REDISTRIBUSI TANAH, REFORMA AGRARIA, DAN PERJUANGAN HAK ATAS TANAH

REDISTRIBUSI TANAH, REFORMA AGRARIA, DAN PERJUANGAN HAK ATAS TANAH

Gagasan tentang reforma agraria sesungguhnya merupakan gagasan yang “baru” dalam wacana gerakan sosial di Indonesia. Gagasan ini mulai dikampanyekan sejak pertengahan tahun 1980an oleh sejumlah kecil penggiat agraria. Dan secara konsisten gagasan

reforma agraria di bawa oleh KPA (konsorsium Pembaruan Agraria) sejak awal didirikan pada tahun 1994 8 . Bahkan Wiradi (1997)

menyebut KPA sebagai pelembagaan sejumlah upaya sejumlah penggiat agraria untuk mengembangkan pembaruan agraria di Indonesia (Wiradi, 1997, hal. 42).

Dalam tulisan yang lain, (Setiawan, 1997, p. 5) melihat reforma agraria sebagai jawaban paling logis dari berbagai masalah struktur

sosial di dalam masyarakat. Konsep ini dianggap sebagai jalan keluar atas berbagai persoalan agaraia di Indonesia, khusussnya ketimpangan dan konflik agraria. Dalam hal ini Reforma agraria dimaknai sebagai suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan berkeadilan (Bachriadi, 2007, p. 3; Faryadi,

262 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

2005). Dengan begitu, reforma agraria selain merupakan bagian dari program pembangunan ekonomi, juga bermakna sebagai “suatu program politik untuk mengubah struktur kekuasaan dalam lapangan agraria (penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria) (Bachriadi, 2007). Menurut Wiradi (2000), istilah land reform 9 , atau tepatnya redistributive land reform, mengandung pengertian sebagai penataan kembali sebaran pengasaan tanah yang mencakup dua aspek, yaitu tenure reform dan tenancy reform. Aspek pertama adalah yang dimaksudkan dengan ‘redistribusi lahan’, yaitu mencakup pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usahatani dan perubahan skala pemilikan. Sedangkan tenancy reform berarti perbaikan dalam hal perjanjian sewa, bagi hasil, gadai dan sebagainya tanpa harus mengubah distribusi pemilikan. Konsep ‘konsolidasi lahan’ juga dimasukkan dalam redistributive land reform yang merujuk pada upaya menyatukan pemilikan tanah yang letaknya terpencar-pencar (fragmentasi) menjadi satu hamparan solid, biasanya melalui cara tukar menukar. Dalam hal ini, redistribusi tanah merupakan satu aspek dari agenda reforma agraria dalam upayanya melakukan transformasi struktur agraria menjadi lebih adil. Di dalamnya, redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang telah dikuasai dalam skala besar atau melebihi batas maksimum yang ditentukan, dan pengembalian tanah-tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang diambil dari penguasaan rakyat sebelumnya, menjadi satu program penting dalam rangka merombak struktur penguasaan tanah atau sumber-sumber agraria tersebut (Bachriadi, 2007).

Dalam pengertian ekonomi, reforma agraria melalui redistribusi tanah akan memberikan kesempatan kepada sebagian besar petani, mereka yang menggantungkan hidupnya dari pertanian, dan membuka kesempatan untuk terjadinya proses pembentukan Dalam pengertian ekonomi, reforma agraria melalui redistribusi tanah akan memberikan kesempatan kepada sebagian besar petani, mereka yang menggantungkan hidupnya dari pertanian, dan membuka kesempatan untuk terjadinya proses pembentukan

modal (capital formation) di pedesaan yang akan menjadi dasar bagi proses industrialisasi yang kokoh. Namun demikian, tidak boleh diabaikan, dalam proses redistribusi tanah bagi petani-petani miskin, tak bertanah atau yang hanya menguasai lahan sedikit, harus terkandung muatan aksi-aksi untuk mencegah dan mengurangi konsentrasi penguasaan tanah (Bachriadi, 2007).

Gerakan Reforma Agraria, Perjuangan Hak atas Tanah, Tipologi perjuangan hak atas tanah

Seperti yang dinyatakan oleh (Bachriadi, 2010, p. 383) reforma agraria adalah sebuah program pembangunan politik untuk merubah struktur kekuasaan yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan akses terhadap kekayaan alam, dimana seluruh kerja-kerjanya akan meliputi aspek-aspek ekonomi, hukum, dan sosial. (Christodoulou, 1990, p. 15) menegaskan bahwa kontrol atas tanah selalu memiliki elemen pemaksa atau penegas akan kekuasaan. Hampir semua reforma agraria terjadi dengan adanya campur otoritas pemegang kekuasaan di dalam negara, sehingga semua hasil-hasil perubahan struktur agraria yang terjadi sangat bergantung dari perilaku pemegang kekuasaan dalam Negara (Wiradi, 2000, pp. 146 - 147).

Untuk memahami gagasan reforma agraria sebagai sebuah perombakan struktur kepemilikan/penguasaan tanah kita perlu memahami tentang konflik agraria sebagai suatu gejala sosial yang didalamnya terjadi proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang memperjuangkan kepentingan atas obyek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang, dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan (Wiradi, 2000, p. 43). Oleh karenanya persoalan agraria didalamnya selalu terkandung relasi antara orang atau kelompok yang mengatur bagaimana tanah serta kekayaan alam

264 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

dikelola. Pengakuan dari dua pihak yaitu masyarakat dan, terutama, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan menjadi penting karena merupakan jaminan kepastian yang utuh akan hak seseorang atau kelompok atas suatu tanah (Wiradi, 2000, p. 44).

Seperti yang dijelaskan oleh (Paige, 1975, pp. 93-94) bahwa gerakan agraria menginginkan perubahan radikal struktur kelas masyarakat pedesaan dengan tujuan-tujuan politik yang terbatas dan berjangka pendek untuk masalah yang mendesak tentang kontrol dan redistribusi tanah. Dengan demikian, gerakan reforma agraria dimaknai sebagai perubahan radikal struktur kelas masyarakat pedesaan akan terjadi seiring berubahnya struktur agraria yang berlangsung di masyarakat pedesaan sebagai akibat dari terjadinya perubahan kontrol dan redistribusi tanah oleh gerakan agraria.

Mengikuti apa yang dikemukan oleh (Aditjondro, 2002, p. 394) konflik hak atas tanah terbagi dalam dua kecenderungan, yang pertama yaitu konflik-konflik tanah yang bersifat ‘restoratif ’ dimana para aktor berusaha merebut kembali hak atas tanah serta kekayaan alam yang hilang atau terancam hilang, sedangkan konflik-konflik tanah yang bersifat ‘transformatif ’ dimana para aktor utama yang terlibat memperjuangkan hak yang dulu belum mereka miliki. Dengan demikian gerakan agraria dapatlah kita pilah dalam dua tipologi berdasarkan dua tipe konflik agraria yang terjadi yaitu gerakan agraria ‘restoratif ’ sebagai sebuah gerakan agraria yang berusaha mempertahankan atau merebut kembali hak atas tanah, serta gerakan agraria ‘transformatif ’ yaitu gerakan agraria yang berusaha memperjuangkan hak atas tanah yang dulu belum mereka miliki.

keCenderungan advokasi gerakan dan kebijakan agraria nasionaL PasCa reformasi