BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN
MODEL PENELITIAN
Di dalam Bab II ini diuraikan tentang i kajian pustaka, ii konsep, iii landasan teori dan iv model penelitian. Berikut adalah uraiannya.
2.1 Kajian Pustaka
Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian sebelumnya dan sebagian laporan penelitian itu telah dimuat dalam bentuk buku.
Penelusuran penelitian tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1.
Rahmanto, tahun 1994 pernah menulis tentang novel Para Priyayi dalam tesisnya yang berjudul Makna Penghambaan dalam Novel Para Priyayi
Karya Umar Kayam: Analisis Semiotik. Ia menyimpulkan bahwa lewat tokoh- tokoh Sastrodarsono, Noegroho, Hardoyo, dan Lantip ditampilkan masalah
penghambaan tokoh wayang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam transformasi budaya priyayi Jawa sejak masa penjajahan Belanda, Jepang,
kemerdekaan, dan pascakemerdekaan. Penghambaan yang mirip dengan pola penghambaan Sumantri tampak pada penghambaan Atmokasan,
Sastrodarsono, dan Lantip ketika masih muda. Penghambaan Kumbakarna tampak pada Noegroho, Harjono, Hardoyo, dan Lantip setelah dewasa, sedang
penghambaan Karna terlihat pada pengabdian Lantip setelah dewasa. Sikap
Universitas Sumatera Utara
penghambaan Lantip yang tulus, tanpa pamrih, tahu membalas budi, dan rendah hati, serta menekankan usaha menumbuhkembangkan pengabdian
kepada masyarakat rakyat kecil tanpa pamrih merupakan gabungan dari ketiga sifat penghambaan ketiga tokoh wayang tersebut.
2. Rahmanto juga menulis buku yang berjudul Umar Kayam: Karya dan
Dunianya pada tahun 2004. Buku tersebut membicarakan hampir seluruh cerpen dan novel Umar Kayam: Sri Sumarah dan Bawuk 1975, Seribu
Kunang-Kunang di Manhattan 1972, Istriku, Madame Schlitz, dan Sang Raksasa 1967, Sybil 1967, Secangkir Kopi dan Sepotong Donat 1986,
Chief Sitting Bull 1986, There Goes Tatum 1986, Kimono Biru buat Istri 1986, Para Priyayi 1992, Jalan Menikung 1999, serta kumpulan cerpen
Lebaran di Karet, di Karet…2002. Dari buku tersebut diperoleh pengakuan Kayam bahwa penulisan novel Para Priyayi berawal dari kekecewaannya
terhadap penafsiran yang keliru mengenai dunia priyayi Jawa oleh orang- orang non-Jawa dan para pakar asing. Dengan novel itulah Kayam ingin
memahami dunia priyayi dari dalam dan ingin juga menggambarkan bagaimana dunia itu dihayati oleh orang-orang yang ingin menjadi priyayi.
Kayam juga menjelaskan pilihan novel itu didasari keyakinan terhadap efektivitas novel sebagai sarana memahami kehidupan.
3. Selanjutnya, Najid tahun 2000 menulis tentang novel Para Priyayi dalam
tesisnya yang berjudul Perubahan Kebudayaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam. Penelitian ini menggunakan kerangka teori new
Universitas Sumatera Utara
historicism yang dikemukakan oleh Stephen Greenbalt yang memandang kebudayaan sebagai suatu sistem yang memobilisasi dan sekaligus membatasi
segala gerak dan pemikiran anggota masyarakat. Kebaruan pemikiran yang ditawarkan dalam novel Para Priyayi lebih dipumpunkan pada pergeseran
permaknaan priyayi. Priyayi dalam novel Para Priyayi lebih ditekankan pada optimalisasi peran priyayi bagi masyarakat terutama wong cilik dan peran
priyayi bagi kesejahteraan keluarga dan kehidupannya. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis dalam memahami konsep priyayi yang ditawarkan
oleh Umar Kayam. 4.
Tanggapan terhadap novel Para Priyayi karya Umar Kayam melalui artikel, dimulai dari Damono di Majalah Tempo pada tanggal 20 Juni 1992 lewat
“Album Kehormatan Orang Jawa”. Menurut Damono, novel Para Priyayi menggambarkan proses menjadi priyayi yang dialami oleh sebuah keluarga
besar dari generasi pertama priyayi. Priyayi yang digambarkan dalam novel tersebut adalah orang Jawa yang berasal dari lapisan rendah dalam
masyarakat, petani, atau pedagang kecil. Dalam hal ini Umar Kayam telah menciptakan album besar untuk menampung segenap persoalan dunia priyayi.
Setiap persoalan diungkapkan dalam episode atau potret. Dengan demikian, terungkaplah berbagai segi kehidupan priyayi di bidang agama, seks, politik,
kesenian, pendidikan, etika, filsafat, dan lainnya. 5.
Mohamad juga memberikan komentarnya di Majalah Tempo pada tanggal 29 Agustus 1992 lewat “Priyayi”. Menurutnya novel Para Priyayi justru
Universitas Sumatera Utara
‘membongkar’ mitos yang menjerat masyarakat Jawa selama ini. Novel tersebut menunjukkan bahwa kelas yang disebut ndoro itu, pada dasarnya
punya sesuatu yang sama seperti orang dusun -- atau siapa pun yang hidup di Jawa yang dirundung kekacauan sejak abad ke-17 ini: semuanya punya rasa
cemas untuk mengambil risiko, ekspresi dari ‘the moral economy of the peasant’. Tak aneh para priyayi, kecil atau besar, punya genesis yang sama
dari orang ‘kebanyakan’. Ternyata di halaman-halaman yang menyimpan kenangan yang umumnya datar dan biasa-biasa saja itu ada sebuah cerita
besar, meskipun tak mengejutkan: tidakkah ini kisah sebuah masyarakat yang terus menerus berpose, mengharapkan kelanggengan, tapi seharusnya
bersyukur dengan perubahan. 6.
Berikut Pabottingi memberikan ulasan terhadap novel Para Priyayi Umar Kayam di Majalah Tempo 3 Oktober 1992 dalam “Pertandingan Priyayi”.
Novel Umar Kayam ini telah memberi gambaran yang hidup tentang alam priyayi. Di sini priyayi memang tetap ditampilkan menjarak dari ortodoksi
Islam, bertahan pada praktek olah-batin leluhur, mencintai kehalusan dan pewayangan, tapi tetap tegas menolak disebut bukan muslim. Tapi, berbeda
dengan alam priayi pada karya Clifford Geertz, alam priyayi pada Kayam lebih merupakan sasaran mobilitas sosial dan lebih peka pada kepentingan
wong cilik. ‘Priyayi’ Kayam adalah priyayi yang inklusif dan egaliter. Ia tak bermaksud bersekutu sehidup-semati dengan kekuasaan, melainkan dengan
kemanusiaan.
Universitas Sumatera Utara
7. Selanjutnya, Anshoriy pernah menulis tentang budaya Jawa dalam bukunya
yang berjudul Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa, terbit tahun 2008. Buku ini layak dijadikan referensi karena berisikan butir-
butir kearifan lokal warisan nenek moyang mengenai etika kekuasaan yang dikaji dan digali dengan pendekatan ilmiah.
8. Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa
Kini, Resmi dan Tak Resmi” 1984 menguraikan konsep kekuasaan Jawa yang bertentangan dengan B.R.O’G Anderson dalam “The Idea of Power in
Javanese Culture” 1972. Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa serupa dengan pemimpin dalam semua masyarakat di dunia, seorang pemimpin
dalam suatu masyarakat yang berkebudayaan Jawa juga perlu memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang diperlukan seorang
pemimpin secara universal. Ia juga perlu memiliki semua sifat yang diperlukan sebagai syarat pemimpin yang bermutu. Hal itu dapat kita pelajari
dengan membaca secara seksama buku-buku tradisional Jawa mengenai syarat-syarat kepemimpinan. Konsep inilah yang menjadi rujukan bagi
penulis untuk menganalisis konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
Penelitian-penelitian tersebut menjadi bacaan pendukung bagi penulis terkait dengan objek penelitian. Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan
penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menganalisis etika kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan menggunakan teori hubungan kesusastraan dengan pemikiran. Konsep kekuasaan Jawa yang digunakan
dalam penelitian ini adalah berdasarkan empat komponen kekuasaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan:
Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” 1984 yaitu wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus.
2.2 Konsep 2.2.1 Definisi