Amae Dalam Pengasuhan Bayi

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

BAB III BUDAYA AMAE DALAM POLA PENGASUHAN ANAK

3.1. Amae Dalam Pengasuhan Bayi

Dalam masyarakat Jepang, anak-anak diasuh bebas sekali, hampir terus menerus dalam kontak ibunya, dan praktis tidak pernah ditinggalkan sendirian. Masyarakat Jepang sejak kelahiran memang diarahkan untuk saling bergantung kepada pihak lain http:www.mail-archive.combalita-andaindoglobal.com . Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti asing sering kali memuji kedekatan Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. fisik antara ibu Jepang dengan anaknya, bukan hanya dalam dekatnya fisik, tetapi juga kontak badan dalam arti yang sebenarnya atau apa yang disebut oleh orang Jepang sebagai ‘skinship’. Hal ini terutama sekali ditemukan pada pengasuhan bayi. Kebiasaan umum yang membuat kontak badan menjadi teratur antara sang ibu dan bayinya adalah ketika pemberian susu. Sang ibu mendekap si anak di lengannya atau meletakkan si bayi dalam berbagai cara sehingga si bayi merasa nyaman ketika menyusu kepada ibunya. Memberi susu telah dipercayai menjadi kebutuhan pemberi asupan gizi, kebiasaan psikologi umum, dan telah dipraktekkan secara umum. Pemberian susu tidak hanya berlangsung sebagai alasan untuk memenuhi asupan nutrisi saja tetapi juga untuk alasan kepentingan emosional. Secara umum para ibu Jepang menikmati menyusui anaknya sehingga keadaan menyapih adalah hal yang sangat sulit bagi mereka begitu juga dengan si bayi. Orang Jepang yakin bahwa menyusui merupakan salah satu kesenangan fisiologis terbesar bagi seorang wanita dan si bayi juga mudah belajar untuk ikut merasakan kesenangan ibunya. Bahkan karena menyusui adalah kesenangan yang teramat besar bagi mereka, para ibu akan menyapih anaknya ketika mendekati adik si bayi akan lahir. Ketika banyak orang menyalahkan para ibu karena menyusui anaknya terlalu lama bahkan menuding mereka bahwa mereka egois dan tidak tegas karena memperlama si bayi untuk menyapih karena adanya anggapan bahwa anak yang disusui lama adalah anak yang lemah , para ibu tidak perduli dan penyuluhan penyapihan setelah si bayi berumur delapan bulan tidak berhasil Benedict, 1989: 273. Hal tersebut seolah menunjukkan bahwa sang ibu dan si bayi tidak dapat terpisahkan. Sang ibu memberikan perhatian yang berlebih pada si bayi, bahkan Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. ketika banyak orang yang menyalahkan mereka karena menyapih yang terlalu lama, mereka tidak perduli dan tetap melakukan apa yang mereka anggap terbaik bagi bayi mereka. Di Jepang, payudara ibu dipuja lebih sebagai simbol pengasuhan ibu daripada sebagai fungsi seks. Payudara sering diberikan kepada bayi untuk bermain tidak sebanyak untuk memberi makan. Dada ibunya itu bukan saja sumber makanan, tetapi juga kesenangan dan hiburan Benedict, 1989: 269. Suatu hal yang sangat berbeda dengan budaya manapun yang menganggap bahwa dada sang ibu hanya untuk memberi makan saja. Suatu hal yang patut diacungi jempol bahwa sang ibu memberikan dadanya bukan sebagai memberi makan saja tetapi juga menjadi pusat kesenangan dan hiburan bagi si bayi. Hal ini melambangkan bahwa sang ibu memberi segenap jiwa dan raganya bagi si bayi. Ibu sebagai seorang “pemberi makan” dilambangkan dengan payudaranya, yang mana seringkali disebutkan dalam percakapan, permainan, puisi, dan lagu seperti di bawah ini : Twos, twos, what comes in twos? Your eyes, one and two, they are two Your ears, one and two, they are two What else comes in twos? Your hands, see, aren’t they are two? Your feet, too, are two, aren’t they? Aren’t there better things in twos? Those round things, Mama’s oppai Aren’t they two? Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut : Dua, dua, apakah yang ada dua? Matamu, satu dan dua, mereka ada dua Telingamu, satu dan dua, mereka ada dua Apakah yang lainnya yang terdiri dari dua? Lihatlah tanganmu, bukankah mereka ada dua? Juga kakimu, ada dua kan? Apakah ada lagi yang terdiri dari dua? Itu adalah payudara ibu Bukankah mereka ada dua juga? Lebra, 1998:59 Lagu tersebut memiliki makna bahwa dada sang ibu memiliki peran yang sangat penting di samping organ tubuh si bayi yang lainnya. Tampak disini bahwa sang ibu menekankan bahwa dada sang ibu sebagai organ yang sama pentingnya dengan mata si anak yang berfungsi untuk melihat, telinga untuk mendengar, tangan untuk memegang, dan juga kaki untuk berjalan. Merawat bayi bukan hanya persoalan nutrisi saja. Hal tersebut kelihatannya menyenangkan bagi wanita untuk menunjukkan cinta mereka kepada si bayi, cara yang hanya dapat dilakukan oleh wanita. Para ibu Jepang merasakan bahwa menyusui bayi terlihat lebih menyenangkan daripada memberi susu di dalam botol. Ketika si anak merasakan cinta ibunya di sekujur tubuh, di dalam hati si anak yang terdalam akan timbul sesuatu yang unik. Kebiasaan lainnya yang mengharuskan terjadinya kontak tubuh adalah memandikan anak. Hal pertama yang mendasarinya adalah orang Jepang yang sangat menikmati mandi dan berendam di dalam bak mandi Jepang yang disebut furo. Si Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. bayi diletakkan di dekat badan ibunya dan mereka bersama-sama duduk berendam didalam bak mandi. Hal ini dilakukan di bak mandi umum yang mereka anggap seperti bak mandi pribadi di rumah. Bagian bak mandi umum yang menjadi milik wanita biasanya dilengkapi dengan sederet tempat tidur bayi. Selama mandi, seperti halnya dalam perawatan anak, sang ibu dan si anak berbagi kepuasaan fisik dan berkomunikasi satu sama lain melalui kontak tubuh. Tekanan pada kontak tubuh telah mencatat secara umum pola interaksi antara ibu dengan bayinya. Para ibu Jepang memanfaatkan budaya mandi yang sangat digemari oleh masyarakat Jepang sebagai sarana untuk memberi perlakuan amae pada bayinya. Dapat dilihat bahwa kasih sayang dari sang ibu ditunjukkan melalui perilaku, tidak selalu dengan kontak verbal. Suatu hal yang hanya dapat dijumpai dalam budaya amae, yang tidak terdapat dalam budaya lain. Perilaku lainnya yang memperlihatkan kedekatan antara ibu dan anak juga ditunjukkan ketika sang ibu menggendong anaknya. Sebagai orang Jepang yang tidak memperkerjakan seorang pengasuh, seorang ibu biasanya membawa anaknya kemana pun ia pergi, kecuali jika seorang anggota keluarga berada di rumah untuk menjaga si bayi. Si anak dijamin aman di belakang sang ibu dengan cara mengikatkan sebuah ikat pinggang dengan posisi kaki si anak melebar, mengarah ke tiap sisi badan ibunya, dan tangannya berada di pundak ibunya. Dalam keadaan tersebut biasanya seluruh tubuh si bayi beristirahat di belakang pundak ibunya. Ketika mengendong dengan cara ini, si anak tertidur dengan posisi kepala ada di atas leher ibunya ataupun lengan ibunya. Sang ibu dan anak satu sama lain merasakan kehangatan tubuh. Dan jika sang ibu tidak memiliki waktu untuk menjaga anaknya yang sudah mulai merangkak, sang ibu mungkin lebih memilih untuk membawanya ke mana saja di belakang badannya Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. dan membiarkan tangannya bebas. Sebuah kereta beroda empat juga akan digunakan untuk membawa si anak dalam berjalan. Jenis pengangkut tradisional adalah kereta bergaya Indian yang disebut onbu. Sekilas dilihat bahwa cara mengendong seperti ini adalah hal yang umum yang dapat ditemukan dalam budaya masyarakat lainnya. Perbedaannya adalah jika dalam kebiasaan mengendong yang lazim, sang ibu hanya sekedar mengendong bayinya saja. Namun cara mengendong bayi oleh ibu Jepang disertai dengan komunikasi non verbal yang disertai dengan perlakuan amae yaitu dengan mengendong bayinya kemana saja yang mana dengan cara tersebut sang ibu ingin mengkomunikasikan bahwa anaknya tidak bisa terlepas darinya dan bergantung kepadanya. Hal tersebut mengindikasikan adanya amae. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa para ibu Jepang lebih banyak berkomunikasi dengan bayinya melalui fisik daripada melalui kontak verbal. Hal ini dapat dilihat ketika sang ibu menimang bayinya, membawa, dan mengayunnya untuk menenangkan dan menghangatkan si bayi. Sedangkan sang ayah memiliki cara yang lain untuk memanjakan anaknya. Sang ayah membawa si anak di lengannya atau ketika si anak dirasakan sudah cukup besar, dia diletakkan di bahunya sebagai kesenangan. Akan dicatat bahwa cara membawa anak ini dinikmati oleh kedua belah pihak, bahkan ketika si anak sudah dapat berjalan. Kasih sayang orangtua kelihatannya diperlihatkan lebih mudah melalui kontak tubuh yang menunjukkan beberapa makna dari menggendong anak. Dan hal tersebut merupakan ciri dari budaya amae yang memperlihatkan bahwa orangtua terlalu “memberi hati” dan ketergantungan kepada si bayi. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. Si bayi juga sangat dimanjakan karena sang ibu tidak akan pernah membiarkan si bayi sendirian ketika tidur. Bahkan, ketika si bayi menangis sang ibu akan segera datang tergopoh-gopoh untuk menemtramkan bayinya. Sang ibu akan segera menimang, menyusui, menggendong si bayi berkeliling, megayun-ayunkannya, dan selanjutnya si bayi akan diletakkan di lengannya agar kembali tenang. Jika si ibu tidak segera datang sehingga si bayi menangis dalam waktu yang agak lama, sang ibu akan merasa bersalah terhadapnya dan akan meminta maaf seraya berkata, “maafkan ibu karena telah mengabaikanmu, nak”. Di Jepang, bayi dan anak-anak tidak dibiarkan tidur sendiri. Mereka biasanya tidur bersama orang tua, kakek atau nenek. Bagi masyarakat Jepang membiarkan bayi tidur tanpa pendamping merupakan prilaku kejam. Orang Jepang menekankan kasih sayang pada bayi yang dimanifestasikan dalam bentuk mendampinginya Satsuki Kawano dalam http:www.mail-archive.combalita- andaindoglobal.com . Suatu hal yang sangat berbeda dengan budaya lainnya di negara manapun yang memisahkan orangtua dengan bayi ketika tidur dengan maksud untuk menanamkan kemandirian sejak bayi. Caudill dan Weinstein dalam Lebra 1998: 389 mengatakan bahwa dari hasil penelitian yang mereka lakukan terhadap para ibu Jepang, didapati bahwa para ibu Jepang bersama dengan bayinya ketika dia tidur. Para ibu Jepang, walaupun tidak bertaut dalam perawatan yang aktif dalam hitungan waktu yang lebih besar, secara pasif hadir untuk bayinya dalam waktu yang lebih banyak. Dengan demikian, si bayi belajar bahwa kebutuhannya akan dipenuhi oleh ibunya dengan seketika atau diwakili oleh ibunya yang selalu ada di sampingnya dan keamanannya bergantung kepada sang ibu. Pengertian keamanan ini, diikat sebegitu erat dengan kehadiran seketika dari Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. ibunya, yang hilang ketika dia mendapati ketidakhadiran ibunya, “demikian juga ada kegelisahan tentang ketidakhadiran ibunya dan ketakutan yang nyata bahwa ia tidak akan mampu mengatasi masalahnya dan akan marah jika ibunya tidak ada di sampingnya” Vogel, 1966:163. Dapat dilihat bahwa dalam masyarakat Jepang, bayi diperlakukan begitu istimewa. Memang dalam budaya masyarakat lainnya, bayi juga diperlakukan istimewa tetapi tidak seekslusif seperti layaknya masyarakat Jepang memperlakukan bayi mereka. Sebuah analogi mungkin diambil antara anak dalam kemarahan dan seorang dewa dalam kuil orang Jepang yang melepaskan kemarahannya dengan memberikan kesusahan bagi manusia. Baik antara anak dengan dewa diharapkan untuk ditentramkan dan ditenangkan oleh beberapa hal pembawa perdamaian. Tentu saja, kepercayaan rakyat bahwa anak adalah pemberian Dewa atau reinkarnasi Dewa tersebut. Dari penjabaran-penjabaran bagaimana perlakuan sang ibu kepada bayinya yang berlatarkan budaya amae seperti teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi, nampak bahwa perlakuan sang ibu kepada bayinya sangatlah istimewa. San ibu terlalu memberi hati kepada si bayi dan sangat memanjakannya , suatu hal yang jarang ditemukan dalam kebudayaan bangsa lain. Memang, pada saat si anak masih bayi, adalah hal yang sangat wajar mengingat si bayi tidak memiliki kemampuan untuk melakukan semua hal sendiri. Namun, sang ibu terlalu memanjakannya sampai- sampai ditarik suatu analogi yang menyamakan antara bayi dengan Dewa yang akan marah besar jika keinginannya tidak dituruti.

3.2 Amae Dalam Pengasuhan Anak-Anak