Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Sastra dan filsafat pemikiran memiliki hubungan yang erat. Sastra dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat mengungkapkan berbagai ide atau gagasan tentang kehidupan. Sejalan dengan pendapat Wellek Austin Warren 1989:134-135 yang mengemukakan bahwa sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Sudah sejak lama sejak zaman Yunani sastra diperlakukan sebagai wahana pengungkapan dan pencetusan gagasan-gagasan filsafat. Banyak filsuf sekaligus sastrawan mengungkapkan dan mencetuskan gagasan-gagasan filosofisnya ke dalam sastra. Albert Camus, Sartre, Khalil Gibran, dan Muhammad Iqbal, misalnya, banyak mengungkapkan dan mencetuskan gagasan-gagasan filsafatnya ke dalam novel-novel dan puisi-puisi mereka. Dalam hal ini, karya sastra dijadikan sebagai ‘alat’ untuk mengukuhkan gagasan filsafat yang hendak disampaikannya. Malahan sebenarnya setiap sastra yang baik selalu menyajikan dan menyuguhkan soal-soal filosofis. Hassan 1988:64 bahkan menegaskan bahwa dalam setiap karya sastra yang baik niscaya tersirat sikap filsafat tertentu; jejak-jejak filsafat itu cenderung tembus dari balik segi kebahasaan yang berwujud kesusastraan. Universitas Sumatera Utara Darma 1984: 52 juga menegaskan bahwa setiap karya sastra yang baik selalu berfilsafat meskipun karya sastra bukan sebuah karya filsafat. Mangunwijaya 1988:3 menyatakan bahwa karya sastra yang baik selalu menyajikan permenungan- permenungan sekaligus relung-relung terdalam tentang manusia. Dari pandangan-pandangan tersebut terlihat bahwa semua karya sastra yang bermutu akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, baik menyangkut sikap dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya maupun tema karya sastra itu sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafatnya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandungnya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra picisan. Umar Kayam 1932-2002 adalah sastrawan sekaligus filsuf Nusantara, khususnya Jawa, yang cukup terkenal dan berpengaruh sehingga karya-karyanya banyak dipelajari dan diminati sarjana atau ilmuwan baik dari dalam maupun luar negeri. Novel, sebagai salah satu genre sastra, digunakan oleh Umar Kayam untuk merekam dan menafsirkan kembali hidup dan kehidupan. 1 Sebagai salah satu wahana ekspresi, baginya novel lebih efektif untuk memahami kehidupan secara tepat, dibanding apabila ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah. Karya sastra itu dibangun oleh pengarangnya berdasarkan perenungan, penafsiran, dan penghayatannya terhadap 1 Lihat ulasannya dalam Umar Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan, hlm.88 Universitas Sumatera Utara realitas sosial serta lingkungan sosial masyarakat di mana pengarang itu hidup dan bermasyarakat. Oleh karena itu, sastra yang bermutu, bagi Umar Kayam adalah karya sastra yang banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan Kayam, 1981:88. Novel Para Priyayi 2000 merupakan novel pertama Umar Kayam yang sarat dengan muatan filsafat. Dalam hal ini Umar Kayam cenderung mengangkat filsafat lokal yaitu Jawa. Kejawaannya itu sendiri terlihat pada simbol-simbol dunia pewayangan, serta karya sastra yang dihasilkan para pujangga keraton diselusupkan ke dalam dialog maupun lakuan para tokohnya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Mahayana 2007:288 “…saratnya novel Para Priyayi dengan filsafat Jawa dan simbol-simbol dunia pewayangan, serta sejumlah ungkapan yang khas mencerminkan pandangan hidup orang Jawa, menjadikan novel ini sangat bernuansa Jawa; sangat menjawa”. Pada dasarnya, pemikiran filsafat Jawa bersifat mengakar yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh terhadap hakikat kebenaran yang sedalam- dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik. Nilai-nilai filsafat ini merupakan jagad batin orang Jawa yang hadiluhung dan hadiningrat, mendalam serta yang sangat luas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa filsafat Jawa adalah berfikir tentang sesuatu secara sistematis dan mendalam, terus menerus sampai menemukan jawaban atau hakekat kebenaran hidup. Karena itu, melalui filsafat dapat diketahui bagaimana manusia Jawa berpikir tentang hidup, manusia, dunia, dan Tuhan. Universitas Sumatera Utara Filsafat Jawa tersebut juga didasari atas pola-pola pemikiran yang universal sebagai usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan. Jadi filsafat Jawa bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bagi siapapun yang ingin mempelajarinya. Oleh karena itu, pada era reformasi dan demokratisasi, pola-pola yang universal itu bisa dipastikan tetap ada. Dalam bingkai filsafat Jawa, moral erat kaitannya dengan kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematis dalam etika, filsafat moral, dan teologi moral. 2 Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruhan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagai makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai makhuk individu, makhluk sosial, dan makhluk yang berpribadian, agar manusia dan masyarakat yang ada di bumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak mulia. 3 Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu konsepsi kepemimpinan yang tumbuh dari kultural masyarakat Jawa, nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa Anshoriy, 2008:7. Nilai-nilai luhur itu merupakan ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan, dan keluhuran. Apalagi di tengah kondisi sosial politik dan kekuasaan di Indonesia dewasa ini yang sedang memasuki fase yang amat mengkhawatirkan. Etika kekuasaan berbasis kebudayaan sesungguhnya bisa dijadikan acuan nilai yang relevan bagi para politisi sekarang agar 2 Telusuri http:arjana-stahn.blogspot.com201001pembinaan-moral-dalam-kajian-filsafat.html 3 Ibid Universitas Sumatera Utara segala kebijaksanaan yang dirumuskan tetap mempunyai akar sejarah, berbudaya, dan memanusiakan manusia. Umar Kayam menegaskan ‘perkembangan kebudayaan Indonesia modern harus tetap memberikan ruang gerak bagi kebudayaan tradisional’ http:www.hamline.eduapakabarbasisdata199706260043.html. Oleh karena itu kebudayaan tradisional yang ditransformasikan ke kebudayaan modern pada akhirnya dapat membentuk nilai kepribadian bangsa. Dengan demikian, etika kekuasaan Jawa merupakan konsep yang berpengaruh terhadap upaya menumbuhkan demokrasi modern di tengah masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Isu kekuasaan menjadi hal yang sangat krusial dalam novel Para Priyayi mengingat kaum priyayi identik dengan orang-orang birokrat yang menggunakan statusnya untuk menguasai orang lain. Menjadi priyayi tidak hanya berarti sebuah peningkatan dalam status sosial, melainkan juga peningkatan kekuasaan Faruk dalam Salam, 1998:xxxiii. Bahkan menurut Koentjaraningrat, sebutan priyayi dalam masyarakat Jawa khususnya, menunjukkan suatu status sosial yang sangat tinggi, bahkan cenderung sangat eksklusif. 4 Para priyayi adalah kelompok sosial yang sejak tahun 1900-an menjadi elit birokrasi pemerintah. Merekalah yang memimpin, mengatur, memberi pengaruh, dan menuntun masyarakat. Semua orang yang duduk dalam jabatan administrasi 4 Lihat Koentjaraningrat. 1987. Meningkatkan Kinerja BUMN: Antisipasi Terhadap Kompetisi dan Kebijakan Deregulasi . Yogyakarta: JKAP. Universitas Sumatera Utara pemerintah, para pegawai pemerintahan, dan orang-orang yang berpendidikan digolongkan kaum priyayi. Mula-mula, priyayi adalah mereka yang memiliki garis keturunan dengan raja atau adipati dalam bahasa Jawa, priyayi adalah para yayi atau para adik raja. 5 Akan tetapi dengan semakin terdidiknya masyarakat biasa dan keberhasilan mereka memperoleh karir di berbagai bidang di pemerintahan, maka priyayi tidak harus memiliki darah bangsawan Kartodirdjo, 1987:10. Kepada golongan elit inilah sesungguhnya Indonesia berkiblat. Namun masih banyak golongan priyayi yang belum memahami benar makna kepriyayiannya itu dalam masyarakat. Selama ini stereotip priyayi selalu erat dengan orang-orang birokrat yang berjiwa anti-sosial dan arogan. Banyak nilai-nilai luhur priyayi telah menyimpang karena banyak kaum priyayi lebih mengutamakan status sosial, gaya hidup, dan nilai-nilai yang bersifat materi. Akibatnya sering terjadi penyalahgunaan legitimasi kekuasaan. Umar Kayam menggambarkan kondisi itu sebagai berikut. …negara ini tidak dibuat sekali jadi…kekuasaan dibangun untuk dapat mensejahterakan rakyat…namun yang terjadi, kekuasaan diperebutkan untuk dapat mengatur sumber-sumber pendapatan, sehingga terjadi royokan, rebutan. Kalau sudah rebutan, maka yang brutal yang ‘menang’. Ini yang harus kita waspadai, harus kita jaga agar kekuasaan itu bisa diatur bersama- sama dengan baik…Refleksi Umar Kayam di atas pembaringan beberapa hari sebelum wafat dalam Luthfi, 2007:82. 5 Asal mula priyayi adalah orang-orang yang terpakai oleh penguasa. Ini bisa terjadi karena hubungan kekerabatan atau karena pengabdian tradisional atau karena kecakapan dan menunjukkan kesetiannya kepada kepentingan penguasa. Dengan berbagai jalan, golongan ini mempertahankan diri dan memperbesar pengaruhnya. Ini dilakukan dengan mengikat diri lewat perkawinan, atau menerapkan kebudayaan dan tradisi kraton dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, mereka mengharuskan diri untuk hidup menurut tata cara yang baik. Universitas Sumatera Utara Novel Para Priyayi dianggap sebagai kritik Umar Kayam sebagai priyayi cendekiawan terhadap budaya priyayi yang tidak sesuai dengan esensi makna priyayi yang luhur. Bagaimana sebenarnya seorang yang dikatakan ‘priyayi’ yaitu seorang yang telah mencapai kekuasaan di masyarakat dapat menggunakan kekuasaannya itu berdasarkan etika kekuasaan, moral politik, dan cara-cara yang indah dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat sehingga betul-betul untuk kepentingan publik atau masyarakat yang diwakili. Mochtar Pabottingi dalam Rahmanto, 2004:73 memberi komentar ‘Priyayi Kayam adalah priyayi yang inklusif dan egaliter, tak bermaksud bersekutu sehidup-semati dengan kekuasaan, tetapi dengan kemanusiaan.’ Keunikan priyayi dalam novel Para Priyayi adalah munculnya priyayi yang datang dari kalangan rendah yakni orang-orang yang ingin menjadi priyayi lewat suatu proses pengabdian. Seperti yang diungkapkan Moertono dalam Rahmanto 2004:91 ‘golongan ini menjadi priyayi bukan karena warisan turun-temurun, tetapi lewat suatu perjuangan yang gigih berdasarkan kepandaian yang berhasil mereka kuasai lewat pendidikan, dan dalam suatu proses panjang pengabdian.’ Lewat kekayaan imajinasi dan keluasan pengetahuan, Umar Kayam berhasil menggambarkan dan memaparkan struktur kompleks kehidupan para tokohnya dalam menjalani kehidupan dan usaha membangun struktur dinasti priyayi. Mulai dari nol sebagai anggota keluarga abangan berstatus keluarga buruh, lalu menapaki perjalanan Universitas Sumatera Utara status sosialnya sebagai perintis. Tidak saja bagi dirinya sendiri akan tetapi juga bagi garis keturunannya. 6 Berdasarkan hal tersebut, novel Para Priyayi sangat menarik untuk dikaji karena mengandung nilai kearifan lokal yang berhubungan dengan etika kekuasaan Jawa. Nilai-nilai luhur tersebut merupakan ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran. Untaian kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan moralitas dirangkai dan disarikan dari kitab-kitab Jawa kuno karya pujangga agung serta ungkapan luhur yang diwariskan secara turun temurun. Novel Para Priyayi juga dapat dijadikan salah satu rujukan bagaimana nilai- nilai humanisme telah dijadikan pegangan hidup oleh seorang priyayi dalam mendapatkan kekuasaan, mengelola dan menggunakan kekuasaannya.

1.2 Identifikasi Masalah