SERIKAT PETANI PASUNDAN DAN GERAKAN PENDUDUKAN TANAH

SERIKAT PETANI PASUNDAN DAN GERAKAN PENDUDUKAN TANAH

Dalam sejarah gerakan tani di Indonesia, perlawanan dalam bentuk aksi pendudukan tanah sudah mulai terjadi sejak pertengahan tahun 1980an (Firmansyah, Esrom Aritonang, Hegel Terome, Nanang S Hari, Syaiful Bahari, 1999: hal 165). Aksi-Aksi pendudukan kembali marak terjadi segera setelah jatuhnya rezim Orde Baru.. Jatuhnya rezim Orde Baru tampaknya telah menyediakan momentum yang tepat bagi gerakan aksi-aksi pendudukan tanah. Seperti juga terjadi di banyak wilayah di Indonesia, alasan mendasar para petani melakukan aksi pendudukan adalah ketiadaan sumber-sumber agraria yang dapat mereka akses, atau jika mereka sebelumnya pernah memilikinya maka sudah ada proses pengambilalihan yang dilakukan baik oleh Negara maupun perusahaan swasta hanya karena mereka tidak memiliki alat bukti kepemilikan yang sah (Safitri, 2009: hal.19).

DI Indonesia, organisasi gerakan yang secara terbuka menjadikan aksi pendudukan tanah sebagai strategi utama perjuangannya adalah Serikat Petani Pasundan (SPP) 1 . Sebuah Organsiasi massa Petani yang berada di wilayah Priangan Timur, yaitu Garut, Tasikmalaya, Ciamis. Secara terbuka organisasi tani ini di deklarasikan pada tahun 2000. Namun demikian proses pengorganisasian gerakannya sendiri telah cukup lama dilakukan oleh sejumlah aktivis mahasiswa di tiga kabupaten tersebut. Pada awalnya, organisasi ini adalah sebuah kelompok kecil mahasiswa yang melakukan advokasi dan pendampingan atas sejumlah kasus dan persoalan yang terjadi di wilayah Garut, Jawa Barat. Hubungan yang cukup intens dengan kelompok-kelompok aktivis mahasiswa di Bandung dan Jakarta pada akhirnya membawa kelompok kecil mahasiswa pada upaya advokasi kasus Sagara di Garut yang

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 89

Singkatnya, SPP lahir sebagai organisasi gerakan yang menantang rejim dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan kaum petani akibat timpangnya penguasaan atas sumber agraria dan terpinggirkannya hak-hak kaum petani. Bahkan SPP menyebut organisasinya sebagai organisasi pelopor yang berusaha menghilangkan struktur ketimpangan agraria dengan menempatkan kaum tani pada posisi yang cukup mulia dengan memberikan akses yang adil terhadap penguasaan, penataan dan pengelolaan tanah ( Faizah, Nurul, 2004) . Sejak awal kelahirannya, SPP memang mencoba untuk memperbaiki pola pengorganisasian serikat tani di wilayah Jawa Barat. Mengevaluasi kelemahan organisasi gerakan sebelumnya, SPP kemudian lebih mengedepankan aksi-aksi yang lebih politis dan tidak sekedar terjebak pada tuntutan ekonomis. Yang dimaksud dengan aksi-aksi yang politis adalah organisasi menggunakan tuntutan ekonomis di kalangan petani sebagai salah satu upaya penyadaran dan pengkondisian bagi kerja-kerja membangun identitas politik petani dan mengubah kebijakan yang terkait dengan persoalan-persoalan petani secara keseluruhan.

Dalam studinya mengenai gerakan sosial pedesaan, Bachriadi menyebut SPP sebagai salah satu organisasi tani yang memiliki basis anggota yang cukup besar di Indonesia pasca Reformasi. Berdasarkan data organisasi, hingga tahun 2006 jumlah keanggotaan mencapai 20.000 anggota dengan luas lahan pendudukan 14.311 Ha yang mencakup 150 wilayah lahan perkebunan dan kehutanan (Bachriadi, 2010).

90 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

Tabel 1. Data Sebaran Keanggotaan dan lahan pendudukan SPP Kabupaten

Jumlah

Luas Lahan Pendudukan OTL

Jumlah

(ha) Garut

Sumber: Bachriadi,Dianto, 2010: hal.307

Pilihan atas strategi pendudukan dilakukan sebagai upaya SPP untuk memperjuangkan hak dasar para petani atas tanah dan kehidupan yang lebih baik. Tingginya tingkat ketimpangan penguasaan lahanda kemiskinan di areal perkebunan dan kehutanan membuat organisasi ini kemudian meletakkan upaya penguasaan

lahan sebagai salah satu bentuk perjuangan utama mereka 3 . Oleh karenanya perluasan basis anggota dan wilayah pengorganisasian menjadi poin penting bagi SPP untuk mewujudkan tujuan perjuangan mereka.

Sepanjang tahun 2000 – 2004 Serikat Petani Pasundan mengalami masa pertumbuhan yang cukup cepat, dan berkembang menjadi organisasi gerakan tani yang memiliki pengaruh dalam peta gerakan tani di Indonesia. SPP terlibat dalam setiap inisiasi dan pembentukan sejumlah organisasi tani tingkat nasional. Di tingkat keorganisasian, SPP kemudian melakukan berbagai penataan organisasi dan menetapkan aturan-aturan yang ketat terutama mengenai mekanisme pengambilan keputusan organisasional Mengenai mekanisme organisasi, Keputusan organisasi tertinggi ada di tangan Kongres Pimpinan OTL yang sepenuhnya dijalankan oleh Sekretariat dibawah pimpinan seorang Sekjen (gambar 1). Pertanggung jawaban Sekretariat dilakukan kepada pimpinan

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 91

OTL dalam Kongres tahunannya. Meski demikian, tidak seperti organisasi formal umumnya, SPP tidak memiliki AD/ART yang tertulis. Semua keputusan dan perubahan-perubahan mengenai aturan yang berlaku dibuat dalam pertemuan pimpinan yang dikenal sebagai “refleksi tahunan“ SPP.

Gambar 1. Struktur Organisasi SPP

Kongres Dewan Pimpinan OTL

Koord. Kabupaten Sekretariat Jenderal

SEKRETARIAT

Koord. Wilayah

Pengurus OTL

Anggota

Sumber : Supriadi, Andi, Ibang Lukmanudin, Indra Agustiani, S. Maulana Rahayu (2005)

Perubahan politik di tingkat nasional dan dijalankannya desentralisasi politik sejak tahun 2004 membuat peluang-peluang politik organisasi menjadi terbuka. Sejak tahun 2004, SPP berhasil menmpatkan dua orang anggotanya menjadi anggota DPRD tingkat Kabupaten. Begitu pula peluang-peluang politik yang dimiliki para aktivis pendampingnya. Sejumlah anggotanya terlibat dalam Membesarnya gerakan dan luasan lahan-lahan yang diduduki membuat SPP menjadi salah satu organisasi yang memiliki posisi politik yang cukup kuat di tiga kabupaten tersebut. Kondisi ini didorong oleh perubahan politik pasca reformasi yang memberlakukan desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah.

92 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

Sejak tahun 2004, SPP berhasil menempatkan dua orang anggotanya dalam DPRD tingkat kabupaten.

Gambar 2 Pola Hubungan SPP dengan Organ Pendukung

YAPEMAS

Sekretariat Jenderal

FPPMG SPP Kab Garut FPMR

SPP Kab Tasikmalaya

FARMACI SPP Kab Ciamis

Sumber: Supriadi, Andi, Ibang Lukmanudin, Indra Agustiani, S. Maulana Rahayu (2005)

Organisasi Tani Lokal Di tingkatan lokal, basis SPP adalah para petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok berdasar kasus yang disebut dengan organisasi tani lokal (OTL). Organisasi Tani Lokal merupakan unit yang merepresentasikan kasus-kasus yang diperjuangkan oleh SPP. Pembentukannya selalu disesuaikan dengan perkembangan kasus, sehingga kadang satu OTL dapat mencakup beberapa desa atau juga bisa jadi satu desa dapat ditemukan 1-2 OTL. Hingga tahun 2006, OTL yang dimiliki oleh SPP di tiga Kabupaten mencapai 58 OTL. Oleh karenannya, perkembangan setiap OTL menjadi berbeda-beda, tergantung pada kasus dan soliditas yang terbangun di dalamnya. Bahkan jika dianggap terlalu “gemuk“, dapat juga satu OTL dipecah menjadi dua. Tujuannya agar tingkat soliditas dan keaktifan anggota dapat dijaga. Di setiap OTL, SPP juga mengembangkan struktur kepegurusan organisasinya, seperti pengurus, ketua dan anggota. Umumnya para pengurus OTL kemudian membentuk kelompok- kelompok penggarap berdasarkan letak garapan, yang dikenal dengan sebutan blok garapan.

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 93

menerima anggota atau mengeluarkan anggota jika dianggap melakukan pelanggaran organisasi. Umumnya yang disebut dengan pelanggaran organisasi adalah jika anggota tersebut dianggap tidak mematuhi kesepakatan yang telah dibuat bersama, baik di tingkat OTL, wilayah ataupun Kabupaten. Hal-hal seperti tidak mengikuti kegiatan organisasi tanpa alasan yang jelas, melakukan tindakan tanpa koordinasi sehingga membahayakan kedudukan organisasi dan menjual lahan yang telah di duduki dapat membuat anggota dikenakan sanksi, mulai dari sanksi disiplin hingga dikeluarkan dari keanggotaan. Pengurus juga, melalui mekanisme pertemuan OTL, yang kemudian melakukan penataan luas lahan garapan dan produksi. Hasil keputusan inilah yang kemudian dikoordinasikan dengan pengurus SPP di Sekretariat dan Sekjen (lihat gambar 1). Namun untuk keputusan-keputusan yang sifatnya lebih politis, seringkali Sekjen atau para pengurus SPP di „sekretariat pusat“ lah yang mengambil keputusan.

Penempatan petani sebagai basis utama organisasi seringkali membuat SPP menjadikan OTL sebagai inti dari organisasi serikat, oleh karena itu, para aktivis pendamping 4 yang berasal dari organ- organ pendukung 5 kemudian ditempatkan dalam unit-unit kerja yang bertugas mendorong dinamika di tingkat lokal dan menjadi ‘teman diskusi’ mengenai persoalan-persoalan organisasional. Para

aktivis pendamping ini memang tidak disebut sebagai anggota, 6 namun keterlibatan mereka sejak awal membuat Organisasi SPP memberikan penugasan kepada para aktivis pendamping yang tergabung dalam organ-organ pendukung untuk bertanggung jawab memperkuat basis organisasi di tingkat lokal.

Catatan yang cukup penting mengenai pola pengorganisasian SPP di tingkat lokal adalah kemampuan organisasi untuk menyerap budaya dan watak masyarakat yang hidup didalamnya. Dimana

94 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

kepemimpinan diberikan kepada mereka yang memiliki posisi sosial yang cukup tinggi, seperti guru, ulama, kepala dusun, ataupun preman. Mereka adalah tokoh-tokoh informal yang dianggap sebagai solidarity maker atau simbol pemersatu. Dalam hal ini organisasi cukup jeli membaca karakter sosial masyarakat di pedesaan, seringkali loyalitas tidak diberikan atas dasar pilihan politik, idelogi semata, namun lebih didasarkan pada kewibawaan, kesalehan dan kemampuan sang tokoh untuk memberikan perlindungan sosial

bagi para pengikutnya 7 . Oleh karenanya gagasan-gagasan mengenai kebersamaan dan keharmonisan menjadi lebih mengemuka ketika terjadi perbedaan di tingkat lokal. Keputusan pun pada akhirnya diserahkan kepada mereka yang dianggap lebih mengerti dan memahami persoalan ketimbang menyelesaikannya melalui diskusi. Kondisi ini yang oleh SKEPO dinilai sebagai salah satu kekuatan dan juga penghambat daya dobrak organisasi di tingkat lokal (SKEPO, 2002).