Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Dari kutipan di atas, dapat terlihat jelas bahwa terdapat hubungan yang sangat manis antara anak dengan ibunya dalam pola pengasuhan yang mengandung budaya
amae. Si anak dapat dikatakan tidak berarti apa-apa tanpa kehadiran sang ibu di sampingnya. Si anak memperoleh segalanya dari sang ibu.
1.4.2 Kerangka teori
Kerangka teori menurut Koentjaraningrat 1976:11 berfungsi sebagai pendorong proses berpikir dedukatif yang bergerak dari alam abstrak ke alam
kongkrit. Suatu teori dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta kongkrit yang tidak terbilang banyaknya dalam
kehidupan masyarakat. Begitupun dalam tulisan yang menggunakan kerangka berpikir sehingga dalam penulisannya dapat terarah dan hal yang dibahas juga dapat
dibatasi sehingga tidak meluas. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui secara sekilas
mengenai budaya amae 珙蒴恒珩
. Budaya amae merupakan kepribadian masyarakat Jepang. Dalam bahasa Jepang, kata amae
珙蒴恒珩 berasal dari kata sifat yaitu amai
yang berarti manis. Sedangkan dalam kata kerja adalah amaeru atau amateiru yang berarti memaniskan. Kata amae secara leksikal mempunyai arti kebaikan, hasil
perlindungan seorang ibu terhadap bayinya sekaligus ketergantungan yang manis antara si bayi terhadap ibunya Rowland dalam Sibiyan, 2005:8. Amae juga
mempunyai arti “minyak kehidupan” dan merupakan salah satu tonggak dasar pada kepribadian manusia Jepang. Amae dalam psikologis Jepang mengacu pada tingkah
laku “kekanak-kanakan” yang diperbuat oleh orang dewasa. Dengan kata lain, amae berarti menjadi ibu atau menjadi anak yang berupa bentuk hubungan yang
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
melepaskan kepentingan diri sendiri antara ibu yang penuh kasih sayang dengan anaknya.
Sedangkan kerangka teori yang kedua adalah pola asuh orangtua. Sekilas akan dibahas mengenai pola pengasuhan. Di sini penulis telah mengutip pandangan dari
beberapa ahli mengenai pola asuh. Menurut Purwadarminta dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan 1989 :2, pengasuhan berasal dari kata asuh to rear yang mempunyai makna menjaga, merawat, dan mendidik anak yang masih kecil.
Menurut Wagnel dan Funk dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1989 :2, menyebutkan bahwa mengasuh meliputi
menjaga serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster dalam Tim Peneliti dan Penulis
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1989 :2, yang intinya bahwa mengasuh itu membimbing menuju ke pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan memberikan
pendidikan, makanan, dan sebagainya terhadap mereka yang diasuh. Dari beberapa pengertian tentang batas asuh, yang patut dicatat adalah apa
yang diuraikan oleh Whiting dan Child dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1989 :2. Menurut kedua pakar tersebut, dalam proses
pengasuhan anak yang harus diperhatikan adalah : 1.
orang-orang yang mengasuh 2.
cara-cara penerapan larangan atau keharusan yang dipergunakan. Anak mulai diajar patuh terhadap perintah orangtua.
Whiting dan Child 1966 dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1989 :2 juga mengatakan bahwa cara-cara penerapan
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
larangan maupun keharusan terhadap anak beraneka ragam. Tetapi pada prinsipnya cara pengasuhan anak setidak-tidaknya mengandung sifat :
a. Pengajaran instructing
b. Pengganjaran rewarding
c. Pembujukan inciting
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian