Keturunan Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

kemakmuran dan kesejahteraan. Hal-hal inilah yang juga menjadi faktor munculnya kewibawaan pada diri Sastrodarsono.

3. Keturunan

Keturunan merupakan komponen dasar dari sumber kewibawaan tradisional. Seseorang yang berasal dari keluarga yang pernah memimpin dengan baik dianggap memiliki sesuatu ‘lambang’ sebagai dasar kepemimpinannya Karepesina, 1988:26. Dalam pandangan masyarakat Jawa, orang demikian dianggap telah mewarisi darah kepemimpinan. Dalam Kitab Pararaton 23 dinyatakan ‘….karena raja mempunyai kewibawaan atau kharisma sedemikian besarnya, maka tidak hanya dirinya sendiri yang mempunyai status demikian, tetapi juga keturunannya.’ Itulah sebabnya keturunan juga mempunyai peranan penting dalam hubungannya dengan kekuasaan negara. Hal ini tersirat di dalam novel Para Priyayi melalui kutipan berikut. Saya dan Dik Ngaisah tentulah yang merasa bangga dengan kelahiran Noegroho. Yah, semua merasa bangga. Sebab inilah anak laki-laki sulung yang akan menjadi penerus utama keluarga besar kami. Dan bukan sembarang penerus. Noegroho adalah anak laki-laki yang kami harapkan betul, yang kami gadang-gadang akan menjadi salah satu soko guru keluarga besar priyayi Sastrodarsono. Dialah yang pada satu ketika kami bayangkan sebagai pemimpin adik-adiknya, anak-anaknya, kemenakan- kemenakannya, dan cucu-cucunya membangun keluarga besar yang baru, yang lebih maju dan terhormat. Kayam, 2000:51 23 Lihat Nasruddin Anshoriy, Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: LKiS, 2008, hlm. 29 Universitas Sumatera Utara Hal yang sama juga dapat dilihat dari kutipan berikut. Anak-anak kami, kami masukkan ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak priyayi itu, karena sekolah ini diadakan untuk menyiapkan priyayi-priyayi gupermen. Anak-anak yang bersekolah di situ akan diajar bahasa Belanda, bahasa yang sangat penting buat mendapat kedudukan di kantor gupermen dan dapat meneruskan pelajaran ke sekolah menengah dan sekolah menengah atas priyayi, seperti MULO, AMS, atau sekolah- sekolah guru menengah, seperti sekolah Normaal, Kweeksekul dan sebagainya itu. Kalau anak-anak saya nanti ingin jadi guru maka mereka bukan hanya akan sekolah kursus guru bantu seperti bapak mereka. Mereka akan ke sekolah guru yang lebih tinggi, yang lebih benar-benar sekolah guru. Dan saya sekali lagi beruntung. Kedudukan saya sebagai guru, meskipun guru sekolah desa, latar belakang saya sebagai menantu mantri penjual candu, hubungan saya dengan Romo Seten Kedungsimo, hubungan saya dengan Romo Seten Kedungsimo, hubungan saya yang akrab dengan Dokter Soedradjat dan para pemuka masyarakat Wanagalih lainnya, telah memberikan saya kemudahan untuk memasukkan anak-anak saya ke sekolah HIS Wanagalih. Kayam, 2000:52 Dari kutipan di atas terlihat bahwa kewibawaan Sastrodarsono sebagai priyayi maju juga memiliki pengaruh bagi keturunannya kelak. Dengan masuknya Sastrodarsono ke dalam jenjang priyayi, secara otomatis semua anaknya dapat mewarisi ‘lambang priyayi’ ini hingga ke keturunannya nanti. Sebutan Ndoro pada Sastrodarsono dan keturunannya merupakan gelar terhormat dengan kedudukannya sebagai priyayi. Bagi keluarga Jawa waktu itu keluarga inti Ndoro Sastrodarsono boleh dikatakan kecil. Mereka hanya punya tiga orang anak. Yang pertama Ndoro Noegroho tinggal di Yogya menjadi guru HIS, sekolah dasar untuk anak- anak priyayi, yang kedua Ndoro Hardojo, memilih menjadi abdi dalem Mangkunegaran di Solo, bekerja di bagian pendidikan orang dewasa dan gerakan pemuda dengan pangkat wedana, dan yang paling muda adalah Ndoro Den Ajeng Soemini, yang kawin dengan Raden Harjono Cokrokusumo, asisten wedana di Karangelo. Kayam, 2000:18 Universitas Sumatera Utara 4 Sifat-Sifat Kepribadian Komponen keempat dari sumber kewibawaan tradisional adalah sifat-sifat kepribadian.

a. Adil dan bijaksana

Dalam konsep kekuasaan Jawa seorang pemimpin tidak bisa bersikap sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Konsep dimaksud adalah ungkapan bahwa seorang pemimpin haruslah berbudi bawa leksana ambeg adil para marta. Konsep ini menyiratkan bahwa seorang pemimpin harus dapat menciptakan ketertiban dan keamanan rakyat dan negara, seperti dalam ungkapan anjaga tata titi tentreming praja. Dengan demikian, seharusnya seorang pemimpin tidak hanya menjadi penghukum, tetapi juga penegak hukum, yang merupakan manifestasi dari upaya menegakkan keadilan. Seorang penguasa haruslah dapat memberikan kebijakan – kebijakan yang adil serta menyelesaikan masalah dengan tepat. Dalam mendidik anak-anak dan kemenakannya, tokoh sentral Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi mampu menerapkan sikap adil. Dalam usahanya untuk mengangkat martabat kemenakan-kemenakannya, ia menyekolahkan mereka di tempat sekolah yang sama dengan anak-anaknya, dan memberikan fasilitas yang cukup nyaman bagi mereka untuk tinggal di rumahnya. Mereka semua saya masukkan ke sekolah HIS yang sama dengan anak- anak saya. Mereka memang tidak saya tempatkan di kamar-kamar di bagian dalam rumah karena tidak ada cukup ruangan di dalam. Tetapi, mereka kami bangunkan sebuah pavilyun yang cukup baik dengan kamar-kamar yang baik juga. Dan makan pun, meskipun untuk mereka kami sediakan di pavilyun, sering juga kami ajak makan di dalam. Kayam, 2000:100 Universitas Sumatera Utara Bila anak-anak dan kemenakannya berbuat salah, Sastrodarsono juga akan memberikan sanksi yang setimpal dengan perbuatan mereka. Yang terakhir saya ingat saya memukul Noegroho dan Hardojo waktu mereka masih duduk di kelas empat dan lima, waktu mereka juga tidak mau patuh pada larangan kami agar tidak berenang di Kali Madiun untuk beramai-ramai ikut-ikutan njenu, menuba, sungai agar ikan-ikannya pada mati dan mudah ditangkap. Terhadap Ngadiman dan Soedarmin saya tidak pernah merotan saking patuh dan baiknya anak-anak itu. Tapi Soenandar Berapa kali saja sudah saya rotan dia. Kayam, 2000:74 Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa Sastrodarsono memperlakukan anak- anak dan kemenakan-kemenakannya secara adil, baik untuk mengangkat derajat mereka maupun jika mereka melakukan kesalahan. Seorang pemimpin juga harus wicaksana atau bijaksana dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintahan. Kebijaksanaan itu sering digambarkan sebagai mampu mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi situasi. Tokoh Sastrodarsono dan Ngaisah, memang menjadi pusat orientasi dan tempat ‘pengaduan’ bagi putra-putrinya, tetapi mereka juga tampil sebagai tokoh ‘demokrat’ yang dapat diajak berdiskusi dan bercengkerama. Ketika Soemini, putri tunggal keluarga Sastrodarsono, dilamar oleh keluarga Soemodiwongso untuk anaknya yang bernama Raden Harjono Cokrokoesomo, Sastrodarsono dan istrinya, berembuk dahulu dengan anak-anaknya yang lain, termasuk Soemini sendiri. Padahal sebagai orang tua, mereka dapat saja memutuskan lamaran itu. Perhatikan kutipan di bawah ini. Universitas Sumatera Utara “Anak-anak, ini begini. Hari ini datang surat lamaran dari pamanmu Soemodiwongso di Soemoroto yang ingin minta Soemini jadi menantunya. Karena orang tuamu ini bukan priyayi kuno kami mengumpulkan kalian, terutama genduk Mini untuk kami tanya pendapat kalian.” Kayam, 2000:76 Kutipan di atas menunjukkan tokoh Sastrodarsono mampu membangun sikap bijaksana dalam menyikapi setiap keadaan dan peristiwa. Sebelum memutuskan suatu perkara, dengan rasa rendah hati ia menerima dan mengakui masukan dari setiap anggota keluarganya.

b. Berani dan tegas

Keberanian seorang pemimpin merupakan suatu sifat yang didambakan oleh masyarakat. Berani adalah suatu sikap mental untuk bersedia menghadapi dan mengatasi suatu masalah dan tantangan. Ketika Sastrodarsono bersedia menggantikan Martoatmodjo sebagai kepala sekolah, ia justru berani mengambil risiko untuk meneruskan perjuangan Martoatmodjo yang dituduh mengadakan hubungan dengan pergerakan. Perhatikan kutipan berikut. Waktu tiba di Wanagalih sesudah berlibur demikian lama di Jogonegoro dan Kedungsimo, saya mendapat surat beslit itu. Saya diangkat menjadi kepala sekolah menggantikan Mas Martoatmodjo yang dipindah ke sekolah desa Gesing. Kayam, 2000:65 Universitas Sumatera Utara Keberanian Sastrodarsono ini awalnya terinspirasi oleh petuah Ndoro Seten yang ternyata juga dituduh mulai main api dengan orang-orang pergerakan seperti halnya Martoatmodjo. ‘Yang penting sekarang kamu, Sastro. Kamu terima saja dengan berani bila kau nanti harus mengganti Martoatmodjo. Saya tahu kau tidak terlalu gembira menggantikan orang yang dijatuhkan begitu. Tetapi, kau harus melihat ini sebagai kerja meneruskan pekerjaan Martoatmodjo. Hanya kau harus benar-benar hati-hati. Pemerintah Hindia sekarang adalah pemerintahan yang akan jauh lebih ketat mesinnya. Itu saja pesanku. Kau harus bisa menjadi priyayi maju….’Kayam, 2000:64 Hubungan Martoatmodjo dan Ndoro Seten dengan orang-orang pergerakan lewat surat kabar Medan Priyayi sesungguhnya adalah usaha mereka untuk membangun barisan priyayi maju lewat pendidikan, bukan untuk mengkhianati bangsa sendiri. Hal ini merupakan bukti kecintaan mereka terhadap bangsa Indonesia. “Semua itu usaha saya bersama pangreh praja maju lainnya untuk membangun barisan priyayi maju, bukan priyayi yang di kemudian hari kepingin jadi rakyat kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik. Ini monyet-monyet seperti school opziener dan mantra polisi dan entah telik-telik, spiun-spiun, picisan yang mana lagi dengan upah berapa gulden jadi tega melapor-laporkan bangsa sendiri, yang bikin rusak semua usaha kami.” Kayam, 2000:63 Atas saran Martoatmodjo, Sastrodarsono bertekad untuk mendirikan sekolah partikelir di Wanalawas. Hal ini merupakan pekerjaan sosial untuk membantu rakyat kecil. Apalagi daerah itu belum juga mempunyai sekolah desa. Bahkan sekolah yang hanya tiga tahun pun belum tersedia sehingga banyak anak-anak yang sudah waktunya sekolah tidak atau belum sekolah. Tekad Sastrodarsono untuk membangun sekolah terlihat dalam kutipan berikut. Universitas Sumatera Utara Dalam perundingan itu akhirnya saya memutuskan bahwa akan dicoba dengan satu kelas kecil untuk pelajaran membaca dan menulis. Kelas tersebut akan dibuka untuk anak-anak yang sudah berumur tujuh tahun dan yang sudah lebih tua dari itu tetapi yang belum pernah mendapat kesempatan sekolah. Kami juga mempertimbangkan kesempatan untuk menyediakan waktu bagi orang-orang tua yang berminat untuk belajar membaca dan menulis. Kayam, 2000:104 Pada mulanya, sekolah itu berjalan lancar. Sayang, pendirian sekolah itu disangkutpautkan dengan ulah Martoatmodjo yang ditahan di Surabaya. Dengan dalih sebagai sekolah liar tanpa izin, Penilik Sekolah meminta agar sekolah itu ditutup. Dan demi keselamatan keluarganya, Sastrodarsono akhirnya mengalah untuk tidak meneruskan usaha sekolah itu. “Tapi, saya tidak menyesal sudah berani memulai usaha itu. Untuk itu saya merasa berhutang budi kepada pakde-mu Martoadmodjo, orang gagah berani itu, yang telah membukakan mata Bapak. Kalau ada lagi yang Bapak sesali adalah ketidakberanian Bapak mengambil risiko dipecat School Opziener keparat itu.” Kayam, 2000:164 Anak-anak Sastrodarsono juga mengakui keberanian orang tuanya itu dalam usaha membangun priyayi maju. “Di mata anak-anak Bapak dan Ibu, Bapak dan Ibu adalah orang-tua yang gagah berani. Kami semua sangat merasa berbahagia dibesarkan Bapak dan Ibu.” Kayam, 2000:164 Keberanian Sastrodarsono juga terlihat ketika ia berani menolak aturan baru dari tentara Jepang untuk ikut membungkuk ke arah utara saikere kita ni muke di sekolah setiap pagi. Akibatnya kepalanya ditempeleng oleh serdadu Jepang tersebut. Universitas Sumatera Utara Putranya Noegroho yang juga seorang guru di Sekolah Rakyat justru tidak seberani Sastrodarsono untuk menolak perintah Jepang. Saya ternyata tidak seberani Bapak yang menolak untuk menjalani upacara saikere kita ni muke, membungkuk dalam-dalam ke arah utara. Kayam, 2000:177 Di bagian lain, dalam hal yang menyangkut masalah-masalah yang prinsipil, tokoh Sastrodarsono juga dapat bertindak tegas. Jadi, dalam hal menentukan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan anggota keluarga, mereka dapat bersikap demokratis, toleran, menghargai pandangan yang berbeda, tetapi juga dapat bersikap tegas. Apa yang dialami Soenandar, keponakannya yang ikut dan dan disekolahkan keluarga itu, merupakan contoh betapa Sastrodarsono dapat pula bertindak tegas. Pertama, ketika Soenandar diketahui mencuri uang teman sekolahnya, ia dihajar – setelah beberapa kali dinasehati – dengan pukulan rotan, walaupun Sastrodarsono juga masih tetap berusaha agar keponakannya itu dikeluarkan dari sekolahnya. Dan der, der, der, rotan saya pukulkan ke punggung Soenandar hingga babak-belur. Mungkin agak kelewatan marah saya. Yang pasti garis-garis bekas pukulan rotan itu membekas dengan jelasnya di punggung anak itu. Selesai itu dia saya larang keluar dari gudang untuk sehari semalam tanpa minum tanpa makan. Sesungguhnya saya tidak pasti juga apakah hukuman yang begitu berat akan segera membuat dia kapok. Hal itu juga ditanyakan istri saya dan Soemini. Dan ternyata memang hajaran itu tidak membekas lama pada Soenandar. Dengan lain perkataan dia memang tidak kapok. Soenandar mencuri lagi di sekolah. Dan justru waktu tinggal beberapa bulan kenaikan kelas ke kelas enam. Kami memutuskan untuk menarik dia dari sekolah sebelum Menir Soetardjo dan Menir Soerojo harus terpaksa berbaik hati lagi memberi kesempatan kepada Soenandar untuk dicoba di sekolah lagi. Kami rikuh dan malu kepada mereka. Kebanggaan priyayi kami sungguh tersinggung dengan kekurangajaran Soenandar. Di lain pihak, kami juga malu terhadap ibu Soenandar, sepupu saya yang sudah menjanda di desanya dan sangat melarat keadaannya. Kami akhirnya memutuskan untuk menarik Universitas Sumatera Utara Soenandar dari sekolah, tetapi tidak mengembalikan dia ke desanya. Kayam, 2000:74-75 Dalam mendidik siswa-siswanya di sekolah agar juga dapat menjadi priyayi maju, Sastrodarsono juga sangat bersikap tegas sehingga School Opziener sebagai penilik sekolah mengagumi usahanya tersebut dan ia ditawarkan untuk menjadi kepala sekolah, menggantikan Martoatmodjo yang diisukan memiliki hubungan dengan pergerakan. Perhatikan kutipan berikut. Rupanya pemilik sekolah, School Opziener, memperhatikan dengan cukup seksama cara saya mengajar. Pada waktu hari rutin penilikan, saya dipanggil beliau di ruang mantri guru. Saya dipuji sebagai guru yang tahu mengajar dengan baik dan dapat menegakkan ketertiban kelas. Rupanya kenakalan murid-murid kami di Karangdompol masuk perhatian beliau pula. Kayam, 2000:53

c. Dermawan

Seorang hartawan belum tentu memiliki pengaruh dan kewibawaan lantaran harta kekayaannya, apabila ia tidak memiliki sifat dermawan. Dermawan bisa diartikan dengan senang hati tanpa keterpaksaan memberikan sebagian harta yang dimilikinya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkan. Keadaan ini dapat dikaitkan pula dengan salah satu aspek dari kesaktian di mana kesuburan pada diri seseorang menyebabkan ketergantungan masyarakat kepadanya untuk memperoleh bagian dari kesuburan itu. Dengan menjadi seorang priyayi, Sastrodarsono tidak hanya ingin meningkatkan martabat diri dan keluarganya, tapi ia juga tetap peduli terhadap nasib rakyat kecil. Ia pun berjuang untuk mengangkat martabat rakyat kecil tersebut agar Universitas Sumatera Utara dapat merasakan kebahagiaan dan kesuksesan menjadi seorang priyayi seperti dirinya. Hal inilah yang ia anggap sebagai semangat priyayi maju. Warna semangat itu adalah warna pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih….Kayam, 2000:306 Kutipan di atas menunjukkan tekad kuat Sastrodarsono untuk mengabdi kepada rakyat kecil tanpa pamrih. Untuk itu, selain keluarga inti, Sastrodarsono juga bertekad untuk membesarkan dan menyekolahkan anak-anak dari saudara-saudaranya yang kurang mampu. Mereka diangkat sebagai anak dan disekolahkan di sekolah yang sama dengan anak-anak Sastrodarsono sendiri. Perhatikan kutipan berikut ini. Untuk itu kami adalah priyayi Jawa, bahkan petani Jawa, yang tidak pernah akan tega dan puas menikmati dan makan rejeki kami hanya oleh keluarga pokok kami saja. Orang-tua saya, orang-tua Dik Ngaisah selalu saja menekankan hal ini. Karena itu, meskipun saya adalah anak tunggal, dan demikian juga Dik Ngaisah, di rumah kami dulu kami tidak pernah merasa kesepian karena selalu ada saja keluarga jauh yang tinggal di rumah kami. Demikian juga sekarang di rumah kami di Wanagalih. Ngadiman, anak dari sepupu saya, jadi cucu dari paman saya, dititipkan orang-tuanya kepada saya untuk disekolahkan di HIS. Begitu juga beberapa kemenakan lain, baik dari pihak saya maupun dari pihak Dik Ngaisah, seperti Soenandar, Sri, dan Darmin pada rame-rame dititipkan orang-tua mereka kepada kami. Kayam, 2000:69-70 Dari kutipan di atas terlihat bahwa sikap dermawan Sastrodarsono terlihat dari rasa tidak tega dan puasnya ia untuk menikmati rejeki sendiri. Oleh karena itu, ia bersedia menerima anggota keluarga lainnya untuk tinggal di rumahnya dan disekolahkan di HIS. Universitas Sumatera Utara Lantip, seorang priyayi yang ngenger mengabdi di rumah Sastrodarsono menguatkan sikap dermawan Sastrodarsono tersebut. Perhatikan kutipan berikut. Untunglah Ndoro Mantri Guru mengulurkan tangannya pada waktu embok Den Bagus Soenandar memohon pertolongan dari sepupunya itu. Ndoro Mantri Guru sangat iba melihat nasib sepupu perempuannya yang begitu dikucilkan dan diabaikan oleh saudara-saudaranya sendiri. Kayam, 2000:118 Sastrodarsono sadar akan dirinya sebagai priyayi yang harus berperilaku halus dan lembut merepresentasikan budaya halus keraton. Kelembutan Sastrodarsono tampak pada sikapnya yang menaruh belas kasih kepada Wage yang kemudian diberi nama Lantip, mendidiknya, sehingga Lantip menjadi lelaki yang berhasil secara akademik dan status sosial, meskipun ayah Lantip seorang bromocorah penjahat. Berikut ini merupakan kutipan ucapan Sastrodarsono kepada ibunya Lantip yang khawatir dengan masa depan anaknya. “Tentang anakmu nanti jangan khawatir. Itu rak cucu saya juga. Nanti semua ongkos saya yang membiayai. Nanti saya atur semua dengan Pak Dukuh. Jangan khawatir, yo.” Kayam, 2000:114 Kemampuan berderma dalam usaha atau kegiatan kemasyarakatan dapat menempatkan seorang menjadi pemimpin. Dalam novel Para Priyayi Sastrodarsono mempelopori pembangunan sekolah di Dukuh Wanalawas. Dalam perundingan itu akhirnya saya memutuskan bahwa akan dicoba dengan satu kelas kecil untuk pelajaran membaca dan menulis. Kelas tersebut akan dibuka untuk anak-anak yang sudah berumur tujuh tahun dan yang sudah lebih tua dari itu tetapi yang belum pernah mendapat kesempatan untuk sekolah. Kami juga mempertimbangkan kesempatan untuk menyediakan waktu bagi orang-orang tua yang berminat untuk belajar membaca dan menulis. Kayam, 2000:104 Universitas Sumatera Utara Ongkos-ongkos pembangunan tertentu dari sekolah sederhana tersebut juga menjadi tanggungannya. Saya memutuskan tanpa memperhitungkan terlebih dahulu akan beban yang mesti saya pikul nanti. Setidaknya saya mesti menyediakan perabotan seperti batu tulis, grip, kapur, dan papan tulis. Akan bangku dan meja saya belum tahu lagi dari mana saya akan mendapatkannya. Pastilah itu semua akan membutuhkan ongkos banyak. Kayam, 2000:105 Menjelang hari-hari terakhir di masa hidupnya, Sastrodarsono juga terus menunjukkan darmanya kepada masyarakat untuk membagi-bagikan pohon nangka yang roboh di depan rumahnya kepada tetangga sekitarnya. “Tole semua. Dengarkan baik-baik perintahku ini. Pohon nangka yang roboh itu adalah semangat rumah keluarga ini. Pohon itulah yang menjaga keselamatan rumah ini beserta semua isinya. Dengan robohnya pohon itu selesailah tugas pohon itu menjaga rumah ini. Saya ingin pohon nangka kita ini dihibahkan semangatnya kepada rakyat. Semua orang, siapa saja, boleh mengambil kayu, daun, dan bila ada juga buah-buahnya.” Kayam, 2000:302

d. Bersikap Religius

Kewibawaan seorang pemimpin yang dituntun oleh ajaran agama akan terbebas dari perbuatan aniaya, nista dan hina yang dapat meruntuhkan derajat dan martabatnya. Prinsip kepemimpinan terhadap orang Jawa menuntut agar pemimpin selain memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di depan pengikutnya Anshoriy dan Sudarsono, 2008:41. Kepemimpinan yang agamis selalu mementingkan kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Mereka inilah yang membuat pemimpin menjadi aji ‘berharga’ Anshoriy dan Sudarsono, 2008:41. Universitas Sumatera Utara Sikap keberagamaan religiousitas dalam novel Para Priyayi terasa begitu kental hampir di setiap halamannya. Seperti yang tertulis dalam kutipan berikut ketika Martoatmojo disingkirkan oleh pemerintah ke daerah tandus dan gersang. “Kami terima ini dengan ikhlas. Kami terima ini sebagai cobaan Tuhan…Dengan sangu dan restu Dimas sekeluarga dan semua teman, insya Allah saya akan dapat bekerja dengan tenang di sana.” Kayam, 2000:65 Sikap tersebut sama sekali bukan sikap seorang fatalis, melainkan sikap seorang pejuang yang tabah sebagai refleksi kuatnya iman dan tingginya rasa tawakal Martoatmojo, orang Jawa yang sama seperti Sastrodarsono secara formal disebut sebagai priyayi abangan. Pada suatu kesempatan, Sastrodarsono bahkan berani menolak tidak percaya kepada seorang dukun ketika pembantunya dinyatakan kerasukan setan, seperti dalam kutipan berikut. “Wis, wis, Mbah. Sudah, sudah. Tidak usah Mbah Kromo repot-repot. Sampeyan pulang aja. Paerah sudah saya obati sendiri. Ini buat ongkos pulang.” Kayam, 2000:90 Dari kutipan di atas, Sastrodarsono secara halus melontarkan kritik sosial- religius. Ia lebih percaya untuk mengobati sendiri daripada memanggil dukun. Hal ini merupakan kritik Sastrodarsono terhadap eksistensi dukun simbol pemikiran irrasional, agar masyarakat lebih dapat berpikir secara rasional. Sastrodarsono acap kali mengambil cerita-cerita wayang sebagai sumber rujukan dalam menyampaikan wejangan kepada anak-anak dan saudara-saudaranya. Namun, pengetahuan dan penjiwaannya akan sumber rujukan agamanya Islam yang Universitas Sumatera Utara dicap abangan tidak kalah dari pengetahuan dan penjiwaannya akan wayang sebagai latar belakang budayanya Jawa. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. “….Jangankan cerita wayang. Semua, apa saja, sudah ada dalam Alquran. Lha, wong kitab sucinya Gusti Allah, to, Dimas…..” Kayam, 2000:93 Dalam hal ini, cerita wayang dalam hal ini diyakini banyak mengandung nilai kehidupan religius yang berkaitan dengan kebutuhan manusia untuk melangsungkan, mempertahankan, mengembangkan hidup. Pertunjukan wayang kulit dengan cerita tertentu pada acara tertentu diyakini masyarakat khususnya Jawa mempunyai berkah atau makna religius Nurgiyantoro, 1998:171. Sewaktu Sastrodarsono kawin dengan Siti Aisah, Mukaram, orang tua Siti Aisah, mementaskan wayang dengan cerita Parta Krama dengan harapan agar sepasang pengantin yang sedang diselamati itu diberkahi oleh Tuhan agar dapat hidup rukun, damai, tenteram, dan bahagia bagaikan kerukunan hidup Arjuna dan Sembrada. Pesta perkawinan di Jogorogo dihadiri oleh banyak pejabat, priyayi, gupermen di samping juga tionghoa-tionghoa bekas pakter candu, sehingga meriah sekali. Wayang kulit dengan lakon Partokromo, perkawinan Arjuna, dipentaskan. Pilihan lakon itu tentulah agar pasangan kami berdua bisa serukun Arjuna dan Sembrada. Kayam, 2000:42 Sewaktu peresmian pengantin itu di pihak keluarga Sastrodarsono, Ndoro Seten menyumbang wayang kulit dengan cerita Sumantri Ngenger, dengan harapan Sastrodarsono yang baru saja diangkat menjadi guru dapat mengambil nilai Universitas Sumatera Utara keteladanan dalam pengabdian sebagaimana sikap pengabdian Sumantri kepada Prabu Arjunasasrabahu yang penuh dengan tanggung jawab dan kesetiaan. Ndoro Seten, seperti biasa sangat murah hati, memberi sumbangan yang sangat mengesankan, yaitu pertunjukan wayang kulit semalam suntuk pada malam berikutnya. …Lakon yang dipilih Ndoro Seten adalah Sumantri Ngenger atau Penghambaan Sumantri. Menurut Ndoro Seten lakon itu sengaja beliau pilih untuk memberi sangu kebijaksanaan hidup bagi saya. Inilah cermin yang paling baik buat semua calon priyayi yang ingin membaktikan dirinya kepada negoro, kata Ndoro Seten dengan seriusnya. Kayam, 2000:43 Sastrodarsono juga selalu menyucikan batinnya untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dengan tidak terlalu mencintai materi. Hal inilah yang diungkapkan Lantip, seorang priyayi yang ngenger di rumahnya, saat mengisahkan almarhum Embah Kakung Sastrodarsono meniti tangga priyayi menjadi guru bantu di Karangdompol. Berikut kutipannya. Embah Kakung ternyata tidak pernah melihat benda-benda keduniawian itu sebagai yang terpenting bagi anak, cucu, dan cicitnya. Beliau menganggap semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang terpenting bagi keturunannya, bagi masyarakat, karena semangat itulah yang akan terus mampu membuat kita tumbuh dengan sebaik-baiknya sebagai masyarakat yang melaksanakan tugas Allah di dunia fana ini. Kayam, 2000:305

4.1.2 Kharisma

Kharisma merupakan komponen kedua dalam konsep kekuasaan Jawa. Koentjaraningrat 24 memberikan wawasan yang menarik bahwa kharisma adalah satu komponen kepemimpinan, baik untuk masyarakat kuno maupun modern. Kharisma 24 Lihat Koentjaraningrat, ‘Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan tak Resmi dalam Miriam Budiardjo Ed..1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. hlm.143 Universitas Sumatera Utara bukan konsep yang hanya relevan untuk dunia Timur, melainkan untuk semua masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, kharisma diartikan sebagai kemampuan pemimpin dalam ilmu gaib untuk memperbesar pengaruh. Jadi, kharisma bermakna kesaktian. Dalam masyarakat tradisional, kharisma diartikan sebagai sifat keramat dan pemilikan wahyu. Karena itu untuk menjaga kekeramatan, pemimpin mengambil jarak dengan rakyat. Dalam masyarakat masa kini, kharisma adalah pemilikan sejumlah kualitas spiritual untuk menunjang kekuasaan, dan dengan itu pemimpin disegani. Berdasarkan pernyataan di atas, kharisma merupakan hal yang penting bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang memiliki kharisma akan membuatnya sangat ditaati pengikutnya. Sejumlah bukti yang kian meningkat mendukung nilai kharisma dalam kepemimpinan. Sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat, Suwarno 1994:49 menyatakan bahwa kekuasaan kharismatis adalah kekuasaan yang digunakan oleh seorang pemimpin yang disebut nabi, pahlawan, atau demagogue yang dapat membuktikan bahwa dia memiliki kharisma karena kekuatan magis, wahyu, heroisme atau kekuatan-kekuatan adikodrati yang lain. Mereka yang dikuasai disebut pengikut atau murid yang lebih dipercaya akan kekuatan-kekuatan yang luar biasa itu daripada peraturan atau tradisi yang diembannya. Weber dalam Dakhidae 2006:264 memberikan pengertian kharisma sebagai berikut: Istilah ‘kharisma’ dipakai untuk mengacu pada suatu kualitas tertentu dari kepribadian individual dengan kekuatan mana mana dia dianggap luar-biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang mendapat kekuasaankekuatan atau kualitas adi-kodrati, adi-insani, atau sekurang-kurangnya secara khusus tak ada taranya. Kualitas dan kekuatan ini sedemikian rupa sehingga tidak Universitas Sumatera Utara mungkin terdapat pada orang-orang biasa, akan tetapi dianggap sebagai berasal dari dunia dewata atau tidak biasa, dan atas dasar itu individu tersebut diperlakukan sebagai ‘pemimpin’. Hampir semua paham yang disebut di atas seperti ‘luar biasa’, ‘adi-kodrati’, ‘adi-insani’, ‘secara khusus tak ada taranya’, ‘tidak mungkin terdapat pada orang- orang biasa’, ‘berasal dari dunia dewata’ hanya untuk menunjukkan keluarbiasaan sifat tersebut. Kharisma pada dasarnya adalah sesuatu kurnia, gratis data, yang dalam istilah Weber sendiri disebut sebagai Gottesgnadentum, rahmat Allah, yang tidak dapat diwariskan, tidak dapat diperhitungkan, tidak dapat dirancang, karena itu Weber mengatakannya sebagai sesuatu yang irasional. Semua itu bukan sesuatu yang asing dalam kosakata antropologi dan politik Indonesia, Jawa khususnya, bilamana kharisma disejajarkan dengan hal-hal seperti ‘wangsit’. Mulder 2001:91 juga berpendapat kharisma ini adalah wahyu, legitimasi agung, mandat untuk memerintah. Kewibawaan politik ini diturunkan dari sumber adiduniawi yang menghasilkan kekuasaan nyata dan perbawa yang menarik pengikut-pengikut. Wahyu atau wangsit atau pulung dalam etimologi spiritual Jawa menurut spiritualis Mas Bambang Ismoyojathi www.posmonetRUBRIK425laput.html terdiri atas tiga huruf yang secara makna terdiri atas dua huruf hidup dan satu huruf mati. Pulung dalam huruf Jawa adalah Po – Lo - Ngo. Po artinya papan kang tanpa kiblat, yakni tempat yang tanpa arah. Jadi tidak bertempat, di suatu tempat, melainkan awang-uwung kumul mega, kandang langit, samar tan kesamaran. Huruf Lo, dari kata lali eling wewatesane lupa ingat batasannya, karena manusia bisa Universitas Sumatera Utara mendapatkannya asal tahu batas dan tatacaranya. Maka apabila manusia tidak kuat untuk memikul pulungnya, dan dalam memimpin menyimpang dari warah astabrata atau tidak jujur, maka pakaian atau derajatnya akan musnah, telanjang dan malu karena hukum karma. Apabila sudah mendapatkan pulung, tetapi tidak kuat memikulnya, bisa dikatakan mati seperti huruf Ngo. Yakni ngracut busananing manungsa. Tradisi masyarakat Jawa untuk melakukan pencarian jatuhnya pulungwangsitwahyu terdapat dalam kutipan novel Para Priyayi berikut. ….pada setiap malam hari-hari yang dianggap keramat oleh orang Jawa, misalnya, malam Selasa Kliwon atau malam Jumat Kliwon, banyak orang pada kungkum, berendam, di sungai itu. Tentu lagi saya tidak tahu apakah orang-orang yang pada kungkum itu berharap akan kejatuhan wahyu terpilih sebagai Ratu Adil. Kayam, 2000:6 Dari kutipan di atas, hakikat Ratu Adil merupakan karakteristik figur pemimpin yang keberadaannya senantiasa diidolakan dan didambakan oleh rakyat karena kearifan, kebijaksanaan, dan darmanya dipastikan membawa kemaslahatan kehidupan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Perhatikan kutipan berikut. Ratu itu wahyu kekuasaan….Wahyu kekuasaan untuk memayu hayuning bawana, untuk terus mengusahakan keselamatan jagad. Kayam, 2000:6 Berdasarkan hal tersebut, seseorang yang ketiban wahyu, dianggap memiliki kharisma dan aura kepemimpinan. Universitas Sumatera Utara Pemimpin kharismatis tercermin dari cahaya wajah, tutur bahasa, bahasa tubuh, kepemimpinan, dan intelektualitasnya Dharmawan, 2009:101. Pemimpin kharismatis mampu menggerakkan orang lain melalui kekuatan pribadinya. Karena tertarik kepada pribadinya, orang mudah mengikutinya, mendengarkan nasihatnya dan mentaati perintahnya Mangunhardjana, 2004:18. Tokoh Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi memiliki kharisma sebagai pemimpin karena mampu memberi semangat dan pengaruh pada bawahannya. Ia dapat menjadi panutan dan orang-orang cenderung menaati apa yang menjadi perintahnya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut. ‘…..Bapak, adalah matahari tempat kami berpaling. Seperti juga matahari, Bapak memang selalu menyilaukan mata kami…..Dari mulutnya keluar sabda-sabda yang mengandung bobot yang berwibawa sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya.’ Kayam, 2000:181. Dari kutipan di atas terlihat bahwa sosok Sastrodarsono memiliki kharisma yang disimbolkan dengan ungkapan seperti matahari yang memancarkan cahaya. Oleh karena itu, Sastrodarsono memiliki pengaruh besar bagi keluarganya dan ia ditaati. Kakek Sastrodarsono, Embah Martodikromo, seorang mandor tebu sudah mencita-citakan anak-anaknya sekolah dan menjadi priyayi. Dari sekian anak dan cucunya hanya Sastrodarsonolah yang berhasil menjadi priyayi. Mula-mula ia adalah guru bantu, kemudian jadi guru, dan akhirnya jadi mantri guru kepala sekolah. Universitas Sumatera Utara Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi…. Kayam, 2000:29. Kutipan di atas membuktikan bahwa Sastrodarsono menjadi priyayi pemula di keluarga besarnya karena memiliki karakter yang memancarkan aura kharisma yang kuat untuk menjadi seorang priyayi. Dengan menjadi cikal bakal priyayi bagi keluarga besarnya, Sastrodarsono bertekad untuk memperoleh status kepriyayian itu hingga ke keturunannya kelak. Gambaran status tersebut terungkap di dalam kutipan berikut. Segera sesudah kami memasuki rumah itu, saya dan Dik Ngaisah dengan para pembantu kami mulai mengembangkan tempat tinggal itu sebagai rumah tangga seperti yang kami inginkan. Adapun rumah tangga yang kami inginkan itu adalah sudah tentu rumah tangga priyayi. Priyayi muda yang kepalanya mendongak ke atas ke jenjang-jenjang tangga kemajuan. Kayam, 2000:48 Sastrodarsono juga amat setia dan berbakti kepada gupermen dan menjalankan profesi guru dengan sepenuh hati, karena itulah ia dipuji sebagai guru yang tahu mengajar dengan baik dan dapat menegakkan ketertiban kelas. Hal ini tergambar di dalam teks berikut. Rupanya penilik sekolah, School Opziener, memperhatikan dengan cukup seksama cara saya mengajar. Pada waktu hari rutin penilikan, saya dipanggil beliau di ruang mantri guru. Saya dipuji sebagai guru yang tahu mengajar dengan baik dan dapat menegakkan ketertiban kelas. Kayam, 2000:53 Universitas Sumatera Utara Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sastrodarsono merupakan sosok yang kharismatik karena ia mampu menarik perhatian School Opziener. Ia dianggap sebagai seorang guru yang memiliki kepribadian kuat dan memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan orang disekitarnya sesuai emosi dan tingkat intelektualitasnya. Sastrodarsono juga ditunjuk oleh School Opziener untuk menggantikan Martoatmojo menjadi kepala sekolah walau ada guru-guru lain yang lebih senior. Berikut pernyataan Sastrodarsono berkenaan dengan pengangkatannya sebagai kepala sekolah. Waktu tiba di Wanagalih sesudah berlibur demikian lama di Jogorogo dan Kedungsimo, saya mendapat surat beslit itu. Saya diangkat menjadi kepala sekolah menggantikan Mas Martoadmodjo yang dipindah ke sekolah desa Gesing. Kayam, 2000:65 Ia menjadi priyayi bukan saja disebabkan latar belakang pendidikannya, tetapi juga karena sikap dan tindakannya yang terpuji yang membuatnya mampu mempertahankan kharismanya sebagai priyayi maju. Kesanggupan mengejawantahkan status kepriyayian dalam kehidupan juga akan berarti bila seorang priyayi mampu mempertanggungjawabkan kepriyayiannya itu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. ‘….semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang terpenting….semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. Dan….perjalanan mengabdi masyarakat banyak, terutama wong cilik, tidak akan ada habisnya. Kayam, 2000:305-307 Universitas Sumatera Utara Dengan kharismanya sebagai priyayi yang berprofesi sebagai guru, Sastrodarsono dapat memainkan perannya sebagai pemimpin yang diakui dan diikuti oleh para pengikutnya atau masyarakat setempat secara ikhlas tanpa paksaan.

4.1.3 Wewenang

Wewenang adalah komponen ketiga dari konsep kekuasaan Jawa. Kata kewenangan berasal dari bahasa Jawa wewenang, yang artinya ‘yang dimenangkan’ Hardjana, 2008:166. Wewenang berhubungan erat dengan kekuasaan. Jika kekuasaan merupakan kekuatan untuk mempengaruhi, wewenang adalah hak untuk mengambil tindakan tertentu dalam rangka kekuasaan yang dimiliki Soerjono Soekanto dalam Karepesina, 1988:19. Dengan demikian tidak ada wewenang tanpa kekuasaan, dan kekuasaan tanpa wewenang merupakan kekuasaan yang tidak sah atau illegitimate dipandang dari sudut masyarakat Soerjono Soekanto dalam Karepesina, 1988:19. Menurut Surbakti 1992:85 kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan legitimate power, sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. Apabila kekuasaan politik dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik maka kewenangan merupakan hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik. Dalam hal ini, hak moral yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat, termasuk peraturan perundang-undangan. Universitas Sumatera Utara Setiap orang yang mempunyai hak untuk memerintah selalu menunjukkan sumber haknya. Sumber kewenangan untuk memerintah diuraikan sebagai berikut Surbakti, 2010:109-111. Pertama, hak memerintah berasal dari tradisi. Artinya, kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus-menerus dalam masyarakat. Kepercayaan yang mengakar ini berwujud keyakinan bahwa yang ditakdirkan menjadi pemimpin masyarakat ialah dari keluarga tertentu, dan yang dianggap memiliki ‘darah biru’. Siapa pun yang menentang akan mendapat malapetaka kualat. Oleh karena itu, orang yang berkuasa menunjukkan sumber kewenangannya memerintah sebagai berasal dari tradisi karena dia keturunan dari pemimpin terdahulu. Dasar kewenangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tradisi karena beliau merupakan keturunan langsung dari Sultan sebelumnya. Demikian pula dengan Sultan Hamengkubuwono X. Kedua, hak memerintah berasal dari Tuhan, Dewa atau Wahyu. Atas dasar itu, hak memerintah dianggap bersifat sakral. Orang yang berkuasa berusaha menunjukkan pada khalayak, kewenangannya memerintah masyarakat berasal dari kekuatan yang sakral. Kaisar Hirohito dari Jepang dan penggantinya menunjukkan kewenangan sebagai Kepala Negara yang berasal dari Dewa Matahari Amaterasu Omikami. Di Indonesia, khususnya di Jawa masih terdapat kepercayaan di antara sebagian masyarakat bahwa kewenangan raja atau presiden yang dianggap raja berasal dari Wahyu Cakraningrat. Apabila seseorang tidak lagi menjadi raja atau presiden berarti wahyu itu dianggap berpindah kepada raja atau presiden yang baru. Universitas Sumatera Utara Ketiga, hak memerintah berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin, baik penampilannya yang agung dan diri pribadinya yang populer maupun karena memiliki kharisma. Seorang pemimpin yang kharismatis ialah seorang yang memiliki kualitas pribadi sebab mendapat ‘anugerah istimewa’ dari kekuatan supernatural sehingga menimbulkan pesona dan daya tarik bagi anggota masyarakat. Pemimpin ini biasanya mampu memukau massa dengan penampilan dan kemampuan retoriknya. Mahatma Gandhi dan Bung Karno memiliki kharisma karena penampilan dan kemampuan retoriknya. Namun, kepemimpinan kharismatis tidak dapat diwariskan sebab sifatnya yang melekat pada pribadi tertentu. Penampilan yang agung timbul karena kualitas fisiknya, seperti ganteng, cantik, dan anggun, sedangkan pribadi yang populer timbul karena prestasinya yang cemerlang dalam bidang tertentu, seperti olahraga, film, dan musik. Kedua hal inipun menimbulkan kekaguman pada khalayak sehingga acap kali pula digunakan sebagai sumber hak untuk memerintah. Keempat, hak memerintah masyarakat berasal dari peraturan perundang- undangan yang mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi pemimpin. pemerintahan. Apabila seseorang menjadi kepala pemerintahan melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, sumber kewenangannya berupa hukum. Kelima, hak memerintah berasal dari sumber yang bersifat instrumental seperti keahlian dan kekayaan. Keahlian yang dimaksud terletak pada keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekayaan yang dimaksud ialah pemilikan uang, tanah, barang-barang berharga, surat-surat berharga, sarana, dan alat produksi. Universitas Sumatera Utara Kelima sumber kewenangan itu disimpulkan menjadi dua tipe kewenangan utama, yaitu kewenangan yang bersifat prosedural dan kewenangan yang bersifat substansial. Kewenangan yang bersifat prosedural ialah hak memerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis maupun tak tertulis. Kewenangan yang bersifat substansial ialah hak memerintah berdasarkan faktor- faktor yang melekat pada diri memimpin, seperti tradisi, sakral, kualitas pribadi dan instrumental. Semakin kompleks struktur masyarakat suatu negara maka tipe kewenangan yang digunakan cenderung bersifat prosedural. Struktur masyarakat yang kompleks ditandai oleh diferensiasi struktur dan spesialisasi peranan, dan hubungan-hubungan impersonal yang sudah meluas sehingga masyarakat ini memerlukan pengaturan-pengaturan yang bersifat tertulis, dan rasional. Sebaliknya, masyarakat yang strukturnya masih sederhana – yang ditandai dengan diferensiasi struktur dan spesialisasi peranan dan hubungan-hubungan impersonal yang masih sedikit – cenderung menggunakan tipe kewenangan substansial karena kehidupan lebih banyak berdasarkan pada tradisi, kepercayaan pada kekuatan supernatural,dan kesetiaan pada tokoh pemimpin. Pada masyarakat feodal, dikenal konsep hubungan kekuasaan patron-client. Dalam hal ini priyayi memiliki posisi sebagai patron. Sebagai patron kaum priyayi memiliki wewenang kuasa terhadap client wong cilik. Niel dalam M. Nursam 2006:28 berpendapat bahwa priyayi adalah kelompok yang disebut elite; bagi orang Indonesia hal itu berarti siapa saja yang berada di atas rakyat jelata dan dalam beberapa hal memimpin, mempengaruhi, mengatur, serta menuntun masyarakat Universitas Sumatera Utara Indonesia. Kaum elite birokrasi ini priyayi menduduki posisi penting dalam hirarki status tradisional Ali, 1986:39. Untuk itu priyayi sebagai ambtenaar mempunyai wewenang untuk berkuasa dan mempunyai kedudukan kuat dalam masyarakat, sebagaimana yang terlihat di dalam kutipan berikut. Menjadi priyayi tidak hanya berarti sebuah peningkatan dalam status sosial, melainkan juga peningkatan kekuasaan. Hanya saja, sistem kekuasaan itu berlapis-lapis. Pada level negara, priyayi dapat menjadi hamba, menjadi abdi, yang sama sekali tak punya kekuasaan. Pada level desa, ia pun menjadi sosok yang dalam kadar tertentu mempunyai pula kekuasaan meski hanya dalam batas-batas tertentu, berada di bawah pengawasan kekuasaan negara. Kekuasaan priyayi baru menjadi penuh dalam lingkungan keluarganya, baik keluarga batih maupun keluarga luas. Faruk dalam Salam, 1998:xxxiii Sebagai patron kaum priyayi memiliki wewenang kuasa terhadap client, yang dilambangkan dengan berbagai macam simbol, seperti pakaian, rumah, hewan piaraan, upacara-upacara, pesta-pesta, serta berbagai atribut lainnya. Dalam novel Para Priyayi, pernyataan bahwa kaum priyayi menyandang predikat terhormat di masyarakat terdapat dalam kutipan berikut. ‘Jadi priyayi itu jadi orang terpandang di masyarakat, bukan jadi orang kaya’. Kayam, 2000:48 Dalam bermasyarakat pun priyayi mendapatkan tempat yang penting terutama pada acara-acara tertentu. Priyayi penting dalam masyarakat akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam pergaulan priyayi-priyayi agung. Rumah-rumah pegawai kantor kehutanan, kantor boschwezwn, yang lebih suka kami sebut sebagai kantor bosbesem, adalah rumah-rumah yang paling menarik di kota itu. Rumah-rumah itu seluruhnya dibangun Universitas Sumatera Utara dengan kayu jati kualitas paling baik. Dan kepala kantor kehutanan adalah tokoh yang terhormat di Wanagalih. Pada berbagai peristiwa dan upacara di Kabupaten, pastilah kepala bosbesem itu tidak pernah ketinggalan diundang. Tempat duduknya pun istimewa di deret depan. Pada waktu kedudukan kepala itu diganti dengan orang pribumi, dia juga terpilih sebagai lawan dan kawan main kartu pei, kartu cina, dengan bupati. Kayam, 2000:7 Dalam kehidupan sehari-hari priyayi bergaul sesama priyayi. Mereka memiliki kebiasaan khusus yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat biasa. Walaupun jumlah mereka sedikit, para priyayi tidak merasa terasing sebab mereka menjalin suasana kekeluargaan di antara mereka. Mereka saling berkunjung, saling berkirim makanan, berkelompok untuk berjalan bersama-sama, berkumpul pada salah satu keluarga priyayi untuk berbincang-bincang serta melakukan perjudian kecil, dan saling mengengok apabila terdapat hal-hal tertentu, misalnya kelahiran, perkawinan, sakit, dan lain-lain. Dari berbagai hal tersebut, dalam novel Para Priyayi permainan kartu inilah yang dominan. “Sesungguhnya permainan kartu yang disebut kesukan oleh para priyayi itu bukanlah perjudian dalam arti besar-besaran. Itu adalah perjudian kecil- kecilan dari priyayi kecil yang membutuhkan hiburan di kala senggang mereka.” Kayam, 2000:10 Priyayi juga harus menggunakan pilihan ragam bahasa yang tepat dan sikap rendah diri. Ragam bahasa tertentu tersebut menunjukkan pangkat dan kedudukan seseorang. Dalam novel Para Priyayi, Hardojo putra Sastrodarsono menggunakan bahasa Jawa kromo inggil ketika ia berbicara kepada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara VI. Berikut kutipannya. Universitas Sumatera Utara Saya menjawab dalam bahasa Jawa kromo inggil, yang saya usahakan sehalus mungkin. …Dalam bercerita itu beliau memakai bahasa campuran bahasa Jawa kromo, kromo madyo dan sekali-sekali bahasa Belanda, tetapi tidak pernah dalam bahasa Jawa ngoko. Padahal itu adalah hak beliau penuh sebagai seorang raja untuk memakai ngoko kepada rakyat bawahannya. Saya merasa sangat beliau hormati, merasa dihitung sebagai manusia, diuwongake. Kayam, 2000:157 Dari kutipan di atas terlihat bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang, maka bahasa yang digunakan akan semakin halus. Dengan menggunakan bahasa yang halus, seseorang akan semakin dihormati, dan sebaliknya, lawan bicara juga akan merasa dihormati. Menjadi guru adalah salah satu cara untuk bisa mencapai status priyayi. Dan untuk menjadi priyayi terpandang, ia harus mencapai jabatan sebagai mantri guru. Berikut adalah kutipan yang berkenaan dengan keberhasilan Sastrodarsono menjadi seorang priyayi lewat profesinya sebagai guru. Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia kepada gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantri guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang terpandang. Kayam, 2000:29 Dalam kehidupan masyarakat Jawa, terutama wong cilik, apabila salah satu anggota keluarganya menjadi seorang priyayi maka anggota keluarga tersebut mendapat penghormatan tersendiri. Penghormatan tersebut juga ditunjukkan dengan Universitas Sumatera Utara pemberian nama tua baginya. Perubahan nama tersebut juga menyiratkan bahwa sang penyandang nama berhak atas penghormatan-penghormatan tertentu dalam masyarakat Jawa. “Yang pertama, mulai hari ini kamu sudah kami anggap jadi orang tua karena sudah mendapat beslit menjadi guru bantu.” Pakde dan Paman-paman memandangi saya sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Karena itu sudah sepantasnya kamu menyandang nama tua, Le. Nama Soedarsono, meskipun bagus, nama anak-anak. Kurang pantas untuk nama tua. Namamu sekarang Sastrodarsono. Itu nama yang kami anggap pantas buat seorang guru karena guru akan banyak menulis di samping mengajar. Sastro rak berarti tulis to, Le.” Saya mengangguk, menerima dan menyetujui, karena pada saat seperti itu hanya itulah yang dapat saya lakukan. Kayam, 2000:35 Dari kutipan di atas terlihat bahwa dalam budaya Jawa nama seseorang sangat mempengaruhi kedudukannya di masyarakat. Semakin tinggi kedudukan seseorang, nama pun dapat berubah karena hal tersebut dianggap suatu bentuk sapaan yang menunjukkan penghormatan. Dengan menyandang gelar priyayi, Sastrodarsono memiliki wewenang untuk mendapatkan kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaannya itu. Ia justru dianggap orang yang paling tepat dalam mengambil tindakan terhadap anjuran Martoatmodjo untuk membuka sekolah di desa Wanalawas. Berikut kutipan yang menggambarkan keadaan tersebut. Mas Martoatmodjo kemudian minta tolong kepada saya apakah saya tidak dapat menolong menanyakan kemungkinan membuka sekolah desa yang tiga tahun saja dulu di Wanalawas. Dimas rak punya banyak hubungan dengan para priyayi di kabupaten, kata beliau. Saya pun lantas bergerak mencari keterangan tentang kemungkinan tersebut kepada para teman di Universitas Sumatera Utara kabupaten. Bahkan kepada beberapa asisten wedana pun saya tanyakan tentang hal tersebut. Kayam, 2000:102 Profesinya sebagai kepala sekolah tidak lantaran membuatnya dapat bertindak sesuka hati, justru ia tetap bersimpati kepada rakyat kecil. Berikut kutipan yang menggambarkan kepeduliannya dalam mengangkat derajat rakyat kecil wong cilik. ….semangat priyayi sebagai semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. Kayam, 2000:306 Sastrodarsono layak mendapat julukan seorang priyayi karena pekerjaannya sebagai guru dan masyarakat sekitarnya pun menyanjungnya sebagai seorang priyayi dengan memanggilnya sebagai ‘Ndoro Guru Sastrodarsono’.

4.1.4 Kemampuan Khusus

Kemampuan khusus merupakan komponen keempat konsep kekuasaan Jawa. Menurut Koentjaraningrat dalam Budiardjo 1984:132-133 sifat yang harus terpenuhi oleh seseorang pemimpin yang memegang kekuasaan dalam arti khusus di sini adalah kemampuan orang yang bersangkutan untuk mengarahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar suatu sistem sanksi. Kekuatan fisik ini terlihat pada kemampuan tugas-tugas yang menuntut stamina, keterampilan, kekuatan, dan karakteristik serupa. Dalam novel Para Priyayi, kepriyayian Sastrodarsono terletak pada kemampuannya sebagai pengajar yang membuatnya naik status sosial sebagai kelas Universitas Sumatera Utara menengah. Awalnya ia anak petani kecil yang berhasil sekolah dan diangkat menjadi guru bantu. Setahun kemudian, Sastrodarsono dinaikkan pangkat menjadi guru desa di Karangdompol. Setelah lima tahun mengajar, dan dinilai baik oleh penilik sekolah, ia dipanggil menghadapnya dan diminta menggantikan kedudukan kepala sekolah Martoatmodjo yang dituduh mengadakan hubungan dengan kaum pergerakan. Sebagai seorang guru, Sastrodarsono memiliki kemampuan mengajar yang terampil dan produktif, seperti tergambar dalam kutipan berikut. Di sekolah desa kami diperintahkan untuk sangat menekankan pengajaran kami di bidang-bidang berhitung, menulis, dan bahasa Jawa. Kami diperintahkan untuk sangat keras dan tertib dalam mengajar bidang- bidang tersebut. Maka hasilnya pun kelihatan pada anak-anak desa yang tamat dari sekolah desa. Mereka, pada umumnya, sangat bagus tulisan tangannya dan pintar berhitung serta baik penguasaan bahasa Jawanya. Kayam, 2000:53 Sastrodarsono tidak hanya mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran, tetapi ia juga mampu mengembangkannya dengan melandasi dan menanamkan nilai-nilai pendidikan, seperti yang diungkapkannya berikut ini. Di kelas empat saya sangat memperhatikan pengajaran berhitung, menulis dan membaca, serta bahasa Jawa itu. Selain saya ingin agar sekolah desa Karangdompol bisa menjadi sekolah desa yang bisa dibanggakan, saya juga ingin agar anak tamatan sekolah Karangdompol itu tidak akan kesulitan mendapat pekerjaan dan kesempatan untuk mengikuti kursus-kursus atau pendidikan untuk jenjang yang lebih tinggi, seperti guru bantu atau calon mantri di berbagai bidang. Kayam, 2000:53 Universitas Sumatera Utara Dari kutipan di atas terlihat bahwa kemampuan Sastrodarsono menjadi guru bukan hanya dilandasi oleh latar belakang materi, tetapi juga kesungguhannya untuk meningkatkan derajat rakyat kecil. Sosok Sastrodarsono tidak hanya terampil dan produktif dalam hal mengajar, ia juga terlihat memiliki stamina yang kuat karena setiap hari ia harus mengayuh sepeda menuju lokasi sekolah yang cukup jauh dari rumahnya, seperti yang dinyatakannya berikut ini. Saya masih harus menggenjot sepeda kira-kira tiga kilometer ke tempat penyeberangan di pinggir Kali Madiun untuk kemudian diseberangkan sampan dan kemudian disambung lagi dengan menggenjot sepeda sejauh satu hingga dua kilometer lagi ke Karangdompol, ke sekolah saya. Kayam, 2000:51 Demikian telah dipaparkan analisis data terhadap konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Dari analisis di atas dapat dikemukakan bahwa konsep kekuasaan Jawa memiliki empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat yaitu wibawa, kharisma, wewenang, dan kemampuan khusus. Tokoh utama dalam novel Para Priyayi yaitu Sastrodarsono nama tua Soedarsono memenuhi kriteria empat komponen kekuasaan Jawa tersebut. Berikut adalah analisis data terhadap etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Universitas Sumatera Utara

4.2 Analisis Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi

Dalam bahasan ini etika kekuasaan Jawa dimaknai sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa mengenai suatu konsep kepemimpinan yang tumbuh dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa. Nilai-nilai itu merupakan ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran. Pembahasan pada bagian Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi ini dilakukan dengan mencari data di dalam novel yang menyiratkan adanya etika kekuasaan Jawa dari empat komponen kekuasaan Jawa yang terdapat di dalam uraian sub bab 4.1 penelitian ini yaitu: i membangun wibawa kepemimpinan, ii upaya mendapatkan kharisma, iii menjalankan wewenang secara optimal, dan iv memberdayakan kemampuan. Data-data tersebut dianalisis dengan tujuan menemukan etika kekuasaan dalam kebudayaan Jawa. Kerangka berpikir yang digunakan dalam analisis ini ialah kerangka teori yang dikemukakan oleh Wellek dan Austin Warren yang memandang sastra sering dilihat sebagai bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Karena etika merupakan bagian dari kajian filsafat, maka dalam budaya Jawa, hubungan antara kekuasaan dan etika terus menyatu. Sekali secara moral runtuh, maka kekuasaan pun akan runtuh. 25 Etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi, dipumpunkan pada empat hal, yaitu membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan 25 Lihat kajian tentang “Kekuasaan dan Moral” dalam Franz M. Suseno. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 110-113. Universitas Sumatera Utara kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, serta memberdayakan kemampuan.

4.2.1 Membangun Wibawa

Kepemimpinan Salah satu komponen kekuasaan Jawa adalah kewibawaan. Dalam menjalankan kekuasaannya, seorang pemimpin harus menjalankan etika untuk meningkatkan wibawanya. Etika tersebut sangat penting sebagai dasar moral yang dapat menaikkan citra atau kewibawaan seorang pemimpin. Karakteristik kepemimpinan pada umumnya dimanapun dan apapun tingkatannya adalah jelas yaitu pemimpin harus mempunyai kewibawaan dan kelebihan untuk mempengaruhi serta mengajak orang lain guna bersama-sama berjuang, bekerja, dan berusaha mencapai satu tujuan bersama. Dengan kewibawaannya, seorang pemimpin dihormati dan dijadikan teladan oleh para bawahannya. Begitu besarnya pengaruh wibawa terhadap kepemimpinan seseorang sampai-sampai jika hilang, hancurlah citra seorang pemimpin di mata rakyatnya. Integritas dan wibawa seorang pemimpin tergantung pada ucapan dan aksi- aksinya dalam kegiatan sehari-harinya. Tokoh utama Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi yang berperan sebagai cikal bakal priyayi dalam keluarganya, mampu membangun sikap wibawa itu. Hal ini diakui oleh anak-anaknya. Berikut adalah kutipan yang berisi pengakuan anak-anak Satrodarsono terhadap sikap wibawa ayahnya. Universitas Sumatera Utara Betapapun kami sudah menjadi orang, sudah beranak-pinak dan memiliki kedudukan di masyarakat, orang-tua saya, terutama Bapak, adalah matahari tempat kami berpaling. Seperti juga matahari, Bapak memang selalu menyilaukan mata kami. Di hadapannya kami anak-anak masih tetap anak- anak. Dari mulutnya keluar sabda-sabda yang mengandung bobot yang berwibawa sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya. Kayam, 2000:180-181 Begitu pula, Lantip alias Wage, yang ngenger mengabdi pada keluarga Sastrodarsono membenarkan kewibawaan Sastrodarsono itu. Hal ini tergambar melalui kutipan berikut. Waktu mereka melihat Embok datang membawa saya, Ndoro Guru langsung menanyakan dengan nada suara, setidaknya bagi saya waktu itu, sangatlah ulem-nya dan sangatlah penuh wibawa. Kayam, 2000:13 Untuk membangun kewibawaan tersebut, ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pemimpin atau penguasa, yaitu 1 menguasai ilmu, dan 2 bersikap ksatria. Kedua kualifikasi ini merupakan dasar terbentuknya kewibawaan seorang pemimpin. Berikut analisis terhadap kedua kualifikasi tersebut yang terdapat di dalam novel Para Priyayi.

4.2.1.1 Menguasai Ilmu

Menguasai ilmu merupakan salah satu dasar terbentuknya kewibawaan seorang pemimpin. Dalam konteks Jawa tradisional, bentuk ‘ilmu’ yang utama adalah ngelmu Stange, 1998:4. Ngelmu adalah singkatan dari dua suku kata yaitu ‘Ngel’ dari kata ‘angel’ yang berarti sulit, sukar, dan sebagainya, ‘mu’ dari kata ‘tinemu’ Universitas Sumatera Utara yang bermakna tahu atau mengerti. Ngelmu bermakna angel tinemu yaitu sulitsukarsusah untuk dimengerti, diketahui dan sebagainya Soesilo, 2000:10. Meskipun dalam dalam bahasa Indonesia istilah ilmu mendekati pengertian Barat tentang ‘ilmu pengetahuan’ knowledge, namun dalam istilah Jawa ngelmu jelas sekali merujuk pada gnosis. 26 Ilmu dalam pengertian Jawa lebih merujuk pada bentuk mistik atau spiritual daripada intelektual. Jika ilmu didasari akal, ngelmu mendasarkan pada seluruh organ tubuh Stange, 1998:4. Untuk itu ngelmu pada hakikatnya bukan hanya pikiran saja yang ‘tahu’, melainkan keseluruhan tubuh dengan segenap organ di dalamnya. Memang telah disadari oleh masyarakat Jawa bahwa ngelmu mengandung sesuatu arti ajaran rahasia esoteris untuk pegangan hidup Endraswara, 2003:33. Dalam novel Para Priyayi konsep ngelmu ini selalu menjadi wejangan bagi Sastrodarsono dalam usaha membangun keluarga priyayinya. Wejangan ini sering disampaikan kepada anak-anaknya ketika mereka berkumpul di ruang keluarga. Ngelmu iku, kalakone kanti laku…. 27 Ilmu itu akan terlaksananya lewat upaya keras…. Kayam, 2000:131 “Kalian sudah pada jadi priyayi terpandang sekarang. Supaya tetap terpandang di masyarakat, ya terus menimba ngelmu lewat laku.” Kayam, 2000:133 26 Dari bahasa Yunani gnosis pengetahuan, mengetahui, usaha memastikan tentang apa yang terjadi 27 Kutipan tersebut merupakan bagian dari bait pertama Pocung dalam Serat Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV. Adapun bait pertama lagu Pocung tersebut adalah: Ngelmu iku kalakone kanthi laku, Lekase lawan kas. Tegese kas nyantosani, Setya budya pangekese dur angkara Ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan belajar sungguh-sungguh. Dengan ketekunan, keuletan dan pantang menyerah, mampu mengatasi tantangan hidup serta menahan nafsu angkara murka. Lihat Adityo Jatmiko. 2005. Tafsir Ajaran Serat Wedhatama. Yogyakarta: Pura Pustaka. hlm.28 Universitas Sumatera Utara Dari ungkapan di atas terlihat bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan belajar sungguh-sungguh. Priyayi yang menguasai ilmu akan terus menjadi priyayi yang terpandang di masyarakat. Konsep ngelmu lewat laku sesungguhnya diambil dari bait pertama lagu Pocung Serat Wedhatama karangan Kanjeng Gusti Mangkunegara IV. Sastrodarsono menjelaskan hal ini kepada anak-anaknya. “Wedhatama itu karangan Kanjeng Gusti Mangkunegara IV….” Kayam, 2000:132 Pesan yang tersurat dalam pupuh Pocung tersebut adalah bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan belajar sungguh-sungguh. Embah Martodikromo, kakek dari Sastrodarsono, juga selalu menekankan perlunya menguasai ilmu kepada anak-anaknya agar kelak mereka dapat menjadi priyayi terhormat. ‘Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian harus berusaha menjadi priyayi. Kalian harus sekolah. Kayam, 2000:30 Dengan ketekunan, keuletan dan pantang menyerah dalam menuntut ilmu maka seseorang akan bertambah wawasan dan kesadaran sehingga mampu mengatasi tantangan hidup. ‘Dengan banyak mengetahui apa yang terjadi di balik dunia masyarakat priyayi, Anda akan menjadi lebih manusiawi dan lebih luas wawasan Anda tentang hidup.’ Kayam, 2000:50 Universitas Sumatera Utara Dari kutipan di atas terlihat bahwa peran ilmu sangat besar dalam memecahkan segala persoalan yang terjadi di muka bumi ini. Ilmu juga dapat membuat orang menjadi lebih manusiawi. Menurut pandangan Jawa, ngelmu menjadikan ilmu itu perilaku penyerapannya memerlukan kekuatan indera batin serta penghayatan pribadi, bukan dengan aktivitas otak atau pikiran saja Endraswara, 2003:34. Untuk itu dalam menghayati ‘ilmu’ ‘ngelmu’ perlu dilaksanakannya dengan laku lampah. Laku di sini membina budi pekerti yang luhur, di samping itu mengekang hawa-nafsu yang meliputi batin dengan kejahatan. Karena ilmu agama itu berhubungan tentang ilmu batin manusia, maka akan menjadi berarti kalau dilaksanakan, dimiliki disertai dengan laku utama dan budi pekerti yang senantiasa mengendalikan hawa nafsu. Nafsu itu sesungguhnya membuat kita lupa diri. Sastrodarsono menegaskan hal ini kepada istrinya. ‘Leluhur kita bilang melik nggendong lali. 28 Nafsu memiliki itu membawa serta lupa. Kayam, 2000:85 Dari ungkapan di atas terlihat bahwa nafsu sering membuat kita lalai dan hilang kendali. Untuk itu, penerapan ilmu pengetahuan merupakan pembinaan akal budi yang kuat dan dapat diarahkan untuk menyertai pembentukan sebuah pribadi yang berkesadaran luhur. Dengan tambahnya ilmu pengetahuan, seseorang dapat menahan nafsu angkara murka. Sifat angkara murka yang besar itu selalu menggoda 28 Melik nggendong lali artinya keinginan untuk memiliki itu membawa serta lupa. Maksudnya, orang yang berkeinginan memiliki sesuatu biasanya akan lupa pada aturan atau hukum sehingga cenderung menghalalkan segala cara. Universitas Sumatera Utara kehidupan kita dan jika tidak dikendalikan maka akan membawa malapetaka. Sastrodarsono menegaskan hal ini kepada anak-anaknya. “Bait lagu Pocung dari Wedhatama ini memberi tahu kita bahwa yang disebut ngelmu atau ilmu pengetahuan itu terjadi atau dapat dicapai bila kita melaksanakan dengan laku, yaitu usaha, upaya yang keras penuh prihatin. Bila kita laksanakan, maka itu akan memperkokoh kemampuan kita menundukkan dur angkara atau perbuatan jahat.” Kayam, 2000:132-133 Pada dasarnya pandangan kosmologi Jawa menekankan pentingnya keselarasan dengan alam, atau tercapainya Manunggaling Kawula Gusti. 29 Modus perilaku yang dianggap paling tinggi adalah laku batin. Laku batin ini adalah usaha pencarian ke arah Manunggaling Kawula-Gusti Zoetmulder dalam www.journal.ui.ac.id?hal=downloadJPSq=35. Pribadi yang sempurna atau paling sehat mentalnya adalah pribadi yang tidak merusak keselarasan dan mengembangkan laku batin. Jadi menurut paham Jawa modus untuk mencapai keselarasan ini terletak pada konsep laku kebatinan ini. Ngelmu biasanya dicapai melalui laku batin atau rohani. Jalan rohani ini, dalam tasawuf sering disebut tarekat. Tarekat dalam budaya spiritual Jawa dikenal sebagai bagian dari laku mistik kejawen. Orang yang sedang menjalani tirakat 30 29 Istilah Manunggaling Kawula Gusti bermakna “persatuan hamba dan Tuhan” yang merupakan tujuan mistik Jawa. Melalui kesatuan itu manusia mencapai apa yang oleh orang Jawa disebut kawruh sangkan paraning dumadi: pengetahuan kawruh tentang asal sangkan dan tujuan paran segala apa yang diciptakan dumadi. Lihat Franz M. Suseno. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 116-120. 30 Kata tarekat sudah diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi ‘tirakat’. Walaupun dalam perkembangannya kata tirakat bermakna menjalani pantangan terhadap sesuatu, atau melakukan meditasi di suatu tempat untuk menerima wisik, petunjuk gaib. Orang yang tirakat itu sebenarnya Universitas Sumatera Utara harus dapat menekan hawa nafsunya dalam bentuk apapun. Hawa nafsu tidak boleh dibiarkan bebas menguasai diri seseorang. Oleh karena itu salah satu tanda dari kesaktian adalah penguasaan hawa nafsu. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Endraswara 2006:149 bahwa tapa juga langkah mistik untuk mengekang hawa nafsu. Bait pertama pupuh Kinanti dalam Serat Wulang Reh karangan Sinuwun Paku Buwana IV menjelaskan hal ini. Pada gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip…. Berlatihlah dalam batin dan dalam tanda-tanda agar kalian peka…. Kayam, 2000:132 Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa manusia harus dapat melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala dan tanda-tanda. Ajaran moral Serat Wulang Reh, seperti ajaran moral pada umumnya, menganggap moral itu otonum dan berpangkal pada dunia batiniah. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai dunia batiniah, maka nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya menguasai batinnya. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadar dapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Salah satu tahap yang perlu dilakukan agar seseorang tetap dalam konsentrasi religius – tidak menyalahi aturan Tuhan menuju pada kebaikan hidup– adalah laku prihatin 31 dengan jalan cegar dhahar lawan guling ‘mengurangi makan dan tidur’. melakukan ‘tarekat’. Lihat Achmad Chodjim. 2003. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. hlm. 209 31 Prihatin terdiri dari dua suku kata, ‘prih’, dan ‘ati’. Prih artinya perihsakit atau merasakan sakit, dan ati adalah hati. Jadi ‘prihatin’ adalah merasakan sakit atau ikut merasakan kepedihan orang lain. Universitas Sumatera Utara Perhatikan kutipan berikut yang berasal dari nasihat Sastrodarsono kepada anak- anaknya. “Usahakanlah dengan sungguh-sungguh keprihatinan itu dengan tujuan mencapai keperkasaan. Maka kurangilah makan dan tidurmu.” Kayam, 2000:133 Dari ungkapan di atas terlihat bahwa yang membuat batin kita tumpul adalah keinginan-keinginan kita. Keinginan kita timbul dari pikiran yang liar. Apabila batin tumpul, ia tidak akan bisa memahami rahasia alam, isyarat hidup. Jadinya orang tidak tahu makna hidupnya, tidak tahu untuk apa ia ada di dunia ini. Oleh sebab itu, yang dikejar orang hanya memenuhi perutnya dan membuatnya enak tidur. Yang dipikirkan hanya bagaimana makan dan tidur. Makan dan tidur, apabila berlebihan akan menumpulkan batin kita. Secara logika, laku mengurangi makan dapat membawa empati seseorang untuk turut merasakan penderitaan orang miskin. Akibatnya, ketika menjadi pemimpin, orang tersebut dapat memahami penderitaan rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini akan mendorong dirinya untuk pengambilan kebijakan yang tidak bertentangan dengan nurani rakyat miskin. Di samping itu, dengan mengurangi makan, seseorang akan lebih banyak mengingat Tuhan. Sementara itu, orang yang mengurangi tidur akan memiliki waktu yang lebih leluasa untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Seorang pemimpin diharapkan selalu berdoa siang dan malam kepada Tuhannya untuk kesejahteraan bangsa dan rakyatnya. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, anjuran bagi pemimpin untuk mengurangi makan dan tidur memiliki pengaruh psikologis yang positif dalam memberikan perhatian yang maksimal terhadap bangsa dan negaranya. Pemimpin yang bijaksana akan bisa merasakan penderitaan rakyatnya. Ia tidak akan bersenang-senang di atas penderitaan orang banyak. Ia akan merasakan kepedihan orang lain dan berusaha untuk mengentaskannya. Berikut ini adalah kutipan dari ayah Sastrodarsono yang menggambarkan tentang bagaimana sebenarnya seorang pemimpin yang benar-benar menjalankan laku prihatin itu. Kalau niat nglakoni, menjalankan laku prihatin, Le, jangan kepalang tanggung, begitu pesan bapak saya. Puasa cara Arab itu ya baik, Cuma masih kurang tepat, kurang nglakoni betul-betul seperti cara nglakoni orang Jawa, kata bapak saya. Sekali-sekali saya memang dianjurkan mengerjakan itu dan sekali-sekali memang saya jalani juga hingga sekarang. Orang-tua saya menekankan pendidikan menjalani hidup dengan baik dan selamat di dunia. Artinya, baik-baiklah kamu bergaul dengan sesama hidup di masyarakat. Sing tepa slira, le, marang sapada-pada. Bertenggang rasalah kamu terhadap sesama hidup, Le, kata Bapak. Jangan mentang-mentang kau nanti jadi priyayi lehermu terlalu mendongak ke atas. Ingatlah yang di bawahmu masih banyak. Dan semua ajaran bapak saya itu, yang mestinya dia dapat dari Embah dan Embah mungkin mendapatnya pula dari Embah Buyut, disampaikan kepada saya dan terserap dalam jumlah yang banyak pula ke dalam tubuh saya. Di rumah saya, itu jugalah yang sering saya tanamkan kepada anak-anak saya. Kayam, 2000:91 Kutipan di atas mengisyaratkan kita bahwa orang Jawa memercayai bahwa pencapaian kesadaran sejati tidak mungkin dilakukan secara instan, misalnya dengan menjalani ritual yang lazim seperti puasa, atau dengan mengamalkan doa dan wirid saja. Meskipun sudah menjalani laku olah batin, akan lebih utama lagi jika diikuti Universitas Sumatera Utara oleh laku tindak perbuatan yang nyata dan kasat mata yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Manusia Jawa memahami bahwa laku utama atau perilaku baik dan mulia berupa hubungan yang serasi terhadap sesama makhluk, baik dengan sesama manusia maupun makhluk lain termasuk alam semesta. Laku utama tersebut merupakan jalan utama manembah kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa. Dengan demikian, laku prihatin adalah sebagai bentuk upaya manusia Jawa membangun hubungan vertikal dengan Allah Sang Pencipta, serta hubungan yang serasi dalam dimensi horizontal dengan sesama makhluk dalam wujud perilaku yang baik dan benar. Dengan demikian Sastrodarsono menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa dua bait dari Serat Wedhatama dan Wulangreh saling isi-mengisi. Bait lagu Pocung dari Wedhatama memberi tahu kita bahwa yang disebut ngelmu atau ilmu pengetahuan itu terjadi atau dapat dicapai bila kita melaksanakan dengan laku, yaitu usaha, upaya yang keras penuh prihatin. “Dua bait dari Wedhatama dan Wulangreh ini saling isi-mengisi. Bait lagu Pocung dari Wedhatama ini memberi tahu kita bahwa yang disebut ngelmu atau ilmu pengetahuan itu terjadi atau dapat dicapai bila kita melaksanakan dengan laku, yaitu usaha, upaya yang keras penuh prihatin. Bila itu kita laksanakan, maka itu akan memperkokoh kemampuan kita menundukkan dur angkara atau perbuatan jahat.” …Kayam, 2000:132-133 Sedangkan bait lagu Kinanti dari Wulangreh mengisi pengertian laku itu. Mengurangi makan dan tidur itu merupakan latihan yang utama untuk mendapatkan kewaspadaan batin. Universitas Sumatera Utara “….yang dari Wulangreh itu mengisi pengertian laku itu. Lagu Kinanti ini mengajarkan kepada kita bahwa untuk melatih batin serta melatih menangkap tanda-tanda agar meningkat kepekaan kita, kita hendaknya jangan hanya makan dan tidur saja. Usahakanlah dengan sungguh-sungguh keprihatinan itu dengan tujuan mencapai keperkasaan. Maka kurangilah makan dan tidurmu.” Kayam, 2000:133 Jika laku prihatin itu dapat dijalankan secara baik, seseorang akan tetap dalam kondisi lahir dan batin yang seimbang dan tetap mampu menjaga diri dengan dilandasi sikap eling dan waspada ‘selalu ingat dan waspada’. Hal ini tersirat dari nasihat Sastrodarsono kepada anak-anaknya. ‘Nah, anak-anak mari kita pada laku prihatin menghadapi zaman yang gawat ini. Kalian sudah pada memegang tugas yang penting. Waspada dan hati-hatilah.’ Kayam, 2000:134 Kepriyayian yang diperlihatkan Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi bukanlah soal status semata-mata. Ia juga menyangkut soal laku; tindakan dan peran kepriyayiannya itu sendiri. Ia menjadi priyayi tidak hanya karena pendidikannya yang memungkinkan status dan derajatnya naik, tetapi juga karena sikap dan tindakannya yang terpuji yang membuatnya mampu mempertahankan kepriyayiannya. Status sosial priyayi yang telah dimiliki Soedarsono tidak lantas membuatnya lupa diri. Ia selalu ingat pesan ayahnya. ‘Le, kamu, meski sudah jadi priyayi, jangan lupa akan asal usulmu. Kacang masa akan lupa dengan lanjaran-nya.’ Kayam, 2000:48 Untuk itu Sastrodarsono yang kerap dipanggil dengan sebutan Ndoro Guru, sangat peduli dengan orang-orang yang sekitarnya. Tidak hanya mendirikan sekolah Universitas Sumatera Utara bagi masyarakat yang kurang mampu, ia juga berjuang untuk membesarkan dan menyekolahkan anak-anak dari saudara-saudaranya yang kurang mampu. Mereka diangkat sebagai anak dan disekolahkan yang sama dengan anak-anak Soedarsono sendiri. Hal ini tersurat di dalam novel Para Priyayi. Ndoro Guru, di samping harus membesarkan anak-anaknya, juga menampung beberapa kemenakan. Dengan pendek, rumah tangga Ndoro Guru adalah rumah tangga khas priyayi Jawa, di mana sang priyayi adalah juga soko guru keluarga besar yang berkewajiban menampung sebanyak mungkin anggota-keluarga – jaringan itu ke dalam rumah tangganya. Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan dan dikangkangi sendiri, begitulah saya dengar Ndoro Guru berkali-kali menasihati anak-anaknya dan siapa saja. Tidak pantas, saru, bila ada seseorang anggota keluarga besar priyayi sampai kleleran, terbengkelai, jadi gelandangan tidak ada yang mengurus, tidak menikmati pendidikan, begitu nasihatnya yang lain, priyayi yang tidak urus begitu adalah priyayi yang jelek bahkan bukan priyayi, tekan Ndoro Guru lebih jauh. Kayam, 2000:15 Dalam menjalani hidupnya sebagai seorang priyayi, Sastrodarsono selalu menerapkan konsep laku prihatin, yaitu budaya laku yang bertujuan untuk pengekangan hawa nafsu. Dengan menjalankan laku prihatin maka akan tumbuh roso. Dan di perkumpulan kesukan, di mana kami sering bertukar pikiran tentang hidup, kami semakin tenggelam dalam dunia kebatinan, dunia yang lebih menekankan jalannya menyatu dengan Gusti, makna hidup di dunia fana, dan makna hidup di akhirat. Semakin banyak kami bertukar pikiran tentang itu semakin kami berkesimpulan bahwa sembahyang yang diperintahkan oleh agama-agama itu terlalu wadag, terlalu terpesona kepada olah tubuh, tidak kepada batin kita, kepada roso untuk mencapai manunggal, menyatu dengan Gusti. Kayam, 2000:91 Universitas Sumatera Utara Bagi orang Jawa, apalagi seorang priyayi, roso merupakan bagian dari pribadi seseorang yang terlalu berharga untuk dibiarkan begitu saja Ahimsa-Putra dalam Salam, 1998:75. Seorang priyayi Jawa haruslah tajam rosonya, terutama roso rikuh, rasa sungkan. Berikut adalah renungan Sastrodarsono terhadap petuah Ndoro Seten tentang pentingnya rasa rikuh itu. ‘….Saya jadi ingat lagi akan petuah almarhum Romo Seten Kedungsimo dulu. Priyayi yang baik itu, Le, harus sadar akan roso rikuh. Alangkah akan mengerikan bila seorang priyayi itu tidak punya rasa rikuh, kata beliau selanjutnya. Dia akan tampil sebagai priyayi yang tidak punya kepekaan terhadap perasaan dan mungkin juga terhadap penderitaan orang lain. Priyayi yang tidak tahu rikuh itu, Le, di bawah lubuk hatinya adalah orang yang sesungguhnya serakah dan mau menang sendiri, tegas beliau. Akan tetapi, rikuh tidak berarti tidak berani berbuat apa-apa, lho, Le, tegas beliau lagi. Priyayi yang punya roso rikuh justru harus tahu kapan harus bertindak dan tidak merasa rikuh lagi, beliau menutup petuahnya….’Kayam, 2000:100-101 Kedudukan di tengah, di antara dua hal yang saling bertentangan, sebenarnya merupakan perwujudan sebuah nilai yang dipandang sangat penting oleh orang Jawa: sak madya. Artinya, yang sedang-sedang saja. Nilai ini merupakan hal yang dianggap ideal bagi orang Jawa. Perhatikan kutipan berikut. ‘….paling baik manusia itu sakmadya saja, secukupnya. Untuk apa mengejar yang lebih dari cukup? Itu hanya akan membuat manusia serakah, ngoyo bahkan mungkin ngotot mau yang banyak, yang lebih banyak….hidup ini hanyalah persinggahan sejenak saja dalam perjalanan panjang. Hidup ini hanyalah untuk mampir ngombe, untuk singgah minum saja. Karena itu, hidup mestilah sakmadya saja karena hanya untuk singgah minum dan tidak untuk berfoya-foya hingga lupa daratan. Kayam, 2000:85-86 Universitas Sumatera Utara Kutipan di atas menekankan bahwa manusia hendaknya dapat menjalani hidup secara sederhana, tidak berfoya-foya, tidak menghamburkan waktu dan uang, tidak mengumbar nafsu berlebihan sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semu dan sesaat. Dari gambaran yang diperlihatkan keluarga Sastrodarsono, terungkaplah bahwa kepriyayian bukanlah soal status semata-mata. Ia juga menyangkut soal laku; tindakan dan peran kepriyayiannya itu sendiri. Masalahnya, bahwa orang cenderung terpaku pada simbol atau status kepriyayian an sich, dan bukan pada laku dan perannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam Para Priyayi, terungkap bahwa Sastrodarsono sebenarnya masih berdarah petani. Ia menjadi priyayi tidak hanya karena pendidikannya yang memungkinkan status dan derajatnya naik, tetapi juga karena sikap dan tindakannya yang terpuji yang mampu mempertahankan kepriyayiannya. Jadi, di samping pendidikan, kesanggupan mengejawantahkan status kepriyayian dalam kehidupan juga ikut menentukan kepriyayian seseorang, terutama mempertanggungjawabkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka, ‘….semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang terpenting....semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. Dan….perjalanan mengabdi masyarakat banyak, terutama wong cilik, tidak aka nada habisnya.’ Kayam, 2000:305-307 Universitas Sumatera Utara

4.2.1.2 Bersikap Ksatria

Bersikap ksatria merupakan salah satu dasar terbentuknya kewibawaan seorang pemimpin. Menurut Wikipedia Indonesia perkataan ksatria atau satria berasal dari bahasa Sanksekerta, untuk menyebut kelompok kelas atau kasta masyarakat India masyarakat beragama Hindu keturunan para raja atau kasta bangsawan. Ksatria dalam bahasa Indonesia adalah perkataan untuk menyebut sifat orang yang baik budi pekertinya dan perilakunya; orang yang gagah berani, jujur, adil, suka menolong serta melindungi orang lain; orang yang berperi kemanusiaan serta senantiasa membela kehormatan bangsa dan negaranya; atau, orang yang memiliki perasaan malu untuk berbuat keburukan dan kejahatan, atau untuk berbuat kesalahan dan berbuat sesuatu yang merugikan orang banyak serta berbuat sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan. Seperti ungkapan Pangeran Jayabaya seorang Raja Kediri dalam syairnya ‘seharusnya malu menggunakan baju ksatria, jika perilakunya mendua, wajahnya pun berwarna ganda, seharusnya mengaku salah, namun nyatanya lupa sikap ksatria Perkataan ksatria dalam perkembangannya kemudian dijadikan suatu nilai moral yang mengandung sifat-sifat jujur dan adil, serta suka melindungi dan membela sesama manusia, membela bangsa dan negaranya tanpa mengharap akan imbalan berupa apapun. Lazimnya para negarawan, para pemegang pemerintahan, para pemimpin kemasyarakatan dan para prajurit, selalu diharapkan selain bersifat ksatria, juga berpegang teguh pada nilai moral ksatria. Konsep ini diimbangi dengan etika kekuasaan, harus ambeg adil para marta memayu hayuning bawana atau bersikap Universitas Sumatera Utara adil dan bijaksana melestarikan keselamatan dunia. Hal ini terungkap di dalam novel Para Priyayi. ‘Wahyu kekuasaan untuk memayu hayuning bawana, untuk terus mengusahakan keselamatan jagad.’ Kayam, 2000:6 Nyatria-pinandita adalah sikap hidup pemimpin Jawa yang hendaknya bersifat satriya dan pinandita. 32 Seorang yang satriya dan pinandita tidak akan menggantungkan hidupnya kepada semat, derajat, kramat, dan hormat. Walaupun semat harta merupakan sarana untuk hidup tetapi bukanlah merupakan tujuan utama. Hal ini tergambar dari pidato Lantip priyayi yang ngenger di rumah Sastrodarson saat pemakaman Sastrodarsono. Embah Kakung tidak meninggalkan atau mewariskan benda-benda keduniawian yang kemilau yang banyak diduga orang akan dapat membanggakan keluarga besar ini. Embah Kakung ternyata tidak pernah melihat benda-benda keduniawian itu sebagai yang terpenting bagi anak, cucu, dan cicitnya. Kayam, 2000:305 Tujuan seorang pemimpin adalah rame ing gawe, sepi ing pamrih, sugih tanpa banda atau giat bekerja, jauh dari keserakahan dan selalu merasa kaya dengan kebijaksanaan tidak dengan harta, selalu bisa memberi siapa saja yang meminta pertolongan. Lantip kembali mengenang semangat priyayi yang ditanamkan Sastrodarsono. Beliau menganggap semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang akan terus mampu membuat kita tumbuh dengan sebaik-baiknya sebagai masyarakat yang melaksanakan tugas Allah di dunia fana ini. Kayam, 2000:305 32 Lihat Anita Kastubi. 2003. Ripta: perjuangan tentara pecundang. Yogyakarta: Galang Press, hlm.4 Universitas Sumatera Utara Seorang pemimpin harus memiliki darma ksatria titik konsentrasi dalam konsep kepemimpinan ideal agar tidak lupa diri akan tugas pokoknya dalam membina masyarakat atau rakyatnya. Mental dan spirit harus terjaga agar tidak menjadi liar, mudah terpengaruh atau sebaliknya menjadi lemah. Pengaruh-pengaruh itu berpotensi merusak nilai-nilai darma yang diperjuangkan, padahal darma seorang ksatria pemimpin, bersifat budi bawa leksana kesesuaian antara perkataan dan perbuatan, ambeg adil paramarta adil tidak membeda-bedakan serta wasis cerdas, waskitha pintar, wegig trampil dan sareh sabar sebagaimana mutiara dalam ajaran Astabrata delapan ajaran kepemimpinan. Sebagai ksatria yang harus berpegang teguh kepada konsep eling lan waspada ingat dan waspada, maka seorang pemimpin harus selalu menjaga rakyat untuk menemukan jati diri dan identitasnya. Kitab atau buku Serat Nitisruti yang merupakan karya Pangeran Karanggayam, pujangga Kerajaan Pajang pada abad ke- 16 ini, memaparkan seni olah kebatinan seorang pemimpin. Bagaimana pemimpin mengarahkan darma ksatrianya agar tidak kentir luntur dan larut mental spiritualnya. Lebih dari itu, pemimpin harus berpegang teguh sebagai satria pinandhita pemimpin berwatak pendetaulama yang tidak mengecewakan rakyat. Dalam novel Para Priyayi, Serat Tripama menjadi rujukan atas sikap ksatria yang mulia. Hal ini kerap menjadi wejangan bagi Sastrodarsono dalam membangun keluarga besar priyayinya, seperti yang tergambar lewat kutipan berikut. “Meskipun Tripama ini kelihatannya hanya ditujukan untuk para prajurit, sesungguhnya juga dimaksudkan untuk para priyayi semua. Inti dari wejangan ini adalah kesetiaan kepada raja dan negara. Kita semua Universitas Sumatera Utara diingatkan untuk meniru sikap setia dari tiga tokoh dalam wayang, yaitu Sumantri, Karna, dan Kumbakarna. Meskipun sifat kesetiaan mereka berbeda, namun intinya sama, yaitu kesetiaan sebagai tanda tahu membalas budi kepada raja dan negara.” Kayam, 2000:185 Serat Tripama merupakan karya Kanjeng Gusti Mangkunegaran IV. Dari segi etimologi, Tripama berasal dari unsur tri yang artinya ‘tiga’, dan pama sebagai pemendekan dari kata upama yang artinya ‘perumpamaan’. Jadi, kata tripama berarti tiga perumpamaan. Dalam arti luas, kata upama juga berarti teladan atau contoh. Dengan demikian, kata tripama juga bermakna tiga teladan atau tiga contoh. Tiga sosok ksatria yang berwatak utama itu adalah Patih Suwanda, Raden Kumbakarna, dan Adipati Karna. Ketiganya dapat dijadikan teladan bagi masyarakat dalam menjalani hidup, terutama dalam hal kewajiban seseorang kepada negara. Perhatikan kutipan ucapan Sastrodarsono kepada putra-putranya tentang perlunya meneladani ketiga sikap ksatria tersebut. Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sira anulada…Sebaiknya, hai, para prajurit, bila kalian dapat mengambil teladan…. Kayam, 2000:184 Masing-masing sikap dan tindakan tersebut diuraikan di bawah ini.

1. Pemimpin Berwatak Suwanda