) melalui studinya di sejumlah negara, menyimpulkan bahwa gerakan sosial tidak akan menghilang di negara yang demokratis, justru menjadi ’penyumbang’ atau bahkan bagian dari kehidupan politik ’normal’ dan institusional. Argumen yang sama juga di sampaikan oleh Alvarez, Dagnino and Escobar (1998) yang menyimpulkan bahwa menguatnya demokratisasi di Amerika Latin tidak menghilangkan peran penting gerakan sosial. Satu dekade sebelumnya, Fox (1990) telah menunjukkan bahwa transisi menuju demokrasi di beberapa negara berkembang di Amerika Latin dan Asia telah menciptakan beragam keterlibatan gerakan petani dalam proses demokratisasi di pedesaan (rural democratization). Menjelaskan gerakan petani di Indonesia dalam konteks hubungan negara-rakyat ini akan berkontribusi terhadap kebijakan maupun untuk menjalankan “land reform by leverage” 7 . Mengenai hubungan Negara-Rakyat dalam negara kapitalis yang sedang berkembang yang memberikan ruang bagi sejumlah gerakan sosial untuk muncul dan menguat, maupun meraih keberhasilan atau kegagalan. Perubahan politik yang terjadi di Indonesia, sejak Orde Baru mengambil kekuasaan pada 1966 hingga kejatuhannya tahun 1998, telah menciptakan beragam bentuk aksi protes dan resistensi dari kaum oposan maupun kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Transisi demokrasi yang dimulai sejak 1998 juga telah menciptakan struktur peluang politik yang berbeda pula bagi gerakan ini serta pengaruh mereka dalam kehidupan politik lokal. Goldstone (2004; 2003) melalui studinya di sejumlah negara, menyimpulkan bahwa gerakan sosial tidak akan menghilang di negara yang demokratis, justru menjadi ’penyumbang’ atau bahkan bagian dari kehidupan politik ’normal’ dan institusional. Argumen yang sama juga di sampaikan oleh Alvarez, Dagnino and Escobar (1998) yang menyimpulkan bahwa menguatnya demokratisasi di Amerika Latin tidak menghilangkan peran penting gerakan sosial. Satu dekade sebelumnya, Fox (1990) telah menunjukkan bahwa transisi menuju demokrasi di beberapa negara berkembang di Amerika Latin dan Asia telah menciptakan beragam keterlibatan gerakan petani dalam proses demokratisasi di pedesaan (rural democratization). Menjelaskan gerakan petani di Indonesia dalam konteks hubungan negara-rakyat ini akan berkontribusi terhadap

penjelasan-penjelasan tentang berbagai aksi politik yang mereka lakukan, yang pada intinya mengarah kepada pertarungan kekuasaan untuk menguasai wacana tentang perubahan sosial maupun pembentukan kebijakan-kebijakan baru. Kebanyakan studi mengenai gerakan petani diarahkan pada perjuangan mereka untuk melawan atau merebut penguasaan alat-alat produksi saja, tetapi tidak diarahkan pada relasi politiknya dengan kekuasaan dan Negara (Migdal, 2001, hal. 65).