Waktu mereka melihat Embok datang membawa saya, Ndoro Guru langsung menanyakan dengan nada suara, setidaknya bagi saya waktu itu, sangatlah
ulem-nya dan sangatlah penuh wibawa. Kayam, 2000:13 Ada beberapa hal yang menimbulkan kewibawaan pada diri seseorang. Dalam
masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada hal-hal berikut.
20
1. Ilmu
Ilmu merupakan komponen dasar dari sumber kewibawaan tradisional. Orang yang menguasai ilmu akan disegani atau dihormati masyarakatnya.
Menurut Endraswara 2003:32 ilmu adalah bukti olah otak manusia yang mungkin didasarkan pembuktian ilmiah. Ilmu bersumber pada kebenaran ilmiah.
Setiap manusia yang sadar dan wajar dapat memiliki sebuah ilmu. Ilmu ini akan membantu keperluan hidup manusia dalam segala hal.
Ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui pendidikan dan proses belajar. Pendidikan merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan ilmu.
Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Kaum priyayi adalah orang-orang yang lebih banyak bersentuhan dengan
pendidikan. Mereka pun menyadari pentingnya belajar lebih banyak dari bangsa Eropa sehingga mereka akhirnya turut serta membawa kemajuan ke dalam
20
Karl D. Jackson pernah melakukan penelitian desertasinya tentang sumber-sumber kewibawaan tradisional dan kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Kewibawaan Tradisional, Islam,
dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1990.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. Pada masa penjajahan Belanda, priyayi tidak hanya mengacu pada keluarga keraton dan sejenisnya. Kebutuhan akan pegawai pribumi yang
berpendidikan telah membuka pintu bagi seluruh lapisan masyarakat untuk maju menjadi priyayi. Pendidikan menjadi modal awal bagi kaum wong cilik untuk
mendobrak keterbatasan statusnya. Padmasusastra dalam Rahmanto 2004:92 menyatakan bahwa untuk dapat memasuki birokrasi kepegawaian pada semua
tingkatan, seorang priyayi Jawa dituntut memiliki keterampilan profesional, seperti membaca, menulis, berolah seni, dan beragama yang semuanya itu dapat diperoleh
lewat pesantren atau sekolah. Pentingnya intelektualitas semakin disadari oleh kaum wong cilik karena
dengan hal itu mereka mendapat kesempatan untuk menjadi priyayi. Hal inilah yang selalu ditekankan Embah Martodikromo kakek dari Sastrodarsono kepada anak-
anaknya dalam novel Para Priyayi.
“Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian harus menjadi priyayi. Kalian harus sekolah.” Kayam, 2000:30
Dari kutipan di atas, status priyayi berarti suatu kehormatan, pangkat dan kemapanan hidup secara ekonomi. Menjadi priyayi adalah impian hidup keluarga
Atmokasan ayah Sastrodarsono, namun untuk mencapai tujuan itu pendidikan menjadi modal dasar. Dengan demikian keluruhan derajat priyayi tidak lagi semata-
mata berasal dari warisan darah. Ilmu pengetahuan menjadi hal yang lebih utama. Dengan memiliki pendidikan mereka akan diperhatikan oleh pemerintah dan dapat
menduduki suatu jabatan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam novel Para Priyayi, Sastrodarsono nama tua dari Soedarsono sebagai tokoh utama mampu menjadi priyayi dan membangun keluarga priyayi bukan karena
warisan turun-temurun, tetapi lewat suatu perjuangan yang gigih berdasarkan kepandaian atau ilmu yang berhasil mereka kuasai lewat pendidikan, dan dalam suatu
proses panjang pengabdian. Berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, Sastrodarsono bisa sekolah
dan kemudian menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja. Berikut kutipannya.
Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru
bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang
paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan
setia kepada gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi
gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantri guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang terpandang. Kayam, 2000:29.
Dari kutipan di atas terlihat bahwa pendidikan menjadi modal awal bagi wong cilik untuk mendobrak keterbatasan statusnya. Status priyayi yang disandang oleh
Sastrodarsono tersebut dicapai melalui proses pendidikan dan kerja keras. Dengan jabatan sebagai guru bantu, Sastrodarsono adalah orang pertama dalam keluarganya
yang berhasil menjadi priyayi. Menjadi seorang guru pada zaman pendudukan Belanda maupun Jepang
merupakan posisi terhormat dan disegani. Saat itu guru merupakan elit yang
Universitas Sumatera Utara
memegang peranan penting dalam masyarakat. Tak mengherankan jika guru pada masa kolonial masuk menjadi golongan priyayi mobilitas vertikal. Dengan menjadi
priyayi tidak hanya berarti sebuah peningkatan dalam status sosial, melainkan juga peningkatan kekuasaan Faruk dalam Salam, 1998:xxxiii. Untuk itu Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII selaku raja dari istana Mangkunegaran selalu mengharapkan rakyatnya dapat menjadi guru seperti dalam kutipan berikut.
Beliau menginginkan agar rakyatnya baik tua maupun muda bisa menjadi soko guru suatu kerajaan Jawa yang, meskipun kecil, terbatas kekuasaannya,
tetapi maju. Maka itu beliau ingin agar segera dimulai dengan suatu rencana menyeluruh pendidikan orang dewasa. Kayam, 2000:158
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa profesi guru merupakan profesi yang paling ideal di masyarakat dan dipandang sebagai ‘priyayi’. Profesi guru tersebut
mempunyai kedudukan yang terhormat, karena itu guru dihargai di masyarakat. Tokoh Mangkunegaran VII diangkat ke dalam novel karena kekaguman Umar
Kayam akan sikapnya yang modern untuk memajukan masyarakat, yang diungkapkannya melalui kutipan berikut.
….beliau masih prihatin dengan pendidikan orang dewasa di pedesaan ….beliau ingin agar segera dimulai dengan suatu rencana menyeluruh
pendidikan orang dewasa. Pendidikan itu mestilah mencakup pemberantasan buta huruf, pendidikan kesehatan, pendidikan kerajinan
tangan dan organisasi kepanduan dan krida muda. Kayam, 2000:158
Perjuangan Sastrodarsono untuk membangun keluarga priyayi tidak terlepas dari perhatiannya yang besar terhadap kemajuan pendidikan. Semangat ini terus
diterapkannya pada anak-anaknya. Melalui sekolah, anak-anak Sastrodarsono juga berhasil menjadi priyayi.
Universitas Sumatera Utara
Anak-anak kami, kami masukkan ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak priyayi itu, karena sekolah ini diadakan untuk menyiapkan
priyayi-priyayi gupermen. Kayam, 2000:52
Bagi priyayi yang telah berhasil adalah suatu kewajiban untuk membantu wong cilik untuk mencapai status priyayi, hal ini dilakukan dengan jalan pendidikan.
Untuk itu, sebagai priyayi Sastrodarsono berkewajiban untuk membiayai sekolah kemenakan-kemenakannya. Hal ini diungkapkan Lantip, priyayi yang ngenger
mengabdi di rumah Sastrodarsono.
Ndoro Guru, di samping harus membesarkan anak-anaknya, juga menampung beberapa kemenakan. Dengan pendek, rumah tangga Ndoro
Guru adalah rumah tangga khas priyayi Jawa, di mana sang priyayi adalah soko guru keluarga besar yang berkewajiban menampung sebanyak
mungkin anggota keluarga-jaringan itu ke dalam rumah tangganya. Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan dan dikangkangi sendiri, begitulah saya
dengan Ndoro Guru berkali-kali menasihati anak-anaknya dan siapa saja. Tidak pantas, saru, bila ada seseorang anggota keluarga besar priyayi
sampai kleleran, terbengkalai, jadi gelandangan tidak ada yang mengurus, tidak menikmati pendidikan, begitu nasihatnya yang lain,
priyayi yang tidak urus begitu adalah priyayi yang jelek bahkan bukan priyayi, tekan Ndoro Guru lebih jauh. Kayam, 2000:15
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Sastrodarsono adalah seorang priyayi yang selalu peduli akan kehidupan dan pendidikan saudaranya juga orang lain. Pemikiran
untuk membangun kaum wong cilik dalam diri Sastrodarsono juga didasari oleh tokoh Ndoro Seten yang beranggapan bahwa priyayi seharusnya memajukan
masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kutipan berikut. “Sastro, kamu kira saya tempo hari ngotot betul berusaha memasukkan kamu
ke kursus guru bantu untuk apa? Juga kawan-kawanmu yang lain dari desa- desa di bawah kekuasaan saya, saya usahakan masuk di pendidikan ini dan
Universitas Sumatera Utara
itu? Semua itu usaha saya bersama pangreh praja maju lainnya untuk membangun barisan priyayi maju, bukan priyayi yang di kemudian hari
kepingin jadi raja kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik.” Kayam, 2000:63
Dari kutipan di atas terlihat bahwa pendidikan merupakan instrumen untuk dapat menjadi priyayi maju. Karakter priyayi maju tersebut juga harus dilandasi sikap
kepeduliannya terhadap wong cilik. Untuk itu dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang guru, Sastrodarsono
juga sangat peduli dengan masa depan siswa-siswanya yang kebanyakan berasal dari keluarga tidak mampu itu.
Di kelas empat saya sangat memperhatikan pengajaran berhitung, menulis dan membaca, serta bahasa Jawa itu. Selain saya ingin agar
sekolah desa Karangdompol bisa menjadi sekolah desa yang bisa dibanggakan, saya juga ingin agar anak tamatan sekolah Karangdompol itu
tidak akan kesulitan mendapat pekerjaan dan kesempatan untuk mengikuti kursus-kursus atau pendidikan untuk jenjang yang lebih
tinggi, seperti guru bantu atau calon mantri di berbagai bidang. Kayam, 2000:53
Sastrodarsono juga memberanikan diri mendirikan sekolah partikelir di desa Wanalawas. Pembangunan sekolah tersebut ditujukan untuk mengajari pengetahuan
dasar membaca dan menulis bagi warga desa tersebut. Berikut adalah percakapan Sastrodarsono dengan warga desa Wanalawas untuk rencana pembangunan sekolah
itu.
Saya kemudian mencoba menjajagi seberapa sadar dan kuat kemauan mereka untuk mempunyai sekolah itu.
‘Pak Dukuh, sedulur-sedulur semua saja.’ ‘Inggiih’
Universitas Sumatera Utara
‘Apa betul sampeyan semua mau ada sekolah di sini?’ ‘Betuul, Ndoro Mantrii. Mauu.’
‘Lha, kalau sudah ada sekolah terus mau dibuat apa?’ Orang-orang desa itu tidak menjawab serempak lagi. Kebanyakan malah
saling berpandangan. Kemudian suara-suara kedengaran sendiri-sendiri. ‘Buat belajar nulis, Ndoro.’
‘Buat belajar berhitung.’ ‘Lha, kalau sudah bisa belajar menulis dan berhitung?’
Mereka berpandang-pandangan lagi. Kemudian ada yang menyeletuk. ‘Kerja di kantor kabupaten, Ndoro.” Kayam, 2000:104
Dari kutipan di atas terlihat bahwa dalam perjalanan hidupnya, impian tertinggi petani adalah keinginan untuk meningkatkan status sosialnya menjadi
seorang priyayi. Mereka merasa priyayi merupakan pelabelan positif dan agung yang akan mendapat penghargaan maupun penghormatan yang besar dari masyarakat. Dan
ilmu menjadi ukuran terpenting bagi keberhasilan seseorang untuk menjadi priyayi, seperti yang terlihat dalam kutipan novel Para Priyayi berikut.
“Jadi priyayi itu jadi orang terpandang di masyarakat, bukan jadi orang kaya. Priyayi itu terpandang kedudukannya, karena kepinterannya.”
Kayam, 2000:48
Dengan ilmu yang dimiliki oleh Sastrodarsono, kewibawaan muncul pada dirinya sehingga orang-orang terpengaruh oleh tutur katanya, pengajarannya, patuh
kepada nasihatnya, dan mampu menjadi magnet bagi pendengarnya sehingga mereka akan terkesima dan tekun mendengar ajarannya. Berikut gambaran kewibawaan
tokoh Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi. Waktu mereka melihat Embok datang membawa saya, Ndoro Guru langsung
menanyakan dengan nada suara, setidaknya bagi saya waktu itu, sangatlah ulem-nya dan sangatlah penuh wibawa. Kayam, 2000:13
Universitas Sumatera Utara
Betapapun kami sudah menjadi orang, sudah beranak-pinak dan memiliki kedudukan di masyarakat, orang-tua saya, terutama Bapak, adalah tempat
kami berpaling. Di hadapannya kami anak-anak masih tetap anak-anak. Dari mulutnya keluar sabda-sabda yang mengandung bobot yang berwibawa
sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya. Kayam, 2000:181
Begitu pula saat istri Sastrodarsono atau Embah Putri meninggal, kewibawaannya terus melekat di hati masyarakat sekitarnya, seperti yang tergambar
dalam kutipan berikut.
Dari banyaknya jumlah pelayat kami tahu bahwa Embah Sastrodarsono dikenal dan dihormati oleh masyarakat Wanagalih. Kayam, 2000:243
2. Kesaktian Kasekten