Amae Dalam Pengasuhan Anak-Anak

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. ibunya, yang hilang ketika dia mendapati ketidakhadiran ibunya, “demikian juga ada kegelisahan tentang ketidakhadiran ibunya dan ketakutan yang nyata bahwa ia tidak akan mampu mengatasi masalahnya dan akan marah jika ibunya tidak ada di sampingnya” Vogel, 1966:163. Dapat dilihat bahwa dalam masyarakat Jepang, bayi diperlakukan begitu istimewa. Memang dalam budaya masyarakat lainnya, bayi juga diperlakukan istimewa tetapi tidak seekslusif seperti layaknya masyarakat Jepang memperlakukan bayi mereka. Sebuah analogi mungkin diambil antara anak dalam kemarahan dan seorang dewa dalam kuil orang Jepang yang melepaskan kemarahannya dengan memberikan kesusahan bagi manusia. Baik antara anak dengan dewa diharapkan untuk ditentramkan dan ditenangkan oleh beberapa hal pembawa perdamaian. Tentu saja, kepercayaan rakyat bahwa anak adalah pemberian Dewa atau reinkarnasi Dewa tersebut. Dari penjabaran-penjabaran bagaimana perlakuan sang ibu kepada bayinya yang berlatarkan budaya amae seperti teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi, nampak bahwa perlakuan sang ibu kepada bayinya sangatlah istimewa. San ibu terlalu memberi hati kepada si bayi dan sangat memanjakannya , suatu hal yang jarang ditemukan dalam kebudayaan bangsa lain. Memang, pada saat si anak masih bayi, adalah hal yang sangat wajar mengingat si bayi tidak memiliki kemampuan untuk melakukan semua hal sendiri. Namun, sang ibu terlalu memanjakannya sampai- sampai ditarik suatu analogi yang menyamakan antara bayi dengan Dewa yang akan marah besar jika keinginannya tidak dituruti.

3.2 Amae Dalam Pengasuhan Anak-Anak

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. Anak-anak Jepang dengan cepat belajar untuk menemukan kesenangan dan keamanan jika berada dekat dengan ibunya. Baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan, si ibu adalah sumber kepuasaan yang besar dan tak putus-putusnya Benedict, 1989: 275. Perlakuan amae dari ibu kepada anaknya dapat dilihat ketika anak-anak Jepang akan duduk di pangkuan ibunya ketika tamu orang tuanya datang. Betapa istimewanya mereka sampai-sampai pada pembicaraan orang tua pun mereka boleh ikut. Si anak membagikan banyak waktu dan ruang dengan orang dewasa, bahkan ketika tamu dewasa datang. Tidak ada garis pembatas antara dunia orang dewasa dan anak, karena anak dipercaya mampu ikut serta dalam percakapan orang dewasa karena mereka tidak dapat terpisahkan secara fisik. Padahal jika kita melihat budaya negara lain, ketika tamu datang orangtua berusaha untuk menjauhkan anak-anak dari pembicaraan antara tamu dengan orangtua si anak sebagai tuan rumah karena mereka menganggap bahwa anak kecil tidak akan mengerti percakapan diantara orang dewasa dan dikhawatirkan anak-anak akan menganggu percakapan mereka. Hal ini juga menjadi perbedaan yang mencolok antara pola pengasuhan yang berlatarbelakang amae dengan pola pengasuhan di negara lain. Bahkan dalam kesempatan ini, orangtua si anak mendorongnya untuk memamerkan beberapa keahlian dan kepandaian anaknya sebagai tanda dari kecakapan maupun prestasi si anak. Si anak didukung keluarganya untuk menunjukkan kemampuannya dalam memperkenalkan nama-nama dari anggota keluarganya, menyebutkan alamat rumah, berhitung dari angka 1-10, menyanyi ataupun menari. Si tamu juga menikmati beberapa pertunjukan dan dengan baik hati Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. mengucapkan kata-kata pujian. Orang dewasa Jepang adalah penonton setia pertunjukan anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa si tamu memberikan kebaikan hati dengan kesediaannya menonton pertunjukan si anak tersebut. Dan hal ini menunjukkan perlakuan amae. Si anak selanjutnya menjadi peka terhadap rasa takut ditinggalkan sendiri dikarenakan rasa ketergantungannya terhadap sang ibu yang dipercaya akan memenuhi segala kebutuhan-kebutuhan dan harapannya. Hal ini mengakibatkan suatu masalah dalam penyesuaian diri ketika memasuki ssekolah. Bahkan dalam suatu penelitian dapat dilihat bahwa anak TK Jepang cenderung memperlihatkan perasaan takut yang berlebihan dan perasaan malu dibandingkan dengan anak Amerika. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa perlakuan amae juga membawa pengaruh yang negatif pada anak. Diakibatkan rasa ketergantungan yang besar kepada ibunya sejak bayi, maka anak Jepang yang memasuki usia sekolah yang sudah terbiasa dengan perlakuan amae yang didapatnya ketika berada di rumah akan merasa asing berada di lingkungan yang baru yang masih teramat asing baginya. Bahkan dalam rangka menumbuhkan disiplin dalam diri anak mereka, para orang tua Jepang memanfaatkan rasa ketergantungan dari anak terhadap mereka. Jika si anak ribut sekali atau tidak cepat melakukan sesuatu, ibunya akan berkata kepada tamu prianya, “maukah anda membawa anak ini? Kami tidak menyukai anak seperti ini”. Tamunya pun berpura-pura memainkan perannya. Ia mulai membawa anak itu keluar rumah. Si anak menjerit dan memanggil-manggil ibunya agar menolongnya. Ia benar-benar marah. Jika menurut ibunya cara tersebut berhasil, ibunya lalu mengalah dan mengambil kembali anaknya, seraya menyuruh anaknya berjanji untuk menjadi anak yang baik. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. Olokan juga bisa berbentuk lain. Si ibu berkata kepada anaknya, “ibu lebih suka kepada ayahmu daripada kepada kamu. Ayahmu adalah pria yang baik”. Si anak menunjukkan iri hatinya yang besar dan berusaha untuk menyelip ke tengah ibu dan ayah. Ibunya berkata, “ayahmu tidak berteriak-teriak atau berlarian di seluruh rumah”. “Tidak, tidak”, anaknya memprotes, “saya juga tidak akan melakukannya. Saya anak yang baik. Nah, cintakah ibu padaku?”. Kalau sandiwara itu telah berlangsung cukup lama, maka si ayah dan si ibu saling berpandangan dan tersenyum. Mereka juga bisa mengolok anak gadisnya atau putranya dengan cara seperti itu. Sang ibu juga dapat membuat anaknya kecewa dengan memuji anak yang lain, saudara kandung si anak, ataupun teman bermain si anak. Sang ibu mengatakan bahwa si anak harus menjadi seperti anak yang lain yang berlaku baik dan tidak nakal. Kata-kata yang akan membuat iri, namun hal ini adalah cara yang efektif untuk mendisiplinkan. Sang ibu juga dapat mengancam bahwa tidak ada satupun temannya atau saudaranya yang akan bermain dengannya jika si anak tetap berbuat nakal. Temannya juga mengancam akan menjauhi si anak jika si anak nakal tersebut mengacaukan permainan dengan kenakalan yang diperbuatnya. Mendisiplinkan juga dapat dilakukan dengan memohon empati kepada si anak. sang ibu menghadirkan dirinya sebagai korban dari kenakalan anaknya dan membuatnya seolah-olah turut merasakan kesakitan yang dirasakan oleh ibunya. Sang ibu akan berkata, “Jika kamu tidak berhenti berbuat kenakalan, ibumu ini akan menderita. Cobalah meletakkan posisi kamu pada posisi saya”. Permohonan rasa empati digunakan bersama dengan menggambarkan keadaan yang memalukan. Ibu, ayah, atau keluarga akan ditertawakan oleh tetangga karena kenakalan si anak. Sang ibu akan mengatakan kepada si anak bahwa setiap orang akan Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010. menertawakannya akibat kenakalan yang diperbuatnya. Ayahnya akan kehilangan muka di depan orang banyak dan seluruh anggota keluarga akan menderita malu. Dalam hal ini, si anak akan termotivasi untuk memperbaiki tingkah lakunya melalui rasa bersalah dan juga rasa malu. Pengalaman-pengalaman semacam ini juga merupakan tanah subur untuk menanamkan ketakutan akan ditertawakan orang lain dan juga akan pengasingan dari masyarakat yang begitu jelas di dalam psikologi orang Jepang dewasa. Pengasingan tersebut datang dari teman sepermainannya atau saudaranya yang tidak akan mau bermain bersamanya karena kenakalannya. Tak mungkin dikatakan kapan si anak mulai mengerti bahwa ia sebenarnya dipermainkan dengan olokan-olokan ini, tetapi lambat atau cepat mereka pasti akan mengerti dan kalau mereka telah mengerti, maka perasaan bahwa ia ditertawakan akan menyatu dengan kepanikannya ketika ia terancam akan kehilangan segala sesuatu yang aman dan dikenal yaitu orangtuanya. Paparan diatas menunjukkan kepada kita bahwa ternyata amae juga dipakai dalam menanamkan disiplin kepada si anak. Dan disiplin ini nantinya akan berguna ketika dia telah dewasa. Secara tidak langsung juga menanamkan perasaan malu baginya sejak kecil.

3.3 Amae Pada Saat Remaja