KOMODITAS TANAMAN DAN TUMBUHNYA AKTOR EKONOMI BARU

KOMODITAS TANAMAN DAN TUMBUHNYA AKTOR EKONOMI BARU

Pada tahun 2003, setelah lahan perkebunan mulai “dibersihkan” dari tanaman cokelat dan kopi, para penggarap diwajibkan untuk menanam pisang. Komoditas ini dipilih sebagai cara memperbaiki kesuburan lahan yang sebelumnya dipenuhi tanaman karet dan cokelat. Tanaman pisang juga dipilih mengingat situasi lahan pendudukan yang dianggap belum ‘aman’ dikuasai oleh para penggarap. Saat itu, bentrokan antara pihak perkebunan dengan para penggarap seringkali terjadi, jadi jika sewaktu-waktu tanaman ini ditebang atau dibakar oleh pihak perkebunan maka secara ekonomi hal itu tidak terlalu merugikan penggarap. Alasan lainnya, sebagian besar penggarap yang terlibat merupakan para petani yang sebelumnya memang tidak memiliki alat dan modal produksi yang memadai. Pengetahuan mereka mengenai pertanian non sawah umumnya sangat terbatas, jadi pilihan atas komoditas pisang dianggap pilihan yang cukup tepat pada saat itu. Bibitnya yang murah dan gampang diperoleh juga menjadi alasan meluasnya penanaman pisang di wilayah pendudukan.

Sepanjang periode 2000 hingga 2005, komoditas pisang membuat Cieceng dikenal sebagai menjadi pemasok buah ini di Kecamatan Cikatomas 25 . Sepanjang periode tersebut sebagian besar penggarap di Cieceng menggantungkan hidupnya dari hasil tanaman pisang. Meski berhasil memperbaiki tingkat perekonomian di wilayah ini, namun secara ekonomis komoditas ini dianggap tidak memberi keuntungan yang cukup besar. Harga pasar yang murah dan tanaman yang rentan terhadap hama membuat, pada

108 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

tahun 2005, komoditas ini secara perlahan mulai ditinggalkan oleh sebagian besar petani dan menggantinya dengan tanaman kayu, seperti albasiah dan jabon. Kayu dianggap lebih memiliki nilai ekonomi yang lebih besar. Selain itu komoditas kayu bukanlah tanaman monokultur, sehingga para penggarap masih dapat menanam tanaman jangka pendek lainnya dengan pola kebun campuran yaitu menanam tanaman-tanaman lain, seperti kapulaga (kapol) disela-sela tanaman kayu albasiah..

Peralihan dari pisang menjadi tanaman kayu albasiah juga didorong oleh SPP yang sedang berupaya mengubah ‘citranya’ di mata pemegang otoritas pemerintahan khususnya yang berkaitan pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Pada tahun 2006, SPP menginstruksikan kepada seluruh anggotanya untuk menanam tanaman jangka panjang, seperti kayu dan tanaman buah, untuk menunjukkan kepedulian organisasi pada, aspek pemeliharaan

lingkungan khususnya penghijauan dan reforestasi 26 . Instruksi tersebut dibuat karena sejak tahun 2004 oleh pemerintah daerah, pihak kepolisian, serta kalangan “pemerhati lingkungan 27 ” SPP seringkali dinyatakan sebagai organisasi penjarah dan perambah hutan yang menyebabkan kerusakan lingkungan diwilayah Priangan

Timur 28 . Bahkan pada tahun 2008, sekjen SPP sempat diperiksa oleh Polda Jawa Barat dengan tuduhan menjadi “aktor intelektual” pembalakan liar di wilayah Kabupaten Ciamis 29 . Namun, proses politik dan desakan kelompok gerakan, baik di tingkat nasional maupun lokal 30 , serta kampanye mengenai sejumlah aktivitas organisasi menjaga lingkungan membuat SPP berhasil melepaskan diri dari tuduhan tersebut.

Di tingkatan lokal, perubahan jenis tanaman membawa konsekuensi pada munculnya sejumlah kebutuhan baru seperti peningkatan pengatahuan teknis pertanian, penyediaan bibit dan

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 109

akses pasar yang berbeda dengan komoditas sebelumnya. Tanaman kayu albasiah membutuhkan bibit yang harganya relatif tinggi 31 . Meski kewajiban untuk menanam komoditas kayu diinstruksikan oleh organisasi, namun pemenuhan bibit tanaman ini harus dilakukan secara mandiri oleh masing-masing OTL. Di Cieceng sendiri, pemenuhan kebutuhan bibit diserahkan kepada sejumlah tokoh atau anggota yang dianggap memiliki pengetahuan mengenai tanaman ini serta jaringan permodalan. Sepanjang 2006-2011, introduksi tanaman kayu albasiah pada gilirannya memunculkan sejumlah aktor ekonomi baru di tingkatan lokal.

PT Bina Kayu Lestari

Para aktor ekonomi baru ini yang disebut bandar merupakan penghubung dan perantara antara petani dengan pasar. Di Cieceng, hubungan tersebut terbentuk dalam skema kemitraan “dealer dan

ranting” 32 dengan perusahaan kayu PT. Bina Kayu lestari (BKL) 33 – sebuah perusahaan pemasok bahan baku kayu yang berlokasi di Tasikmalaya. Pola tata niaga ini menjamin perusahaan terus mendapat pasokan bahan baku (kayu albasiah) dalam jangka waktu yang panjang dan harga yang stabil. Begitu pula biaya produksi yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan – yakni sewa lahan, upah tenaga kerja, dan biaya pemeliharaan tanaman lahan dan tanaman

dapat diminimalisir dan dibebankan kepada mitra 34 . Dalam pola ini, PT BKL berperan sebagai dealer yakni perusahaan pengolahan kayu gelondongan (log) yang memasok bahan baku ke pabrik-pabrik atau perusahaan penghasil barang-barang berbahan baku kayu albasiah. Pt. BKL yang kemudian membangun jaringan

agen pengepul 35 bahan baku di tingkat kecamatan. Para agen inilah yang bertugas mencari lahan dan merangkul para bandar di desa sebagai penjamin pasokan bahan baku (kayu) ke perusahaan.

110 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

Para agen berperan sebagai penjamin bandar yang akan memasok kayu olahan ke perusahaan. Para agen ini pula yang menghubungkan para bandar dengan perusahaan untuk kebutuhan

teknis pertanian, antara lain penyediaan bibit dan pupuk 36 , agar

kualitas kayu yang dikirm ke perusahaan dapat sesuai dengan standar yang dikeluarkan perusahaan. Dalam hal ini para agen juga memberikan jaminan kepada bandar yang dianggap mampu memenuhi kuota perusahaan untuk mendapat pinjaman mesin pemotong kayu (sawntimber). Sehingga para bandar dapat langsung mengirimkan kayu olahan awal ke perusahaan. Dalam hal ini seluruh

kayu yang diproses langsung dibeli oleh pihak perusahaan 37 .

Gambar 5. Skema distribusi kayu Albasiah

PT BKL

Pasokan log kayu ke perusahaan

Bantuan sarana dan teknis pertanian

Pabrik Penggergajian Proses pembayaran perusahaan ke Bandar

BANDA R BANDA R

BANDA R

BANDA R

BANDA R

PETANI

Sumber: diolah dari data primer tahun 2011

Bandar lah yang kemudian mengambil peran pengepul di tingkat desa dengan tugas menyediakan lahan dan menjamin tersedianya pasokan kayu dari lahan-lahan tersebut yang kemudian sepenuhnya akan dikirim dan dijual kepada perusahaan. Keuntungan yang diterima oleh para bandar, selain selisih harga beli juga komisi akhir bulan yang diberikan jika pasokan kayu yang dikirim memenuhi standard dan kuota bulanan yang ditetapkan oleh perusahaan.

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 111

Meskipun para bandar tersebut langsung mengirimkan kayu ke perusahaan, namun demikian untuk hubungan adminsitrasi pembayaran kayu mereka harus mengambil dan menerimanya dari para agen (gambar 4). Relasi ekonomi yang bertingkat ini memang dibangun untuk mencegah para bandar menjual kayu kepada perusahaan lain. Sedangkan hubungan transaksi bandar dengan perusahaan melalui para agen dibangun untuk mencegah para bandar berpindah agen.

Bandar dan penguasaan produksi

Dihh wilayah Cieceng, para bandar ini adalah sejumlah tokoh atau anggota organisasi yang sejak awal menguasai akses jaringan dan pemenuhan kebutuhan pertanian untuk OTL. Mereka umumnya memang telah lama berprofesi sebagai bandar atau pemilik angkutan pertanian. Di Cieceng, terdapat lima orang Bandar yang sebelum bergabung dengan organisasi memang sudah berprofesi sebagai pedagang (Bandar). Mereka termasuk dalam kelompok pertama yang bergabung dan menjadi pengurus organisasi di tingkat lokal. Keterlibatan mereka dalam aksi pendudukan juga lebih dilatari oleh kepentingan ekonomi. Pada saat itu, pihak perkebunan melarang para Bandar tersebut untuk melintasi areal perkebunan dan mendirikan bangunan sementara yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan (Wawancara dengan H (35 th) salah seorang Bandar kayu, 19 Mei 2012).

Terkait dengan komoditas kayu albasiah dan usaha penggergajian kayu, para Bandar inilah yang kemudian menguasai jalur produksi dan distribusi di wilayah Cieceng dan menjadi pemasok untukPT. Bina Kayu Lestari (BKL). Jaringan usaha yang telah mereka miliki dan usaha angkutan hasil produksi membuat para Bandar tersebut dapat berhubungan dengan agen besar pemasok kayu bagi PT BKL

112 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

untuk wilayah Kecamatan Cikatomas. Melalui agen kayu tersebutlah kemudian Bandar mendapat pinjaman mesin pemotong kayu dan mendirikan pabrik penggergajian kayu sehingga dapat langsung dipercaya memasok kayu albasiah ke pabrik-pabrik pengolahan milik PT BKL di Kabupaten Tasikmalaya (wawancara dengan salah seorang Bandar, 21 Mei 2011).

Pada tahap ini kedudukan seorang bandar di dalam organisasi (OTL) menjadi penting untuk memperluas dan mengamankan pasokan hasil produksinya. Karena keputusan-keputusan mengenai komoditas tanaman yang dapat ditanam di wilayah pendudukan sepenuhnya diputuskan dalam pertemuan organisasi. Melalui pertemuan-pertemuan kelompok, para bandar yang juga merupakan anggota organisasi secara proaktif mendekati para penggarap dan memperkenalkan komoditas kayu dengan memberi harapan akan keuntungan yang lebih besar dibanding tanaman lain yang selama ini diusahakan di Cieceng. Untuk mempercepat proses seringkali para bandar langsung membantu petani menanam bibit-bibit kayu albasiah ini di lahan garapannya. Begitu pula mereka (para bandar) secara aktif membuat diskusi-diskusi dengan mendatangkan konsultan-konsultan perkebunan dari luar wilayah, untuk memberi pengarahan kepada para petani mengenai pemeliharaan tanaman albasiah. Para konsultan umumnya adalah penyuluh pertanian dari dinas pertanian atau dinas kehutanan tingkat Kabupaten,kadang juga sejumlah ahli pertanian yang di pekerjakan oleh PT. BKL sebagai konsultan teknis mereka.

Biaya perawatan yang tidak sukar dan tahan terhadap penyakit, ditambah bibit tanaman yang didapat dengan harga “khusus” 38 membuat tanaman albasiah secara cepat diterima dan dikelola oleh petani-petani penggarap di Cieceng menggantikan tanaman pisang. Pilihan atas komoditas ini lebih didasarkan pada harga komoditas

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 113

ini yang relative tidak banyak mengalami perubahan. Berbeda dengan komoditas pisang yang dapat dipanen dua kali dalam satu tahun, tanaman albasiah hanya bisa dipanen jika usia tanaman minimal sudah diatas 3 tahun. Bagi para penggarap yang mempunyai lahan milik di luar wilayah pendudukan, biasanya mereka menyandarkan pemenuhan kebutuhan ekonominya dari hasil lahan miliknya tersebut. Sebagian besar lainnya, mereka yang memang sejak terlibat dalam organisasi menggantungkan hidupnya dari hasil lahan pendudukan memiliki pilihan yang lebih terbatas. Biasanya mereka terlibat menjadi buruh di pabrik penggergajian kayu, baik sebagai buruh potong, buruh tebang ataupun buruh angkut. Namun demikian tidak terlalu banyak penggarap yang terlibat dalam industri pengolahan kayu ini. Alasannya karena

pekerjaan yang terlalu berat dan upah yang minim 39 . Untuk mengatasi persoalan tersebut, kebanyakan penggarap menanam tanaman lain di sela-sela tanaman albasiah, seperti kapulaga (kapol). Pemilihan komoditas sampingan ini juga dipengaruhi oleh modal, pemasaran dan teknologi pengolahannya yang sederhana. Kapulaga dianggap sebagai komoditas yang tidak cepat busuk, yang akan mempengaruhi harga jual. Pada umumnya petani menjual hasil tanaman dalam kondisi basah, tanpa perlakuan khusus. Perlakuan khusus dalan bentuk penjemuran dengan sinar matahari, jarang dilakukan karena petani ingin cepat menjual dan segera mendapat uang untuk biaya hidup harian. Hasil dari komoditas kapulaga inilah yang menjadi tambahan penghasilan bagi para penggarap untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sebelum kayu albasiahnya dapat di panen.

Sementara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendesak, menjual kayu ketika masih berupa tanaman muda (jual ijon) juga banyak ditemui di Cieceng. Untuk tanaman albasiah di

114 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

bawah usia 2 tahun, harga yang ditawarkan umumnya berkisar 300.000 per pohon (wawancara dengan penggarap, 19 Mei 2012). Dalam membeli kayu dan menetapkan harga untuk tanaman di bawah usia 2 tahun, bandar umumnya akan menghitung rata-rata harga jual. Sedangkan untuk penjualan tanaman yang sudah layak tebang, para bandar akan menghitung berdasarkan pada diameter tegakan atau per meter kubik jika tanaman telah ditebang sendiri oleh para petani.

Umumnya petani akan memilih untuk menjual dalam bentuk tegakan berdiri karena perhitungan biaya panen yang dianggap cukup besar jika dilakukan sendiri oleh para petani. Umumnya biaya yang ditimbulkan memang bervariasi tergantung pada letak kebun dan luasan lahan garapan. Namun secara umum biaya yang dikeluarkan terdiri dari : biaya tebang, biaya panggul dan angkut. Paling tidak untuk luasan 0.5 hektar, pekerja yang dibutuhkan 3 orang untuk setiap aktivitas, dengan upah antara Rp. 15.000 – Rp.

20.000 per pekerja untuk setiap kubik 40 . Sehingga biaya rata-rata yang harus dikeluarkan oleh para petani berkisar Rp. 2.000.000 hingga Rp. 3.000.000.

Pilihan untuk ‘memborongkan” hasil panen menjadi pilihan realistis para penggarap. Lokasi kebun yang cukup jauh dari prasarana jalan dan sulitnya mendapatkan buruh angkut membuat mereka tidak memiliki banyak pilihan ketika berhadapan pilihan yang di tawarkan oleh bandar. Pemilihan bandar juga lebih didasarkan pada kedekatan hubungan antara penggarapdan Bandar, biasanya ikatan kekerabatan atau ikatan ekonomi diantara keduanya, atau hubungan keorganisasian yang terbangun didalamnya. Dalam hal keorganisasian, Bandar biasanya adalah ketua kelompok atau orang yang mempunyai pengaruh dalam setiap proses pengambilan kebijakan di tingkat lokal. 41

Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan

PasCa reformasi 115

Bagi para bandar yang memiliki pabrik penggergajian, maka kayu mentah tersebut langsung diolah dan dikirm ke perusahaan kayu di Tasikmalaya. Namun bagi bandar yang tidak memiliki mesin penggergajian maka pilihannya adalah membawa kayu tersebut langsung ke agen di kota kecamatan atau menitipkan

kayunya dengan bayaran tertentu 42 kepada bandar yang memiliki pabrik penggergajian. Para bandar memang tidak bisa menjual kayu gelondongan langsung ke pabrik. Hal ini karena PT BKL hanya menerima kayu-kayu setengah jadi dengan alasan untuk meningkatkan nilai jual. Ketergantungan pabrik penggergajian pada pasokan kayu dan kebutuhan bandar untuk mengolah kayunya menciptakan proses seleksi penguasaan jalur produksi dan distribusi tersendiri, dimana pada akhirnya hanya bandar yang memiliki pabrik penggergajian kayu yang akan bertahan. Para bandar inilah yang kemudian menguasai jalur produksi dan pasokan kayu olahan.

Dari 5 orang bandar besar yang ada di Cieceng, 3 orang diantaranya memiliki pabrik penggergajian kayu. Ketiganya merupakan anggota SPP dan menjadi pemasok kayu untuk PT BKL, namun tidak berada dalam satu agen yang sama.