ANTARA AKSI, KOLABORASI DAN KOOPTASI: GERAKAN REFORMA AGRARIA PASCA REFORMASI

ANTARA AKSI, KOLABORASI DAN KOOPTASI: GERAKAN REFORMA AGRARIA PASCA REFORMASI

Agenda Reforma agraria merupakan tema besar dan menjadi pegangan bersama bagi para penggiat gerakan Reforma agraria di Indonesia. Sejak masa pemerintahan Orde Baru hingga pasca Reformasi, tema Reforma agraria tidak berubah dan terus menjadi platform setiap organisasi yang berkonsentrasi didalam advokasi kebijakan, penguatan organisasi tani maupun kampanye di tingkat Agenda Reforma agraria merupakan tema besar dan menjadi pegangan bersama bagi para penggiat gerakan Reforma agraria di Indonesia. Sejak masa pemerintahan Orde Baru hingga pasca Reformasi, tema Reforma agraria tidak berubah dan terus menjadi platform setiap organisasi yang berkonsentrasi didalam advokasi kebijakan, penguatan organisasi tani maupun kampanye di tingkat

nasional dan internasional. Walaupun demikian, perubahan turunan strategi tidak terhindari didalam setiap kelompok gerakan, seperti halnya gerakan petani di pedesaan terdapat faktor-faktor yang mendorong strateginya berubah setiap saat. Minimal terdapat dua hal yang menjadi faktor menurut Tri Agung Sujiwo (2010), pertama, kondisi internal organisasi menjadi dinamika tersendiri didalam kehidupan berorganisasi, karena organisasi itu sendiri merupakan kumpulan berbagai kepentingan yang bisa jadi hanya terdapat sedikit persinggungan kepentingan bersama sehingga memungkinkan berkumpul didalam organisasi. Kedua, masuknya wacana- wacana baru, misalnya wacana “demokratisasi” dan “partisipasi” memberikan alasan bagi kelompok tani maupun aktivis Reforma agraria untuk menggunakan setiap kesempatan yang ada didalam arus politik yang berubah. Analisis Sujiwo ini bisa diperbandingkan dengan dinamika yang terjadi didalam kelompok gerakan Reforma agraria, walaupun tentunya perlu penelaahan lebih hati-hati karena terdapat perbedaan signifikan diantara kelompok gerakan tani dan gerakan Reforma agraria ini, yaitu karakter organisasinya yang cenderung memiliki umur kepemimpinannya. Sehingga, perubahan strategi akan lebih banyak dipengaruhi oleh corak atau gaya kepemimpinannya. Di sisi lain, dinamika diluar lingkungan organisasi dan jaringan antar organisasi juga turut memberikan kontribusi terhadap perubahan strategi dari masa ke masa. Uraian tentang perkembangan gerakan Reforma agraria sejak tahun 1980- an hingga masa pasca era Reformasi bisa dilihat dari aspek organisasi penggeraknya juga, yang bertaut dengan perkembangan eksternal khususnya perubahan rejim yang berkembang, dan pada akhirnya bisa memperlihatkan penyempitan tujuan-tujuan gerakan karena kelenturan organisasi didalam menangkap dinamika eksternal yang ada.

296 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

Bagian ini akan menguraikan bagaimana kelompok gerakan menanggapi dinamika eksternal yang terjadi, khususnya dinamika perubahan kebijakan rejim yang berkuasa, didalam upaya menjalankan Reforma agraria di Indonesia dan agenda-agenda turunannya. Diharapkan, uraian ini dapat mengerucut kepada analisis tentang siapa yang sesungguhnya memiliki gagasan dan siapa yang mengikuti gagasan didalam setiap upaya untuk menjalankan Reforma agraria di Indonesia.

KPA dan Pertentangan Pandangan terhadap PPAN Seperti telah diuraikan di bagian sebelumnya, PPAN bukanlah

program yang diusulkan oleh kelompok gerakan sebagai sebuah upaya mendesakkan pelaksanaan Reforma agraria di Indonesia. Walaupun demikian, inisiatif awal PPAN yang menyatakan akan mendistribusikan sejumlah lahan yang sebelumnya merupakan kawasan hutan seluas 8,15 Ha (Nurdin, 2008, hal. 1), kelompok gerakan Reforma agraria turut berperan aktif didalam

pelaksanaannya. Sejumlah organisasi tani lokal dan nasional 16 bersama dengan sejumlah ornop yang memiliki jaringan nasional 17

yang dimotori oleh KPA melakukan audiensi dengan Kepala BPN pada bulan Oktober 2006. Selain mendapatkan klarifikasi atas inisiatif yang dinyatakan didalam pernyataan Menteri Kehutanan dan Kepala BPN tersebut, juga menyimpulkan bahwa inisiatif ini akan bertumpu kepada beban kerja BPN, khususnya di masa jabatan Joyo Winoto sebagai Kepala BPN. Sejak saat itu, rencana kerja untuk “mengawal” dan memberikan asupan untuk tetap berupaya menyelipkan agenda Reforma agraria yang diinginkan terus diupayakan melalui kerja kolaboratif dengan BPN.

Penyusunan rencana kerja tersebut menghasilkan kerjasama untuk melangsungkan sejumlah kegiatan dalam rangka Penyusunan rencana kerja tersebut menghasilkan kerjasama untuk melangsungkan sejumlah kegiatan dalam rangka

merumuskan format, bentuk dan pola kerja PPAN. Dimulai dengan mempersiapkan kerang filosofis, kebijakan dan praktek PPAN melalui kegiatan simposium nasional yang dilakukan atas kerjasama BPN- RI, KPA dan Brighten Institute di tiga kota yaitu Medan, Makasar dan Jakarta yang dilanjutkan dengan diskusi terfokus di Bogor dan Yogyakarta (Nurdin, 2008, hal. 3). Output dari rangkaian kebijakan ini adalah Usulan Kerangka Kebijakan Nasional untuk Reforma agraria. Memasuki awal tahun 2007, usulan ini bergerak menjadi pembahasan rancangan peraturan pemerintah dimana KPA beserta jaringannya terlibat didalamnya. Pada saat inilah, PPAN muncul untuk pertama kalinya dengan fokus melakukan distribusi tanah. Seperti telah dikemukakan diatas, PPAN itu sendiri atau distribusi tanah diatas tanah-tanah kehutanan, hingga saat ini tidak pernah

terjadi dan bahkan tidak melahirkan kebijakan 18 yang memayungi rencana-rencana tersebut (Nurdin, 2008, hal. 14). Bersamaan dengan aktifnya KPA beserta jaringannya melakukan kerjasama didalam rangka mempersiapkan kerangka PPAN, terdapat kontroversi serta perdebatan baik tentang keputusan strategis KPA dan jaringannya untuk terlibat didalam proses tersebut, maupun tentang PPAN itu sendiri. KPA mengambil keputusan bekerja bersama didalam rangka PPAN dengan memegang ‘prinsip kolaborasi kritis’ (Nurdin, 2008, hal. 15), yang maksudnya adalah tetap turut terlibat didalam setiap kegiatan yang diinisiatifi oleh BPN dengan tanpa kehilangan satu momen pun

agar dapat diketahui perkembangannya 19 . Untuk lebih memperkuat prinsip tersebut, KPA pun memobilisir sumberdayanya untuk melakukan sejumlah kegiatan asesmen di beberapa wilayah yang termasuk didalam konteks Reforma agraria Jawa bagian Selatan, diantaranya adalah di wilayah Gunung Kidul (DIY), Cilacap (Jawa

Tengah), Blitar (Jawa Timur), Garut dan Ciamis (Jawa Barat) 20 , dari

298 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

32 kabupaten yang ditargetkan sebagai wilayah kerja RA di Selatan Jawa (Nurdin, 2008, hal. 14).. Kritisi utama mengapa KPA seharusnya tidak terlibat didalam proses PPAN adalah terkait dengan substansi PPAN itu sendiri. Yang terutama adalah karena PPAN tidak pernah membicarakan tentang bagaimana caranya menyelesaikan masalah ketimpangan penguasaan tanah dimana sama sekali tidak menyinggung soal mengatasi kelebihan penguasaan tanah, serta bagaimana menyelesaikan konflik agraria yang terus menerus bertambah dari waktu ke waktu (Bachriadi, 2007). Hal senada juga dilontarkan oleh anggota jaringan yang pada awalnya turut serta didalam acara dengar pendapat dengan Kepala BPN di tahun 2006, yaitu STN dan AGRA (Nurdin, 2008, hal. 13).

Hasil dari kerja dengan ‘prinsip kolaborasi kritis’ ini adalah KPA mengeluarkan analisisnya tentang PPAN serta kerja-kerja advokasinya dalam kurun waktu 2006 hingga 2010. Diantaranya adalah mengkritisi RPP Reforma agraria, mengapa PPAN tidak kunjung disahkan karena tidak ada dorongan dari akar rumput, dan yang terakhir adalah program sertifikasi tanah yang dilakukan BPN (Nurdin, 2008, hal. 11-12; 14; 16). Kesimpulan dari keseluruhan proses tersebut, KPA menyatakan bahwa PPAN hanya menghidupkan semangat anti pembaruan agraria (Nurdin, 2008, hal. 16).

Sebagai sebuah institusi pengusung gerakan Reforma agraria di Indonesia, KPA bersikap mendua, dimana di satu sisi terus melakukan kerjasama di tengah-tengah kesempatan terbuka khususnya dengan BPN, dan di sisi lain dengan pengetahuan yang lebih dari cukup juga melakukan kritisi terhadap proses yang dilakukannya sendiri. Jika melihat kembali ke pengalaman ‘sukses’ di awal tahun 2000-an, dimana KPA memiliki pegangan operasional untuk menawarkan konsepnya untuk mendorong Reforma agraria di Indonesia, rumusan untuk usulan Tap MPR no. IX/2001 dan Sebagai sebuah institusi pengusung gerakan Reforma agraria di Indonesia, KPA bersikap mendua, dimana di satu sisi terus melakukan kerjasama di tengah-tengah kesempatan terbuka khususnya dengan BPN, dan di sisi lain dengan pengetahuan yang lebih dari cukup juga melakukan kritisi terhadap proses yang dilakukannya sendiri. Jika melihat kembali ke pengalaman ‘sukses’ di awal tahun 2000-an, dimana KPA memiliki pegangan operasional untuk menawarkan konsepnya untuk mendorong Reforma agraria di Indonesia, rumusan untuk usulan Tap MPR no. IX/2001 dan

KNPA, didalam proses PPAN ini seolah-olah hilang. Pilihan-pilihan untuk mengikuti perkembangan inisiatif yang ada di lingkungan pemerintahan, khususnya PPAN, menjadi pilihan strategis.

Terdapat faktor-faktor yang bekerja, seperti diuraikan dibagian awal tulisan ini yaitu adanya politik pertentangan diantara aktivis gerakan Reforma agraria yang mengakibatkan pergeseran (atau pergantian) wacana yang mengarahkan strategi gerakannya. Hal ini bisa saja terjadi karena karakter organisasi gerakan yang memiliki pola-pola regenerasi serta kaderisasi yang tidak disertai dengan penyerahan agenda strategis yang sudah dirumuskan sebelumnya. Sejak KPA berdiri tahun 1994 hingga tahun 2004, KPA mengalami tiga kali pergantian kepemimpinan yang disebabkan oleh mekanisme organisasi yang sudah ditetapkan bersama. Pergantian kepemimpinan akan serta merta mengikuti pola dan cara kerja pemimpin dan berdampak kepada pilihan-pilihan strategis di masa kepemimpinannya. Hal yang lumrah juga didalam masa kepemimpinan untuk menampilkan prestasi kerjanya dengan berbagai pertimbangan internal dan eksternal serta kemampuan pribadi pemimpin didalam melakukan kerja-kerja yang sudah dimandatkan.

Didalam konteks kerja advokasi untuk PPAN, KPA memilih dengan pertimbangan-pertimbangan serta penilaian-penilaian yang dibuat dengan mengkerangkakannya kepada kerja-kerja yang sudah dimandatkan. Sejak awal berdirinya, KPA dimandatkan untuk melakukan kerja-kerja advokasi kebijakan dan penguatan

organisasi rakyat serta melakukan kampanye 21 . PPAN dianggap dapat menjadi koridor untuk melakukan mandat tersebut, karena PPAN akan menggiring Reforma agraria menjadi agenda nasional, PPAN juga akan mengkonsolidasikan organisasi rakyat serta akan menggiring opini publik sebagai alat kampanye tentang

300 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

Reforma agraria (Nurdin, 2008, hal. 10). Analisis tentang PPAN ini merupakan analisis yang dilakukan oleh pemimpin KPA pada saat proses PPAN, dengan sedikit mengabaikan analisis yang lebih dalam (yang kemudian baru disadari di akhir proses) bahwa PPAN sesungguhnya bukanlah Reforma agraria yang sesungguhnya yang diinginkan oleh KPA (secara keseluruhan) sebagai jalan keluar untuk masalah agraria yang ada di Indonesia selama ini.

Selain itu, karakter kepemimpinan tersebut juga akan berkaitan dengan dinamika eksternal yang juga berubah dari masa ke masa. Tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika eksternal khususnya sejak pasca Reformasi tahun 1998, berubah sangat cepat. Termasuk dinamika proses PPAN, memungkinkan kelompok gerakan pengusung Reforma agraria terlibat didalam prosesnya, dimana pengalaman keterlibatan kelompok gerakan Reforma agraria pada masa sebelumnya (masa Orde Baru) akan sangat sulit menemukan kesempatan yang sama. Hal ini dapat dimaklumi jika pilihan strategisnya adalah turut terlibat, seperti halnya keterlibatan KPA dan jaringannya didalam proses PPAN, karena pengalaman untuk terlibat bersama-sama dengan pihak-pihak dari lingkungan pengambilan keputusan, secara intensif perlu dilakukan untuk dapat diambil pelajaran pentingnya. Hal ini juga memperkuat alasan bahwa setiap langkah akan membuahkan hasil, minimal menghasilkan rumusan-rumusan pelajaran penting (analisis dampak) untuk disosialisasikan didalam kerangka kerja berikutnya.

Pertanyaan besarnya adalah apa sesungguhnya yang menjadi faktor penentu didalam pengambilan keputusan atas pilihan strategis yang dipilih itu. Apakah karakter kepemimpinannya ataukah dinamika eksternal yang terus berubah sehingga kepemimpinan gerakan tergiring didalamnya.

keCenderungan advokasi gerakan dan kebijakan agraria nasionaL PasCa reformasi

KPA, Komnas HAM, YLBHI untuk Penyelesaian Konflik Agraria Kembali kita lihat pengalaman didalam mendesakkan agenda penyelesaian konflik agraria, khususnya agenda KNUPKA. YLBHI sebagai garda organisasi untuk penyelesaian konflik di tahun 1980- 1990-an dengan agenda penyelesaian dengan litigasi dan non- litigasi telah memberikan analisis pentingnya tentang keberhasilan dan kegagalannya. Kemudian KPA dan jaringannya bekerjasama dengan Komnas HAM merumuskan secara bersama-sama untuk membentuk satu kepanitiaan untuk penyelesaian konflik agraria (KNUPKA). Sudah diuraikan didalam tulisan ini bahwa prosesnya terhenti dan dokumen yang sudah dirumuskan itu saat ini hanya menjadi dokumen advokasi yang pernah dilakukan oleh kelompok gerakan.

Pengalaman KNUPKA ini juga menunjukkan bahwa kelompok gerakan juga memaksimalkan peluang yang ada untuk mendesakkan agenda Reforma agraria melalui agenda penyelesaian konflik yang menjadi inti agenda kerja Komnas HAM didalam koridor pembelaan hak asasi manusia. Ketika Komnas HAM didalam kapasitasnya sebagai lembaga negara tidak mampu mengantarkan rumusan strategis untuk penyelesaian konflik agraria tidak membuahkan hasil, dimana usulan ini ditolak oleh Presiden Megawati (dan selanjutnya juga ditolak oleh Presiden SBY), kelompok gerakan untuk Reforma agraria kemudian tidak menemukan jalan lain untuk mendesakkan agenda KNUPKA ini (Bachriadi, 2010, hal. 205).

Terlepas dari proses-proses yang menemukan jalan buntu, dari sisi substansi menunjukkan bahwa usulan KNUPKA ini telah memundurkan langkah gerakan Reforma agraria menjadi gerakan advokasi yang parsial, yang mengkhususkan kepada usulan kerangka penyelesaian konflik. Walaupun hal ini bisa dijelaskan sebagai

302 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

langkah awal atau pintu masuk untuk mendesakkan usulan yang lebih besar, tetapi pengalaman proses advokasi ini yang berujung kepada terhentinya proses ketika Komnas HAM tidak mampu mengantarkan usulan kepada presiden, kelompok gerakan seolah- olah berhenti bergerak dan menunggu kehadiran peluang lain yang bisa dimanfaatkan. Atau upaya penyelesaian konflik kembali ke metode yang sudah dilakukan sebelumnya yang dilakukan oleh YLBHI dengan metode litigasi dan non-litigasi.

Kooptasi Gagasan Penyelesaian Nasional terhadap Resolusi Konflik Pada akhir tahun 2011, dua kasus kekerasan dan konflik agraria mengemuka dan mencuat di Indonesia, yaitu kasus Mesuji dan kasus Bima. Untuk menyelesaikan kasus tersebut pemerintah Indonesia kemudian membentuk sebuah tim gabungan untuk mencari fakta yang akan digunakan sebagai bahan penyelesaian kasus tersebut. Dua minggu kemudian setelah tim pencari fakta memberikan rekomendasinya, sekitar 77 organisasi gerakan kemudian mengkritik hasil rekomendasi tersebut yang dianggap tidak menyentuh

akar persoalan yang sesungguhnya 22 . Menggunakan momentum kekerasan tersebut, kelompok gerakan tersebut membentuk sebuah sekretariat bersama pemulihan hak rakyat Indonesia (Sekber, 2012) yang bertujuan mendesak dijalankannya upaya penyelesaian konflik-konflik agraria yang tidak hanya sekedar untuk mengakhiri kekerasan supaya tidak berulang, tetapi lebih jauh adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Sekber, 2012).

Dalam usulannya, Sekber PHRI melihat bahwa penyelesaian konflik agraria tidak dapat dilakukan secara terpisah atau diserahkan kepada badan pemerintahan, perlu dibentuk sebuah komisi Dalam usulannya, Sekber PHRI melihat bahwa penyelesaian konflik agraria tidak dapat dilakukan secara terpisah atau diserahkan kepada badan pemerintahan, perlu dibentuk sebuah komisi

penyelesaian konflik agraria yang memiliki kewenangan mulai dari mendaftar konflik hingga merancang sejumlah aturan penyelesaian

konflik 23 . Untuk lebih mendesak agenda dan tuntutan tersebut, sekber kemudian melakukan serangkaian aksi-aksi massa di banyak kota untuk mendesak usulan tersebut. Di Jakarta, aksi yang dilakukan pada tanggal 18 januari tersebut mendapat respon dari sejumlah politisi di DPR dengan segera mengajukan usul pembentukan pansus

penyelesaian konflik agraria di DPR. Pembentukan Pansus 24 di DPR yang kemudian berubah menjadi panja 25 (panitia kerja) membuat upaya kelompok gerakan untuk terlibat dalam penyelesaian konflik menjadi melemah dan beralih ke elit politik. Yang dimaksud dengan melemah dan beralih ke elit politik disini adalah ketika Panja di DPR bekerja tentu saja semua keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan proses politik formal yang berlangsung di DPR, sehingga apa yang dilakukan oleh kelompok gerakan hanya dapat memberikan masukan dan saran kepada Panja. Meskipun begitu, sebagai kelompok gerakan, PHRI tetap melakukan desakan dan mengajukan gagasan mengenai penyelesaian konflik agraria melalui jalan ekstra parlementer.