MASALAH-MASALAH AGRARIA DI INDONESIA

MASALAH-MASALAH AGRARIA DI INDONESIA

Bachriadi dan Wiradi (2011) menyebutkan paling tidak terdapat dua persoalan agraria di Indonesia yang masih bertahan saat ini, yaitu: ketimpangan distibusi tanah dan konflik agraria. Dalam bukunya tersebut keduanya menyebutkan, paling tidak terdapat dua jenis ketimpangan distribusi tanah, yaitu: 1) ketimpangan antara penyediaan lahan untuk kegiatan ekstraksi, dengan tujuan mencari keuntungan bagi perusahaan-perusahaan besar, dan penyediaan lahan bagi aktifitas pertanian rakyat. 2) ketimpangan distribusi tanah di antara kelompok-kelompok petani (Bachriadi & Wiradi, 2011, hal. 12). Dalam analisa selanjutannya, keduanya menyebutkan bahwa dua bentuk ketimpangan itulah yang dari waktu ke waktu terus terpelihara. Strategi pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi membawa implikasi pada perubahan struktur agraria di Indonesia. Arah pembangunan yang lebih mengedepankan ekspor komoditas ini cenderung lebih memberi prioritas pada investasi industri skala besar, khususnya industri ekstraktif, telah meminggirkan petani dibanyak wilayah pedesaan di Indonesia. Akibatnya tentu saja ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia menjadi semakin tajam. Dalam konteks penyediaan pangan, rencana percepatan pembangunan ini secara jelas akan menggeser kemampuan masyarakat dalam menyediakan pangan untuk kebutuhan sendiri ke tangan industry-industri besar baik yang melakukan usahan pertanian di Indonesia maupun melalui jalur perdagangan import.

Salah satu bentuk konsentrasi penguasaan lahan untuk aktivitas agro-industri skala besar adalah alokasi dan penguasaan lahan untuk pembangunan perkebunan-perkebunan besar kelapa sawit, yang secara intensif didorong perkembangannya sejak tahun 2002 akibat peningkatan permintaan minyak sawit (CPO) di pasar dunia

266 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

khususnya sejak muncul kesepakatan global untuk meningkatkan peningkatan penggunaan bahan bakar nabati (biofuel). Dengan target menjadi negara pengekspor minyak sawit (CPO) terbesar di dunia, pemerintah Indonesia telah membuka sembilan juta hektar dari alokasi sekitar 20 juta hektar untuk pengembangan kebun sawit. Peningkatan luar biasa penyediaan lahan bagi komoditas ini membawa implikasi pada tingginya konversi pemanfaatan lahan, baik lahan-lahan dari kawasan hutan maupun lahan pertanian skala kecil, untuk dijadikan industri perkebunan sawit skala besar. Ironisnya, perluasan wilayah tanam tersebut tidak diikuti oleh peningkatan industry pengolahannya. Hal tersebut tentu saja membuat Indonesia hanya menjadi sebuah “perkebunan besar” yang sekedar menyediakan lahan dan tenaga kerja. Contoh lain adalah mega proyek MIFEE, dimana meski mendapat kritik tajam sepanjang lima tahun terakhir, namun krisis energi dan pangan membuat industri kelapa sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan. Bahkan, pada Februarai 2010, pemerintah menyiapkan lahan seluas 1.6 Juta Hektar di wilayah Merauke, Papua, untuk megaproyek yang dikenal dengan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Dalam berbagai keterangan resmi pemerintah megaproyek MIFEE disebutkan sebagai bagian dari masterplan percepatan pembangunan atau bagian dari proyek MP3EI (di koridor 6 Maluku-Papua) yang menempatkan Merauke sebagai “breadbasket” ketersediaan pangan di Indonesia. Tetapi melihat sejumlah komoditas yang diusahakan di kawasan megaproyek ini, besar kemungkinan lahan-lahan dalam proyek MIFEE tidak hanya diabdikan untuk penyediaan pangan tetapi juga untuk penyediaan bahan baku industry agro-fuel (Bachriadi, 2010; Bachriadi & Wiradi, 2011). Dalam papernya, (Ginting & Pye, 2011)menyebut MIFEE sebagai “text-book land grab” karena bentuk khasnya yang khususnya sejak muncul kesepakatan global untuk meningkatkan peningkatan penggunaan bahan bakar nabati (biofuel). Dengan target menjadi negara pengekspor minyak sawit (CPO) terbesar di dunia, pemerintah Indonesia telah membuka sembilan juta hektar dari alokasi sekitar 20 juta hektar untuk pengembangan kebun sawit. Peningkatan luar biasa penyediaan lahan bagi komoditas ini membawa implikasi pada tingginya konversi pemanfaatan lahan, baik lahan-lahan dari kawasan hutan maupun lahan pertanian skala kecil, untuk dijadikan industri perkebunan sawit skala besar. Ironisnya, perluasan wilayah tanam tersebut tidak diikuti oleh peningkatan industry pengolahannya. Hal tersebut tentu saja membuat Indonesia hanya menjadi sebuah “perkebunan besar” yang sekedar menyediakan lahan dan tenaga kerja. Contoh lain adalah mega proyek MIFEE, dimana meski mendapat kritik tajam sepanjang lima tahun terakhir, namun krisis energi dan pangan membuat industri kelapa sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan. Bahkan, pada Februarai 2010, pemerintah menyiapkan lahan seluas 1.6 Juta Hektar di wilayah Merauke, Papua, untuk megaproyek yang dikenal dengan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Dalam berbagai keterangan resmi pemerintah megaproyek MIFEE disebutkan sebagai bagian dari masterplan percepatan pembangunan atau bagian dari proyek MP3EI (di koridor 6 Maluku-Papua) yang menempatkan Merauke sebagai “breadbasket” ketersediaan pangan di Indonesia. Tetapi melihat sejumlah komoditas yang diusahakan di kawasan megaproyek ini, besar kemungkinan lahan-lahan dalam proyek MIFEE tidak hanya diabdikan untuk penyediaan pangan tetapi juga untuk penyediaan bahan baku industry agro-fuel (Bachriadi, 2010; Bachriadi & Wiradi, 2011). Dalam papernya, (Ginting & Pye, 2011)menyebut MIFEE sebagai “text-book land grab” karena bentuk khasnya yang

melihat wilayah sebagai ruang kosong yang dapat di eksploitasi secara massif.

Ketimpangan penguasaan lahan pada akhirnya mendorong meluasnya kemiskinan di wilayah pedesaan dan yang tentu saja berkontribusi pada makin meluas, dan intensnya konflik-konflik tanah (Bachriadi & Wiradi, 2011, hal. 43). Konflik agraria yang terus meluas juga menjadi indikasi akan parahnya ketimpangan penguasaan tanah dan/atau sumber daya alam lainnya (Bachriadi, 2004). Pada tahun 2011 saja KPA mencatat terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia yang melibatkan sejumlah 22 orang meninggal dunia. Konflik tersebut melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga dengan luas areal konflik mencapai 472.048,44 hektar. Dari 163 kasus yang terjadi, terdapat 97 kasus terjadi di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus terkait infrastruktur, 8 kasus di sektor tambang, dan 1 kasus terjadi di wilayah tambak/pesisir (KPA, 2011).Salah satu kasus yang menarik adalah konflik dan kekerasan yang terjadi di Mesuji, Lampung dan Bima.

Berdasarkan database yang dimiliki oleh KPA, tercatat sejak tahun 1970 hingga tahun 2001 sebanyak 1.753 kasus konflik agraria yang memiliki keragaman dalam jumlah, sebaran, dan pihak-pihak yang terlibat. Database KPA tersebut juga mencatat adanya 152 kasus yang terjadi dalam kurun waktu 2001-2008. Jumlah tersebut baru berdasarkan satu database, dan masih dapat diperbandingkan dengan catatan konflik agraria yang juga terdapat di YLBHI maupun sejumlah organisasi/lembaga pemerintah seperti KomNas HAM atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Menurut kompilasi data yang pernah disusun oleh ARC, YLBHI sendiri menerima sekitar 454 laporan kasus konflik agraria dari seluruh Indonesia antara tahun 2001 hingga 2008. Banyaknya

268 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL

jumlah laporan kasus yang tercatat pada kenyataannya berbanding terbalik dalam hal penanganan dan penyelesaiannya. Dari ratusan kasus yang terdapat di KomNas HAM antara tahun 2001-2008 hanya

60 kasus yang dapat ditangani. Hal ini tak jauh berbeda kasus-kasus yang menumpuk di di PTUN: dari 4.707 kasus yang tercatat antara 2001-2008 hanya 845 kasus saja yang bisa diselesaikan atau sekitar 17,9%. Jumlah konflik agraria yang tercatat sampai dengan tahun 2008 saja sudah mencapai ribuan dengan penyelesaian kurang dari 50% dari jumlah kasus per tahunnya. Hal ini menunjukkan rendahnya keseriusan – mungkin juga kurangnya kapasitas dari lembaga-lembaga tersebut – untuk menyelesaikan konflik agraria.

Catatan dari KPA, KomNas HAM, YLBHI dan PTUN juga memperlihatkan bahwa setiap tahunnya jumlah konflik agraria yang terjadi selalu bertambah, sehingga sangat terbuka kemungkinan adanya penambahan jumlah konflik yang terjadi pada tahun 2009 hingga 2011 ini. Selain dari segi jumlah, yang harus juga diperhatikan adalah keragaman sebaran dan pihak yang terlibat dalam konflik agraria yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, karena kebijakan agraria pemerintah yang semakin membuka kesempatan sebesar- besarnya bagi masuknya investasi skala besar.

Tingginya angka konflik yang berbanding terbalik dengan rendahnya keseriusan atau kapasitas dari lembaga-lembaga, baik yang merupakan lembaga pemerintah maupun ornop, dalam menyelesaikan konflik-konflik tersebut seharusnya dapat menjadi bagian penting dari advokasi perubahan kebijakan agraria maupun isu yang mendorong perubahan kapasitas dari lembaga-lembaga tersebut di atas. Sangat minim mengenai alasan-alasan utama yang menyebabkan lembaga-lembaga tersebut sedikit ‘mengabaikan’ penanganan konflik-konflik agraria yang masuk/diadukan oleh masyarakat ke mereka.

keCenderungan advokasi gerakan dan kebijakan agraria nasionaL PasCa reformasi