PERUBAHAN PENGUASAAN TANAH DI ATAS LAHAN PENDUDUKAN PASCA REFORMASI
PERUBAHAN PENGUASAAN TANAH DI ATAS LAHAN PENDUDUKAN PASCA REFORMASI
(Studi kasus Tanah Cieceng, Desa Sindangasih Tasikmalaya)
Tri Agung Sujiwo
latar Belakang
Pola penguasaan tanah di Indonesia pasca reformasi tidak bisa dilepaskan dari persoalan agraria yang diwariskan oleh Orde Baru. Kebijakan pertanahan Orde Baru yang lebih menomorsatukan pengusaha dan penguasa pada akhirnya hanya menyingkirkan petani kecil dari lahan garapannya. Besarnya konfik dan sengketa agraria pada masa Orde Baru pada akhirnya memicu sejumlah gerakan perlawanan dalam bentuk aksi protes dan aksi pendudukan tanah(Bachriadi, 2009; Fauzi and Zakaria 2002). Sepanjang periode kekusaan Orde Baru, rentetan perlawanan, baik terbuka maupun diam-diam terus dilakukan oleh sejumlah organisasi tani di indonesia. Dalam hal ini, gerakan perlawanan di pedesaan merupakan salah satu motor oposisi utama terhadap kekuasaan rezim (Aspinall, 2004: 61-96). Kejatuhan rezim dan hilangnya kontrol negara di wilayah pedesaan membuat sejumlah organisasi tani dan mereka yang kehilangan tanahnya segera merespon perubahan politik tersebut secara terbuka dalam bentuk aksi-aksi pendudukan lahan (Bachriadi and Lucas, 2000; Bachriadi 2010, Wahyudi 2005, 1999; Mustain 2008,) Sejumlah kalangan menilai
84 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL
bahwa sesungguhnya aksi pendudukan lahan sebagai salah satu upaya mendorong perbaikan pola penguasaan dan struktur agraria (Bachriadi 2010; Bachriadi and Lucas 2000; Setiawan 1997; Lucas and Warren 2001; Paige 1978; Rocha and Branford 2002). Peluang politik yang terbuka dan masifnya aksi-aksi pendudukan yang dilakukan merupakan upaya mendorong perubahan pola penguasaan tanah dan memperbaiki struktur sosial dipedesaan Dalam tulisan lainnya, Lucas and Warren, melihat aksi pendudukan sebagai salah satu implikasi akibat berlarut-larutnya penyelesaian konflik dan sengketa agraria di masa Orde Baru (Lucas and Warren, 2003; Setiawan 1997; Bahari,2000; Aritonang, Esrom, Hegel Terome, Firmansyah, Syaiful Bahari, Nanang Hari S, 1999). Perubahan politik ke arah sistem politik yang lebih demokratik juga membawa persoalan baru bagi organisasi tani. Mereka harus kembali memikirkan ulang sejumlah strategi dan metode gerakan untuk menghadapi rejim saat ini. Ketidaksiapan untuk merespon perubahan situasi dan politik dalam menghadapi karakter rejim neo liberal dengan gagasan reforma agrarian pro pasarnya, membuat sejumlah organisasi tani terlihat tidak mampu menandingi gagasan tersebut bahkan –ironisnya— menerima gagasan reforma agraria pro pasar tersebut.
Di sisi lain, organisasi-organisasi tersebut juga menghadapi persoalan untuk mempertahankan konsolidasi organisasi dan gerakannya. Aksi-aksi perebutan hak atas tanah yang mereka organisir sejak satu setengah atau dua dekade yang lampau saat ini tidak hanya masih menghadapi tantangan dari luar, tetapi juga dari anggota-anggota organisasi tani itu sendiri. Tantangan internal itu muncul akibat dari adanya perbedaan dan pertukaran kepentingan yang berkembang secara alamiah di antara dua kelompok yang menjadi aktor utama dalam gerakan mereka khususnya dan gerakan pro reforma agraria pada umumnya, yakni kelompok ‘para
Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan
PasCa reformasi 85
aktivis terdidik di perkotaan’ dan ‘petani’ yang sehari-hari harus menghadapi persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan produksi (Bachriadi, 2010). Bagi para aktivis terdidik di perkotaan, organisasi gerakan merupakan suatu wadah untuk mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan politik yang lebih jauh. Dan aksi-aksi pendudukan lahan menjadi salah satu upaya menantang otoritas Negara. Sedangkan bagi kelompok petani, kepentingan utama mereka adalah mendapatkan tanah dan mengamankan kepentingan ekonomi mereka tanpa “memperdulikan’ kepentingan politik didalamnya (Bachriadi 2010: hal 353).
Dalam studinya, Bachriadi menyebutkan bahwa pertarungan kepentingan diantara para pemimpin gerakan dan terbukanya ruang politik pasca reformasi membuat para aktor yang terlibat didalamnya memiliki peluang lebih besar untuk mengejar kepentingan-kepentingan individualnya. Situasi tersebutlah yang membuat upaya mendorong pelaksanaan reforma agraria yang lebih radikal menjadi lemah (Bachriadi, 2007: hal. 372).
Pada tataran lokal, gagasan reforma agraria yang diusung untuk menghilangkan ketimpangan penguasaan lahan dan melakukan perubahan struktural di Indonesia seolah berhenti setelah para petani berhasil mendapatkan lahan dari aksi pendudukan tanah mereka. Pada prakteknya, kondisi tersebut semakin menjauhkan pada upaya untuk menjalankan reforma agraria secara sungguh-sungguh. Yang dimaksud dengan menjalankan reforma agraria dengan sungguh-sungguh adalah serangkaian upaya untuk mengubah struktur sosial ekonomi diwilayah pedesaan, dan tidak sekedar melakukan redistribusi lahan diantara para penggarap (anggota). Dalam studinya, Wahyudi melihat bahwa perbedaan kepentingan dan tidak berjalannya organisasi menjadi salah satu alasan aksi- aksi pendudukan tanah berhenti hanya pada upaya legalisasi tanah
86 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL
belaka (Wahyudi, 2005). Masih sedikit sekali ditemukan upaya melakukan aksi pendudukan tanah sebagai upaya awal melakukan perubahan yang lebih struktural, yakni penataan ulang relasi dan corak produksi di wilayah pedesaan secara keseluruhan
Latar belakang diatas menjadi dasar penelitian ini untuk melihat pola penguasaan lahan dan perubahan ekonomi pasca aksi pendudukan. Wilayah yang di pilih adalah Dusun Cieceng, Desa Sindangasih Kecamatan Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya.
Di wilayah tersebut pada periode 1998 -2003 sekitar 800 orang menduduki 600 hektar lahan perkebunan yang dikuasai oleh PTPN
VIII Bagjanegara (Mismuri, 2002). Di atas lahan pendudukan tersebut kemudian organisasi petani mendorong anggotanya untuk masuk dan menjadikan wilayah hunian baru melakukan sejumlah upaya penataaan ekonomi pasca redistribusi. Penguasaan penuh organisasi tani tingkat lokal di kedua wilayah dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan dinamika yang cukup tinggi. Pola penguasaan dan produksi yang pada awal pendudukan lebih cenderung menekankan kolektivitas perlahan berubah menjadi pola penguasaan individual.
Akibatnya, secara perlahan muncul diferensiasi kelas berdasarkan penguasaan tanah di wilayah pendudukan tersebut. Mekanisme distribusi lahan yang cenderung memberikan porsi lahan lebih besar kepada pengurus dan elit organisasi, menjadi salah satu penyebab munculnya perbedaan kelas tersebut. Mereka yang diuntungkan dengan mekanisme distribusi lahan tersebut mampu memperbaiki bahkan memperluas kegiatan-kegiatan ekonomi pertaniannya. Sementara sebagian lainnya, mereka yang menggarap dan menguasai lahan kecil, berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Pada gilirannya perubahan pola relasi produksi dan ekonomi yang terbentuk juga mendorong terjadinya
Perubahan Penguasaan tanah di atas Lahan Pendudukan
PasCa reformasi 87
perubahan konsentrasi penguasaan lahan. Sebagian petani, dengan alasan kebutuhan ekonomi, kemudian meninggalkan lahan garapannya dan kembali mencari pekerjaan di kota-kota sekitarnya. Lahan yang di tinggalkan diserahkan kembali kepada pengurus organisasi atau secara diam-diam dijual kepada anggota lainnya. Sementara sebagian lainnya, menjual tenaganya kepada mereka yang menguasai lahan lebih besar.
Dalam studinya, Ribbot dan Peluso (2003) juga menyinggung penting untuk memperhatikan mekanisme dan kontrol akses yang memungkinkan setiap aktor yang terlibat didalamnya mengambil keuntungan atas kontrol yang dimilikinya (Ribot and Peluso, 2003: hal. 153-181). Seringkali mereka yang memiliki kontrol atas akses akan memiliki peluang lebih besar memperoleh profit dan mengakumulasi keuntungannya dibandingkan mereka yang memiliki klaim atas kepemilikan alat produksi (property). Pendekatan untuk lebih melihat pada kontrol terhadap akses inilah yang digunakan dalam mempelajari proses perubahan lahan di wilayah Cieceng.
Berdasarkan sejumlah perkembangan yang terjadi pasca pendudukan tanah seperti yang secara ringkas tergambar di atas memunculkan sejumlah pertanyaan yang menjadi pertanyaan- pertanyaan pokok dalam penelitian tulisan ini yang hendak dilakukan. Tulisan ini hendak melihat perubahan penguasaan tanah yang terjadi setelah organisasi tani melakukan redistribusi lahan secara mandiri. Bagaimana pola pengusaan lahan di atur, dan bagaimana perkembangannya kemudian. Jika bisa dipahami alasan-alasan dan latar belakang tersebut, maka secara empirik faktor-faktor apa saja yang seharusnya dijadikan perhatian untuk memperkuat suatu upaya yang menjadi bagian dari program land reform – dari mana pun inisiatif itu berasal.
88 dari LokaL ke nasionaL, kembaLi ke LokaL