Analisa Novel Catatan Ichiyo Karya Rei Kimura Dilihat Dari Pendekatan Sosiologis

(1)

ANALISIS SOSIOLOGIS DALAM NOVEL “CATATAN ICHIYO”

KARYA REI KIMURA

REI KIMURA NO “A NOTE FROM ICHIYO” TO IU

SHOUSETSU NI OKERU SHAKAIGAKUTEKI NA BUNSEKI

Skripsi

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam

Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

AIRIN YUTANTO 090708031

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat, karunia, kasih sayang dan berkah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisa Novel Catatan Ichiyo Karya Rei Kimura Dilihat Dari Pendekatan Sosiologis” ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai kesarjanaan di Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Strata-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan moril dan materil dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara dn sebagai dosen pembimbing I.

3. Bapak Mhd. Pujiono, S.S, M.Hum, selaku dosen pembimbing II yang telah menyediakan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Dosen Penguji Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang


(3)

telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik.

5. Terima Kasih yang sebesarnya penulis ucapkan kepada keluarga penulis yaitu kakek, nenek, dan kedua orang tua Ayahanda Tanidi dan Ibunda Sri Muliany yang telah banyak mencurahkan kasih sayang, doa dan perhatiannya kepada penulis. Begitu juga dengan adik saya, Jefry dan orang yang menyayangi dan mendukung penulis yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-Teman yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman sastra Jepang stambuk 2009. 7. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yang tidak

dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis, bagi dunia pendidikan dan bagi masyarakat luas pada umumnya khususnya mahasiswa Sastra Jepang.

Medan, 12 Juni 2013 Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah... 4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan... 6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... 7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 10

1.6 Metode Penelitian... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SETTING SOSIAL, SOSIOLOGI SASTRA DAN BIOGRAFI PENGARANG... 12

2.1 Pengertian Novel... 12

2.2 Unsur-unsur Dalam Novel... 13

2.2.1 Unsur Intrinsik... 13

2.2.2 Unsur Ekstrinsik... 18

2.3 Setting Novel Catatan Ichiyo... 19

2.3.1 Zaman... 19

2.3.2 Tempat... 20

2.3.3 Setting Sosial... 21

2.4 Sosiologi Sastra... 23

2.4.1 Kondisi Sosial... 27


(5)

2.4.3 Perbedaan Status Gender... 29

2.5Biografi Pengarang Novel Catatan Ichiyo... 30

BAB III ANALISA NOVEL “CATATAN ICHIYO” KARYA REI KIMURA DILIHAT DARI PENDEKATAN SOSIOLOGIS... 31

3.1 Ringkasan Cerita... 31

3.2 Analisis Sosiologis Dalam Novel Catatan Ichiyo... 42

3.2.1 Hubungan Ichiyo dengan keluarga... 42

3.2.2 Hubungan Ichiyo dengan Teman-Teman... 49

3.2.3 Hubungan Ichiyo dengan Nakarai Tosui... 51

3.2.4 Hubungan Ichiyo dengan Masyarakat... 53

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 62

4.1 Kesimpulan... 62

4.2 Saran... 63

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(6)

要旨

ReiKimuraの「CatatanIchiyo」という小説における社会学的な分析

社会学的から分析されたある文学作品の一つはRei▪Kimuraが書かれた

「Catatan▪Ichiyo」の小説であり、「A▪Note▪From▪Ichiyo」の題名から翻訳さ

れた。明治時代から日本のある小説家の奮闘ふんとうの物語である。二00四年十一

月から彼女の写真描画びょうがは日本の五千円に飾かざれていた。「Catatan▪Ichiyo」の小

説は普通の社会からの日本女性「樋口一葉」について語った。「樋口夏子」

の名前で生まれた。彼女は困難こんなんで疲つかれる 日 常にちじょうを過すごした。貧乏びんぼうな家族なの

で、この家から他の家までよく引ひっ越こした。一葉の生活の旅たびは作家さ っ かになる事

を送おくった。

明治時代では女流作家じょりゅうさっかになるのはほとんど不可能ふ か の うな事であった。その

事はこの時代で儒道じゅどうに 影 響えいきょうされているからであった。それは良妻賢母主義りょうさいけんぼし ゅぎ

「彼女は 良 妻りょうさいと賢母け ん ぼにならなければならない」であった。だから、明治時

代では女性にとって、この小説の中に「樋口一葉」のように製作せいさくして、作家


(7)

しかし、一葉の決心けっしんと精神せいしんので、 結 局けっきょく日本では一番考慮こうりょされた作家

の一つになって来た。彼女の詩しと小説は 終 焉しゅうえんで日本人に読まれて、尊敬そんけいさ

れたばかりである。何百の年のあとで、彼女の顔は日本の五千円に永続えいぞくさせ

られた。他の日本女性にある敬礼けいれいと身分み ぶ んに達たっされたことがない。

「Catatan▪Ichiyo」の小説の中で明治時代の女性に社会的な問題と

状 勢

じょうせい

に向むき合あわれることが見える。そして、どうやってその時代の

女流作家

じょりゅうさっか

の身分み ぶ んである。その事に基もとづいて、筆者ひっしゃはこの小説の中の物語に社

会学的な分析されたことが面白いと思われる。だから、筆者は本稿ほんこうの中にそ

の事を討論とうろんする。

この分析の中に筆者は「樋口一葉」の主人公しゅじんこうに向き合われる社会的な

問題について討論とうろんが 集 中しゅうちゅうことにする。特に、社会とか 環 境かんきょうとかから

ちょっと敬礼が受けない明治時代の女性の身分である。そして、この小説の

中に社会から認知に ん ちが受けるために、製作せいさくするのはある女性の一生懸命奮闘いっしょうけんめいふんとう

である。

子供のときから、一葉は文学と詩しを読むことの才能さいのうが 現あらわれた。その


(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut Luxemburg (1992:23) sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial, sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada zaman itu. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistem masyarakat. Sastra juga mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk memahaminya.

Wellek dan Warren dalam Kurniawan (2012:1) kemudian mendefinisikan sastra sebagai karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan. Imajinasi dan estetika merupakan konsep dasar dari seni yang bersifat personal, sedangkan bahasa merupakan ciri khas dari media penyampainya, yang membuat karya sastra berbeda dengan karya-karya lainnya.

Karya sastra terdiri dari puisi, drama, prosa (novel), dan lain-lain. Novel merupakan salah satu karya sastra yang dapat dijadikan media untuk mengabadikan sesuatu yang menarik atau luar biasa atau untuk merekam zaman dan juga digunakan sebagai media untuk menggambarkan situasi yang terjadi saat itu dan melihat kehidupan sosiologi masyarakat dalam novel.

Pengertian novel menurut Wellek dan Warren dalam Hannum (2010:1-2) adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada


(9)

saat novel itu ditulis yang bersifat realistis dan mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam.

Kejadian yang terjadi dalam sebuah peristiwa dalam novel digambarkan oleh seorang tokoh. Tokoh-tokoh dalam novel dilukiskan dalam karakter, pribadi dan pencandraan diri yang kuat dan meyakinkan, keberadaan tokoh tersebut terasa hidup dan meyakinkan.

Menurut Piaget dalam Ratna (2011:13) karya sastra dianggap sebagai entitas dengan struktur yang otonom, mandiri, bahkan dianggap sebagai memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (self-regulation) di samping kesatuan intrinsik dan prosedur transformasi. Meskipun demikian, dalam perkembangan berikutnya dengan ditemukannya berbagai kelemahan terhadap teori tersebut, maka analisis bergeser ke struktur luar. Karya sastra dipahami dalam kaitannya dengan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Dalam hubungan inilah, berkembang model analisis interdisiplin, yaitu: psikologi sastra, sosiologi sastra, dan antropologi sastra.

Karena sastra memiliki hubungan yang khas dengan sistem sosial dan budaya sebagai basis kehidupan penulisnya, maka sastra selalu hidup dan dihidupi oleh masyarakat dan masyarakat sebagai objek kajian sosiologi menegaskan adanya hubungan antara sastra sebagai disiplin ilmu dengan sosiologi sebagai disiplin ilmu lainnya (Kurniawan, 2012:3).

Menurut Abercrombie dalam Kurniawan (2012:4) sosiologi mempunyai 2 akar kata: socius (dari bahasa Latin) yang berarti “teman” dan logos (dari


(10)

“ilmu tentang pertemanan”. Dalam sudut pandang ini, sosiologi bisa didefinisikan sebagai “studi tentang dasar-dasar keanggotaan sosial (masyarakat)”. Secara lebih teknis, sosiologi adalah analisis mengenai struktur hubungan sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial.

Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat serta usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu (Endraswara, 2011:3). Secara definitif sosiologi sastra adalah analisis, pembicaraan terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Definisi lain menyebutkan bahwa sosiologi sastra merupakan aktivitas pemahaman dalam rangka mengungkapkan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung dalam karya (Ratna, 2011:24).

Salah satu karya sastra yang akan ditelaah dari segi sosiologis terdapat dalam novel dengan judul “Catatan Ichiyo” ditulis oleh Rei Kimura yang menampilkan kisah perjuangan seorang novelis Jepang dari zaman Meiji yang sejak November 2004, lukisan potretnya menghiasi uang kertas Jepang pecahan 5.000 yen.

Novel “Catatan Ichiyo” menceritakan tentang gadis Jepang biasa bernama Ichiyo Higuchi. Ia terlahir dengan nama Natsuko Higuchi, sebelum mengambil keputusan benar untuk mengganti namanya menjadi Ichiyo Higuchi. Ia menjalani hari-hari yang sulit dan melelahkan. Berpindah-pindah dari rumah yang satu ke rumah yang lain karena kondisi keluarga yang miskin.


(11)

Perjalanan hidup mengarahkan Ichiyo menjadi penulis. Menjadi penulis perempuan pada zaman Meiji adalah hal yang hampir mustahil. Hal tersebut karena ada paham yang masih berlaku di masyarakat bahwa wanita harus tinggal di rumah dan tugas wanita yaitu urusan rumah tangga dan merawat anak (International Society for Education Information,Inc, 1989:83). Namun tekad dan semangat Ichiyo akhirnya membawanya menjadi salah satu penulis yang paling diperhitungkan di Jepang.

Di akhir hidupnya, barulah sajak dan novel-novelnya dibaca dan dihormati oleh warga Jepang. Beratus-ratus tahun kemudian wajahnya diabadikan pada mata uang kertas 5.000 yen Jepang. Sebuah penghormatan dan kedudukan yang tak pernah dicapai oleh perempuan Jepang mana pun.

Di dalam novel Catatan Ichiyo dapat dilihat kondisi dan masalah sosial yang dihadapi oleh seorang perempuan di zaman Meiji dan bagaimana status sebagai sastrawan perempuan pada zaman itu.

Berdasarkan uraian di atas penulis merasa tertarik untuk menganalisa secara sosiologis cerita dalam novel ini. Untuk itu penulis membahasnya di dalam skripsi dengan judul “Analisa novel Catatan Ichiyo Karya Rei Kimura dilihat dari pendekatan Sosiologis”.

1.2 Perumusan Masalah

Kondisi sosial dan masalah sosial setiap zaman berbeda. Seperti halnya di zaman Meiji, dimana seorang perempuan dengan status dari golongan bawah


(12)

seseorang mempunyai bakat, tetapi karena pengaruh kondisi sosial , status, dan gender maka bakat tersebut menjadi sulit mendapat pengakuan. Seperti halnya tokoh Ichiyo Higuchi dalam novel Catatan Ichiyo.

Novel Catatan Ichiyo karangan Rei Kimura menceritakan tentang tokoh Ichiyo Higuchi yang memliki kecerdasan dan kegeniusan dalam bidang sastra. Bahkan telah menunjukkan bakat menjanjikan dalam pembacaan sajak dan sastra sejak berusia 6 tahun. Walaupun perjalanan hidup mengarahkan Ichiyo menjadi penulis, tapi bagi perempuan pada zaman Meiji, hal tersebut adalah hampir mustahil karena ada paham yang masih berlaku di masyarakat bahwa wanita harus tinggal di rumah dan tugas wanita yaitu urusan rumah tangga dan merawat anak.

Sepeninggal ayahnya, yang paling berpengaruh bagi bakat sastranya, Ichiyo menjadi anak yang paling bertanggung jawab untuk menjaga keluarganya. Dengan krisis keuangan mengerikan yang melanda keluarganya, Ichiyo pun harus bekerja keras dan berjuang supaya mendapatkan pengakuan dalam masyarakat. Dia melakukan pekerjaan apa pun demi semangkuk nasi, sup miso shiro, dan acar bagi keluarganya. Mulai dari menulis cerpen dan novel, berdagang, hingga pekerjaan seperti mencuci dan menjahitkan kimono orang lain.

Tekad,semangat dan perjuangan Ichiyo hingga mendapat pengakuan akhirnya membawanya menjadi salah satu penulis yang paling diperhitungkan di Jepang. Sayang, kesehatan yang terus memburuk akibat penyakit


(13)

tuberkulosis yang menggerogoti Ichiyo mengantarnya pada ajal di usia belia, 24 tahun.

Di akhir hidupnya, barulah sajak dan novel-novelnya dibaca dan dihormati oleh warga Jepang. Beratus-ratus tahun kemudian wajahnya diabadikan pada mata uang kertas 5.000 yen Jepang. Sebuah penghormatan dan kedudukan yang tak pernah dicapai oleh perempuan Jepang mana pun.

Melihat uraian di atas dapat dilihat muncul masalah seperti berikut yaitu masalah penghargaan terhadap status kaum perempuan dan masalah perjuangan seorang kaum perempuan untuk mendapatkan status di mata masyarakat Jepang. Dengan menggunakan teori pendekatan semiotik dan teori pendekatan sosiologis sebagai acuan penulis untuk menganalisis masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh tokoh utama.

Untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji, maka masalah penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut ini:

1. Bagaimana status kaum perempuan zaman Meiji yang kurang mendapat penghargaan dari masyarakat.

2. Bagaimana perjuangan seorang perempuan pada zaman Meiji dalam berkarya sehingga mendapat pengakuan dari masyarakat.

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini


(14)

dimaksudkan agar masalah penelitian tidak terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga penulisan dapat terarah dan terfokus.

Novel Catatan Ichiyo yang ditulis oleh Rei Kimura merupakan novel terjemahan dari novel edisi bahasa Inggris dengan judul A Note From Ichiyo yang berjumlah 277 halaman dan penulis mengutip 24 cuplikan untuk dianalisis.

Dalam analisis ini, penulis memfokuskan pembahasan mengenai masalah sosial yang dihadapi oleh tokoh Ichiyo Higuchi khususnya status kaum perempuan zaman Meiji yang kurang mendapat penghargaan baik dari masyarakat maupun dari lingkungan sosialnya dan perjuangan yang keras seorang perempuan dalam berkarya untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat dalam novel ini. Penulis menganalisis penelitian ini dengan menggunakan pendekatan semiotik dan pendekatan sosiologis sebagai acuan penelitian. Supaya pembahasan lebih jelas dan memiliki akurasi data yang tepat dan jelas, maka penulis dalam bab II menjelaskan juga mengenai novel Catatan Ichiyo, setting novel Catatan Ichiyo, sosiologi sastra, dan biografi pengarang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Wellek dan Warren dalam Kurniawan (2012:1) mendefinisikan sastra sebagai karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan. Imajinasi dan estetika merupakan konsep dasar dari seni


(15)

yang bersifat personal, sedangkan bahasa merupakan ciri khas dari media penyampainya, yang membuat karya sastra berbeda dengan karya-karya lainnya.

Menurut Swingewood dalam Yasa (2012:22-23) sastra merupakan refleksi masyarakat. Berkaitan dengan pernyataan itu, Swingewood menyampaikan bahwa pengarang besar tidak sekadar menggambarkan dunia sosial secara mentah, tetapi ia mengemban tugas yang mendesak, yaitu memainkan tokoh-tokoh ciptaannya dalam satu situasi rekaan untuk mengungkapkan nilai dan makna dalam dunia sosial. Dalam masyarakat, sesungguhnya, manusia berhadapan dengan norma dan nilai. Dalam sastra, juga dicerminkan nilai dan norma yang secara sadar difokuskan dan yang diusahakan untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Sastra juga melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu, kemungkinan sastra tersebut bisa merupakan salah satu ukuran sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan sosial.

Menurut Piaget dalam Ratna (2011:13) unsur-unsur karya sastra dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu struktur dalam dan luar. Struktur dalam juga disebut struktur intrinsik. Struktur luar juga disebut struktur ekstrinsik. Pada gilirannya, analisis pun tidak bisa dilepaskan dari kedua aspek tersebut. Analisis aspek pertama memperoleh perhatian sejak ditemukannya teori formal yang kemudian dilanjutkan dengan strukturalisme dengan berbagai variannya.


(16)

Ratna (2011:27) menyebutkan analisis sosiologis memiliki 2 pengertian, sebagai berikut:

Pertama, analisis dengan memberikan perhatian terhadap karya sastra itu sendiri, sedangkan aspek-aspek kemasyarakatannya berfungsi sebagai pelengkap.

Kedua, analisis yang memposisikan karya sastra sebagai gejala kedua, sebagai objek sekunder dalam rangka mendukung disiplin lain, seperti sosiologi, sejarah, ekonomi, agama, dan sebagainya, termasuk antropologi itu sendiri.

Di dalam novel Catatan Ichiyo ditampilkan oleh Rei Kimura tentang kondisi dan masalah sosial yang dihadapi oleh seorang perempuan di zaman Meiji dan bagaimana status sebagai sastrawan perempuan pada zaman itu.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologis dan semiotik.

Pendekatan sosiologis menurut Ratna (2004:59) menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Pendekatan sosiologis juga memiliki implikasi metodologis berupa pengalaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat.

Dalam hal ini penulis menganalisa kondisi sosiologis tokoh utama dari novel Catatan Ichiyo yang kemudian dihubungkan dengan pendekatan semiotik yang digunakan untuk menjabarkan keadaan serta tanda-tanda yang


(17)

menunjukkan atau berkaitan dengan masalah sosial dari tokoh Ichiyo terdapat dalam novel tersebut. Oleh karena itu, analisis ini akan menjelaskan tentang kondisi sosiologis yang dihadapi tokoh utama dalam novel ini. Setelah itu, penulis melakukan analisis dengan pendekatan semiotik.

Menurut Preminger dalam Pradopo (2003:72-73) semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna.

Penulis menggunakan pendekatan semiotik karena adanya kondisi dan masalah sosial yang dihadapi oleh tokoh dapat dilihat dari lingkungan, interaksi sosial, dan kondisi zaman Meiji di Jepang saat itu. Dengan pendekatan semiotik, penulis akan menemukan atau akan menginterpretasikan tanda-tanda yang menunjukkan adanya masalah sosial yang diungkapkan oleh pengarang dalam cerita novel “Catatan Ichiyo” yang akan dibahas dalam skripsi ini.


(18)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Sebelum melakukan sebuah penelitian maka harus diketahui dulu apa tujuan penelitian. Hal ini dikarenakan supaya tidak mengalami kesulitan untuk meneliti sebuah masalah. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan keadaan sosiologis tokoh utama terutama mengenai kondisi dan masalah sosial yang dihadapi oleh perempuan pada zaman Meiji dan pengakuan status sastrawan perempuan pada zaman tersebut dari masyarakat.

2. Untuk mendeskripsikan perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan status penghargaan dari masyarakat.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti dan pembaca dapat menambah wawasan mengenai sosiologis tokoh dalam karya sastra.

2. Bagi pembaca, penelitian ini dapat sebagai bahan penunjang untuk Departemen Sastra Jepang FIB Universitas Sumatera Utara, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan yang berkaitan dengan kesastraan Jepang.


(19)

1.6 Metode Penelitian

Dalam sebuah penelitian sangat dibutuhkan metode penelitian sebagai bahan penunjang dalam penulisan. Metode adalah cara pelaksanaan penelitian. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif.

Menurut Koentjaraningrat (1976:30), bahwa penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data.

Dalam penulisan ini peneliti menguraikan dan menjelaskan secermat mungkin kondisi dan masalah sosial di dalam novel Catatan Ichiyo karya Rei Kimura dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada. Teori-teori tersebut adalah teori semiotik dan teori sosiologis.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik metode studi kepustakaan (Library Research) dalam pengumpulan data. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan buku dari berbagai sumber atau referensi yang berkaitan dengan masalah ini. Dan untuk menunjang penulisan ini, penulis juga menambahkan referensi dari internet atau hal-hal yang berkaitan dengan masalah ini.


(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SETTING SOSIAL, SOSIOLOGI SASTRA DAN BIOGRAFI PENGARANG

2.1 Pengertian Novel

Menurut Abrams dalam Nurgiantoro (1995:9) sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara harafiah berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa”. Dalam bahasa Jerman novel disebut novella dan dalam bahasa Inggris disebut dengan novel, istilah inilah yang kemudian masuk ke dalam bahasa Indonesia.

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, karena daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, dan melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Novel juga lebih menitikberatkan kepada tokoh manusia dalam karangannya dari pada kejadiannya dan secara keseluruhannya mengambil bentuk yang dikatakan dengan ciptaan dunia berdasarkan perbedaan individu. Selain itu novel mampu menghadirkan perkembangan suatu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter dan berbagai peristiwa rumit yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail (Amalia, 2010:15-16).

Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa dan drama, genre prosalah, khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat ditemukan, di antaranya:


(21)

a) Novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas

b) Bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat.

Oleh karena itulah, dikatakan bahwa novel merupakan sosiologis dan bersifat menanggapi karena peka terhadap ketidaktetapan sosiohistoris (Hannum, 2010:16).

2.2 Unsur-Unsur Dalam Novel

Novel mempunyai unsur-unsur yang berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan, sehingga dengan unsur-unsur tersebut keterpaduan sebuah novel akan terwujud. Ada dua unsur pokok yang membantu sebuah karya sastra, yaitu unsur intrinsik atau unsur dalam yang ikut mempengaruhi terciptanya karya sastra, sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur luar yang ikut mempengaruhi terciptanya karya sastra.

2.2.1 Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang berada dalam karya sastra itu sendiri. Nurgiantoro (1995:23) berpendapat unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai ketika orang-orang membaca sebuah karya sastra.


(22)

Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Keterpaduan antar berbagai unssur inilah yang membuat sebuah novel berwujud.

Unsur-unsur yang dimaksud adalah tema, plot, tokoh, setting, dan lain-lain.

a. Tema

Menurut Stanton (2007:88) Tema (theme) merupakan makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu. Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia, sesuatu yang dijadikan pengalaman begitu diingat. Jadi, dengan kata lain tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel atau karya sastra.

Brooks dalam Aminuddin (2000:02) mengungkapkan bahwa dalam mengapresiasikan tema suatu cerita apresiatur harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal. Tema dalam hal ini tidaklah berada di alur cerita,tetapi inklusif di dalamnya. Akan tetapi, keberadaan tema meskipun inklusif di dalam cerita tidaklah terumus dalam satu dua kalimat secara tersurat, tetapi terbesar di balik keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media pemapar prosa fiksi. Karena itu, tema yang baik pada hakikatnya adalah tema yang tidak diungkapkan secara langsung dan jelas, sehingga pembaca bisa mangambil kesimpulan tentang tema yang diungkapkan oleh pengarang harus dirumuskan sendiri oleh pembaca (Fananie, 2001:84).


(23)

Sesuai dengan cerita yang ada dalam novel Catatan Ichiyo yang digambarkan dengan tokoh Ichiyo Higuchi yang menjadi tokoh utama dalam novel ini menceritakan kehidupan seorang wanita Jepang di zaman Meiji yang kurang mendapat penghargaan dan perjuangannya dalam berkarya sehingga mendapat pengakuan dari masyarakat. Karena kondisi kehidupan yang ada dalam novel disesuaikan dengan zaman Meiji yang ada di Jepang, maka banyak terjadi masalah sosial yang dialami oleh tokoh dalam cerita yang ada dalam novel Catatan Ichiyo.

b. Plot

Plot atau alur merupakan urutan kejadian dalam sebuah cerita, tiap kejadian tersebut dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lainnya (Stanton, 2007:89).

Sebagaimana diungkapkan oleh Petronius dalam Fananie (2001:93) struktur plot mencakup tiga bagian:

1. Exposition (setting forth of the beginning) 2. Conflict (a complication that moves to climax)

3. Denouement (literally,”unknotting” the outcome of the conflict; the resolution)

Dalam pengertiannya, elemen plot hanyalah didasarkan pada paparan mulainya peristiwa, berkembangnya peristiwa yang mengarah pada konflik yang memuncak, dan penyelesaian terhadap konflik.


(24)

Plot atau alur juga dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju (progresif) yaitu apabila peristiwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur (flash back progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung.

Berdasarkan definisi plot di atas, maka plot dalam novel Catatan Ichiyo termasuk dalam bagian alur mundur (flash back progresif) dimana awal cerita dimulai dengan peristiwa detik-detik terakhir kematian tokoh utama, Ichiyo Higuchi. Setelah itu, baru diceritakan dari awal yaitu peristiwa pertemuan orang tua Ichiyo yang masih remaja sampai kelahiran Ichiyo dan perjuangan keras Ichiyo dalam menghadapi masalah sosial yang dialaminya

c. Tokoh

Istilah “tokoh” menunjukkan pada orangnya, pelaku cerita. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan yang dilakukan dengan tindakan (Fananie, 2001:86).

Boultoun dalam Aminuddin (2000:79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokoh sebagai pelaku yang hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya. Pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya maupun pelaku egois, kacau, dan mementingkan diri


(25)

sendiri. Dalam cerita fiksi, pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia. Dalam menentukan tokoh utama dan tokoh pembantu, yang pada umumnya merupakan tokoh yang sering dibicarakan oleh pengarang, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan alakadarnya.

Dalam novel Catatan Ichiyo yang digunakan dalam analisis ini adalah tokoh Ichiyo Higuchi yang merupakan tokoh utama, dimana Ichiyo adalah seorang wanita Jepang pada zaman Meiji yang mempunyai bakat dalam sastra, sedangkan pada zaman itu statusnya yang sebagai kaum wanita kurang dihargai dan direndahkan oleh kaum laki-laki. Juga terdapat paham yang berlaku dalam masyarakat bahwa tugas wanita adalah menikah dan tinggal di rumah sebagai istri yang baik dan ibu yang bijaksana, sehingga keinginan Ichiyo untuk menjadi seorang penulis merupakan hal yang hampir mustahil pada zaman itu.

d. Setting

Setting merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Setting dapat berwujud dekor (tempat), dan juga berwujud waktu-waktu tertentu. Biasanya setting diketengahkan melalui baris-baris deksriptif (Stanton, 2007:91).

Setting memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian merasa dipermudah untuk menggunakan daya imajinasinya, di samping itu dimungkinkan


(26)

untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang setting.

Begitu juga dengan setting novel Catatan Ichiyo akan lebih jelas diuraikan pada sub bab 2.3 yang menjelaskan tentang zaman, tempat, dan setting sosial.

2.2.2 Unsur Ekstrinsik

Wellek dan Warren (1995: 290) mengatakan bahwa unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu sendiri yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra.

Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga memiliki beberapa unsur di antaranya keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ekstrinsik merupakan segala faktor yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Yang merupakan milik subjektif pengarang yang berupa kondisi sosial, motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi kepengarangan seseorang.

Unsur-unsur ekstrinsik meliputi latar belakang pengarang, adat-istiadat yang berlaku, situasi politik, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, agama, ekonomi dan sebagainya. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian amanat cerita dan tema. Unsur ekstrinsik karya sastra cukup berpengaruh terhadap totalitas keterpaduan cerita yang dihasilkan.


(27)

Unsur ekstrinsik yang akan dilihat dalam novel Catatan Ichiyo adalah latar belakang sosial pengarang sebagai warga negara asing atau luar Jepang yang sangat tertarik akan Jepang yang telah dipaparkan dalam sub bab berikutnya.

2.3 Setting Novel Catatan Ichiyo

Setiap karya sastra disusun atas unsur-unsur yang menjadikannya sebuah kesatuan. Salah satu unsur yang sangat mempengaruhi keberadaan karya sastra adalah unsur insrinsik. Setting merupakan salah satu unsur intrinsik yang terdapat dalam karya sastra yang dalam hal ini adalah novel.

Menurut Abrams dalam Nurgiantoro (1995:216) Setting dan latar yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Setting dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu: waktu, tempat, dan sosial. Ketiga unsur itu masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

2.3.1 Zaman

Zaman merupakan latar waktu yang berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Oleh sebab itu dalam


(28)

kaitannya sebagai latar waktu maka dalam novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura mengambil setting pada zaman Meiji sekitar tahun 1857-1896.

Zaman meiji merupakan salah satu periode yang paling istimewa dalam sejarah Jepang. Di bawah pimpinan kaisar Meiji, Jepang bergerak maju sehingga hanya dalam beberapa dasawarsa mencapai pembentukan suatu bangsa modern yang memiliki perindustrian modern dan lembaga-lembaga politik modern.Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, kaisar Meiji memindahkan ibukota kekaisaran dari Kyoto ke Edo. Edo pun berganti nama baru menjadi Tokyo. Diumumkanlah undang-undang dasar yang menetapkan sebuah kabinet dan badan-badan legistlatif. Golongan-golongan masyarakat selama zaman Edo yang membuat masyarakat menjadi terbagi berdasarkan kasta pun dihapuskan. Kaisar Meiji membawa pencerahan dalam membimbing bangsanya melewati peralihan yang sangat mencuat. Lalu berakhir pada saat wafatnya kaisar Meiji pada tahun 1912.

Seperti halnya tokoh Ichiyo Higuchi dalam novel Catatan Ichiyo yang hidup di zaman Meiji yaitu zaman dimana perempuan susah untuk berkarya. Hal tersebut karena ada paham masyarakat paham yang menganggap bahwa wanita harus tinggal di rumah dan tugas wanita yaitu urusan rumah tangga dan merawat anak. Sehingga Ichiyo harus berjuang dalam mendapatkan pengakuan dari masyarakat.


(29)

2.3.2 Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Dekripsi tempat secara teliti dan realistis penting untuk mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguh ada dan terjadi yaitu tempat dan waktu yang diceritakan. Dalam novel “Catatan Ichiyo” mengambil latar tempat di beberapa tempat di Jepang, seperti di kota Edo, Jimbocho, Awajicho, Hongo, Ryusenji, dan sebagainya. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat dimana perjuangan Ichiyo dalam mendapatkan pengakuan dari masyarakat yaitu ketika Ichiyo berpindah-pindah untuk mencari nafkah karena keadaan ekonomi yang buruk dan tempat-tempat tersebut juga memberikan inspirasi bagi Ichiyo dalam berkarya.

2.3.3 Setting Sosial

Setting sosial atau latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.

Sama halnya juga dalam novel “Catatan Ichiyo” ini terdapat ruang lingkup tempat dan waktu sebagai wahana para tokohnya mengalami berbagai pengalaman


(30)

dalam hidupnya. Peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam novel ini seluruhnya terjadi di Jepang dan berlangsung pada tahun 1857-1896.

Pada zaman ini masih dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme yaitu konsep ryousai kenbou yang mengatakan "bahwa seorang perempuan harus menjadi istri yang baik dan ibu yang bijaksana". Oleh karena itu, bagi perempuan pada zaman Meiji seperti Ichiyo Higuchi dalam novel ini untuk berkarya dan menjadi sastrawan merupakan hal yang hampir mustahil.

Setelah keagungan zaman Heian, perempuan berangsur-angsur kehilangan banyak dari hak-hak mereka ketika zaman feodal Jepang yang panjang. Secara resmi memakai ajaran Konfusianisme pada masa Tokugawa menegaskan posisi kepatuhan mereka. Status mereka tidak meningkat dengan politik dan perubahan undang-undang zaman Meiji. Penyusun UUD Meiji mengabaikan hak wanita untuk bergabung dalam partai politik atau mengambil peran aktif apapun dalam kegiatan politik, bahkan untuk menghadiri pertemuan politik. Peranan mereka dalam masyarakat disimpulkan dalam ungkapan Ryousai Kenbou, “Istri yang baik dan ibu yang bijaksana”.

Meskipun demikian, ada wanita-wanita yang terang-terangan tidak puas dengan keadaan ini, dan lembaga pendidikan yang lebih tinggi untuk wanita mulai dibentuk. Perguruan tinggi perempuan Tsuda yang terkenal didirikan pada tahun 1900 dan segera diikuti oleh yang lainnya. Dapat dikatakan bahwa murid-muridnya hampir semuanya berasal dari keluarga yang mapan, tapi mereka menganjurkan penyebaran pendidikan wanita ke segala tingkat. Demikian dibuat jumlah pembaca yang potensial untuk majalah perempuan dan beberapa diterbitkan antara tahun 1905 dan 1910.


(31)

Tidak peduli bagaimanapun terdidiknya perempuan kelas menengah tapi mereka tidak ada peluang di dalam masyarakat untuk menggunakan pendidikan mereka dalam berbagai cara yang efektif. Kesusasteraan tampaknya menawarkan kesempatan satu-satunya untuk wanita dalam memenuhi diri mereka dalam cara yang kelihatannya lebih berarti. Setelah akhir dasawarsa pertama dari abad ke -20 dua penulis wanita membuat diri mereka terkenal dalam dunia sastra - Higuchi Ichiyou dan Yosano Akiko (Beasley,1988:141).

Jadi dengan adanya setting sosial seperti ini, Rei Kimura mengekspresikan dalam karyanya yaitu Catatan Ichiyo.

2.4 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio/socius (Yunani) yang berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003:1).


(32)

a. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan;

b. Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan

c. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan moral. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang sukses yaitu karya sastra yang dapat merefleksikan zamannya.

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekadar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.

Perspektif sosiologi sastra yang patut diperhatikan menurut Elizabeth dan Burns dalam Endraswara (2008:79) “literature is not only the effect of social causes but also the cause of social effect”. Sugesti ini memberikan arah bahwa penelitian sosiologi sastra dapat ke arah hubungan pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra. Keduanya saling mempengaruhi dalam hal-hal tertentu yang pada gilirannya menarik perhatian peneliti.


(33)

Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan sepanjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra.

Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap gejala kemasyarkatan. Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia menjadikan karya sastra sangat dekat dengan aspirasi masyarakat.

Ada beberapa alasan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat. Ratna (2004: 332-333), mengemukakan sebagai berikut.

1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat. 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang

terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.

3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatn.


(34)

4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.

5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra adalah sastra dan sosiologi. Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga memasukkan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka ilmu-ilmu yang juga terlibat adalah sejarah, filsafat, agama, ekonomi, dan politik. Yang perlu diperhatikan dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu-ilmu yang lain berfungsi sebagai pembantu.

Pada prinsipnya menurut Laurenson dan Swingewood dalam Endraswara (2008:79) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu:

1. Penelitan yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. 2. Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisannya 3. Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan

keadaan sosial budaya.

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan menurut Ratna (2004: 339-340) meliputi tiga macam, yaitu:


(35)

1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek intrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.

2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antar struktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika. 3. Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu,

dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan karya sastra sebagai gejala kedua.

Di dalam menganalisis dengan menggunakan sosiologi sastra, masyarakatlah yang harus lebih berperan. Masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra, bukan sebaliknya.

2.4.1 Kondisi Sosial

sKondisi sosial dalam masyarakat dapat menyebabkan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dan adapun kondisi-kondisi sosial yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan adalah kondisi-kondisi ekonomi, teknologis, geografis, atau biologis yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam aspek kehidupan sosial lainnya.

Kondisi sosial sebagai setting dalam novel ini diwujudkan pada zaman Meiji dimana perempuan Jepang pada zaman ini kurang mendapat penghargaan dari


(36)

masyarakat. Sehingga bagi perempuan untuk berkarya dan menjadi sastrawan merupakan hal yang tidak memungkinkan.

Dalam struktur sosial masyarakat, setiap masyarakat mendapat perbedaan kelas dan golongan, dan kondisi seperti ini dijadikan Rei Kimura sebagai latar atau setting dalam novel “Catatan Ichiyo” yang menceritakan perjuangan perempuan pada zaman tersebut.

2.4.2 Masalah Sosial

Soekanto (1990:395) mengatakan bahwa sosiologi menelaah gejala-gejala yang wajar seperti norma-norma, kelompok sosial lapisan masyarakat, lembaga kemasyarakatn, proses sosial, perubahan sosial dan kebudayaan serta perwujudannya. Tidak semua gejala-gejala tersebut berlangsung secara normal sebagaimana masyarakat bersangkutan. Gejala-gejala yang tidak dikehendaki merupakan abnormal atau patologis. Gejala abnormal dinamakan masalah sosial.

Masalah sosial tersebut erat kaitannya dengan nilai-nilai sosial dan lembaga sosial yang mencakup pola segi moral, karena untuk dapat mengklasifikasikan suatu persoalan sebagaimana sosial harus digunakan pemikiran sebagai pengukurannya. Jadi pada dasarnya, masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan, karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak. Sebab itulah masalah-masalah tidak mungkin ditelaah tanpa memperhitungkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.


(37)

Masalah sosial yang dialami oleh tokoh dalam novel “Catatan Ichiyo” seperti yang dialami oleh Ichiyo Higuchi merupakan gambaran bagaimana pengaruh kondisi sosial, status, dan gender menjadikan novel tersebut hidup dan memiliki jalan cerita yang mengesankan.

2.4.3 Perbedaan Status Gender

Gender adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh budaya atau masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Setiap masyarakat mengembangkan identitas gender, tetapi kebanyakan masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan dengan maskulin dan feminim. Di dalam kehidupan, terdapat stereotip tertentu laki-laki dan perempuan. Padahal gender itu sifatnya netral dan tidak memihak. Peran laki-laki dan perempuan ditentukan dari suku, tempat, umur, pendidikan serta perkembangan zaman.

Selama ini yang terjadi adalah kondisi sosial yang sangat menonjolkan peran laki-laki. Perempuan menjadi marjinal, yang selalu terpinggir dan tergusur. Emansipasi wanita yang selama ini terkondisi sedikit banyak membantu perempuan untuk tetap eksis, akan tetapi perempuan masih saja terikat kepada norma-norma patriarkhi yang sangat mengikat dan membuat wanita harus berusaha ekstra keras untuk mendapat posisi dan menjadikan tugas dan perannya yang begitu banyak. Permasalahan sosial tentang gender sebenarnya bertumpu pada ketidakadilan peran


(38)

2.5 Biografi Pengarang Novel Catatan Ichiyo

Rei Kimura adalah seorang pengacara yang memiliki passion dalam bidang menulis. Keunggulan karya-karyanya terletak pada penggambaran peristiwa dan karakter tokoh yang unik. Ia menampilkan kisah yang digali dari kejadian nyata dan hidup orang-orang yang sebenarnya di dalam beberapa bukunya. Ia meyakini bahwa ini sebuah cara yang paling baik untuk menjadikan sejarah yang tersembunyi menjadi “ hidup” dan dapat diterima oleh pembaca di abad 21.

Dengan cara itu, Kimura menyentuh beberapa sejarah tragis seperti tenggelamnya Kapal Awa Maru dan kisah pilot Kamikaze perempuan di masa Perang Dunia II lalu merangkainya menjadi sebuah cerita yang menyentuh bagi orang-orang yang hidup dan meninggal pada masa kejadian itu.

Kimura memandang karya-karyanya sebagai pencarian atas kebenaran, tantangan, dan kepuasan. Buku-bukunya diterjemahkan ke berbagai bahasa di Asia dan Eropa dan telah terbit di seluruh dunia.

Selain menjadi pengacara, Kimura juga seorang jurnalis freelance yang andal dan tergabung dalam Australian News Syndicate.

Tujuan dibuatnya biografi pengarang agar dapat diketahui bagaimana keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Aspek kehidupan sosial pengarang yang berpengaruh terhadap latar belakang penyampaian amanat cerita dalam novel Catatan Ichiyo.


(39)

BAB III

ANALISA NOVEL “CATATAN ICHIYO” KARYA REI KIMURA DILIHAT DARI PENDEKATAN SOSIOLOGIS

3.1 Ringkasan Cerita

Novel “Catatan Ichiyo” menceritakan tentang tokoh Ichiyo Higuchi yang merupakan seorang novelis Jepang dari zaman Meiji. Ichiyo terlahir dengan nama Natsuko Higuchi sampai dia memutuskan untuk mengambil nama Ichiyo yang mempunyai arti “sehelai daun” untuk menunjukkan identitasnya sebagai penulis dan penyair masa depan. Sejak kecil, Ichiyo telah menunjukkan bakat menjanjikan dalam pembacaan sajak dan sastra dengan didukung secara aktif oleh ayahnya dalam pengembangan bakat luar biasa tersebut. Walaupun memiliki bakat seperti itu, ibu Ichiyo merasa sangat khawatir karena tidak ingin melihat anaknya bercita-cita terlalu tinggi lalu harus menelan kekecewaan pada akhirnya, disebabkan anaknya adalah seorang perempuan yang dalam aturan status sosial zaman Meiji di Jepang, dianggap kurang penting dan masyarakat didominasi oleh laki-laki.

Pada tanggal 20 Agustus 1886, Ichiyo diterima belajar di sekolah sang penyair, Nakajima Utako, yaitu Haginoya. Ichiyo terus berkembang pesat di Haginoya sampai ayahnya meningggal pada tanggal 12 Juli 1889 dan mengubah hidup Ichiyo dengan beban untuk menghidupi seluruh keluarga jatuh ke pundaknya pada usianya yang baru 17 tahun. Meskipun Ichiyo melanjutkan pendidikannya di Haginoya, ia kehilangan cahaya dan antusiasmenya yang penuh semangat karena pertarungan


(40)

malas dan asal-asalan. Melihat kondisi ekonomi keluarga Ichiyo yang menyedihkan, gurunya, Nyonya Nakajima memberikan tawaran untuk menjadi asistennya dan membantu mengelola sekolah.

Ichiyo pun pindah ke Haginoya pada bulan Mei, 1890 tetapi keadaan bertambah buruk karena diperlakukan seperti pembantu dapur. Seiring hari berganti minggu dan kemudian bulan, Ichiyo dipaksa untuk menyadari bahwa Nyonya Nakajima, secara perlahan namun pasti, merampas segala peluangnya di bidang sastra dan lebih memilih menjadikannya pembantu. Ia masih mengharapkan rekomendasi Nyonya Nakajima untuk menjadikannya guru tetap di salah satu sekolahnya yang sepertinya merupakan satu-satunya cara membalikkan kondisi keuangan keluarganya yang sekarat dengan cara terhormat. Namun harapan tersebut tak kunjung terkabul dan keluarga Higuchi akhirnya terpaksa berhenti berusaha mempertahankan gaya hidup “terhormat” ala keluarga samurai dan mulai melakukan pekerjaan menjahit dan bahkan mencuci pakaian untuk menghidupi diri mereka.

Sampai Ichiyo bertemu dengan seorang novelis muda energik bernama Nakarai Tosui, ketika Ichiyo berkunjung ke rumahnya untuk mencuci pakaian dan menjahit untuk keluarganya dan hanya dalam beberapa kali kunjungan, Ichiyo ingin berbincang dengan Nakarai sebagai seorang novelis ambisius dengan energi penuh dari bakatnya yang tak terbendung, dan bukan sebagai penjahit atau tukang cuci pakaian.

Tosui mendorong Ichiyo untuk membahas tulisannya sendiri dan masa depan yang ingin ia capai sebagai seorang penulis, memberinya perhatian penuh seakan-akan hanya Ichiyolah wanita yang penting baginya di dunia ini. Ichiyo semakin


(41)

tenggelam ke dalam mantra sihir Nakari dan tidak pernah dapat melepaskan diri, apa pun yang terjadi di antara mereka di masa depan. Meskipun tergila-gila pada Tosui, Ichiyo tetaplah seorang penulis cerdas dan produktif dan ia tidak memerlukan waktu lama untuk menyadari bahwa semua rumor tentang gaya menulis Nakarai yang umum mengikuti selera masyarakat sebagian besar benar adanya, bahwa karyanya tidak ditulis berdasarkan nilai kemuliaan, keindahan, dan kenyataan, namun berdasarkan apa yang populer dan laris dijual.

Perasaan apa pun yang bergejolak dalam diri Ichiyo membuatnya berkembang pesat karenanya, ia menulis jauh lebih giat dengan alur cerita rumit dan cerdas yang sudah pasti terinspirasi oleh kekuatan perasaannya terhadap Tosui, sampai Ichiyo memutuskan untuk menjauh dari Nakarai Tosui karena tidak dapat menerima penghinaannya terhadap karya Ichiyo dan ia pun mulai mengganti kunjungan mingguannya ke rumah Nakarai dengan kunjungan ke perpustakaan Ueno.

Di saat musim dingin semakin menjadi, Ichiyo menyerah dalam perjuangan batinnya melawan perasaannya sendiri dan mengakui bahwa jika selama ini ia yakin dirinya telah sepenuhnya melupakan Nakarai Tosui, itu semua kebohongan semata dan pria itu masih sangat melekat di hatinya. Saat itu juga Ichiyo sadar ia tidak dapat berjuang sendiran menerbitkan novelnya tanpa bantuan, dan sebuah ide muncul di kepalanya bahwa mungkin Nakarai Tosui satu-satunya orang yang dapat membantu menerbitkan novel pertamanya. Apalagi ia menerbitkan majalahnya sendiri, Musashino dan meskipun majalah tersebut kurang mendapat sambutan, memasukkan novelnya di sana berarti melihat hasil karyanya dicetak untuk pertama kalinya dan


(42)

seok menjadi penulis yang karyanya diterbitkan, dan sarana penyaluran apa pun dapat membantu, termasuk majalah Musashino.

Begitu membuat keputusan untuk kembali mengontak Tosui, naluri spontan Ichiyo memerintahnya untuk menanggalkan segala keraguan dan langsung mengunjunginya. Namun gengsi yang tinggi dan keinginan untuk membuat pria itu terpesona dengan setidaknya sebuah novel baru yang berkualitas dan telah selesai menahan langkahnya sampai Tosui sendiri mengirim pesan kepada Ichiyo agar menemuinya. Pesan itu dibaca berulang-ulang oleh Ichiyo dengan rasa tak percaya ketika gelombang demi gelombang perasaan tumpah di dalam dirinya. Beberapa hari setelah mendapat pesan dari Tosui, Ichiyo pun menuju rumahnya.

Tosui berjanji akan menerbitkan novel pertama Ichiyo walau tidak yakin ia mampu melakukannya, mengingat latar belakang Ichiyo yang tanpa koneksi berpengaruh dan juga seorang wanita di zaman Meiji Jepang, karenanya profesi apa pun yang digelutinya di luar rumah dan dapur akan diremehkan. Bahkan Tosui pun harus mengakui janjinya lebih hanya sekadar ungkapan keinginan daripada kenyataan atau sebuah kepastian. Nakarai Tosui menepati janjinya dan berhasil menerbitkan novel pertama Ichiyo, Bunga di Kala Senja melalui majalahnya, Musashino di tahun 1892, dua novel lagi menyusul sebelum majalah tersebut gulung tikar musim panas tahun itu. Musashino memang bukanlah majalah populer, namun Ichiyo akhirnya melihat novelnya dicetak.

Menjelang musim panas, desas-desus semakin nyaring terdengar dan Ichiyo tidak bisa lagi mengabaikan begitu saja peringatan dan suara-suara menentang dari keluarga, teman, dan koleganya tentang Tosui yang reputasinya semakin buruk dan


(43)

kebobrokan finansialnya yang memalukan. Tosui juga membual pada siapa pun yang ditemuinya bahwa Ichiyo tak henti mengejarnya. Hal tersebut membuat Ichiyo merasa sangat terhina dan gelombang kemarahan Ichiyo tertuju pada mentor dan pujaan hatinya itu sehingga Ichiyo mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya kepada Tosui.

Ichiyo segera memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk menyelesaikan bukunya dan dalam hitungan minggu, terbitlah Umoregi (atau Dalam Keremangan) dan sesuai janji Miyake Kaho mengatur novel itu dapat diterbitkan di dalam majalah bergengsi Miyako no Hana, jauh sekali dibandingkan penerbitan buku pertamanya di majalah milik Tosui yang buruk kualitasnya, Musashino. Meskipun sejak itu Ichiyo rutin memperoleh bayaran untuk karyanya, uang yang didapatnya masih belum cukup untuk mengakhiri kemiskinan berkepanjangan dan kesulitan finansial dalam rumah tangga Higuchi. Ibu dan adiknya masih harus menerima pekerjaan cuci dan jahit pakaian untuk menyokong keluarga sehingga Ichiyo dapat terus menulis.

Hingga musim panas tahun 1893, meskipun telah banyak cerita pendek dan novel yang ditulis Ichiyo, keluarga Higuchi mau tidak mau berhenti berpura-pura dan harus mengakui bahwa mereka berada dalam kesulitan finansial yang luar biasa berat dan bahkan tidak mampu lagi menjadi bagian terluar dari masyarakat “terhormat” di bagian elite kota tersebut yang dengan susah payah pernah berhasil ditembus ayah Ichiyo. Tanpa pemberitahuan, mereka pindah ke luar kota, tepatnya ke daerah yang disebut “dataran rendah” di pinggiran kota dan ini menandai awal mundurnya Ichiyo dari perkumpulan telaah puisi para wanita kaya dan terhormat di kediaman Nyonya


(44)

antipatinya terhadap komersialisme murahan dan memutuskan untuk membuka toko murah bermodal rendah dengan sangat terpaksa and ia berdoa agar tak ada satu pun teman mereka yang berjalan-jalan ke area “rendah” mereka dan menemukan keluarga Higuchi telah menjadi pedagang sederhana. Namun ia mesti berjuang menahan malu, karena hampir semua menganggap pedagang lebih rendah posisinya dibandingkan petani di Jepang pada zaman Meiji.

Setelah menemukan rumah yang dapat mereka beli, mereka pindah ke rumah baru tersebut yang berada di kawasan Ryusenji yaitu di tengah-tengah pusat lokalisasi dan kawasan hiburan. Itulah kawasan Yoshiwara yang terkenal dengan reputasi buruknya, yang akan menjadi tempat tinggal Ichiyo dan keluarganya selama sembilan bulan ke depan. Setelah sejenak dilanda keraguan, para wanita Higuchi bersikukuh dengan rencana awal mereka yaitu membuka toko kecil yang menjual barang-barang murah. Ironisnya, meski mereka memulai usaha itu dengan harapan ibu dan adik Ichiyo yang menjalankannya, membuat Ichiyo bisa bebas menulis, kenyataannya justru sebaliknya. Alih-alih demikian, Ichiyo malah terlalu sibuk setap hari menjalankan usaha sehingga ia tak memiliki waktu untuk menulis dan selama masa itu, ia hanya menulis dua cerita pendek. Namun lama-kelamaan, ia terbiasa dengan Ryusenji dan mulai tertarik dengan segudang pengalaman hidup tepat di depan matanya. Ichiyo mulai menulis catatan kecil tentang berbagai macam orang dan peristiwa di jalan-jalan Ryusenji yang penuh warna, kebiasan yang terbukti membawa hasil saat catatan-catatan kecil ini muncul di novel-novelnya kelak.

Meskipun cukup lama mereka sempat berjuang sekuat tenaga, namun setelah sembilan bulan, para wanita Higuchi terpaksa mengakui bahwa membuka toko di


(45)

Ryusenji tanpa pengalaman apa pun atau petunjuk cara mengelola bisnis adalah sebuah kesalahan besar. Sejak awal, mereka kekurangan modal untuk mengisi toko itu dengan produk-produk yang lebih beragam serta berkualitas dan akhirnya memilih barang-barang bermutu rendah dengan sedikit pilihan. Lingkungan tersebut memberi toko mereka banyak pelanggan tetap, namun keuntungan yang dihasilkan sangat kecil sehingga tak dapat menutupi biaya pengelolaan serta pekerjaan melelahkan yang bahkan Ichiyo pun tak dapat melepaskan diri sehingga mereka memutuskan untuk menutup toko dan pindah ke rumah tua kecil di Maruyama-Furuyama yang masih berada di tengah-tengah kawasan hiburan kumuh dalam kota.

Ibu dan adik Ichiyo lebih banyak menerima pesanan jahit pakaian di kawasan ini. Sementara Ichiyo mulai memantau dan meresapi lingkungan sekitarnya, merekam setiap aspek kehidupan di tengah-tengah para wanita penghibur dan kelak menjadikan salah satu novelnya yang paling banyak dipuji, Child’s Play, yang digadang-gadang sebagai “Bola Api Edo di Kala Senja” oleh seorang kritikus terkemuka, merujuk pada karakter kuat dalam novel tersebut. Saat itu adalah masa indah dan damai bagi keluarga Higuchi dan tanpa toko yang menguras energi dan waktunya, Ichiyo menulis dengan sangat giat, menghasilkan lima buah novel antara tahun 1895-1896,yaitu On the Last Day of the Year (Hari Terakhir di Tahun Ini), Troubled Waters (Air yang Keruh), The Thirteenth Night (Malam Ketiga Belas), Child’s Play (Mainan Anak), dan Separate Ways (Jalan Lain). Ichiyo menganggap rumah barunya di Maruyama-Furuyama agak lebih baik dibandingkan rumah sebelumnya di Ryusenji. Ia menulis nyaris tanpa henti, hingga tengah malam di bawah cahaya lampu redup dan ia tak


(46)

Seperti mutiara, kisah-kisah terus saja keluar dari cangkangnya, sembilan novel dalam setahun, empat di antaranya menjadi mahakarya dan Ichiyo akhirnya menjadi seorang novelis tersohor dan wanita yang diperhitungkan. Seiring novel-novel yang dihasilkan goresan pena kuasnya, jumlah penggemar Ichiyo membengkak hingga berkali-kali lipat dan ia akhirnya diterima oleh bundan atau komunitas sastra Tokyo. Bungakkai atau komunitas sastra dan masyarakat umum menggemari novel-novelnya dan tiba-tiba, tanpa peringatan, saat ia sama sekali tidak mengharapkannya, karier menulis Ichiyo melonjak secara dramatis dan membuatnya menuju popularitas. Buku-bukunya laris luar biasa di pasaran dan mendadak Ichiyo menjadi buah bibir di seluruh kota. Rombongan-rombongan kecil penggemar mulai berkerumun di pagar kecil rumahnya setiap hari dengan membawa hadiah-hadiah dan surat penggemar, yang lainnya menunggu berjam-jam untuk mendapatkan tanda tangan atau sekadar berbincang dengannya dan dalam sekejap klub penggemar Ichiyo Higuchi muncul.

Tahun 1896, tahun terakhir kehidupan Ichiyo, segalanya menjadi lebih baik bagi keluarga Higuchi, hari-hari gelap penuh kesengsaraan dan kemiskinan suram sepertinya mulai berlalu dan gairah serta semangat baru pun datang seiiring nikmatnya kesuksesan yang melenakan. Bahkan ibu Ichiyo lebih banyak tersenyum dan rumah mereka selalu ramai oleh gerombolan kecil penulis, penyair, dan penerbit yang tak pernah merasa terpuaskan akan Ichiyo Higuchi. Para penulis yang mampir ke rumahnya setiap hari terdiri dari nama-nama besar dari kalangan sastra zaman Meiji dan bahkan para cendekiawan pria paling chauvinistis sekalipun terpaksa mengakui bahwa sang wanita Higuchi ini merupakan kekuatan sastra yang patut


(47)

diperhitungkan dan mereka tidak bisa lagi dengan sombong merendahkannya sebagai seorang wanita yang “bermimpi menjadi penulis” di dunia pria.

Terlalu bahagia hingga tak menyadari penyakit putrinya yang bertambah parah, ibu Ichiyo mulai menjalankan ritual membakar dupa di makam suaminya setiap pagi dan memberinya kabar terbaru tentang kesuksesan Ichiyo yang terus bertambah, yang ia harapkan dapat mengakhiri kesulitan ekonomi keluarga mereka. Nyaris tak terbayangkan oleh mereka bahwa musim panas tahun 1896 merupakan yang pertama dan terakhir di mana Ichiyo dapat berbagi kebahagiaan bersama keluarga dan penggemarnya, para penulis dan teman-temannya, baik lama maupun bara. Awan kelabu badai berikutnya telah mendekati mereka, namun yang luar biasa, tak satu pun dari orang-orang yang setiap hari berkumpul di sekelilingnya melihat hal itu. Ichiyo sendiri memilih bungkam, berjuang melawan kesehatan yang memburuk serta rasa sakit yang datang dan pergi dalam diam karena ia tidak ingin merusak momentum dan lingkaran perhatian sempurna terhadap novel-novelnya yang sangat sulit ia dapatkan.

Pada akhirnya, bahkan para pria yang gemar menyepelekan Ichiyo sebagai seorang wanita dengan gangguan mental yang tak layak diperhitungkan dan tidak mungkin menorehkan namanya dalam dunia sastra negeri Jepang yang didominasi kaum pria, sekarang terpaksa mengakui bahwa tak ada penulis lain yang menulis seperti Ichiyo karena sang penulis ini telah menyaksikan dan merasakan sendiri kehidupan yang dijalani, tempat yang dihuni, dan waktu yang dihabiskan karakter-karakter ciptaannya. Saat ia menulis tentang kemiskinan, kepedihan, dan penderitaan,


(48)

tulisannya gamblang dan nyata, diambil dari pengalaman nyata dan tidak dibuat oleh seseorang yang menulis dalam kenyamanan penelitian melalui buku.

Di akhir musim panas, Ichiyo tahu, tanpa keraguan, ia sekarat dan pikiran itu membuatnya ngeri karena ia menyadari betapa ia sendirian. Di larut malam saat semua orang sudah pulang dan ia tak bisa tidur akibat berusaha menahan batuk parau agar tak mengganggu ibu dan adiknya yang sedang terlelap. Di tengah pergulatannya dengan tubuh yang sakit dan lemah serta tekanan untuk menyembunyikannya dari semua orang, Ichiyo terus menulis dengan desakan waktu yang semakin besar. Pada tahun 1896, beberapa bulan sebelum kematiannya, ia mulai menulis novel baru berjudul Separate Ways (Jalan lain) yang menjadi buku terakhirnya. Novel itu merupakan penghormatan pilu bagi saat-saat menyakitkan dalam hidupnya saat situasi memaksanya untuk “berpisah jalan”, ia memikirkan bagaimana Nakarai Tosui dan dirinya telah berpisah jalan, dan sekarang, saat yang paling tidak mungkin untuk diubah, kematiannya yang telah menanti, yang akan memaksanya berpisah jalan dari semua orang yang mesti ia tinggalkan.

Ichiyo menulis dengan energi baru yang aneh dan di minggu terakhir bulan Januari 1896, Ichiyo mengumumkan bahwa ia telah menyelesaikan novelnya, Wakare-michi atau “Jalan Lain”. Bulan Agustus 1896, kondisi Ichiyo terus memburuk namun semua tokoh sastra yang mengelilinginya terlalu sibuk mendapatkan perhatiannya untuk menyadari bahwa idola mereka sedang menanti ajal, bahkan tidak juga saat ia makin banyak diam di tengah diskusi seru di mana ia biasanya paling banyak melontarkan pendapat. Suatu sore setelah rombongan penulis terakhir telah pulang dari perayaan Ichiyo, setelah ia mengeluh sakit kepala dan butuh


(49)

istirahat, adik Ichiyo mendatangi kamar kakaknya dan mendapatinya terserang demam tinggi dan banjir keringat, bola matanya terbalik dan napasnya tersenggal-senggal. Ibu dan adiknya segera membawa Ichiyo ke dokter dan dinyatakan Ichiyo terkena tuberkulosis tahap akhir dan tidak ada obat lagi di tahap ini.

Setiap hari Ichiyo dapat merasakan tuberkulosis menggerogoti energi dan hidupnya, meskipun kepalanya berdengung penuh ide sajak-sajak dan novel-novel baru, ia terlalu lemah untuk menulisnya. Di pengunjung bulan Agustus, Ichiyo mengalami minggu luar biasa dimana kondisinya meningkat pesat dan ia cukup sehat untuk bangun serta duduk bersama tamu-tamunya di kebun kecil sambil minum the dan berbincang tentang sastra, seperti yang dulu dilakukannya. Bulan September, aura kehidupan singkat pada diri Ichiyo mulai kembali memudar dan keluarganya lagi-lagi harus berjibaku dengan penderitaan saat melihatnya berjuang melawan batuk yang tak kunjung berhenti, tiap batuk lebih parah dari sebelumnya. Rasa mengigil, demam, dan keringat malam hari pun kembali muncul lebih hebat dari sebelumnya dan mereka pun mempersiapkan diri menghadapi yang terburuk, bahwa hidup Ichiyo yang masih seumur jagung harus berakhir.

Kematian Ichiyo yang dicatat pada pagi subuh 23 November 1896 meninggalkan duka mendalam bagi komunitas bungakkai, ia seakan-akan muncul entah dari mana untuk mengguncang komunitas sastra di Jepang zaman Meiji dengan koleksi novel yang merupakan gabungan mengagumkan antara kisah fiksi dengan kehidupan, perasaan, hati, dan jiwa orang-orang yang sungguh nyata, dari jalan-jalan dan gang-gang kawasan hiburan hingga kemewahan dan kepura-puraan di masyarakat


(50)

kondisi kesehatan yang buruk, kemiskinan, dan semua itu adalah bukti sebuah keberanian dan tekad yang besar, bagaimana seorang wanita kurus dan berwajah seperti burung yang terimpit oleh keadaan yang dialaminya, masih memiliki energi yang besar untuk menghasilkan ribuan sajak dan cerpen yang tak terhitung jumlahnya, serta novel.

Ichiyo Higuchi masih terus memesona semua orang lama setelah ia meninggal dunia. Sajak dan novel-novelnya dibaca dan dihormati beratus-ratus tahun kemudian dan wajahnya sekarang diabadikan dalam mata uang kertas resmi 5000 yen Jepang, sebuah penghormatan yang tak pernah diperoleh wanita Jepang mana pun.

3.2 Analisis Sosiologis Dalam Novel Catatan Ichiyo 3.2.1 Hubungan Ichiyo dengan keluarga

1. Cuplikan (hal.44)

Dua tahun kemudian, anak perempuan lainnya sekaligus anak terakhir keluarga Higuchi lahir dan ia diberi nama Kuniko. Posisi Natsuko dalam keluarga pun berubah dari hanya anak perempuan menjadi kakak perempuan, dan di dalam aturan status sosial zaman Meiji di Jepang, ia seharusnya tak lebih dari sekadar anak perempuan yang kurang dianggap penting.

Analisis:

Dari cuplikan yang digarisbawahi di atas menunjukkan indeksikal adanya perbedaan gender atau diskriminasi yaitu status kaum perempuan zaman Meiji yang kurang mendapat penghargaan. Karena pada zaman itu, ada paham yang berlaku di masyarakat Jepang bahwa wanita harus tinggal di rumah dan tugas wanita yaitu


(51)

urusan rumah tangga dan merawat anak sehingga anak perempuan dianggap kurang penting.

2. Cuplikan (hal.48-49)

“Jika aku besar nanti, aku ingin menjadi seorang penulis, seperti teman-teman ayah,” kata Natsuko tegas saat ia menyusup ke dalam futon-nya malam itu.

“Kau tak mungkin menjadi penulis, Natsuko, karena kau perempuan,” kakaknya, Sentaro menyahut. “Tugas perempuan adalah menikah dan tinggal di rumah serta melahirkan anak, dan bukan menjadi penulis atau apa pun!”

“Jangan berkata begitu, Sentaro,” teriak Natsuko. “Perempuan mampu menjadi apa pun yang mereka inginkan asalkan mereka memiliki otak dan sepasang tangan! Mereka sama pintarnya dengan laki-laki!”

“Yah, tentu saja, masyarakat dan kaum perempuan sendiri tidak berpendapat demikian,” ejek Sentaro. “Apakah kau melihat ada perempuan di antara perkumpulan sastra teman-teman ayah hari ini?”

Analisis:

Cuplikan yang digarisbawahi di atas menunjukkan indeksikal diskriminasi dengan adanya suatu ejekan yang diucapkan kakak laki-laki Natsuko ketika mendengar keinginan adik perempuannya untuk menjadi seorang penulis, sedangkan hal tersebut dianggap tidak mungkin karena pada zaman tersebut status perempuan kurang mendapat penghargaan dari masyarakat dan paham yang berlaku dalam masyarakat bahwa tugas perempuan adalah urusan rumah tangga dan merawat anak.


(52)

3. Cuplikan (hal.50)

Menyaksikan ayah dan anak berkumpul bersama, Furuya dengan enggan harus mengakui bahwa anaknya yang sulit dimengerti ini memiliki bakat luar biasa yang bahkan guru terbaik sekali pun tak mungkin dapat menemukannya di diri anak perempuan seusianya dari kelas sosial yang lebih tinggi. Namun Furuya sangat khawatir tentang cara Noriyoshi memberi ide ke dalam kepala Natsuko tentang kapasitas dirinya untuk menjadi cendekiawan dan penulis masa depan, melupakan bahwa ia adalah perempuan di dalam masyarakat yang didominasi oleh laki-laki dan mimpi muluk sang gadis cilik dengan mudahnya akan luluh-lantak menjadi serpihan debu.

Analisis:

Cuplikan yang digarisbawahi di atas menunjukkan indeksikal dari kepesimisan atas status dari kaum perempuan untuk bercita-cita karena mustahil dapat dilakukan karena pada zaman ini didominasi kaum laki-laki dan dengan adanya paham yang masih berlaku di masyarakat zaman Meiji bahwa wanita harus tinggal di rumah dan tugas wanita yaitu urusan rumah tangga dan merawat anak, maka masyarakat kurang menghargai dan menganggap kaum perempuan kurang penting.

4. Cuplikan (hal.51)

“Kau membuat Natsuko percaya bahwa ia akan mendapatkan sesuatu dari kebiasan membacanya dan menurutku itu sama sekali bukan ide bagus,” kata Furuya suatu hari, setelah salah satu sesi pertemuan kesusastraan yang diadakan


(53)

Noriyoshi di rumah mereka, di mana sekelompok cendekiawan berkumpul untuk mendengarkan. Dengan tercengang, Natsuko melantunkan sajak “Hakkenden” dengan kemampuan yang jauh melebihi anak seusianya. “Apa yang kau coba lakukan, Noriyoshi? Kita hidup di Jepang dan kau tahu posisi seorang wanita di sini, kan?”

“Aku percaya pada Natsuko dan masyarakat pada akhirnya akan mengakui bakatnya yang istimewa dalam kesusastraan dan menerima kenyataan bahwa bakat tersebut berasal dari seorang perempuan,” Noriyoshi menanggapi dan ada keyakinan tak terungkap di dalam suaranya yang akan selalu diingat Natsuko, yang mendengarkan pembicaraan tersebut dari balik pintu.

Analisis:

Kalimat yang digarisbawahi di atas merupakan indeksikal dari kekhawatiran orang tua terhadap anaknya melanjutkan bakatnya yang tidak mungkin berhasil karena zaman ini masih dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme yaitu konsep Ryousai Kenbou yang mengatakan "bahwa seorang perempuan harus menjadi istri yang baik dan ibu yang bijaksana" sehingga status seorang wanita di Jepang saat itu kurang mendapat penghargaan dari masyarakat.

5. Cuplikan (hal.69-70)

Furuya tak pernah senang melihat obsesi putrinya terhadap buku dan terus-menerus mengoceh bahwa terlalu banyak belajar sangatlah tidak feminim dan akan lebih baik bila Ichiyo belajar menjahit, memasak, dan menjalani pernikahan yang bahagia seperti yang dilakukan gadis-gadis lainnya.


(54)

“Apa manfaatnya segala pembelajaran dan pendidikan itu untuk putri kita? Tak dapatkah kau berpikir, Noriyoshi? Perannya dalam hidup ini adalah menjadi istri dan ibu yang baik, segala hal-hal intelektual yang kau tanamkan padanya akan membuat takut pria mana pun untuk menjadi suaminya dan ia akan hidup melajang selamanya.”

“Tidak, seorang gadis harus bertingkah laku selayaknya seorang gadis dan mempelajari hal-hal yang benar, dan bukan berlagak seperti laki-laki. Aku harus tegas kali ini dan Ichiyo akan berhenti sekolah akhir bulan ini dan tinggal di rumah untuk dilatih menjadi istri dan ibu masa depan,” kata Furuya bersikeras. Aku mengalah padamu sebelumnya, Noriyoshi, hanya karena kupikir kemampuan menulis puisi akan membantunya mendapatkan suami dari kalangan atas, sekarang ia sudah cukup belajar dan aku tak akan menurut padamu lagi kali ini.”

Analisis:

Pada cuplikan yang digarisbawahi di atas menunjukkan indeksikal status kaum perempuan pada zaman Meiji dan hal ini sesuai dengan ajaran Konfusianisme yang berlaku pada zaman itu yaitu konsep Ryousai Kenbo yang mengatakan "bahwa seorang perempuan harus menjadi istri yang baik dan ibu yang bijaksana". Jadi, perempuan dianggap tidak perlu pendidikan dan intelektual karena akan membuat takut pria.

6. Cuplikan (hal. 103)

Nakajima san tak membutuhkan waktu lama untuk menyadari betapa ia membutuhkan Ichiyo di kediamannya dan setelah dibujuk beberapa kali, sang penulis


(55)

muda memutuskan untuk melupakan apa yang terjadi selama beberapa bulan terakhir dan setuju kembali ke Haginoya setiap hari Sabtu sebagai asisten guru. Ia masih mengharapkan rekomendasi Nakajima san untuk menjadikannya guru tetap di salah satu sekolahnya yang sepertinya merupakan satu-satunya cara membalikkan kondisi keuangan keluarganya yang sekarat dengan cara terhormat.

Namun harapan tersebut tak kunjung terkabul dan ketiga wanita keluarga Higuchi akhirnya terpaksa berhenti berusaha mempertahankan gaya hidup “terhormat” ala keluarga samurai dan mulai melakukan pekerjaan menjahit dan bahkan mencuci pakaian untuk menghidupi diri mereka. Penyakit rabun jauh Ichiyo semakin parah karena terlalu sering memicingkan mata melihat jarum kecil dan pakaian-pakaian yang ia tambal atau jahit dan bercak-bercak merah mengerikan muncul di kedua tangannya akibat berjam-jam terendam air dan detergen ketika mencuci pakaian orang lain.

Analisis:

Dari cuplikan yang digarisbawahi di atas menunjukkan indeksikal perjuangan Ichiyo dalam menghadapi kemiskinan yang melanda keluarganya dan perjalanan panjang menuju pengakuan dan kesuksesan dalam berkarya agar mendapatkan hak dan dihargai masyarakat. Setelah harapan Ichiyo agar direkomendasikan menjadi guru tetap tidak tercapai, maka Ichiyo dan keluarganya berhenti mempertahankan gaya hidup “terhormat” ala keluarga samurai demi keuangan keluarga dan mereka pun melakukan pekerjaan seperti menjahit dan mencuci.


(56)

7. Cuplikan (hal.210)

Kuniko dan Furuya lebih banyak menerima pesanan jahit pakaian, mempromosikan diri mereka sebagai penjahit ahli dan segera saja memiliki pelanggan tetap para wanita penghibur, dan “aksesori” mereka, yaitu kimono yang dirajut dengan indah untuk menghibur dan memikat ratusan pria yang memenuhi jalanan mereka di malam hari untuk mencari kesenangan. Betapa ironis, meskipun membuat pakaian-pakaian indah untuk menyokong hidup, para wanita Higuchi sendiri hanya mampu memakai kimono praktis tanpa hiasan.

Sementara Ichiyo mulai memantau dan meresapi lingkungan sekitarnya, merekam setiap aspek kehidupan di tengah-tengah para wantia penghibur dan kelak menjadikan salah satu novelnya yang paling banyak dipuji, Child’s Play, yang digadang-gadang sebagai “Bola Api Edo di Kala Senja” oleh seorang kritikus terkemuka, merujuk pada karakter kuat dalam novel tersebut.

Saat itu adalah masa indah dan damai bagi keluarga Higuchi dan tanpa toko yang menguras energi dan waktunya, Ichiyo menulis dengan sangat giat, menghasilkan lima buah novel antara tahun 1895 dan 1896, yaitu On the Last Day of the Year (Hari Terakhir di Tahun Ini), Troubled Waters (Air yang Keruh), The Thirteenth Night (Malam Ketiga Belas), Child’s Play (Mainan Anak), dan Separate Ways (Jalan Lain).

Analisis:

Uraian di atas menunjukkan indeksikal perjuangan Ichiyo dalam berkarya agar mendapatkan hak dan dihargai masyarakat dengan menulis karya-karyanya hingga menghasilan lima buah novel dalam setahun setelah menutup toko dan


(57)

meninggalkan kawasan Ryusenji, keluarga Higuchi pindah ke kawasan Maruyama-Furuyama kemudian disini ibu dan adik Ichiyo lebih banyak menerima pesanan jahit pakaian, sehingga Ichiyo dapat memantau dan meresapi lingkungan sekitar, merekam setiap aspek kehidupan yang menjadikan novelnya mendapatkan banyak pujian.

8. Cuplikan (hal.225-226)

Ia menulis nyaris tanpa henti, hingga tengah malam di bawah cahaya lampu redup dan ia tak mau mendengarkan permintaan adiknya agar cukup beristirahat dan sering sekali, Kuniko menemukan Ichiyo terlelap di mejanya di subuh hari, kelelahan dan tidak memiliki tenaga sama sekali, kertas dan pena kuas bertebaran di sekelilingnya. Kuniko khawatir kakaknya bertambah kurus dan begitu enteng hingga ia dapat menggendongnya dengan satu tangan ke futon-nya.

Analisis:

Cuplikan yang digarisbawahi di atas menunjukkan indeksikal perjuangan Ichiyo dalam berkarya yang tak kenal lelah dan menulis tanpa henti. Tanpa cukup istirahat sampai kehabisan tenaga untuk berjuang supaya mendapatkan hak dan dihargai masyarakat.

3.2.2 Hubungan Ichiyo dengan Teman-Teman 1. Cuplikan (hal.77)

“Hal lain yang juga luar biasa terjadi hari ini. Untuk pertama kalinya, salah satu siswa yang juga bernama Natsuko menghampiriku dan mengundangku ke


(58)

sajak-sajak karyaku telah membuatku mendapatkan rasa hormat dan kagum teman-teman sekelasku, dan perlahan-lahan mereka memasukkanku ke dalam lingkaran pergaulan mereka. Aku telah mengatasi masalah kurangnya kekayaan dan koneksi keluargaku dengan cara dan kelihaianku sendiri, dan akhirnya berdiri sejajar dengan teman-teman sekelasku di Haginoya!” tulis Ichiyo penuh semangat di buku hariannya malam itu.

Analisis:

Dari cuplikan yang digarisbawahi di atas menunjukkan indeksikal awal dari pengakuan munculnya kehormatan dan penghargaan terhadap intelektualitas perempuan di zaman itu dilihat dari hasil jerih payah Ichiyo yaitu waktu diundang Natsuko. Ichiyo yang awalnya merasa terasing dan dikucilkan di Haginoya karena siswa-siswa di sekolah tersebut sebagian besar adalah anak orang kaya dan terhormat, aristokrat, pejabat pemerintahan, atau berasal dari keluarga pengusaha sukses akhirnya Ichiyo mulai diakui, dihormati, dan diterima oleh teman-temannya berkat pujian-pujian Nyonya Nakajima terhadap karyanya.

2. Cuplikan (hal.80)

Hari itu Natsuko muda belajar menegakkan kepalanya tinggi-tinggi, di atas pakaian bekasnya yang ketinggalan zaman, yang terlihat sangat menyolok di antara gemerlap kemewahan bahan-bahan sutra dan selempang para gadis lainnya. Namun pada akhirnya, bakatnya bersinar seperti sebuah bintang terang yang membuat para juri memberi nilai jauh lebih tinggi untuk karyanya dibandingkan karya-karya lainnya. Ichiyo meninggalkan acara itu lebih awal diliputi kebahagiaan karena bakatnya dalam


(1)

Ia sungguh bernyali, pantang menyerah sebagai seorang wanita tanpa dukungan keluarga berpengaruh yang menerobos segala prasangka dan kemiskinan luar biasa untuk menjelma menjadi bintang yang bersinar terlalu terang hanya beberapa bulan sebelum kematiannya.

Analisis:

Pada cuplikan yang digarisbawahi di atas menunjukkan indeksikal perjuangan Ichiyo dalam berkarya agar mendapatkan hak dan dihargai masyarakat seperti menghadapi kesehatan yang buruk dan kemiskinan hingga mendapat pengakuan dari masyarakat dan perjuangan Ichiyo yang merupakan seorang perempuan yang statusnya selalu direndahkan oleh kaum laki-laki di masyarakat zaman itu, dengan kondisi keluarga yang miskin dan tanpa dukungan atau koneksi keluarga tapi semuanya dapat dilalui oleh Ichiyo sampai menjadi terkenal dan diakui oleh masyarakat.

11. Cuplikan (hal.276)

Bedanya adalah Ichiyo Higuchi masih terus memesona semua orang lama setelah ia meninggal dunia. Sajak dan novel-novelnya dibaca dan dihormati beratus-ratus tahun kemudian dan wajahnya sekarang diabadikan dalam mata uang kertas resmi 5000 yen Jepang, sebuah penghormatan yang tak pernah diperoleh wanita Jepang mana pun.


(2)

Analisis:

Dari cuplikan yang digarisbawahi di atas, menunjukkan indeksikal dari hasil perjuangan Ichiyo yang akhirnya mendapat pengakuan dari masyarakat yang tadinya bersifat merendahkan dan kurang menghargai kaum perempuan. Sekarang Ichiyo mendapat pengakuan dan penghormatan dari masyarakat dengan diabadikan wajah Ichiyo pada mata uang kertas 5000 yen Jepang.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

1. Novel “Catatan Ichiyo” adalah novel karya Rei Kimura yang menggambarkan keadaan sejarah Jepang terutama status kaum perempuan yang kurang mendapat penghargaan dari masyarakat pada zaman Meiji yang berkisar tahun1857-1896.

2. Melalui novel “Catatan Ichiyo” dapat dilihat status kaum perempuan yang direndahkan dan kurang dihargai oleh masyarakat yang rata-rata didominasi oleh kaum pria karena pada zaman tersebut perempuan selalu mendapat perbedaan status gender dan diskriminasi sosial yang tergambar dalam hubungan tokoh utama, Ichiyo Higuchi dengan keluarga, teman-teman, mentor, dan masyarakat.

3. Dari novel “Catatan Ichiyo” dapat diketahui perjuangan seorang perempuan pada zaman Meiji dalam berkarya sehingga mendapat pengakuan dari masyarakat. Perjuangan tersebut dapat dilihat dari tokoh Ichiyo Higuchi yang berjuang menghadapi rintangan ketidakadilan gender, kemiskinan, dan tak adanya koneksi kuat untuk menjadi dan bertahan sebagai penulis wanita di era yang keras dan tak bersahabat dengan kaum wanita.

4. Di lingkungan manapun baik dari keluarga, sekolah, dan masyarakat dapat dilihat kehidupan dan perjuangan kaum perempuan di dalam novel “Catatan Ichiyo” sehingga dapat dilihat kondisi dan masalah sosial yang dihadapi kaum perempuan pada zaman Meiji.


(4)

5. Novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura merupakan novel sejarah yang benar-benar merefleksikan kehidupan nyata masyarakat tahun1857-1896, yang meliputi status dan perjuangan kaum perempuan dalam berkarya pada zaman itu yang kurang mendapat penghargaan dari masyarakat.

4.2 Saran

1. Bagi siapa saja yang ingin menganalisis sebuah karya sastra, terutama novel yang dilihat dari sosiologisnya, sebaiknya terlebih dahulu harus mengumpulkan berbagai referensi baik mengenai novel yang akan diteliti maupun teori pendukung pada penelitian, serta memahami betul teori-teori sosiologi sastra.

2. Melalui skripsi ini penulis berharap agar apresiasi masyarakat terhadap sastra lebih baik lagi, khususnya novel yang berjenis sejarah. Karena selain mendapatkan cerita yang bagus, berbagai macam pengetahuan pun dapat diketahui, terutama terhadap novel “Catatan Ichiyo” .

3. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan masukan terhadap pemahaman tentang karya sastra yang ditinjau dari pendekatan sosiologi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Musfahayati. 2010. Analisis Sosiologis Terhadap Novel Samurai 'Kastel Awan Burung Gereja' Karya Takashi Matsuoka. Skripsi Sarjana. Medan: FIB USU

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo. Beasley, W.G. 1988. Modern Japan. London-Tokyo: Charles E.Tuttle Company Endraswara, Suwardi, 2011. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra.Yogyakarta:

CAPS

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Hannum, Miskah. 2010. Analisis sosiologis tokoh dalam novel kisah klan otori karya Lian Hearn. Skripsi Sarjana. Medan: FIB USU

Kimura, Rei. 2012. Catatan Ichiyo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: TP

Kurniawan, Heru, 2012. Teori, metode, dan aplikasi SOSIOLOGI SASTRA. Yogyakarta: Graha Ilmu

Luxemburg, Jan Van. 1992. Pengantar Ilmu Sastra Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press


(6)

Pradopo, Rachmat Djoko, 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

__________________.2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: PustakaPelajar

__________________. 2011. ANTROPOLOGI SASTRA (peranan unsur-unsur kebudayaan dalam proses kreatif). Yogyakarta: PustakaPelajar

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi RobertStanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wellek & Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Terj. Budianto. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama

Yasa, I Nyoman. 2012. Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung. C.V Karya Putra Darwati