Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Anak dipandang sebagai makhluk sosial dengan segala sesuatu yang mereka lakukan bertujuan untuk mendapatkan tempat dalam kelompok-kelompok yang penting bagi mereka. Keinginan untuk ikut berperan serta untuk dapat diterima dalam kelompoknya adalah motivasi pokok yang berada di belakang perilakunya Balson, 1996:14. Dalam lingkungan hidup keluarga, perilaku anak akan dapat dipahami jika orang tua mengerti bahwa ekspresi anak merupakan upaya anak untuk diakui, dihargai, merasa ikut memiliki, atau ikut berperan serta di dalam kelompoknya. Seluruh perilaku, ungkapan bahasa, pola bermain, emosi, dan keterampilan anak dipelajari dan dikembangkan dalam situasi sosial yang melingkupinya, seperti rumah, sekolah, dan masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses sosialisasi dan komunikasi. Sosialisasi adalah proses seorang individu belajar berinteraksi dengan sesamanya dalam masyarakat menurut sistem nilai, norma, dan adat istiadat yang mengatur masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, sosialisasi pada intinya adalah proses belajar kebudayaan dalam suatu sistem sosial tertentu. Sistem sosial berisi berbagai kedudukan dan peranan yang terkait di dalam suatu masyarakat dan kebudayaan. Dalam tingkat sistem sosial, sosialisasi sebenarnya merupakan proses belajar seorang individu dari masa kanak-kanak hingga masa tuanya mengalami proses belajar mengenai nilai dan aturan bertindak, berinteraksi dengan berbagai individu yang ada di sekelilingnya. Jadi, sosialisasi adalah proses belajar dari masing-masing individu Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. untuk memainkan peranan-peranan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan statusnya Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1989 : 1. Dengan mendasarkan pada kenyataan bahwa sosialisasi merupakan proses pengenalan, maka dapat dikatakan bahwa sosialisasi dapat dilihat sebagai proses pewarisan pengetahuan kebudayaan yang berisi nilai-nilai, norma-norma, dan aturan- aturan untuk berinteraksi antara satu individu dengan individu lainnya, antara satu individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok. Maksudnya adalah bahwa jika suatu individu mengenal suatu pengetahuan kebudayaan, maka individu tersebut mau tidak mau harus mewarisi kebudayaan tersebut. Pengetahuan kebudayaan itu diwariskan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya dan tidak tertutup kemungkinan adanya pergeseran, perubahan nilai, norma, dan aturan tersebut sehingga membentuk aturan atau norma yang baru. Proses pewarisan akan terus berjalan sepanjang hidup manusia. Dalam hal ini adalah sosialisasi kebudayaan dari orangtua kepada anaknya. Sedangkan proses komunikasi sangat perlu untuk mengetahui seperti apa penyampaian kebudayaan dari orangtua kepada anak. Dan bagaimana si anak dapat berkomunikasi dengan orangtua mereka. Demikian juga sebaliknya. Tak dapat dipungkiri bahwa tanpa proses komunikasi, proses sosialisasi tidak akan dapat berjalan dengan baik. Proses sosialisasi dan komunikasi tercermin dalam bagaimana orangtua mengasuh anak. Melalui pengasuhan, para orangtua mengajarkan anak-anak mereka bagaimana harus bersikap dalam masyarakat. Mengetahui kebudayaan mereka seperti Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. apa, norma-norma apa saja yang berlaku dalam masyarakat untuk kemudian mereka patuhi, dan lain sebagainya. Pengasuhan anak child rearing adalah salah satu bagian penting dalam proses sosialisasi. Pengasuhan anak dalam suatu masyarakat berarti suatu cara dalam mempersiapkan seseorang menjadi anggota masyarakat. Artinya mempersiapkan anak tersebut untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan dan berpedoman pada kebudayaan yang didukungnya. Dengan demikian, pengasuhan anak merupakan bagian dari sosialisasi yang pada dasarnya berfungsi untuk mempertahankan kebudayaan dalam masyarakat tertentu Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1989 : 2. Tak ada sesuatu yang lebih penting dalam hidup ini selain keluarga yang asli, karena disinilah dasar kepribadian anak dibentuk Balson, 1996 : 15 . Jika situasi kehidupan keluarga dapat mengembangkan iklim yang membuka kesempatan kepada anak untuk memperoleh perasaan ikut memiliki, maka maladjustment sikap tidak mampu menyesuaikan diri dan patologi penyakit jiwa , tidak akan terjadi pada diri mereka. Hal yang positif dicapai jika anak dapat merasakan bahwa mereka benar- benar berada dalam lingkungan keluarga. Sejak kanak-kanak, anak kecil berusaha mendapatkan cara berperilaku yang menuntut pengakuan penghargaan diri , rasa dipentingkan, dan rasa ikut memiliki dalam keluarganya. Proses sosialisasi, dalam hal ini pengasuhan anak, yang berlangsung dalam suatu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial dan budaya memberi pengaruh yang besar terhadap karakteristik sosialisasi. Demikian pula golongan sosial memberi corak dalam pola pengasuhan anak di dalam masyarakat karena lingkungan sosial dan kebudayaan di Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. banyak tempat relatif berbeda-beda. Dengan demikian sosialisasi, khususnya pola pengasuhan anak, adalah proses dimana pada seorang anak diwariskan pengetahuan budaya. Agen sosialisasi yang paling mendasar dan pertama kali dikenal oleh seorang anak adalah kedua orangtuanya. Setelah itu kakek, nenek, saudara-saudara, dan kerabat-kerabat lainnya Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1989 :3 . Demikian juga halnya dengan orangtua Jepang. Lingkungan sosial dan budaya ikut mempengaruhi pola mengasuh anak mereka. Di dalam setiap kebudayaan, sanksi- sanksi moral yang tradisional diteruskan pada setiap generasi baru, tidak saja dalam kata-kata, tetapi juga dalam semua sikap yang tua terhadap anaknya. Dan orang luar hampir tidak dapat mengerti taruhan-taruhan hidup yang besar dari setiap bangsa tanpa mempelajari cara mendidik anak pada bangsa itu. Pendidikan anak-anak di Jepang membuat jelas banyak asumsi nasionalnya tentang kehidupan, yang selama ini kita lukiskan pada tingkat dewasa saja Benedict, 1989:26. Dalam kehidupan masyarakat Jepang terdapat budaya yang sampai sekarang tetap berkembang dan direalisasikan dalam segala hubungan sosial. Budaya tersebut adalah budaya amae 蒴恒 . Istilah amae 珙蒴恒珩 , sama sekali bukan merupakan suatu ungkapan satu-satunya yang dipakai dalam menjelaskan psikologi masyarakat Jepang. Kata sifat amae adalah amai 誤蒴広護 yang tidak saja dipakai dalam arti “manis” yang dirasa oleh lidah, tetapi juga mengungkapkan sifat seseorang. Kalau seseorang mengatakan bahwa A bersikap amai 誤 蒴 広 護 terhadap B, itu berarti bahwa A membiarkan B berlaku amaeru 誤蒴恒鵠護 berlaku manja terhadap A, yaitu bersikap mengandalkan diri dan mengharapkan sesuatu dari tali perhubungan antara kedua orang tersebut. Sikap demikian menimbulkan rasa prihatin pada orang Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. lain karena pada hakikatnya yang bersangkutan mengharapkan suatu perkembangan yang menguntungkan tanpa memberikan pertimbangan yang matang. Budaya amae 蒴 恒 dapat terjadi dalam hubungan antara atasan dengan bawahan, pemimpin dengan pengikut, guru dengan murid, senior dengan junior, tuan tanah dengan penyewa, orangtua dengan anak khususnya hubungan ibu dengan anak , dan sebagainya. Terutama pada budaya amae 蒴 恒 yang terjadi antara orangtua dengan anak ,khususnya pada hubungan ibu dengan anak , tercermin dalam pola pengasuhan. Lebra 1976 : 57 mengatakan bahwa : “ the dependency relationship takes a typical and total form when expressed in mother-child interaction” Maksudnya bahwa hubungan ketergantungan merupakan sebuah tipe dan keseluruhan bentuknya diungkapkan dalam interaksi ibu dan anak. Terlihat jelas di sini bahwa terdapat hubungan yang manis yang merupakan suatu hubungan keterikatan dan saling bergantung antara ibu dengan anak. Teori struktur amae dilontarkan Takeo Doi pada tahun 1971. Doi memakai istilah “ Amae no Kozo “ atau struktur dependensi sebagai ciri khas masyarakat Jepang. Dan dengan istilah amae 珙蒴恒珩 dalam bahasa Jepang dijadikan alasan kuat adanya struktur dependensi di Jepang dalam http:forumpp.blogspot.com yang bersumber dari Nujapan mail list. Di dalam masyarakat Jepang, amae 蒴恒 merupakan sebuah budaya yang terus dikembangkan dan dihormati bahkan dituntut untuk dilaksanakan hingga sekarang ini. Amae 蒴 恒 merupakan hubungan yang dapat menciptakan sebuah ketergantungan antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Amae 蒴 恒 Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. menurut Doi dalam Lebra 1976: 54 adalah suatu istilah yang berasal dari bentuk kata kerja amaeru 誤 蒴 恒 鵠 護 . Amaeru sendiri sering digunakan dalam menjelaskan perasaan atau sifat anak terhadap orangtuanya yang saling bergantung antara yang satu dengan lainnya. Peranan lainnya yang melengkapi amaeru adalah amayakasu 誤蒴麹拘溝護 , yaitu peran yang menerima amaeru. Dalam hal ini amaeru adalah si anak, sedangkan peran si ibu yang menjadi tempat bergantung anaknya adalah amayakasu. Doi juga menggambarkan bahwa amae merupakan ketergantungan “yang memberi hati” yang berakar kuat dalam hubungan mother-child yang mengikat. Ia menyatakan bahwa fisik mempunyai kekuatan batin dalam merasakan secara emosional dekat dengan pribadi yang lain. Dan para ibu di Jepang secara optimal menyatakan dirinya sebagai ibu melalui memberikan perhatian yang berlebih kepada anaknya. Menurut Vogel 1996 :186 , amae merupakan pengalaman seorang anak untuk merasakan ketergantungan atau suatu keinginan untuk dicintai, selagi seorang ibu mengalami sendiri pemenuhan dan kepuasan melalui perlindungan dan memberi hati yang berlebih dari ketidakdewasaan anaknya. Hubungan ketergantungan antara ibu dan anak memiliki suatu bentuk ideal menurut kebiasaan orang Jepang. Banyak pengamat yang menyatakan bahwa kedekatan ibu dan anak yang menyatakan hubungan fisik sering disebut skinship, khususnya ditemukan pada perlindungan bayi. Namun, budaya Jepang ini terus dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan antar sesama umat manusia masyarakat dan kelompok. Begitupun dalam hubungan antara ibu dan anak. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak tidak dapat dipisahkan dengan ibunya. Dalam hubungan pola pengasuhan akan dapat dilihat bagaimana si ibu berpengaruh bagi anaknya, begitupun sebaliknya. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. Terdapat hubungan ketergantungan yang manis di antara keduanya. Dan hubungan ketergantungan yang manis itu dapat kita lihat dalam budaya amae yang tercermin dalam pola pengasuhan anak. Berdasarkan uraian di atas, amae 珙 蒴 恒 珩 dapat dikatakan sebagai pola budaya yang berakar kuat dalam masyarakat Jepang terutama dalam hubungan ibu dan anak. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pola amae 珙蒴恒珩 dalam hubungan ibu dan anak inilah yang mendasari pola amae dalam pola-pola hubungan sosial lainnya. Dalam pola amae ini terjalin hubungan yang manis antara ibu dan anak. Hal tersebutlah yang mendorong rasa ingin tahu penulis untuk meneliti lebih lanjut mengenai budaya amae dalam pola pengasuhan anak di Jepang menurut teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi.

1.2 Perumusan Masalah