Konsepsi Amae Amae Dalam Kehidupan Masyarakat Jepang

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. Dalam hubungan dengan orang lain yang tidak dikenal, baik orang Jepang ataupun orang asing, dalam urusan usaha atau pribadi, orang Jepang perlu melakukan jarak karena selalu ada rintangan antara orang tidak memiliki hubungan amae. Orang barat dapat melakukan amae kepada setiap orang walaupun baru saja berkenalan. Sebaliknya, orang Jepang tidak mengacuhkan orang-orang baru dan menjaga jarak terhadap mereka, karena orang Jepang mampu melakukan dan merasakan amae dengan orang lain berdasarkan hubungan akrab dalam jangka waktu yang lama Doi, 1986 :17-19. Takeo Doi berkeyakinan bahwa amae 蒴恒 merupakan tradisi yang menjadi ideologi Jepang. Bukan dalam arti kerangka “kajian mengenai paham-paham”, tetapi dalam arti rangkaian pandangan atau konsep utama yang merupakan landasan aktual atau potensial bagi suatu sistem masyarakat yang lengkap. Doi mengatakan bahwa amae merupakan “minyak kehidupan” di Jepang merupakan salah satu tonggak dasar pada kepribadian manusia Jepang.

2.1.2 Konsepsi Amae

Istilah amae mengacu pada perasaan yang ada pada setiap bayi dalam pelukan ibunya. Perasaan tersebut sangat menginginkan sang ibu untuk selalu memeluknya, untuk selalu dicintai secara pasif, serta menolak untuk dipisahkan dari kehangatan sang ibu dan juga menginginkan terpenuhinya semua kebutuhannya. Walaupun perasaan tersebut dimiliki oleh setiap bayi di manapun, tetapi karena perasaan tersebut tetap ada dan berkembang pada orang Jepang dewasa, maka istilah amae 蒴恒 pun hanya dapat berkembang di Jepang menjadi suatu konsep kunci pemahaman atas perilaku orang Jepang. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. Di dalam masyarakat Jepang, amae merupakan suatu budaya yang terus dikembangkan dan sangat dihormati bahkan dituntut untuk dilaksanakan hingga sekarang ini. Amae menurut arti sebenarnya merupakan ketergantungan antara anak dengan orangtua atau sebaliknya. Hubungan tersebut dapat menciptakan sebuah ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya. Amae adalah suatu istilah yang berasal dari bentuk kata kerja amaeru 蒴恒鵠 . Amaeru sendiri sering digunakan dalam menjelaskan perasaan atau sifat anak terhadap ibunya yang saling bergantung antara yang satu dengan yang lainnya. Peranan lainnya yang melengkapi amaeru adalah amayakasu 蒴麹拘溝 , yaitu peran yang menerima amaeru. Dalam hal ini amayakasu dapat juga dikatakan peran seorang ibu sebagai tempat bergantung anaknya. Amae juga merupakan ketergantungan “yang terlalu memberi hati” yang berakar kuat dalam hubungan mother-child yang mengikat. Hal tersebut menyatakan bahwa fisik mempunyai kekuatan batin dalam merasakan secara emosional dekat dengan manusia lainnya. Dan para ibu di Jepang secara optimal menyatakan dirinya sebagai ibu melalui memberikan perhatian yang berlebih kepada anaknya. Menurut Vogel 1966 :186, amae merupakan pengalaman seorang anak untuk merasakan ketergantungan atau suatu keinginan untuk dicintai, selagi seorang ibu mengalami sendiri pemenuhan dan kepuasan melalui perlindungan dan memberi hati yang berlebih dari ketidakdewasaan anaknya. Hubungan ketergantungan antara ibu dan anak memiliki suatu bentuk ideal menurut kebiasaan orang Jepang. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa kedekatan ibu dan anak yang menyatakan hubungan fisik sering disebut dengan skinship, khususnya ditemukan pada perlindungan bayi. Namun, budaya Jepang ini terus dikembangkan di dalam kehidupan antar sesama manusia masyarakat dan kelompok . Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. Konsep amae timbul dari hasil pemikiran Takeo Doi. Sebelum sampai pada konsepsi amae secara keseluruhan, berikut ini penulis akan memberikan penjelasan latar belakang mengapa istilah amae dijadikan oleh Takeo Doi sebagai konsep kunci pemahaman atas perilaku masyarakat Jepang. Sebagai seorang ahli psikologi, ketika memperdalam studi psikiatri di Amerika pada tahun 1950, Takeo Doi memperoleh berbagai pengalaman. Pengalaman-pengalaman tersebut pada awalnya menyebabkan Doi mengalami apa yang disebut dengan “kejutan budaya” atau “cultural shock”. Hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Doi bahwa : “Pertama sekali saya ingin menjelaskan mengapa pada awalnya saya mulai tertarik pada paham amae. Ini berhubungan dengan pengalaman saya yang lazim disebut dengan “kejutan kebudayaan”. Kejutan kebudayaan ini terjadi karena adanya perbedaan yang kontras antara “cara berpikir” dan “cara rasa” Takeo Doi orang Jepang dengan “cara berpikir” dan “cara rasa” orang-orang Amerika yang berinteraksi dengannya. Selanjutnya, di dalam menjelaskan alasan timbulnya konsep amae, Takeo Doi melalui bukunya “Amae No Kozo” juga mengemukakan secara rinci kejadian-kejadian yang dialaminya. Dari kejadian-kejadian itulah, secara kronologis setahap demi setahap Doi mulai menyadarinya dan memahami kemudian menyimpulkan bahwa amae adalah suatu konsep kunci untuk memahami struktur kepribadian orang Jepang. Adapun kejadian-kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat Doi pertama sekali berada di Amerika, Doi berkunjung ke rumah seorang temannya yang berkewarganegaraan Amerika. Di sela pembicaraan, temannya bertanya apakah Doi merasa lapar. Karena merasa sungkan dan tidak ingin berterus terang pada orang yang Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. baru pertama bertemu, maka Doi pun menjawab bahwa dia tidak lapar. Pada akhirnya tuan rumah mengatakan “Oh Saya mengerti”. Doi merasa menyesal karena tidak berterus terang bahwa dia sesungguhnya lapar. Pada waktu itu saya berpikir bahwa di Jepang, seorang tuan rumah tidak akan menanyakan secara berterus terang apakah tamunya lapar, akan tetapi akan mencari cara untuk menyuguhkan sesuatu tanpa bertanya kepada tamunya Doi, 1988: 1-2. Menurut Takeo Doi, orang Jepang sangat mengharapkan kebaikan atau pertolongan seseorang tanpa harus berkata-kata. Misalnya “please help yourself” yang kerap kali digunakan oleh tuan rumah orang Amerika terhadap tamunya untuk bebas memilih dan bertindak tanpa basa-basi. Tetapi hal ini sulit dimengerti oleh Doi sebagai orang Jepang yang pada saat itu belum terbiasa dengan bahasa Inggris. Hal ini karena kata-kata tersebut bagi orang Jepang pengertiannya adalah “tidak ada orang yang akan membantu anda” Doi, 1988 :4. Kejadian tersebut menegaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara bidang psikiatri dengan bahasa. Hal tersebut diungkapkan oleh Doi melalui kutipan berikut : “ jiwa khas suatu bangsa hanya dapat dipelajari melalui suatu pengetahuan yang mendalam mengenai bahasa itu sendiri. Bahasa mengandung semua yang menjiwai hati nurani suatu bangsa, oleh sebab itu merupakan landasan tes proyektif yang terbaik untuk memahami bahasa itu sendiri” Doi, 1988: 6. Ada kejadian penting yang menambah keyakinan Doi terhadap betapa penting dan eratnya hubungan antara bahasa dengan psikiatri. Hal ini terjadi ketika Doi memeriksa pasien yaitu seorang anak dari pernikahan campuran yang menderita ‘histeria’. Ibu si anak adalah keturunan Inggris yang dilahirkan di Jepang dan mahir berbicara bahasa Jepang. Ketika pertanyaan-pertanyaan sampai pada riwayat Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. pertumbuhan si anak, dengan sendirinya percakapan pun mencakup masa kanak- kanak dari si pasien. Pada saat itu, si ibu yang pada awalnya berbicara dalam bahasa Inggris, tiba-tiba berbicara dalam bahasa Jepang dan berkata “kono ko wa amari amaemasen deshita” anak ini tidak begitu memanjakan dirinya, ia tidak terlalu amaeru. Kejadian ini dengan jelas sekali telah membuktikan bahwa sebagai suatu “istilah”, amae adalah unik bagi bahasa Jepang, tetapi sebagai perilaku merupakan suatu universal. Menurut Doi, hal ini dikarenakan ketika ditanya mengapa menggunakan ungkapan Jepang tersebut, jawaban yang muncul adalah “ tidak ada suatu istilah yang tepat dalam bahasa Inggris untuk mengungkapkan perilaku seperti itu”. Dengan demikian istilah amae muncul baik dari pengalaman-pengalaman Takeo Doi yang terjadi ketika berinteraksi , maupun dari hasil observasi klinik sehari- hari melalui cara berkomunikasi dengan para pasiennya.

2.1.3 Dunia Amae