Wibawa Analisis Tokoh Utama yang Tergambar Melalui Konsep Kekuasaan

Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur serta asas-asas kepemimpinan yang telah kita miliki itu mengandung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku di segala zaman. Konsep-konsep kepemimpinan tersebut merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apapun. Untuk itu Koentjaraningrat mengemukakan ada empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat, yaitu: wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. 19 Berikut ini diuraikan keempat komponen kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama dalam novel Para Priyayi, yaitu Sastrodarsono.

4.1.1 Wibawa

Komponen pertama di dalam kekuasaan Jawa adalah wibawa. Wibawa adalah sifat yang memperlihatkan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan daya tarik KBBI, 2000. Menurut Kartono 1990:105 kewibawaan berasal dari kata-kata ‘kawi’ dan ‘bahwa’. Kawi berarti kuasa, kekuasaan yang lebih, kelebihan. Dan bahwa berarti kekuasaan, keutamaan, kelebihan, keunggulan. Jadi kewibawaan berarti kelebihan, keunggulan, keutamaan, sehingga seseorang mampu mengatur, membawa, memimpin, dan memerintah orang-orang lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Karepesina 1988:17 bahwa kewibawaan dapat didefinisikan sebagai kekuatan yang memancar 19 Lihat Koentjaraningrat ‘Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi’ dalam Miriam Budiardjo Ed., Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 128-143 Universitas Sumatera Utara dari diri seseorang karena kelebihan yang dimilikinya sehingga mendatangkan kepatuhan tanpa paksaan kepadanya. Seorang pemimpin harus memiliki kelebihan atau keunggulan tertentu sebagai tumpuan kewibawaan yang dimilikinya di mata pengikutnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Karjadi dalam Karepesina 1988:11 bahwa pemimpin yang ideal adalah orang yang berkuasa dan memiliki wibawa serta mempunyai kemampuan memimpin yang baik terhadap semua lapisan dari lapangan di mana nantinya ia akan bergerak. Kartono 1990:310 juga berpendapat bahwa konsepsi mengenai kepemimpinan itu harus selalu dikaitkan dengan tiga hal penting yaitu 1 kekuasaan, 2 kewibawaan, 3 kemampuan. Wewenang tanpa wibawa melahirkan pemimpin yang kurang ampuh, sedangkan wibawa tanpa wewenang masih memiliki kepatuhan dari masyarakat yang dipimpin. Kalau seorang pemimpin kehilangan kewibawaannya, masyarakat pun dapat berada dalam krisis kepemimpinan. Hal ini sejalan dengan pendapat Salusu 1996:216, Memang, pada wewenang melekat wibawa. Wewenang yang dimiliki seseorang adalah konstan, sedangkan wibawa merupakan a matter of degree. Seseorang yang mempunyai wewenang, belum tentu berwibawa dalam menuntut ketaatan dari orang lain. Jadi, kewibawaan adalah kewenangan yang diterima. Pemimpin yang dibutuhkan organisasi tentu yang memiliki kekuasaan, wewenang, dan wibawa. Untuk dapat memimpin dengan baik, orang harus berwibawa, bukan karena kekuasaan atau ditakuti Karjadi dalam Karepesina, 1988:20. Kekuasaan tidak perlu mengandung kekerasan jika masalahnya dihubungkan dengan wibawa. Wibawa Universitas Sumatera Utara menimbulkan pada orang yang dihadapi rasa segan, bukan takut, rasa hormat bukan kecut, seperti ungkapan dalam novel Para Priyayi berikut. ….wibawa itu tidak membuat orang merasa takut melainkan hormat. Kayam, 2000:157 Suseno 2003:103 juga menyatakan pendapatnya bahwa orang-orang yang sungguh-sungguh berwibawa tidak perlu menggarisbawahi kewibawaannya dengan usaha-usaha lahiriah. Sebaliknya, seorang atasan yang selalu merasa perlu untuk menonjolkan kewibawaannya, secara tidak langsung mengaku, bahwa ia sebenarnya merasa lemah, dan dengan demikian menggoncangkan kedudukannya sendiri. Tokoh utama Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi memiliki sikap wibawa. Hal ini diakui oleh anak-anaknya. Berikut adalah kutipan yang berisi pengakuan anak-anak Sastrodarsono terhadap sikap wibawa ayahnya. Betapapun kami sudah menjadi orang, sudah beranak-pinak dan memiliki kedudukan di masyarakat, orang-tua saya, terutama Bapak, adalah matahari tempat kami berpaling. Seperti juga matahari, Bapak memang selalu menyilaukan mata kami. Di hadapannya kami anak-anak masih tetap anak- anak. Dari mulutnya keluar sabda-sabda yang mengandung bobot yang berwibawa sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya. Kayam, 2000:180-181. Begitu pula, Lantip alias Wage, yang ngenger mengabdi pada keluarga Sastrodarsono membenarkan kewibawaan Sastrodarsono itu. Hal ini tergambar melalui kutipan berikut. Universitas Sumatera Utara Waktu mereka melihat Embok datang membawa saya, Ndoro Guru langsung menanyakan dengan nada suara, setidaknya bagi saya waktu itu, sangatlah ulem-nya dan sangatlah penuh wibawa. Kayam, 2000:13 Ada beberapa hal yang menimbulkan kewibawaan pada diri seseorang. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada hal-hal berikut. 20

1. Ilmu

Ilmu merupakan komponen dasar dari sumber kewibawaan tradisional. Orang yang menguasai ilmu akan disegani atau dihormati masyarakatnya. Menurut Endraswara 2003:32 ilmu adalah bukti olah otak manusia yang mungkin didasarkan pembuktian ilmiah. Ilmu bersumber pada kebenaran ilmiah. Setiap manusia yang sadar dan wajar dapat memiliki sebuah ilmu. Ilmu ini akan membantu keperluan hidup manusia dalam segala hal. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui pendidikan dan proses belajar. Pendidikan merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Kaum priyayi adalah orang-orang yang lebih banyak bersentuhan dengan pendidikan. Mereka pun menyadari pentingnya belajar lebih banyak dari bangsa Eropa sehingga mereka akhirnya turut serta membawa kemajuan ke dalam 20 Karl D. Jackson pernah melakukan penelitian desertasinya tentang sumber-sumber kewibawaan tradisional dan kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Kewibawaan Tradisional, Islam, dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1990. Universitas Sumatera Utara