Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
2. Bagaimana budaya amae direalisasikan oleh orangtua khususnya ibu dalam
mengasuh anaknya dimulai dari fase bayi, anak-anak, dan remaja ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi?
1.3 Ruang Lingkup pembahasan
Dalam skripsi ini penulis membatasi pembahasan mengenai budaya amae yang direalisasikan dalam pola pengasuhan anak dimulai dari tahap bayi, anak-anak,
sampai remaja. Di sini akan dilihat bagaimana ketergantungan hubungan antara anak dan ibunya yang dilatarbelakangi budaya amae. Untuk supaya dalam pembahasan
tentang budaya amae dalam pola pengasuhan anak di Jepang ini lebih jelas dan akurat, maka sebelum bab pembahasan penulis akan menjelaskan tentang budaya amae dalam
kehidupan masyarakat Jepang. Selain itu akan dibahas juga mengenai pola pengasuhan anak dalam prinsip amae.
Dan pada bab pembahasan, penulis akan membahas mengenai pola pengasuhan yang berlatar belakang budaya amae pada saat bayi, masa kanak-kanak
dan pada masa remaja.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka
Berbicara mengenai pola asuh tidak terlepas dai hubungan antara anak dengan orangtua. Juga menyangkut psikologi anak dalam menghadapi pola asuh yang
diterapkan orangtua mereka. Bowlby dalam Gunarsa 1997 : 71 mengatakan bahwa terdapat keterikatan
antara orangtua yang disebut dengan attachment. Menurut beliau, agar anak-anak
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
memperoleh perlindungan dari orangtua, anak-anak harus mengikatkan diri kepada orangtua mereka. Keterikatan anak kepada orangtuanya berkembang dari hal-hal yang
tidak terarah, sedikit demi sedikit menjadi terarah dan tertentu. Bowlby juga mengatakan bahwa berada sendirian merupakan hal yang
paling ditakuti dalam kehidupan seseorang. Dari sudut biologis, hal ini dapat diterangkan berdasarkan kenyataan bahwa untuk menghadapi krisis-krisis yang
dialami, seseorang membutuhkan orang lain untuk membantu mengatasinya. Bayi atau anak-anak mempunyai kebutuhan-kebutuhan fisiologis yang perlu
dipenuhi. Dengan terikatnya si anak kepada ibunya, si anak dapat memenuhi kebutuhan fisiologisnya dan anak sedikit demi sedikit belajar bahwa ibunya adalah
sumber tempat dia memperoleh kepuasaan. Teori ini ditunjang oleh teori Psikoanalisa dan seorang pakar psikologi anak, Freud 1940 yang mengemukakan bahwa “ cinta
berasal dari keterikatannya dan terpuaskannya kebutuhan untuk memperoleh makanannya”.
Penerapan budaya amae juga direalisasikan dalam pola pengasuhan. Dalam budaya amae terdapat pola keterikatan antara anak dengan orangtua, khususnya
terhadap ibu yang berlebih yang dapat disebut dengan ketergantungan. Si anak secara total sangat bergantung kepada ibunya baik itu dalam hal kemanan, perlindungan,
pertahanan diri, makanan, dan hal penting lainnya. First, the mother has power over the child, the latter being totally dependent
on her for security, protection,and survival. Second, the mother is an overall caretaker for the child, responsible for his feeding, toilet control,clothing, and health. The child
is dependent on the mother attandance. Third, the wish for indulgence is fully gratified in the mother-child relationship. Finally, her wholenlife being devoted to the
welfare of the child, the mother symbolizes the ultimate in emphaty and sacrifice, on which the helpless child depends dalam Lebra, 1976 :57-58.
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Dari kutipan di atas, dapat terlihat jelas bahwa terdapat hubungan yang sangat manis antara anak dengan ibunya dalam pola pengasuhan yang mengandung budaya
amae. Si anak dapat dikatakan tidak berarti apa-apa tanpa kehadiran sang ibu di sampingnya. Si anak memperoleh segalanya dari sang ibu.
1.4.2 Kerangka teori
Kerangka teori menurut Koentjaraningrat 1976:11 berfungsi sebagai pendorong proses berpikir dedukatif yang bergerak dari alam abstrak ke alam
kongkrit. Suatu teori dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta kongkrit yang tidak terbilang banyaknya dalam
kehidupan masyarakat. Begitupun dalam tulisan yang menggunakan kerangka berpikir sehingga dalam penulisannya dapat terarah dan hal yang dibahas juga dapat
dibatasi sehingga tidak meluas. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui secara sekilas
mengenai budaya amae 珙蒴恒珩
. Budaya amae merupakan kepribadian masyarakat Jepang. Dalam bahasa Jepang, kata amae
珙蒴恒珩 berasal dari kata sifat yaitu amai
yang berarti manis. Sedangkan dalam kata kerja adalah amaeru atau amateiru yang berarti memaniskan. Kata amae secara leksikal mempunyai arti kebaikan, hasil
perlindungan seorang ibu terhadap bayinya sekaligus ketergantungan yang manis antara si bayi terhadap ibunya Rowland dalam Sibiyan, 2005:8. Amae juga
mempunyai arti “minyak kehidupan” dan merupakan salah satu tonggak dasar pada kepribadian manusia Jepang. Amae dalam psikologis Jepang mengacu pada tingkah
laku “kekanak-kanakan” yang diperbuat oleh orang dewasa. Dengan kata lain, amae berarti menjadi ibu atau menjadi anak yang berupa bentuk hubungan yang
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
melepaskan kepentingan diri sendiri antara ibu yang penuh kasih sayang dengan anaknya.
Sedangkan kerangka teori yang kedua adalah pola asuh orangtua. Sekilas akan dibahas mengenai pola pengasuhan. Di sini penulis telah mengutip pandangan dari
beberapa ahli mengenai pola asuh. Menurut Purwadarminta dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan 1989 :2, pengasuhan berasal dari kata asuh to rear yang mempunyai makna menjaga, merawat, dan mendidik anak yang masih kecil.
Menurut Wagnel dan Funk dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1989 :2, menyebutkan bahwa mengasuh meliputi
menjaga serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster dalam Tim Peneliti dan Penulis
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1989 :2, yang intinya bahwa mengasuh itu membimbing menuju ke pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan memberikan
pendidikan, makanan, dan sebagainya terhadap mereka yang diasuh. Dari beberapa pengertian tentang batas asuh, yang patut dicatat adalah apa
yang diuraikan oleh Whiting dan Child dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1989 :2. Menurut kedua pakar tersebut, dalam proses
pengasuhan anak yang harus diperhatikan adalah : 1.
orang-orang yang mengasuh 2.
cara-cara penerapan larangan atau keharusan yang dipergunakan. Anak mulai diajar patuh terhadap perintah orangtua.
Whiting dan Child 1966 dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1989 :2 juga mengatakan bahwa cara-cara penerapan
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
larangan maupun keharusan terhadap anak beraneka ragam. Tetapi pada prinsipnya cara pengasuhan anak setidak-tidaknya mengandung sifat :
a. Pengajaran instructing
b. Pengganjaran rewarding
c. Pembujukan inciting
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pembahasan di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana budaya amae yang terjadi dalam pola
pengasuhan orangtua kepada anak dimulai dari fase bayi, anak-anak, sampai kepada remaja ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh Takeo
Doi. 2.
Untuk mengetahui sejauh mana orangtua khususnya ibu dalam merealisasikan budaya amae dalam mengasuh anak dimulai dari fase bayi,
anak-anak, dan remaja ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi.
1.5.2 Manfaat Penelitian
Dengan dibahasnya budaya amae dalam pola pengasuhan anak, maka diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi :
1. Penulis sendiri, yaitu dapat menambah wawasan tentang budaya amae
dalam pola pengasuhan.
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
2. Para pembaca, khususnya orangtua yang ingin menambah wawasan
tentang cara pengasuhan anak yang berlatarbelakangkan budaya amae.
1.6 Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode Deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi,
suatu pemikiran, maupun fenomena yang sedang berlangsung. Tujuan dari penelitan deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki Nazir,1988:63.
Dalam pengumpulan data-data dan bahan-bahan yang berhubungan dengan topik penelitian ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan library research.
Studi kepustakaan merupakan suatu aktifitas yang sangat penting untuk menunjukkan jalan dalam memecahkan masalah penelitian. Beberapa aspek penting yang perlu
dicari dan digali dalam studi kepustakaan antara lain : masalah yang ada, teori-teori, konsep-konsep, dan penarikan kesimpulan serta saran Nasution, 2001 :14. Dengan
kata lain, studi kepulah pengumpulan data dengan membaca buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Data yang diperoleh dari buku-buku dan
referensi tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan saran. Buku-buku berbahasa asing juga dipergunakan dalam penulisan skripsi ini.
Jadi, penerjemahan buku-buku tersebut juga menggunakan teori terjemahan. Nida dan Taber dalam Setiasih 1987 :6 bahwa menerjemahkan adalah pemindahan pesan atau
amanat yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan mencari
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
padanan terdekat yaitu dari segi makna dan gaya bahasa. Pada dasarnya penulis menerjemahkan buku dari bahasa Inggris dalam pengambilan data.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI BUDAYA AMAE DALAM MASYARAKAT
JEPANG
2.1. Amae Dalam Kehidupan Masyarakat Jepang
2.1.1 Pengertian Amae