2. Minuman beralkohol golongan B yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol
C2H5OH lebih dari 5 sampai dengan 20 3.
Minuman beralkohol golongan C yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol C2H5OH lebih dari 20 sampai dengan 55
Dalam Perda ini pemerintah Kota Tangerang melarang siapa pun menjual minuman beralkohol golongan A, B, dan C kecuali di tempat-tempat yang telah
ditetapkan sesuai dengan Peraturan Walikota. Dan siapa pun dilarang meminum minuman beralkohol golongan A, B, dan C di tempat-tempat umum.
Dalam Perda nomor 8 pemerintah Kota Tangerang melarang setiap orang baik sendiri-sendiri atau bersama-sama mendirikan atau menyediakan tempat atau orang
untuk melakukan pelacuran. Dan melarang setiap orang yang sikap dan perilakunya mencurigakan yang dapat menimbulkan anggapan bahwa ia pelacur dilarang berada di
jalan-jalan umum, rumah penginapan, tempat hiburan, warung-warung kopi, dan sebagainya.
Kedua peraturan daerah ini merupakan upaya yang dilakukan pamerintah Kota Tangerang untuk mengatasi masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat demi
terciptanya tujuan dan cita-cita bersama yaitu terciptanya kehidupan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang tercermin
melalui akhlak mulia.
C. Proses Penyusunan Perda 7 dan 8 Tahun 2005
Pembuatan undang-undang atau peraturan daerah merupakan salah satu wewenang dari lembaga eksekutif dan legislatif. Pada tingkat daerah lembaga eksekutif
dipimpin oleh Walikota sedangkan lembaga legisatif pada tingkat daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. Dalam proses pembuatan undang-undang atau
peraturan daerah eksekutif membuat rancangan undang-undang yang kemudian dibahas oleh DPR dan eksekutif untuk mendapat persetujuan bersama.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Panitia Khusus Pansus Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005 yaitu Ir. Suratno Abubakar dapat dijelaskan bahwa dalam proses
penyusunan Peraturan Daerah No. 7 dan 8 Tahun 2005 tentang pelarangan minuman keras dan prostitusi, Walikota Tangerang sebagai lembaga eksekutif mengajukan
Rancangan Peraturan Daerah Raperda No. 7 dan 8 Tahun 2005 yang kemudian diserahkan secara tertulis kepada Pimpinan DPRD Kota Tangerang sebagai lembaga
legislatif,
kemudian Pimpinan DPRD memberitahukan kepada Anggota masuknya Raperda tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Setelah itu, Pimpinan DPRD
membuat alat kelengkapan dewan berupa Panitia Khusus Pansus yang terdiri dari 14 orang dari berbagai fraksi yang berfungsi untuk membahas secara khusus kedua rancangan peraturan
daerah tersebut.
30
Melalui rapat paripurna, eksekutif Walikota Tngerang dan legislaif DPRD Kota Tangerang membahas kedua rancangan peraturan daerah tersebut.
melalui rapat panitia khusus maupun melalui sidang paripurna serta hearing dengan elemen masyarakat
seperti LSM, tokoh masyarakat dan tokoh agama, pengusaha, wartawan, dan institusi- institusi yang terkait seperti polres, kejaksaan dan pengadilan. Kemudian
dikonsultasikan dengan Depdagri dan bagian hukum propinsi Banten. Setelah mencapai kesepakatan bersama diantara eksekutif, legislatif, dan elemen masyarakat maka
legislatif DPRD mengesahkan raperda tersebut menjadi peraturan daerah yang
30
Wawancara pribadi dengan Ir. Suratno Abubakar.
kemudian disosialisasikan kepada masyarakat.
31
Dalam proses perumusan hingga disahkannya kedua peraturan daerah tersebut menghabiskan waktu kurang lebih empat
bulan terhitung sejak tanggal 7 Juli 2005 sd 21 Nopember 2005. Meskipun kedua peraturan daerah ini menimbulkan pro dan kontra namun hal
tersebut merupakan sesuatu yang biasa terjadi di dalam masyarakat yang plural dan sebuah negara yang demokratis. Karena Indonesia menganut sistem demokrasi tidak
langsung, maka suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam pengambilan keputusan. Mayoritas dari masyarakat Kota Tangerang memberikan respon yang positif
terhadap ke dua peraturan daerah ini karena keresahan yang dirasakan oleh masyarakat atas pengaruh negatif dari modernisasi yaitu perubahan masyarakat yang semula meiliki
nilai-nilai keagamaan yang cukup kental kemudian mulai menjauh dari nilai-nilai tersebut yang disebabkan karena pengaruh negatif dari modernisasi.
31
Wawancara pribadi dengan Ir. Suratno Abubakar .
BAB IV
BENTUK, FAKTOR, DAN TINGKAT PARTISIPASI POLITIK
Peraturan Daerah No. 7 dan 8 Tahun 2005 merupakan dua bentuk kebijakan publik pemerintah Kota Tangerang. Kata publik dalam rangkaian kata kebijakan publik
mengandung tiga konotasi yaitu pemerintah, masyarakat, dan umum yang dapat dilihat dalam dimensi subjek, objek, dan lingkungan dari kebijakan.
32
Dalam dimensi subjek, kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah yang dapat dianggap resmi dan
mempunyai kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Ini berarti bahwa rakyat hanya dijadikan objek dalam kebijakan. Dalam dimensi
lingkungan, kebijakan publik harus berlaku bagi semua orang dan lingkungan yang luas. Menurut Nurchalish Madjid yang dikutip kembali oleh Idris Thaha, di Negara-
negara demokratis, termasuk Indonesia, inti pemikiran dari partisipasi politik dalam kehidupan bernegara adalah kedaulatn berada di tangan rakyat yang berarti hak dan
kewajiban manusia melalui masing-masing pribadi anggota masyarakatnya untuk berpartisipasi dan mengambil bagian dalam proses-proses menentukan kehidupan
bersama, terutama didalam bidang politik atau sistem kekuasaan yang mengatur masyarakat itu.
33
Karena kebijakan publik merupakan bagian dari kehidupan politik dan salah satu usaha untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama maka rakyat memiliki hak
dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik.
32
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik Jakarta: Suara Bebas, 2006, h. 22.
33
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurchalish Madjid dan M. Amien Rais
Jakarta: Teraju, 2004, h.225.
Dalam masyarakat tradisional keikutsertaan masyarakat dalam politik hanya terbatas pada segolongan elit politik saja sedangkan rakyat hanya dijadikan objek dari
kebijakan publik pemerintah. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat lebih maju dan moderen sehingga timbul kesadaran dalam masyarakat untuk berperan
serta dalam kehidupan politik dan masyarakat tidak lagi hanya sekedar menjadi objek dari kebijakan publik pemerintah.
Adanya kesadaran tentang demokrasi dalam masyarakat moderen yang menganggap “pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat,” membuat
kesadaran masyarakat meningat untuk merasa perlu mengambil peranan dalam memberi warna atau mempengaruhi kebijakan pemerintah. Baik pada tingkat proses penentuan
masalah atau isu kebijakan, perumusan masalah, prioritas masuknya isu dalam agenda kebijakan, perumusan kebijakan, pengesahan, maupun pelaksanaan dan penilaian
kebijakan.
34
Dalam bab ini, penulis akan mendeskripsikan dan menganalisa bentuk-bentuk partisipasi politik tokoh agama terhadap proses pembuatan Perda No.7 dan 8 Tahun
2005 dan faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi tersebut serta berapa besar tingkat partisipasinya.
Seperti yang telah dijelaskan di dalam bab sebelumnya, bentuk-bentuk partisipasi politik dibagi ke dalam dua bentuk yaitu konvensional dan non-
konvensional. Bentuk konvensional adalah bentuk partisipasi politik yang ”normal” dalam demokrasi modern. Sedangkan bentuk partisipasi non-konvensional adalah
34
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, h. 25.
beberapa kegiatan partisipasi politik yang dilakukan secara legal maupun ilegal dan revolusioner. Yang termasuk dalam bentuk konvensional diantaranya: diskusi politik,
pemberian suara voting, lobbying, kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk dalam bentuk non-
konvensional diantaranya: demonstrasi, aksi mogok, tindak kekerasan politik dan sebagainya.
Disamping itu juga terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang atau kelompok berpartisipasi dalam politik, diantaranya: modernisasi, tingkat
pendidikan yang tinggi, kemudahan akses informasi, sistem pemerintahan yang demokratis, dan sebagainya. Sedangkan tingkat partisipasi politik seseorang dapat
dilihat melalui seberapa sering seseorang melakukan partisipasi.
A. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Tokoh Agama terhadap Proses Pembuatan