Perspektif Kekuasaan dalam Budaya Jawa

menjelaskan, bahwa ‘kekuasaan selalu menyimpulkan imbangannya oleh tanggung jawab, yang berarti pertanggungan jawab dari individu-individu terhadap individu- individu atau golongan-golongan lainnya atas tindakan-tindakannya sendiri dan tindakan- tindakan orang lain’ Budiardjo, 1984:32. Sekalipun ada banyak pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan tetapi agaknya ada satu inti yang terlihat dalam semua perumusan itu, yaitu bahwa kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan Budiardjo, 1984:9. Konsep kekuasaan demikian, sebenarnya didasarkan atas fakta politik yang terjadi di negara-negara barat. Namun demikian, di Indonesia pun sebenarnya konsep kekuasaan juga senada dan seirama dengan pendapat Laswell, Kaplan, dan Parson. Hanya saja, cara mendapatkan kekuasaan dalam kancah politik, antara negara barat dan timur Indonesia-Jawa memang dimungkinkan ada perbedaan.

2.2.3.2 Perspektif Kekuasaan dalam Budaya Jawa

Anderson 10 , Indonesianis dari Cornell University yang melakukan penelitian lapangan di Jawa, menulis dengan kegamblangan sebuah generalisasi, bahwa 10 Dalam karyanya “The Idea of Power in Javanese Culture” “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”, Anderson membahas persistensi gagasan kekuasaan Jawa tradisional dan pengaruhnya terhadap kehidupan politik modern. Menurut Anderson, ada empat hal yang menjadi dasar pemikiran kekuasaan dalam perspektif kebudayaan Jawa. Keempat hal tersebut adalah: a. kekuasaan itu kongkret; b. kekuasaan itu homogen; c. jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap; d. kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Lihat Anderson “Gagasan tentang Kekuasaan Universitas Sumatera Utara kekuasaan dalam pandangan orang Jawa bersifat mutlak. Ia tidak memiliki dimensi etis apa pun, selain mempertahankan dan melestarikan kekuasaan. Ia juga semata- mata hanya mengabdi kepada kepentingan sang penguasa, melalui sejumlah perlambang, seperti kesaktian dan barang pusaka. Generalisasi seperti itu sejak semula memang patut dicurigai, karena menyembunyikan nuansa-nuansa halus dalam pandangan tentang kekuasaan. Kesalahan Anderson yang paling utama adalah kenekatannya membuat sebuah konstruk mutlak dari sebuah sudut pandangan belaka. Kesalahan Anderson itu ‘dimanfaatkan’ oleh Koentjaraningrat, yang menyanggah gagasan Anderson bahwa kadigjayan sebagai satu-satunya komponen yang diperlukan untuk melaksanakan kekuasaan itu, ibarat kekuatan energi bersifat sakti serta keramat yang dengan sendirinya dapat digunakan. 11 Selanjutnya, Koentjaraningrat berpendapat bahwa, seperti halnya pemimpin lain dari semua masyarakat dunia, seorang pemimpin dalam suatu masyarakat berkebudayaan Jawa perlu juga memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin secara universal. Kita akan sesat apabila kita mengira bahwa orang Jawa menganggap kekuasaan identik dengan satu energi sakti yang dapat diraih dengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jawa mengenai kekuasaan dan kepemimpinan jauh lebih kompleks dari itu; konsepsi masa kini sedang berkembang dari konsepsi tradisional, ke arah suatu konsepsi Indonesia masa kini. Koentjaraningrat dalam Budiardjo, 1984:143. dalam Kebudayaan Jawa” dalam Miriam Budiardjo Ed.. 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 51-52. 11 Lihat Koentjaraningrat ‘Kepimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi’ dalam Miriam Budiardjo Ed., 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, hlm. 128. Universitas Sumatera Utara Dengan hasil pengontrasan semacam itu, Koentjaraningrat menilai bahwa Anderson telah kehilangan kemampuannya untuk melihat gejala-gejala yang ditelitinya konsep kekuasaan masyarakat Jawa secara proporsional. Lebih lanjut, Anderson dianggap berlebihan dalam memandang konsep kekuasaan masyarakat Jawa. Anderson tidak cukup memahami orang Jawa dengan menganggap cerita-cerita dan ujaran, upacaranya sebagai suatu realitas. Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa sering mengekspresikan diri dalam perilaku yang simbolis, termasuk konsep kekuasaan yang keramat dan sakti itu juga sebagai bagian dari konsepsi yang simbolis. Menurut Koentjaraningrat, kesakten hanyalah salah satu syarat bagi pemimpin Jawa, tetapi bukan satu-satunya. Sebagai jalan keluarnya Prof. Koentjaraningrat menawarkan model kepemimpinan yang lebih universal dengan mengacu kepada data etnografi kebudayaan di Afrika, Asia dan daerah lautan Pasifik. Dalam menyusun kerangka teoritisnya, Koentjaraningrat mengkategorikan konsep kekuasaan dan kepemimpinan berdasarkan tingkat perkembangan masyarakat, yaitu masyarakat kecil dan masyarakat sedang, masyarakat negara-negara kuno, dan masyarakat negara kontemporer. Ada empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat: wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Skemanya demikian: 12 12 Lihat Koentjaraningrat “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” dalam Miriam Budiardjo Ed.. 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 128-143. Universitas Sumatera Utara Masyarakat Sederhana Masyarakat Tradisional Masyarakat Masa Kini Wibawa Kharisma Wibawa Wewenang Wewenang Wewenang Kharisma Wibawa Kharisma Kemampuan khusus Kemampuan khusus Kemampuan khusus Gambar 1. Skema Komponen Kekuasaan Jawa Menurut Koentjaraningrat 1984:128- 143 Dalam masyarakat kecil atau sedang disebut kerangka I disimpulkan bahwa komponen-komponen yang menjadi landasan kekuasaan seorang pemimpin adalah kewibawaan, wewenang dan kekuasaan dalam arti khusus , serta sifat-sifat yang menjadi syarat bagi seseorang untuk muncul sebagai pemimpin. Kewibawaan yang dimaksud dikarenakan: kepandaian berburu, bertani, berkebun, keterampilan berpidato, kemahiran berdiplomasi, sifat-sifatnya sesuai dengan cita-cita dan keyakinan masyarakatnya. Wewenang diperoleh karena kemampuannya untuk melakukan upacara intensifikasi. Sementara kharisma muncul karena dianggap memiliki kekuatan sakti. Selanjutnya, komponen kekuasaan yang harus ada dalam masyarakat negara kuno kerangka II antara lain kharisma, kewibawaan, wewenang atau kekuasaan dalam arti khusus serta syarat-syarat yang memungkinkan seseorang menjadi raja atau pemimpin kelompok masyarakat ini. Kharisma diperoleh dengan klaim memiliki wahyu Tuhan atau dewa-dewa. Wewenang dimiliki seseorang karena memiliki Universitas Sumatera Utara kekuatan sakti, mempunyai keturunan sah, mampu melaksanakan upacara intensifikasi dan memiliki pusaka-pusaka keramat. Semenatar kewibawaan diperoleh karena memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan masyarakat. Dalam masyarakat negara kontemporer kerangkan III komponen-komponen kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin tetap sama seperti pada masyarakat sedang dan negara kuno, hanya saja tata urut pentingnya telah berubah. Hal itu dikerenakan sumber kekuasaannya adalah masyarakat itu sendiri, bukan dewa atau Tuhan. Kewibawaan diperoleh karena popularitas dan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah sosial ekonomi dan politik kecendiakawanan, serta memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan kepercayaan masyarakat. Wewenang diperoleh melalui prosedur adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sementara kharisma diperoleh karena memiliki lambang-lambang kepemimpinan dan ciri-ciri rohaniah yang disegani. Unsur-unsur kekuasaan tersebut juga bisa digunakan untuk membedakan antara pimpinan formal dan informal. Menurut Koentjaraningrat, pimpinan formal memiliki empat komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan, wewenang, kharisma dan kekuasaan fisik. Sementara itu kekuasaan informal hanya memiliki tiga komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan, kharisma dan kekuatan fisik. Penelitian tentang etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam ini bertolak dari pandangan Koentjaraningrat di atas tentang konsep kekuasaan Jawa yang meliputi empat komponen yaitu: wibawa, kharisma, wewenang, dan kemampuan khusus. Universitas Sumatera Utara

2.3 Landasan Teori