MEKANISME DAN ATURAN DISTRIBUSI LAHAN GARAPAN

MEKANISME DAN ATURAN DISTRIBUSI LAHAN GARAPAN

Pada tahun 2003, di dorong oleh para aktivis pendamping dan menggunakan mekanisme organisasi 17 , para penduduk mulai melakukan penataan wilayah. Melalui program ini, organisasi mencoba melakukan penataan penguasaan dan produksi lahan yang dikuasai oleh penduduk. Penataan ini dilakukan karena pada awal pendudukan, penguasaan lahan didasarkan pada seberapa besar anggota mampu membuka lahan perkebunan. Akibatnya luas

104 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

garapan setiap anggota beragam. Mereka yang secara aktif terlibat dalam aksi-aksi pendudukan dan memiliki kemampuan membuka areal perkebunan dengan cepat jelas memperoleh lahan lahan yang lebih luas, sedangkan sebagian besar anggota yang terlibat belakangan dalam aksi pendudukan akan memperoleh lahan lebih kecil.

Aktivis dan para pendamping dari Serikat Petani pasundan kemudian mencoba untuk mengatur ulang penguasaan lahan di wilayah tersebut. Termasuk membuat aturan-aturan dan mekanisme mengenai tata guna lahan. Pertemuan tersebut membahas tiga poin utama yaitu: tata guna lahan, distribusi lahan dan tata produksi lahan.

Mengenai tata guna lahan, organisasi mencoba mengatur areal pemanfaatan lahan. Organisasi membagi areal pendudukan dalam beberapa areal penggunaan lahan, yaitu areal (1) konservasi, (2) areal lahan (garapan) pertanian produktif, (3) areal untuk sarana umum dan (4) areal pemukiman. Sedangkan untuk distribusi lahan bagi anggota, organisasi kemudian menetapkan beberapa kriteria anggota dan besaran lahan yang akan diperoleh. Terdapat 4 kategori penerima lahan yang secara bersama ditetapkan, yaitu:.

1. Anggota yang ikut 18 dalam perjuangan pendudukan tanah

2. Anggota yang aktif 19 terlibat perjuangan pendudukan tanah.

3. Tokoh Pendudukan Tanah, yang aktif terlibat dalam pendudukan tanah

4. Tokoh Pendudukan Tanah, yang menjadi pemikir dan komandan pendudukan tanah

Setiap anggota memproleh luas lahan yang relatif sama, namun demikian keterlibatan dan keaktifan dalam aksi pendudukan menjadi catatan penting bagi organisasi dalam menentukan luas

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 105

lahan garapan. Setiap anggota organisasi 20 yang aktif terlibat dalam aksi-aksi pendudukan lahan berhak memperoleh lahan garapan antara 0.25 – 0.5 Ha. Dengan demikian jika sebelumnya terdapat anggota yang memiliki lahan lebih luas, maka kelebihannya akan di distribusikan untuk anggota yang lainnya.

Perlu dicatat bahwa meski sebagian besar anggota organisasi merupakan petani yang tidak memiliki lahan garapan, namun tokoh-tokoh yang sejak awal terlibat tidak semuanya berlatar petani kecil. Paling tidak terdapat tiga orang tokoh gerakan yang memiliki lahan di atas satu hektar sebelum bergabung dengan aksi pendudukan. Rata-rata alasan keterlibatan mereka adalah karena pada saat itu mereka merupakan orang-orang yang dianggap sebagai tokoh informal atau dianggap memiliki akses jaringan lebih luas yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung perjuangan. Sebagian tokoh organsiasi lainnya, adalah para pedagang (bandar)dan tokoh kedusunan.

Pada awalnya, distribusi penguasaan lahan di wilayah Cieceng relatif setara, namun situasi tersebut tidak berlangsung lama. Dengan alasan untuk menjaga soliditas organisasi dan keberlanjutan perjuangan, Sekjen SPP kemudian memutuskan untuk memberikan tambahan lahan kepada para tokoh yang dianggap memberikan

jasa pada perjuangan organisasi 21 . Sedangkan untuk sisa lahan yang belum terbagi, organisasi kemudian mencadangkannya sebagai “lahan kolektif ” yang penggunaan dan pengelolaannya di serahkan untuk kepentingan organisasi (Wawancara dengan tokoh OTL, 16 Mei 2012). Untuk setiap anggota yang dianggap berjasa dan memiliki peran penting saat aksi pendudukan, menerima tambahan lahan garapan sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan. Lahan tambahan tersebut tidak sama luas, didasarkan pada seberapa besar “jasa” yang diberikan, umumnya berkisar antara 0.5 – 1.00 Ha.

106 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

Tambahan lahan garapan juga diberikan kepada anggota baru yang dianggap telah banyak membantu organisasi atau terpilih menjadi pengurus di tingkat OTL (wawancara dengan aktivis pendamping, 2011). Dalam hal ini, mereka yang dianggap sebagai tokoh pengambil keputusan mendapatkan tambahan luas lahan yang lebih besar.

Bagi anggota biasa dan anggota yang baru terlibat pasca pendudukan, memperoleh lahan garapan sebesar 0.25 Ha. Dengan catatan pembagian ini bisa dilakukan jika masih tersedia lahan dari lahan yang tersisa dan telah dikurangi untuk penggunaan pemukiman dan sarana umum. Besarnya lahan garapan yang diperoleh juga mempengaruhi besaran iuran anggota yang dikenakan kepada setiap anggota. Dalam hal ini, organisasi menetapkan iuran bulanan anggota sebesar Rp.500 untuk setiap penguasaan 0.25 Ha.

Meski tidak dibuat tertulis, namun terdapat aturan-aturan yang cukup ketat terkait dengan penggunaan dan penguasaan lahan garapan.Dalam hal ini, pengurus Organisasi tingkat Lokal (OTL) memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan setiap keputusan terkait penguasaan lahan.Organisasi tani, dalam hal ini SPP, melarang setiap anggotanya untuk menjual lahan garapan yang diperolehnya, baik kepada anggota maupun non anggota. Jika ada anggota yang merasa tidak mampu untuk menggarap maka lahan garapan diserahkan kembali kepada anggotalain yang dianggap membutuhkan atau mampu mengelola lahan, melalui pengurusnya,

dengan menghitung biaya produksi 22 yang telah dikeluarkan 23 . Organisasi lah yang kemudian memutuskan perihal penggarapan lahan tersebut. Aturan-aturan tersebut diterapkan secara ketat, dan untuk setiap pelanggaran organisasi kemudian memberikan sanksi

yang ditetapkan dalam pertemuan OTL 24 .

Organisasi mewajibkan setiap lahan yang telah didistribusikan digarap secara maksimal oleh anggota. Penentuan komoditas

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 107

tanaman diputuskan melalui mekanisme pertemuan di tingkat lokal. Begitu pula waktu dan teknis penanaman.