Betapapun kami sudah menjadi orang, sudah beranak-pinak dan memiliki kedudukan di masyarakat, orang-tua saya, terutama Bapak, adalah tempat
kami berpaling. Di hadapannya kami anak-anak masih tetap anak-anak. Dari mulutnya keluar sabda-sabda yang mengandung bobot yang berwibawa
sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya. Kayam, 2000:181
Begitu pula saat istri Sastrodarsono atau Embah Putri meninggal, kewibawaannya terus melekat di hati masyarakat sekitarnya, seperti yang tergambar
dalam kutipan berikut.
Dari banyaknya jumlah pelayat kami tahu bahwa Embah Sastrodarsono dikenal dan dihormati oleh masyarakat Wanagalih. Kayam, 2000:243
2. Kesaktian Kasekten
Kesaktian merupakan komponen dasar dari sumber kewibawaan tradisional. Kata kesaktian merupakan bentukan dari kata dasar sakti.
21
Kata sakti berasal dari bahasa Sansekerta, India – Hindu, sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi. Kata sakti
yang sudah berumur 5000 tahun itu di tanah Jawa mengalami dinamisasi pemakaian, yang tidak jauh dari arti dasar semula.
Darsiti dalam Anshoriy 2008:30 menyatakan, pengertian kesaktian selalu dihubungkan dengan konsepsi kekuasaan atau otoritas kharismatik di dalam
masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Jawa khususnya. Konsepsi Jawa tentang kekuasaan ini berdimensi empat sesuai dengan konsepsi yang dipakai
21
Berasal dari kata sekti yang diambil dari kata Sansekerta syakti. Dalam mitologi Hindu syakti adalah isteri para dewa. Syakti dalam mitologi Hindu itu juga bisa mempunyai fungsi penting, seperti
misalnya isteri Wishnu, Sri.
Universitas Sumatera Utara
dalam pewayangan, yaitu sakti Mandraguna, mukti wibawa. Sakti Mandraguna menunjuk pada kecakapan, kemampuan, atau ketrampilan dalam satu atau beberapa
bidang, seperti olah senjata, kesenian, pengetahuan, dan sebagainya. Mukti lebih dihubungkan dengan kedudukan yang penuh kesejahteraan, sedang wibawa berarti
kedudukan terpandang yang membawa pengaruh besar. Menurut Djajadiningrat dalam Karepesina 1988:17 sakti artinya ‘kekuatan
dan daya yang luar biasa atau kekuasaan untuk dapat melahirkan sesuatu yang luar biasa, juga kekuasaan untuk membuat sesuatu yang ganjil’. Menurut S.
Prawiroatmodjo, kata sakti berarti bertuah atau keramat Bausastra Jawa – Indonesia: 1989. Sedangkan menurut Suparlan, kata sakti berarti kuasa atau sentosa Kamus
Kawi – Indonesia, 1989. Menurut Koentjaraningrat 1984:341 orang Jawa menganggap kesaktian
sebagai energi yang kuat yang dapat mengeluarkan panas, cahaya atau kilat. Kesaktian itu dapat berada di berbagai bagian tertentu dari tubuh manusia, seperti:
kepala terutama rambut dan mata, alat kelamin, kuku, air liur, keringat dan air mani. Kasekten mungkin juga ada dalam tubuh binatang, terutama binatang yang besar,
perkasa, atau yang aneh bentuknya, seperti harimau, gajah putih, kera putih, ayam sabungan, burung elang, kura-kura putih dan sebagainya. Namun kasekten pada
umumnya ada dalam benda-benda suci, terutama benda-benda pusaka. Hal ini berkaitan dengan kutipan berikut.
Adapun dukun itu adalah Kiai Jogosimo yang sudah terkenal sakti dan ampuh mantera-manteranya. Hutan baginya seperti halaman di belakang
rumah saja. Begitu akrab dan mesra hubungannya dengan hutan seisinya.
Universitas Sumatera Utara
Harimau, monyet, serta satwa lainnya patuh dan tunduk kepadanya. Begitu pula pepohonan dan batu-batu di dalam hutan itu. Semuanya
menaruh hormat belaka kepada Pak Kiai Jogosimo. Beliau memiliki wibawa itu karena konon memiliki kesaktian dapat berbicara dengan
hewan dan tetumbuhan maupun batu-batuan. Barangkali nama Jogosimo, yang berarti ‘menjaga harimau’, itu diberi orang karena wibawa itulah.
Kayam, 2000:2-3
Sakti ada pada manusia yang memiliki kesuburan atau kemakmuran, kekebalan dan kesucian. Hanya orang yang kuat jasmani dan rohaninya saja yang
dianggap mampu memiliki kasekten Koentjaraningrat, 1984:341. Kesaktian dapat diperoleh dengan sebanyak mungkin menguasai benda sakti
dan bergaul dengan orang-orang sakti serta mencari ilmu kesaktian Karepesina, 1988:19. Kekuatan-kekuatan ini harus bisa diserap dan dipadukan dalam diri
sendiri. Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi juga memiliki keris yang dianggap sebagai benda sakti. Hal ini terlihat di dalam kutipan berikut.
Dan yang juga menarik dari kamar itu adalah lemari kecil tempat menyimpan keris-keris Ndoro Guru dan beberapa tombak yang berada di tempat
tombak di pojok kamar tidur. Kayam, 2000:17
Dari kutipan di atas terlihat bahwa keris memiliki unsur kesaktian. Keris sendiri merupakan lambang kekuasaan.
22
Keris, sebagai benda yang menakjubkan dari segi teknik, tetap dianggap sebagai pusaka keluarga. Keris itu merupakan simbol
yang diturunkan dari ayah ke anak; di dalamnya terwujud kesaktian garis keturunan,
22
Telusuri www.galerypusaka.multiply.comjournal, diunduh tanggal 1 Maret 2011
Universitas Sumatera Utara
yang diwariskan kepada orang terpilih. Paling tidak, keris itu merupakan wujud rangkap dari orang yang yang memilikinya. Para Sultan mempercayakan keris
mereka kepada wakil-wakil mereka, sebagai bukti kewibawaan yang diwakilkan kepada mereka Lombard, 1996:195.
Seiring dengan perubahan peradaban dan zaman, kata sakti dapat beralih arti, atau bahkan mungkin bertolak-belakang dengan arti sebelumnya. Pertanda lain dari
adanya kesaktian adalah kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan Deliar Noer dalam Karepesina, 1988:22. Ini merupakan kenyataan bahwa kepercayaan asli
dijumpai pada masyarakat sederhana yang bergelimang dengan kehidupan berburu, menangkap ikan, bertani dan sebagainya. Nilai-nilai masyarakat pun banyak
berhubungan dengan keadaan seperti ini. Kesuburan tanah atau alam yang subur amat memikat hati. Demikian pula manusia. Jika seseorang beristeri banyak, beranak
banyak, memiliki kekayaan dan sebagainya, ia dianggap memiliki kesaktian yang lebih dari pada yang tidak memperoleh kesuburan itu.
Dalam novel
Para Priyayi, keluarga Sastrodarsono dikaruniai keturunan yang memiliki ciri-ciri fisik priyayi. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan hal
tersebut. Mungkin sekali, seperti dalam ceritera-ceritera wayang itu, kehendak dan
keinginan kami itu didengar oleh Tuhan dan dikabulkan dengan memberi kami anugerah anak-anak yang bagus dan ayu, lagi pula bertampang
priyayi, mriyayeni. Kayam, 2000:52
Universitas Sumatera Utara
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Sastrodarsono dianggap sakti karena memiliki keturunan yang banyak. Apalagi semua anak-anaknya dianugerahi tampang
khas priyayi, yaitu tampan dan ayu. Keberhasilan Sastrodarsono menjadi mantri guru telah membawa
kehidupannya lebih makmur dan sejahtera. Ini terlihat dalam kutipan berikut.
Pada zaman itu kedudukan seorang mantri guru sekolah desa adalah kedudukan yang cukup tinggi di mata masyarakat seperti masyarakat
Wanagalih. Mantri guru sudah jelas didudukkan masyarakat dan pemerintah sebagai priyayi. Ia punya jabatan, ia punya gaji tetap. Kayam, 2000:14
Di dalam ada empat kamar tidur. Yang paling besar tentulah kamar tidur Ndoro Guru Kakung dan Putri. Kamar itu, menurut penglihatan saya waktu
itu, sangatlah besar dan bagus. Sebuah tempat tidur besi yang sangat besar dengan kasur, bantal, guling, dan kelambu yang serba putih,
berenda dan berbunga putih pula, berada di kamar mepet dinding sebelah utara. Tempat tidur itu pada perasaan saya begitu indah dan besar
sehingga orang tidak bisa lain daripada mengaguminya. Begitu penuh wibawa juga tempat tidur itu di kamar. Lantas di kamar itu ada lemari
pakaian yang juga amat besar terbuat dari kayu jati. Lemari itu juga bagus. Kemudian satu cermin oval yang besar tergantung di dinding
selatan. Kayam, 2000:17
Kutipan di atas menunjukkan Sastrodarsono dianggap sakti karena memiliki kekayaan sehingga hidupnya makmur dan sejahtera. Hal ini terlihat dari profesinya
sebagai mantri guru yang memiliki jabatan dan gaji tetap. Frase kamar besar dan bagus, dilengkapi dengan aneka perabot mahal juga menunjukkan kekayaan
Sastrodarsono. Gambaran ini sangat relevan untuk menunjukkan kesaktian Sastrodarsono.
Universitas Sumatera Utara
Adanya orang-orang sakti di sekelilingnya juga akan menambah kesaktiannya. Kedekatan keluarga Sastrodarsono dengan Ndoro Seten seorang priyayi maju
mampu mewujudkan impian keluarga Sastrodarsono untuk menjadi priyayi. Perhatikan kutipan berikut.
Hanya saja Bapak sangat beruntung boleh mengerjakan sawah Ndoro Seten itu pula, maka hubungan Ndoro Seten dengan bapak saya jadi akrab.
Tentu saja akrabnya hubungan seorang Ndoro Seten yang priyayi dengan Atmokasan yang petani desa. Dan karena hubungan itu pula saya mendapat
nama saya yang Soedarsono ini. Bila tidak karena hubungan itu bagaimana kita orang desa bisa membayangkan mendapat nama Soedarsono, nama
yang menurut bayangan kami hanya pantas dimiliki anak-anak priyayi saja….
Karena kemurahan hati Ndoro Seten pula waktu saya kemudian lulus sekolah desa lima tahun, saya dicarikan jalan lewat Ndoro Wedono dan
para Priyagung di Madiun untuk dapat diterima magang untuk menjadi guru bantu. Kayam, 2000:31
Hubungan baik Sastrodarsono dengan priyayi-priyayi maju lainnya juga memudahkan keturunannya untuk menjadi priyayi seperti dirinya.
Dan saya sekali lagi beruntung. Kedudukan saya sebagai guru, meskipun guru sekolah desa, latar belakang saya sebagai menantu mantri penjual candu,
hubungan saya dengan Romo Seten Kedungsimo, hubungan saya yang akrab dengan Dokter Soedradjat dan para pemuka masyarakat
Wanagalih lainnya, telah memberikan saya kemudahan untuk memasukkan anak-anak saya ke sekolah HIS Wanagalih. Kayam,
2000:52
Dengan demikian data-data di atas menunjukkan bahwa kesaktian Sastrodarsono lebih jelas terlihat dari kemampuannya memiliki banyak keturunan,
Universitas Sumatera Utara
kemakmuran dan kesejahteraan. Hal-hal inilah yang juga menjadi faktor munculnya kewibawaan pada diri Sastrodarsono.
3. Keturunan