Amae Pada Saat Remaja

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. menertawakannya akibat kenakalan yang diperbuatnya. Ayahnya akan kehilangan muka di depan orang banyak dan seluruh anggota keluarga akan menderita malu. Dalam hal ini, si anak akan termotivasi untuk memperbaiki tingkah lakunya melalui rasa bersalah dan juga rasa malu. Pengalaman-pengalaman semacam ini juga merupakan tanah subur untuk menanamkan ketakutan akan ditertawakan orang lain dan juga akan pengasingan dari masyarakat yang begitu jelas di dalam psikologi orang Jepang dewasa. Pengasingan tersebut datang dari teman sepermainannya atau saudaranya yang tidak akan mau bermain bersamanya karena kenakalannya. Tak mungkin dikatakan kapan si anak mulai mengerti bahwa ia sebenarnya dipermainkan dengan olokan-olokan ini, tetapi lambat atau cepat mereka pasti akan mengerti dan kalau mereka telah mengerti, maka perasaan bahwa ia ditertawakan akan menyatu dengan kepanikannya ketika ia terancam akan kehilangan segala sesuatu yang aman dan dikenal yaitu orangtuanya. Paparan diatas menunjukkan kepada kita bahwa ternyata amae juga dipakai dalam menanamkan disiplin kepada si anak. Dan disiplin ini nantinya akan berguna ketika dia telah dewasa. Secara tidak langsung juga menanamkan perasaan malu baginya sejak kecil.

3.3 Amae Pada Saat Remaja

Pada fase ini dapat dikatakan bahwa fase inilah yang menjadi titik balik dari perlakuan amae dari sang ibu kepada anaknya. Maksudnya adalah bahwa fase ini merupakan pembalasan amae dari si anak kepada sang ibu. Pada fase ini sang ibu ‘memetik hasil’ dari perlakuan-perlakuan amae terhadap si anak sejak bayi hingga Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. anak-anak. Pada fase remaja ini, kita dapat melihat dua sudut pandang yang berbeda mengenai perlakuan amae yang diterapkan kepada si anak. Sudut pandang yang pertama berasal dari orangtua yang memberi perlakuan amae. Dan sudut pandang yang kedua berasal dari si anak yang menerima perlakuan amae. Jika dilihat dari sudut pandang orangtua, dalam fase ini si anak tetap bergantung kepada sang ibu walaupun dalam frekuensi yang relatif sedikit. Hal ini dikarenakan si anak dapat dikatakan sudah cukup sempurna dalam perkembangan. Perlakuan amae yang diterimanya sejak bayi membuatnya tidak meninggalkan kasih sayang yang mendalam terhadap ibunya bahkan ketika dia telah remaja, yang mana hal ini berlawanan dengan anak remaja Amerika yang beerjuang untuk mendapatkan kebebasan dari kedua orangtuanya Lebra, 1976: 58. Dikarenakan si anak telah cukup mengerti akan perlakuan amae terhadapnya, dia lambat laun mengerti bahwa ketergantungannya dengan sang ibu tidak bersifat unilateral. Tetapi sebaliknya sang ibu juga bergantung kepada anaknya. Di Jepang, para ibu saat mengorbankan dirinya bagi kepentingan anaknya, barangkali mengingatkan anaknya secara verbal atau melalui tingkah laku , terkadang secara eksklusif bahwa sang ibu bergantung kepada si anak untuk menopang hidupnya. Dia akan berkata, “ingatlah anakku, kamu adalah satu-satunya yang kupunya sebagai tempat bergantung, engkaulah tujuan hidupku”. Jika dilihat dari sudut pandang si anak tersebut, dikarenakan perlakuan amae yang telah diterimanya sejak bayi yang membuatnya terlalu dekat dengan orangtuanya, remaja Jepang kesulitan dalam mencari identitas dirinya. Mereka menemukan ketidakpuasan. Bagi remaja Jepang, orangtua mereka layaknya seperti pria dan wanita tua dalam dongeng. Mereka menerima perlindungan dan kasih sayang dari orangtua Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. mereka tetapi tidak menerima nasehat bagaimana bertumbuh menuju arah kedewasaan. Mereka tidak mengetahui bahwa dalam cara bagaimana orangtua mereka menuju ke arah kedewasaan berbeda dengan diri mereka. Maksudnya adalah mereka ingin orangtua mereka mengerti bagaimana kehendak hati mereka yang ingin menjadi diri mereka sendiri tanpa berada di bawah bayang-bayang orangtua mereka karena orangtua mereka dulu juga pasti merasakan apa yang mereka rasakan. Kisah yang terdapat dalam cerita Momotaro mengindikasikan perlakuan amae yang membuat kesulitan dalam mencari identitas diri ketika menginjak usia remaja. Momotaro adalah seorang anak yang sangat dikasihi oleh orangtuanya . Dibalik kedekatannya dengan orangtuanya, Momotaro tidak mengenal mereka. Dia menemukan suatu ketidakpuasaan mengenai orangtuanya yang telah mengasuh dan membesarkannya. Ketika dia bertumbuh, dia menemukan tujuan hidupnya yaitu dengan melakukan berbagai tindakan kriminal yang kejam yaitu sesuatu yang mana dia dapat mengarahkan perasaan yang dia tidak dapat tujukan kepada orangtuanya dan menyatakan terima kasih terhadap hal yang telah mengubahnya menjadi seorang dewasa. Seorang dewasa yang penuh percaya diri. Baginya, dengan melakukan kejahatan adalah suatu permulaan menju kedewasaan. Momotaro melakukan berbagai kejahatan juga untuk menghabiskan energi dan meluapkan semangat mudanya. Kisah Momotaro ini berakhir dengan bahagia dimana sang tokoh yaitu Momotaro mengakhiri “petualangan” kejahatannya dan kembali kepada orangtua yang telah mengasuhnya. Dalam cerita tersebut, tampak bahwa seperti apapun yang dilakukan oleh si anak untuk mencari jati diri, dia akan kembali kepada orangtua. Dapat ditarik kesimpulan bahwa anak tidak akan bisa terlepas dari orangtua dan akan tetap bersama Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. mereka. Hal ini didasari oleh perlakuan amae yang mereka terima sejak bayi hingga masa remaja membuat ikatan di antara mereka tidak dapat terlepas bagaimana pun caranya. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku amae membuat hubungan si anak menjadi dekat dengan ibunya. Suatu hal yang memang umum dijumpai dalam budaya lainnya. Tetapi kedekatan ini memang sangat erat. Kedekatan dengan ibunya menjadi motivasi bagi si anak untuk semakin maju di masa dewasanya. Seperti yang dikatakan Yamamura dalam Lebra 1976: 154 dalam studi analisis dari program radio seri ‘haha o kataru ‘ percakapan tentang ibu dimana seratus orang sohor berpartisipasi, meliputi aktor, komedian, penyanyi, penulis, penyair, dan pemain baseball yang mengatakan bahwa mereka dapat seperti sekarang karena didikan dan dorongan semangat dari ibunya. Hal tersebut membukt ikan bahwa hubungan tersebut tidak saja sangat erat tapi juga sangat intim. Amae pada saat remaja lebih dominan menjadi hasil dari perlakuan amae yang telah diterima si anak semenjak dia bayi sampai anak-anak. Berkat amae, si anak menjadi terbawa-bawa dalam pergaulan dengan teman-temannya. Hal tersebut dikarenakan perlakuan amae yang diberikan kepadanya menjadi contoh baginya untuk berlaku amae kepada teman-temannya. Dapat dikatakan terjadi peralihan kebudayaan dari orangtua kepada anak. Perlakuan amae tidak berhenti dalam pola hubungan orangtua dengan anak sja. Tetapi juga akan diteruskan oleh si anak kepada teman-temannya sebagai skop kecil kelompoknya dalam masyarakat. Karena amae selalu ada dalam setiap hubungan sosial masyarakat Jepang sebagai “minyak kehidupan” yang melumasi hubungan antar sesama orang Jepang menjadi lebih harmonis. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

3.4 Tinjauan Budaya amae dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang