hanya mensahkan perkataan wakif: “Barang ini merupakan wakaf sesudah saya meninggal”. Sedangkan Imam Hanafi dan Syafi’i
tidak mensahkannya.
40
c. Sighat tidak terkait dengan persyaratan bathil seperti seseorang
mensyaratkan sebagian benefit wakafnya untuk perbuatan maksiat.
41
d. Jumhur Ulama selain Imam Maliki menyatakan sighat harus
mengandung arti yang tegas dan tunai, namun Malikiyah membolehkan wakaf berkaitan dengan syarat dan penangguhan
realisasi pada masa yang telah ditetapkan oleh waqif.
42
4. Tinjauan Syariah Terhadap Uang Sebagai Objek Wakaf
Perkembangan yang menarik dalam hal pengembangan institusi wakaf akhir-akhir ini adalah digunakannya uang sebagai objek benda yang diwakafkan
yang dikenal dengan istilah cash waqf atau banyak diartikan para pihak dengan wakaf tunai. Istilah wakaf tunai sendiri pada dasarnya kurang tepat. Hal ini
mengingat inti persoalan dari cash waqf terletak pada obyek wakafnya yaitu uang. Terjemahan cash yang tepat dalam cash waqf ialah uang, bukan tunai, karena
yang menjadi pembahasan para ahli fiqh ialah hukum mewakafkan uang, dengan kata lain menjadikan uang sebagai objek wakaf. Adapun tunai telah dianalisa para
40
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima, h. 642-643
41
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 208
42
Ibid., h. 206
ahli fiqh dan mereka menjelaskan semua wakaf harus tunai, tidak boleh dalam bentuk utang. Karena itu tunai tidak dapat menjadi obyek wakaf.
Digunakannya uang sebagai objek wakaf semakin mendapat tempat di kalangan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini. Perkembangan ini pada akhirnya
telah menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya tinjauan hukum Islam syariah terhadap digunakannya uang sebagai objek wakaf? Timbulnya
pertanyaan semacam ini pada dasarnya adalah hal yang wajar. Hal ini mengingat selama ini wakaf yang populer di kalangan umat Islam Indonesia terbatas pada
wakaf tanah dan bangunan yang diperuntukan bagi tempat ibadah, pendidikan, atau lahan perkuburan. Karenanya UU No. 41 tahun 2004 dan fatwa MUI tentang
diperbolehkannya wakaf dengan uang, merupakan hal baru bagi umat Islam Indonesia.
MUI sendiri dalam fatwanya yang membolehkan wakaf uang selain menggunakan dasar hukum Al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan wakaf,
juga secara khusus memperhatikan pandangan para ulama yang telah membolehkan wakaf dengan uang. Beberapa pandangan yang digunakan MUI
tersebut antara lain adalah:
43
a. Pendapat Imam Az-Zuhri bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan
cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih.
43
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Komisi Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 11 Mei 2002
b. Pandangan dari ulama mazhab Hanafi yang membolehkan wakaf uang dinar
dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi hukum yang ditetapkan berdasarkan adat kebiasaan, berdasarkan hadis yang diriwayatkan
Abdullah bin Mas’ud r.a : “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk
oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”. c.
Pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i: “Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar
dan dirham uang” Walaupun banyak dari kalangan ulama yang telah membolehkan wakaf
uang, namun ada pula sebagian ulama yang sulit menerima pendapat bahwa sah hukumnya mewakafkan dinar dan dirham uang. Adapun alasan para ulama yang
tidak membolehkan berwakaf dengan uang, diantaranya:
44
a. Bahwa uang bisa habis zatnya sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan
dengan membelanjakan sehingga bendanya lenyap, sedangkan inti ajaran wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lazim
kekal. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda yang tahan lama, tidak habis dipakai.
44
Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah, ed., Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat
, Jakarta: PSTT-UI, 2006, h. 98
b. Uang seperti dirham dan dinar diciptakan sebagai alat tukar yang mudah,
orang melaukukan transaksi jual-beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya.
Dalam Al-Is’af fi Ahkam al-Awqaf, al-Tharablis menyatakan sebagian ulama klasik merasa aneh ketika mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh
Muhammad bin Abdullah al-Anshori, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan dirham atau dinar, dan
dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau ditakar, seperti makanan gandum. Hal ini membuat mereka merasa aneh karena tidak mungkin
mempersewakan benda-benda seperti itu, oleh karena itu mereka segera mempersoalkannya dengan mempertanyakan apa yang dapat kita lakukan dengan
dana tunai dirham? Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah al-Anshori menjelaskan dengan mengatakan: “kita investasikan dana itu dengan cara
mudharabah dan labanya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya
kita putar dengan usaha mudharabah kemudian hasilnya disedekahkan”.
45
Wahbah Zuhaili menjelaskan secara tegas bahwa ulama mazhab Maliki memperbolehkan wakaf uang, mengingat manfaat uang masih dalam cakupan
hadits Nabi Muhammad saw dan benda sejenis yang diwakafkan oleh para sahabat, seperti baju perang, binatang dan harta lainnya serta hal tersebut
mendapat pengakuan dari Rasulullah saw. Secara qiyas, wakaf uang dianalogikan
45
Ibid, h. 99
dengan baju perang dan binatang. Qiyas ini telah memenuhi syarat ‘illah sebab persamaan, yang jami’ titik persamaan terdapat dalam qiyas dan yang
diqiyaskan maqis dan maqis ‘alaih. Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang mungkin rusak dalam jangka waktu tertentu, bahkan wakaf uang jika
dikelola secara professional memungkinkan uang yang diwakafkan kekal selamanya.
46
Dari berbagai pandangan ulama tentang wakaf uang tersebut menunjukan adanya kehati-hatian para ulama dalam memberikan fatwa sah atau tidak sahnya
suatu praktik wakaf uang. Hal ini disebabkan harta wakaf adalah harta amanah yang terletak ditangan nadzir. Sebagai harta amanah, maka nadzir hanya boleh
melakukan hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi harta wakaf. Berdasarkan pertimbangan ini, disamping memikirkan model investasi wakaf
uang, perlu juga dipikirkan antisipasi adanya resiko kerugian yang akan mengancam eksistensi dan kesinambungan aset wakaf.
47
Walaupun ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai sah tidaknya wakaf uang, namun mengingat manfaat wakaf uang yang begitu besar
bila dikembangkan dengan baik bagi kemaslahatan umat, pengelolaan wakaf uang tetap menjadi pilihan yang menarik bagi umat Islam untuk dikembangkan. Dari
segi pemanfaatan misalnya, wakaf uang tentunya dapat dimanfaatkan lebih luas.
46
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI,
2006, h. 46
47
Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah, ed., Wakaf Tunai Inovasi Finansial, h. 99
Dana wakaf nantinya bisa digunakan untuk mendirikan perusahaan, pusat perbelanjaan, atau apa saja yang bernilai ekonomis dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Dananya terus mengalir, keuntungan yang diperoleh lebih besar, akan lebih banyak umat yang dibantu dengan dana tersebut. Dengan demikian
mobilisasi dana dari umat Islam untuk umat Islam dapat dilakukan secara maksimal dan didayagunakan bagi kemanfaatan umat yang sebesar-besarnya.
B. Praktik Perwakafan Di Indonesia
Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam. Praktik wakaf diasumsikan telah ada sejak Islam
menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam di nusantara sejak akhir abad ke-12M. Di masa-masa awal penyiaran Islam ini,
kebutuhan akan masjid untuk menjalankan aktivitas ritual dan dakwah membuat pemberian tanah wakaf untuk masjid menjadi tradisi yang lazim dan meluas di
kantong-kantong Islam di nusantara. Praktik-praktik yang menyerupai wakaf dilaporkan telah ada sejak jauh sebelum datangnya Islam di nusantara. Praktik yang
menyerupai wakaf ini dapat ditemukan dalam tradisi penyerahan tanah di beberapa daerah; seperti di Mataram, telah dikenal praktik semacam wakaf yang disebut tanah
perdikan yaitu tanah yang diberikan oleh Negara kepada orang tertentu yang
dianggap telah berjasa dan mereka dibebaskan dari pembayaran pajak, di Lombok dikenal tanah pareman yaitu tanah Negara yang dibebaskan dari pajak landrente
yang diserahkan kepada desa-desa subak, juga kepada candi dan juga kepentingan bersama. Dalam tradisi masyarakat Baduy di Cibeo, Banten Selatan juga dikenal