Amae Dalam Kelompok Masyarakat Jepang

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa ninjo menyambut baik sikap menggantungkan atau mempercayakan diri, sedangkan giri mengikat orang-orang dalam suatu hubungan ketergantungan. Masyarakat Jepang di masa lampau, dimana giri dan ninjo merupakan konsep etika yang utama, tanpa berlebihan dapat digambarkan sebagai suatu dunia yang secara menyeluruh dijiwai oleh amae.

2.3 Amae Dalam Kelompok Masyarakat Jepang

Penerapan amae tidak saja diberlakukan dalam keluarga, akan tetapi juga direalisasikan dalam lembaga atau perusahaan Jepang. Dalam pengertian amae dalam keluarga dengan amae dalam perusahaan sebenarnya memiliki arti yang sama persis, hanya saja bila dalam keluarga terdapat ibu dan anak, sedangkan dalam perusahaan terdapat pimpinan dengan karyawan atau atasan dengan bawahan. Amae dalam perusahaan memiliki prinsip yang sama dengan amae dalam keluarga, yaitu kebaikan, hasil perlindungan pimpinan terhadap karyawannya sekaligus ketergantungan antara keduanya. Hubungan antar pribadi ini diliputi dengan” kepercayaan dan keyakinan”. Dan semua orang mempunyai sifat amae, yaitu kebutuhan untuk mengadukan semua kesulitannya kepada orang yang ia percayai, dengan kata lain seseorang membutuhkan orang lain yang akan membebaskannya dari beban kejiwaan. Bagi masyarakat Jepang, budaya dependensi atau ketergantungan dinilai positif. Melalui budaya ini seseorang akan menghargai pihak lain yang membantunya, hal mana akan mengantar yang dibantu untuk berbuat serupa pada pihak lain. Budaya ini juga akan mendidik seseorang untuk selalu menghargai pihak lain kendati ia telah Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. mencapai puncak kesuksesan Satsuki Kawano dalam http:www.mail- archive.combalita-andaindoglobal.com .Pada umumnya hubungan antar manusia di Jepang berdasarkan hubungan vertikal atau atasan dan bawahan. Memang tidak ada yang luar biasa pada masyarakat yang berdasarkan hirarki atasan dan bawahan ini, sebab hampir semua masyarakat berdasarkan struktur ini. Perbedaan masyarakat vertikal Jepang dengan masyarakat lainnya terletak pada hubungan khusus, tunggal, antar perorangan, dan antar kelompok-kelompok. Menurut Nakane 1981: 26, struktur masyarakat Jepang yang berupa hubungan atasan – bawahan itu, berdasarkan derajat “ego terpusat”, yang merupakan dasar utama bagi aturan sosial negara tersebut. Derajat ini tidak hanya membentuk sikap dan tingkah laku, tetapi juga mempengaruhi sifat, kepribadiaan, pekerjaan, kemampuan, dan prestasi. Bila derajat dalam struktur atasan – bawahan merupakan satu sisi sosial di Jepang, maka sisi lainnya berupa dorongan dalam diri mereka untuk membentuk kelompok dan menyatu dalam kelompok itu berdasarkan keakraban dan aktivitas. Baik derajat maupun pengelompokan, sebagai mekanisme sosial dan ekonomi, berakar dari kebudayaan Jepang masa lalu dengan masyarakatnya yang terbagi atas berbagai kelompok, kelas, dan pekerjaan. Masing-masing kategori ini dan semua anggota yang berada di dalamnya, diatas derajatnya secara vertikal yang dimulai oleh buruh kecil pelayan, dan meningkat ke pimpinan, kepala desa kota, dan akhirnya sampai kepada kaisar. Dalam penggambarannya, Takeo Doi menjelaskan pola amae dalam system kerajaan di Jepang. Dikatakannya bahwa Kaisar dalam kedudukannya sebagai Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. pemimpin Negara sering dimanfaatkan sebagai tempat yang diharapkan oleh orang- orang yang berada di sekelilingnya untuk menangani segala persoalan yang telah diserahkan kapadanya, besar atau kecil, termasuk masalah pemerintahan Negara. Di lain pihak, Kaisar sama sekali tergantung pada mereka yang berada di sekililingnya, walaupun secara status atau kedudukan, mereka yang berada di sekililing kaisar adalah pembantu-pembantu Kaisar. Jika dilihat dari sifat ketergantungannya, Kaisar tidak ubahnya seorang bayi dalam pangkuan ibunya. Namun, kedudukannya merupakan posisi tertinggi dalam negaranya, dan hal ini sebagai kenyataan dan bukti bahwa masyarakat Jepang memberikan tempat yang terhormat bagi sikap yang kekanak-kanakan yang menggantungkan diri memanjakan diri dan hal ini mencerminkan budaya amae 蒴恒 . Selanjutnya takeo Doi mengatakan bahwa jiwa amae selalu bersemayam dalam hati sanubari tiap-tiap orang Jepang, yaitu melalui kebiasan-kebiasaan masyarakat yang memiliki kaitan dengan sistem kaisar. Contohnya, dalam berbicara dengan kaisar selalu digunakan bahasa hormat, dan sampai sekarang bahasa hormat itu masih digunakan apabila berbicara dengan seseorang yang dihormati sebagai ungkapan perasaan untuk menghormati lawan berbicara yang mempunyai kedudukan tinggi. Ada suatu persamaan kuat antara penghormatan terhadap seseorang yang dihormati dengan cara berbicara dengan anak-anak. Dengan kata lain, amae berarti “menjadi ibu” atau “menjadi anak” yang berupa bentuk hubungan yang melepaskan kepentingan diri sendiri antara ibu yang penuh kasih sayang dan bayinya. Misalnya ketika seorang wanita berkata, “botchan wa o-rikoo-san desu ne?” sungguh pintar ya anak ini?. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. Kata rikoo berarti pintar, diberi dua kata tambahan untuk menghormati, yaitu awalan o- dan akhiran -san. Contoh yang lain adalah “O-joo-chan no o-oofuku wa kirei desu ne ?” baju nona bagus ya?. dalam contoh kalimat ini, kata nona itu mengandung penghormatan karena dibubuhi awalan o- dan akhiran –chan, sedangkan kata yoofuku baju juga berawalan o- Doi, 1988 : 62. Pemakaian awalan dan akhiran sebagai suatu penghormatan yang berlebihan, dianggap untuk menyenangkan hati atasan dengan cara-cara yang sama terhadap , dapat dijadikan sebagai bukti tentang adanya suatu sikap kekanak-kanakan orang Jepang. Dalam masyarakat barat, orang-orang dewasa biasanya menekan kebutuhan akan amae dan akhirnya mematikan perasaan itu. Disinilah sebenarnya terletak perbedaan antara sikap dan tingkah laku barat dengan Jepang karena manusia Jepang menekankan amae di sepanjang hidup mereka. Menurut Doi, mentalitas amae Jepang berasal dari pengalaman bangsa Jepang pada awal sejarah mereka. Hal ini terus berlanjut sampai pada permulaan masa modern. Dalam sifat amaenya, pada masyarakat Jepang tumbuh suatu sifat ketergantungan antara sesama kelompok Jepang. Hal ini tumbuh dalam kehidupan sehari-hari yang tergambar dari adanya rasa kepercayaan dan perasaan bergantung kepada orang lain. Contohnya adalah dalam melakukan perjalanan wisata, tampak sifat amae menonjol dalam kelompok orang-orang yang akan melakukan perjalanan wisata tersebut. Mereka merasa lebih aman berada dalam rombongan orang-orang yang kesemuanya berasal dari Jepang. Perjalanan yang dilakukan, diatur, dan diterangkan sepanjang jalan oleh pemandu wisata sebagai orang yang dipercayai oleh rombongan tersebut sebagi tempat untuk menggantungkan diri mereka. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. Amae adalah sikap ketergantungan atau sifat mengandalkan diri dengan mempercayai orang lain yang berasal dari kelompoknya. Hal ini berakibat bahwa orang Jepang sangat memperhatikan pandangan lingkungannya, kekhawatiran akan jauh terkucil, serta ditinggalkan atau dijauhi dari lingkungan masyarakatnya yang membuat mereka menjadi lebih peka, dan akan merasa malu atau haji 溟港 karena pandangan dan penilaian orang-orang sekitarnya sangat mempengaruhi pola kelakuan dan tindakan mereka. Oleh karena itu, masyarakat Jepang sangat pandai dalam memelihara hubungan dengan orang lain dalam bermasyarakat dengan menekan perasaan individu dan menitikberatkan kepada orang lain atau kelompok.

2.4 Pola Pengasuhan Anak Dalam Prinsip Amae