PROSES PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN

PROSES PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN

Seperti disebutkan di atas, pengurus dan tokoh-tokoh yang memiliki peranan dalam perjuangan pendudukan lahan mempunyai kontrol yang cukup besar terkait dengan akses pengelolaan dan penguasaan lahan.

Sebagai organisasi yang bertumpu pada kekuatan massa anggotanya, Serikat Petani Pasundan (SPP) memang memberikan kewenangan cukup besar kepada pengurus organisasi di tingkat lokal untuk mengelola lahan-lahan pendudukan. Secara umum

116 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

aturan mengenai tata guna lahan dan distribusi memang ditetapkan secara bersama oleh pengurus tingkat kabupaten. Aturan tersebut juga berlaku di semua basis anggota dari Serikat Petani pasundan

di tiga kabupaten 43 . Namun demikian, pasca distribusi, pengaturan dan pemanfataan sepenuhnya diserahkan kepada pengurus organisasi tingkat lokal. Pengurus di tingkat kabupaten, lebih banyak melakukan penguatan organisasi dan mendorong agar anggota terus menggarap lahan-lahan yang telah diduduki.

Di Cieceng, para pengurus dan pemimpin organisasi lokal memiliki kewenangan untuk menentukan luas dan letak lahan garapan bagi anggota-anggotanya, terutama bagi mereka yang baru bergabung dengan organisasi pasca pendudukan. Begitu pula penilaian keaktifan anggota, sebab hal ini berpengaruh pada luasan lahan yang dapat digarap oleh anggota. Struktur organisasi yang memberikan ruang pada ikatan-ikatan tradisional dan non formal membuat mereka yang berada dalam struktur kepengurusan organisasi kemudian memanfaatkan peluang guna memperkuat posisinya sosial dan ekonomi di dalam komunitas. Situasi ini yang pada akhirnya secara perlahan menciptakan ketimpangan penguasaan lahan dan akses produksi di tingkat lokal. Mereka yang menjadi tokoh organisasi umumnya merupakan orang-orang yang secara tradisional memiliki posisi cukup kuat, seperti ulama, guru, pedagang. Pengurus organisasi memiliki wewenang untuk mencabut dan memberi sanksi kepada anggota jika dianggap melanggar aturan organisasi. Pengurus organisasi tingkat lokal juga memberikan peluang bagi berpindahnya lahan garapan kepada sesama anggota, terutama jika dikaitkan dengan tata guna lahan yang telah di

sepakati 44 . Dalam hal ini, keputusan mengenai komoditas tanaman yang dikembangkan di wilayah pendudukan.

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 117

Tentang pengelolaan dan penggarapan, jika terdapat anggota yang dianggap tidak mampu untuk mengelola lahan garapannya maka ia wajib mengembalikan lahan garapannya kepada organisasi dengan sejumlah penggantian biaya produksi yang telah dikeluarkan.Seperti telah disebutkan di atas organisasi melarang anggotanya untuk memindahtangankan lahan garapan tanpa alasan yang jelas, namun demikian praktek perpindahan lahan ini tetap terjadi yang pada umumnya dilakukan secara diam-diam. Banyak diantara mereka yang terlibat dalam proses transfer lahan, baik sebagai penjual atau pembeli, adalah tokoh atau pengurus OTL. Kondisi ini membuat organisasi kemudian menjadi sangat toleran terhadap proses perpindahan lahan garapan selama dilakukan diantara sesama anggota. Oleh karena itu, bagi penduduk non anggota kemudian mendaftar menjadi angggota organisasi untuk memperoleh ijin membeli lahan garapan

Tumbuhnya aktor-aktor produksi baru dan introduksi komoditas juga membawa pengaruh pada perubahan penguasaan lahan garapan melalui proses transfer lahan penguasaan dan pengelolaan lahan garapan antar anggota. Secara organisasional jika terdapat anggota yang dianggap tidak mampu untuk mengelola lahan garapannya maka ia wajib mengembalikan lahan garapannya kepada organisasi dengan sejumlah penggantian biaya produksi yang telah dikeluarkan.

Bentuk lainnya adalah menyerahkan lahannya kepada anggota lain yang masih terhitung sebagai kerabat atau keluarga dengan kesepakatan harga penggantian tanaman . Sebagian mereka yang memindahtangankan lahan garapan biasanya dengan alasan hendak meninggalkan wilayah pendudukan, baik karena menikah dengan penduduk lain dari luar wilayah ataupun mendapatkan pekerjaan di luar desa. Proses transfer lahan garapan juga dilakukan secara

118 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

sederhana dan dengan harga yang juga disesuaikan kebutuhan. Artinya tidak ada standar baku mengenai harga dan bagaimana transaksi dilakukan. Model transfer lainnya dalam bentuk gadai garapan juga ditemukan dalam penelitian lapangan. Seperti dalam ganti garapan, umumnya harga yang diberikan didasarkan pada luas lahan dan usia tanaman diatasnya. Umumnya perhitungan mengenai usia tanaman menjadi salah satu hambatan bagi penggarap jika ingin menebus kembali lahan garapannya. Karena hitungan biaya ganti garapan mengikuti usia tanaman diatasnya

Pada umumnya anggota yang menyerahkan lahannya adalah anggota biasa yang pada awal keterlibatannya memang tidak memiliki alat produksi, dalam hal ini tanah. Sedangkan mereka yang membeli atau mengumpulkan lahan-lahan garapan tersebut merupakan tokoh-tokoh, baik pengurus organisasi maupun tokoh informal, yang sejak awal menjadi motor gerakan tani di wilayah tersebut.

Secara umum anggota yang memiliki kemampuan untuk menanggung ganti rugi garapan dapat dibagi dalam dua kategori besar:

1. Mereka yang memiliki simpanan dan mampu membayar biaya ganti garapan, khususnya mereka yang sejak sebelum terlibat dalam perjuangan sudah memiliki “tanah milik” (sertifikat Hak Milik).

2. Mereka yang memiliki usaha lain, sehingga memiliki tabungan dan kemampuan untuk membayar biaya ganti rugi, khususnya mereka yang memiliki usaha “bandar”, misalnya bandar kayu, bandar kelapa, dan bandar-bandar lainnya yang menampung hasil produksi anggota lainnya.

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 119

Tabel 3.

Gambaran Luas Penguasaan Lahan Garapan OTL Cieceng Tahun 2004

Luas Jumlah

Rata-rata Lahan

Total Luas

Penggarap

Penguasaan (ha) % penguasaan (ha)

Sumber: Sensus anggota SPP tahun 2004

Pada tahun 2004, SPP melakukan sensus anggota untuk mengetahui secara pasti jumlah lahan yang dikuasai dan jumlah pasti mereka yang menjadi anggota di setiap basisnya. Gambaran dalam table 3 menunjukkan bahwa distribusi dan penguasaan lahan cukup merata. Sekitar 92% anggota memiliki lahan berkisar antara 0,25 -0,5 hektar. Dari tabel 3 diatas juga menunjukkan hanya 2 anggota yang menguasai lahan diatas 0,5 hektar. Namun demikian perubahan terjadi: pada tahun 2011, gambaran penguasaan tanah pada wilayah pendudukan itu terlihat seperti Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Gambaran Luas Penguasaan Lahan Garapan OTL Cieceng Tahun 2011

Luas Jumlah Rata-rata Lahan

Total Luas Penguasaan (ha)

Penggarap

% penguasaan (ha)

Sumber ; Data penggarap OTL Cieceng, November 2011

120 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

Dari data tahun 2004 (Tabel 3) dan tahun 2011 (Tabel 4), nampak bahwa jumlah penggarap dan luas lahan garapan mengalami kenaikan. Salah satu sebab adalah adanya penambahan jumlah anggota yang berhak mendapatkan lahan garapannya. Mereka yang pada awal pendudukan masih berada di bawah usia 15 tahun, pada tahun 2011 sudah memiliki hak untuk memperoleh lahan garapan. Atas kebutuhan tersebut, pada tahun 2008, Organisasi yang didukung oleh para aktivis pendamping tingkat kabupaten dan Jaringan

Pemetaan tingkat nasional, melakukan pemetaan partisipatif 45 . Melalui pemetaan ulang wilayah pendudukan tersebut, organisasi kemudian melakukan penataan ulang lahan garapan. Beberapa anggota yang pada saat aksi pendudukan tahun 2000 masih berusia dibawah 15 tahun kemudian mendapat lahan garapan dengan penguasaan antara 0.10 -0.25 hektar. Umumnya mereka adalah para pemuda yang aktif dalam kegiatan organisasi atau terlibat dalam kegiatan pendidikan melalui sekolah yang didirikan organisasi.

Dari dua tabel tersebut, nampak pula penurunan jumlah penggarap yang menguasai lahan antara 0.25-0.5, perubahan itu diikuti oleh naiknya jumlah penggarap yang menguasai lahan antara

0.5 -1.00 hektar dan mereka yang menggarap lahan dibawah 0.10 hektar. Data tersebut mengindikasikan terbentuknya diferensiasi kelas berdasarkan penguasaan tanah di wilayah pendudukan,

Terutama jika melihat perbandingan angka rasio gini 46 di kedua tahun tersebut. Pada tahun 2004, angka rasio Gini di wilayah Cieceng adalah 0,04 dan mengalami perubahan pada tahun 2011 menjadi 0,21. Angka rasio gini tersebut menunjukkan kecenderungan peningkatan konsentrasi penguasaan lahan di wilayah Cieceng. Meskipun dalam konteks struktur penguasaan lahan angka rasio Gini dibawah 0.3 masih dianggap merata (equal) (Bachriadi dan Wiradi, 2011: hal.57), namun Kondisi ini mengindikasikan apa yang

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 121

disebut oleh Husken (1998) sebagai proses terjadinya perubahan struktur agraria, dimana terjadi konsenstrasi penguasaan atas akses lahan dan sumber penghidupan lainnya, yang pada gilirannya akan mendorong terbentuknya hubungan produksi dan struktur agraria yang timpang (Husken, 1998). Apalagi kondisi tersebut terjadi di wilayah pendudukan lahan yang di klaim dan di dukung oleh kelompok gerakan sosial yang sejak awal mengupayakan perubahan struktur penguasaan lahan yang lebih merata dan adil.

Situasi tersebut juga menunjukkan apa yang Aditjondro sebut sebagai tidak mampunya gerakan sosial di pedesaan untuk mendorong proses transformasi agraria dan hanya berhenti pada upaya-upaya restoratif belaka,yakni berhenti hanya pada upaya memperjuangkan hak-haknya atas tanah dan sumber alam yang dirampas atau terancam hilang. Hak-hak atas tanah tersebut berkisar pada hak milik, hak menguasai hingga hak memanen hasilnya (Aditjondro, 2003). Gerakan sosial pedesaan di Indonesia masih belum melakukan upaya-upaya transformatif dimana upaya mendorong perubahan penguasaan menjadi pintu masuk bagi gerakan sosial untuk mendorong perubahan struktur produksi, ekonomi dan sosial yang lebih adil .

Menarik pula penguasaan tanah di atas 1.00 hektar. Dari sensus tahun 2004 tidak ada penggarap yang menguasai lahan garapan diatas 1.00 hektar, namun dari data tahun 2011 sekitar 70 penggarap (2.4%) menguasai lahan garapan seluas 47 hektar atau rata-rata menguasai 2.2 hektar. Dari data ini saja kita dapat dilihat bahwa terjadi pergeseran penguasaan lahan di atas wilayah pendudukan.

Hanya sedikit penggarap yang secara terbuka mengakui telah melepas atau mengalihkan lahan garapannya kepada anggota lainnya. Umumnya proses transfer lahan terjadi sepanjang

122 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

tahun 2006 – 2010, yaitu ketika komoditas kayu albasiah mulai diperkenalkan di lahan garapan. Pada tahun 2004, dari total 821 penggarap sekita 88%nya menguasai lahan seluas 0.5 hekatr dan hanya 0.2% saja yang menguasai lahan antara lebih dari 0.5 hektar. Jumlah tersebut mengalami perubahan jika dibandingkan dengan data lahan garapan 2011. Jumlah penggarap yang menguasai lahan

0.5 hektar menurun menjadi 559 orang atau sekitar 59%. Proses perubahan ini menunjukkan bahwa menguatnya pengaruh dan posisi SPP di tingkat nasional dan regional ternyata tidak berbanding lurus dengan penguatan di tingkat lokal (OTL). Tujuan organisasi gerakan yang hendak menghapuskan ketimpangan penguasaan lahan justru terlihat tidak mampu mengontrol perubahan dan dinamika di tingkat lokal.

Menarik pula untuk melihat data kelebihan penguasaan lahan di OTL Cieceng. Jumlah penggarap yang memiliki lahan lebih dari 1.00 hektar sama dengan jumlah penggarap dengan penguasaan dibawah

0.10 hektar. Hal tersebut menjadi kontras jika dilihat dengan total penguasaan keduanya. Besarnya pengaruh introduksi komoditas kayu di wilayah pendudukan terhadap perubahan penguasaan lahan dapat dilihat pada table 5. Dari data tersebut, nampak bahwa dari sepuluh penggarap yang menguasai kelebihan lahan paling luas setengahnya adalah mereka yang berprofesi sebagai bandar kayu.

Tabel 5. Gambaran penggarap dengan kelebihan Lahan Garapan Terbesar

Pemilik Lahan

Kelahiran

luas garapan awal

(ha)

Kelebihan penguasaan (ha)

Profil

Mekarharuman 1

Bandar Kayu Perubahan Penguasaan t Cieceng 1

Bandar Kayu Mekarharuman 2

Anggota biasa

Mempunyai lahan milik di luar wilayah pendudukan 0.25 Ha

Cieceng 2

Bandar kayu Cieceng 3

Anggota biasa anah di a Mekarharuman 3

Bandar kayu

Anak dari mekarharuman 4 Sinagar 1

Anggota biasa tas Lahan Pendudukan

Mempunyai lahan milik di luar wilayah pendudukan 0.25 Ha P a s C

Tokoh OTL a r

Mempunyai lahan milik di luar m r o

ef wilayah pendudukan >2.00 Ha

0.5 1.5 − a Bandar Kapulaga i s

Bandar Kayu

Sumber: diolah dari data primer tahun 2011

124 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

Di wilayah Cieceng, terbatasnya penguasaan lahan dan tingginya kebutuhan ekonomi secara perlahan telah memaksa para petani mengubah pola produksi menjadi lebih individual. Hal ini menunjukkan kegagalan organisasi gerakan (SPP) menjalankan misi yang di cita-citakan, yaitu mendorong perubahan struktur penguasaan lahan yang lebih adil. Juga memperlihatkan bahwa pasca pendudukan lahan, proses-proses akumulasi dan diferensiasi agraria ternyata berlangsung cepat di dalam komunitas. Para pelaku pendudukan lahan tidak mampu untuk menangkal struktur ekonomi yang dicirikan oleh pasar output yang monopsonistik dan pasar input yang monopolistik. Bahkan patronase bandar-petani juga berkembang luas di antara para petani anggota organisasi sehingga proses akumulasi kekayaan dan diferensiasi agraria juga sudah mulai terlihat mencolok.

Proses transfer lahan menunjukkan adanya perbedaan- perbedaan kepentingan dan pemahaman antara pengurus organisasi di tingkat pusat dan kabupaten dengan para tokoh di tingkat lokal mengenai tujuan dan visi organisasi (Bachriadi, 2010: hal. 30). Dalam hal ini keinginan organisasi untuk mewujudkan cita-cita organisasi untuk menghilangkan ketimpangan penguasaan berhenti pada gagasan semata ketika berhadapan dengan dinamika yang terjadi di tingkat lokal.