Pragmatik Kesantunan Berbahasa dalam Naskah Drama Umang-Umang Karya Arifin C. Noer dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

strategi dalam hal kehalusan dalam berbahasa yang baik dan benar. Sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak berbicara, khususnya pendengar atau pembaca. ―Secara umum sopan santun berkenaan dengan hubungan antara dua pemeran serta yang boleh dinamakan dengan diri dan lain .” 14 Hal ini bermakna bahwa kesantuan melibatkan penutur dan mitra tutur. Namun tidak menutup kemungkinan, kesantunan juga ditujukan pada pihak ketiga yang ada dalam situasi tutur yang bersangkutan. Suatu tuturan bisa dianggap sopan, namun di tempat yang lain bisa saja menjadi tidak sopan. Setiap orang harus memiliki tatacara berbahasa sesuai dengan norma-norma budaya, jika tidak maka ia mendapat nilai negatif seperti, disebut sebagai orang yang sombong, egois, angkuh bahkan tidak berbudaya. Menurut Keith Allan dalam Kunjana menjelaskan, ―dengan demikian dapat ditegaskan bahwa berbicara atau bertutur sapa yang tidak baik memungkinkan setiap orang untuk dapat terlibat dan mengambil peran secara aktif dalam penuturan itu adalah aktivitas yang asosial. ” 15 Aktivitas yang asosial tersebut merupakan tindakan yang tidak santun. Menghargai orang lain menjadi hal yang sangat penting dalam bersosialisasi, karena tidak seorang pun manusia yang hidup dimuka bumi ini dapat menjalani kehidupannya secara individu tanpa bantuan dari orang lain. Perkembangan pragmatik, sebagaimana layaknya perkembangan ilmu yang lain, yang pada gilirannya memicu pendapat dari para ahli sehingga menghasilkan teori- teori baru. Awalnya terdapat teori Grice, yang mengembangkan prinsip pragmatik yang disebut Prinsip Kerja Sama PKS. Namun, terdapat pelanggaran prinsip kerjasama karena, dalam ujaran penutur tidak hanya cukup dengan mematuhi prinsip kerja sama tetapi juga diperlukakn prinsip kesantunan. Akibatnya muncul para ahli yang mengemukakan konsep kesantunan. 14 Leech, op. cit., h. 206. 15 Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik, jakarta: Erlangga, 2009, h. 22. Diantaranya yaitu pandangan Lakoff dan Leech tentang kosep kesantunan yang dirumuskan dalam prinsip kesantunan. Selanjutnya Brown dan Levinson merumuskan konsep kesantunan dengan teori kesantunan. Muncunya teori dan prinsip kesantunan tersebut karena adanya pelanggaran Prinsip Kerja Sama PKS Grice. Robin Lakoff dalam Chaer menyatakan agar ujaran kita terdengan santun oleh orang lain ada tiga kaidah yang harus dipenuhi. ―Kaidah tersebut adalah kaidah formalitas formality, kaidah ketidaktegasan hesitancy dan skala kesamaan atau kesekawanan aquality or cameraderie. ” 16 Skala formalitas memiliki arti bahwa dalam berujaran tidak boleh memaksa dan menunjukkan keangkuhan. Skala ketidaktegasan, orang tidak boleh bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur, dan disarankan penutur hendaknya bertutur sedemikian rupa sehingga mitra tuturnya dapat menentukan pilihan. Skala kesamaan atau kesekawanan berarti penutur menganggap mitra tuturnya sebagai sahabat, mempunyai rasa kesekawanan dan kesejajaran dan buatlah mitra tutur merasa senang. Kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson dalam Elizabeth, telah mengembangkan sebuah teori kesopanan yang sudah banyak diterima, yang mereka yakini memiliki validitas secara lintas budaya. ―Secara ringkasnya, teori ini menyatakan bahwa orang akan termotivasi oleh kebutuhan mereka untuk mempertahankan ―harga diri” face mereka, yaitu harga diri dalam artian sosiologis, seperti yang dikembangkan Goffman, yaitu kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan atau penghargaan dari orang lain dan mempertahankan perasaan bahwa dirinya adalah berarti dihadapan orang lain. ” 17 Brown dan Levinson membagi dua kebutuhan dalam setiap proses sosial, yaitu kebutuhan untuk diapresiasikan dan kebutuhan untuk bebas tidak terganggu. Kebutuhan yang pertama disebut muka 16 Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, Jakarta:Rineka Cipta, 2010, h. 46. 17 Elizabeth Black, Stilistika Pragmatis, Terj. dari Pragmatic Stylistic oleh Ardianto dkk, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011, h.153. positif dan muka negatif. Muka positif maksudnya mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya atau yang dimilikinya, diakui oleh orang lain sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, dikagumi dan dihargai. Contohnya pada kalimat diberikut ini: 1 Saya senang kalau anda berkunjung ke rumah saya. Kalimat di atas merupakan ujaran yang santun karena penutur senang dan menghargai tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Sedangkan muka negatif maksudnya mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar apapun yag dilakukannya dibiarkan saja oleh penutur dan tidak menyuruh melakukan sesuatu. Seperti contoh kalimat dibawah ini yang dianggap tidak santun karena penutur melarang kebebasan orang lain untuk melakukan sesuatu. 2 Jangan berteriak dalam ruangan ini Renkema mengemukakan dalam Jaszczolt ―berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terealisasi dalam bahasa. ” 18 ―Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight W yang mencangkup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat ganguan atau rate of imposition R, kedua jarak sosial atau social distance D dan ketiga, kekuasaan atau power P yang dimiliki mitra bicara. ” 19 Maksud dari bobot misalnya dapat kita contohkan ketika seseorang meminjam sesuatu barang kepada orang lain antara pulpen dan laptop maka ketika meminjam laptop seseorang akan lebih santun dibandingkan ketika meminjam pulpen, Karena bobot barang yang dipinjam berbeda. Jarak sosial dapat dicontohkan dengan ketika meminjam sesuatu kepada orang lain ujaran seseorang akan lebih santun dibandingkan kepada saudara sendiri. Saat berbicara dengan dosen 18 K.M. Jaszczolt, Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse, London:Longman,2002, h. 181. 19 Ibid. akan lebih santun dibandingkan berbicara dengan teman sendiri karena kekuasaannya berbeda. Selanjutnya Leech mengajukan teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan yang dijabarkan menjadi maksim-maksim atau bidal-bidal. ―Prinsip-prinsip kesantunan yang dikemukakan Leech ada enam maksim, yaitu maksim kebijaksanaan tact maxim, maksim penerimaan maxim of generosity, maksim kemurahan approbation maxim, maksim kerendahan hati modesty maxim, maksim kesepakatan agreement maxim, dan maksim simpati symphaty maxim. ” 20 ―Leech menggunakan istilah maksim untuk menekankan yang baik kepada pendengar, mengurangi yang tidak tepat dan membalikkan strategi pembicaraan tentang seseorang.” 21 kesantunan yang ditawar oleh Leech tersebut lebih mementingkan orang lain dan mengurangi kepentingan bagi diri sendiri. Seseorang dikatakan santun apabila ujarannya tidak merugikan orang lain walaupun dirinya sendiri mengalami kerugian. Berikut penjabaran keenam maksim tersebut: a. Maksim kebijaksanaan Tact Maxim, maksim ini kadang disebut juga dengan maksim kearifan. Maksim kebijaksanaan seseorang dapat dikatakan santun apabila tuturan itu ―memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain dan meminimalkan kerugian pada pihak lain. ” 22 Berikut contoh tuturan yang penuturnya memaksimalkan keuntungan untuk orang lain dan meminimalkan kerugian pada pihak lain. 3 A : Mari saya bawakan tas Bapak B : Jangan, tidak usah 20 Chaer, cp. cit. h. 56. 21 Jaszczol, op. cit., h. 176. 22 Leech, loc cit. Pada percakapan no 3 di atas, terlihat penutur A santun dan yang menjadi mitra tuturnya yaitu B juga menjawab dengan santun. Penutur A berusaha memberikan keuntungan bagi mitra tuturnya. 4 A : Mari saya bawakan tas Bapak B : Ini, begitu dong jadi mahasiswa Percakapan no 4 terlihat mitra tutur tidak santun, karena memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri dan meminimalkan kerugian pada diri sendiri. b. Maksim penerimaan Maxim of Generosity, maksim penerimaan juga sering disebut dengan maksim kedermawanan. Tuturan dapat dikatakan santun apabila ―buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. ” 23 Maksim penerimaan berpusat pada diri, dimana diri sendiri yang memberikan tawaran-tawaran kebaikan kepada orang lain. Berikut contoh tuturan maksim penerimaan. 5 Belikan saya minuman di warung 6 Saya bersedia membelikan minuman untuk Bapak ke warung. Kalimat 5 merupakan kalimat yang tidak santun, karena memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Kalimat tersebut tidak memenuhi maksim penerimaan, berbeda dengan kalimat 6 yang meminimalkan keuntungan pada diri sendiri dan memaksimalkan kerugian pada diri sendiri. c. Maksim kemurahan Maxim of Approbation, maksim kemurahan sering diseut juga dengan maksim pujian. Tuturan dapat dikatakan santun apabila penutur berusaha ―mengecam orang lain sesedikit mungkin dan memberikan pujian kepada orang lain sebanyak mungkin. ” 24 Untuk lebih jelasnya simak tuturan berikut ini: 7 A : Bajumu bagus sekali. 23 Leech, loc. cit. 24 Ibid, h. 207. B : Wah biasa aja, bajumu juga bagus. 8 A : Bajumu bagus sekali. B : Iya dong, baru beli ini. Tuturan 7 antara penutur dan mitra tuturnya sama-sama santun, karena sama- sama memaksimalkan rasa hormat atau memberi pujian bagi orang lain. Penutur A memaksimalkan keuntungan pada mitra tuturnya B, penutur B meminimalkan penghargaan terhadap dirinya sendiri. Tuturan 8 penutur A memperlihatkan kesantunan. A memaksimalkan pujian pada mitra tuturnya B, tetapi B berlaku tidak santun karena meminimalkan rasa hormat pada mitra tuturnya. d. Maksim kerendahan hati Maxim of Modesty, tuturan dapat dikatakan santun apabila ―meminimalkan pujian pada diri sendiri dan memaksimalkan cacian pada orang lain. ” 25 Berikut contoh yang memenuhi maksim kerendahan hati dan yang tidak memenuhi maksim kerendahan hati. 9 Maaf, saya ini orang kampung. 10 Saya ini anak kemaren, Pak. 11 Hanya saya yang bisa seperti ini. 12 Asal kalian tau, saya lebih dulu makan garam dari kalian. Tuturan 9 dan 10 menunjukkan kesantunan memenuhi maksim kerendahan hati, tuturan tersebut meminimalkan pujian bagi diri sendiri. Berbeda dengan tuturan 11 dan 12 tidak memenuhi maksim kerendahan hati, tuturan tersebut memperlihatkan kesombongan yaitu memaksimalkan pujian bagi diri sendiri. e. Maksim kesetujuan Maxim of Agreement disebut juga maksim kecocokan agar setiap penutur dan mitra tutur ―meminimalkan ketidaksesuaian antara diri sendiri 25 Jaszczolt, loc. cit. dengan orang lain dan maksimalkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain, ” 26 maka itu dikatakan dengan santun. Simak petuturan berikut: 13 A : Menurut saya, kita berangkat besok saja B : Saya setuju, sepertinya itu lebih baik. 14 A : Menurut saya, kita berangkat besok saja B : Tidak bisa, kita harus berangkat sekarang Tuturan 13 memenuhi maksim kesetujuan, penutur A dan B sama-sama setuju dan sesuai. Sedangkan tuturan 14 tidak memenuhi maksim kesetujuan karena penutur B menentang pendapat penutur A. f. Maksim simpati Maxim of Sympathy, dikatakan santun apabila ―meminimalkan antipati antara diri sendiri dengan orang lain dan maksimalkan simpati antara diri sendiri dengan orang lain. ” 27 Bila mitra tutur memperoleh keberuntungan penutur memberikan ucapan selamat. Jika mitra tutur mendapatkan musibah penutur menyampaikan rasa duka. Contoh tuturan yang menyatakan maksim simpati. 15 A : Aku berhasil memenangkan lomba cerdas cermat kemarin. B : Selamat ya, kamu memang hebat. 16 A : Saya telah mengeluarkan banyak uang untuk mendirikan perusahaan ini, tapi sampai sekarang belum juga ada hasilnya. B : Bersabarlah, tidak ada usaha yang sia-sia, nanti juga pasti ada hasilnya. 17 A : Ibu saya gagal dioperasi hari ini. B : Ya udahlah, santai aja kali. Tuturan 15 penutur B memenuhi maksim kesimpatian, karena ketika penutur A menyampaikan keberhasilannya dan mitra tuturnya B memberi selamat kepada A. Tuturan 16 merupakan contoh tuturan yang santun dan memenuhi maksim simpati karena si B menunjukan rasa simpatinya terhadap si A. Ketika A mengeluh B tetap 26 Tarigan, op. cit., h. 72. 27 Ibid. menyemangati A. Sedangkan tuturan 17 tidak memenuhi maksim kesimpatian karena B tidak menunjukkan rasa simpati sedikitpun terhadap apa yang dialami A. Sebagai kesimpulan untuk teori Leech ini dapat dinyatakan inti maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan yaitu memberikan keuntungan bagi orang lain. Inti maksim kemurahan dan maksim kerendahan hati yaitu memaksimalkan pujian pada orang lain. Sedangkan inti maksim kecocokan atau persetujuan yaitu menyatakan persesuaian dengan orang lain. Inti maksim simpati yaitu meyatakan rasa simpati terhadap orang lain.

3. Konteks

Berbicara pragmatik tidak terlepas dari pembicaraan tentang konteks. ―Telaah mengenai bagaimana cara kita melakukan sesuatu dengan memanfaatkan kalimat- kalimat adalah telaah mengenai tindak ujar speech acts, dalam menelaah tindak ujar kita harus menyadari betapa pentingnya konteks ucapan.” 28 Istilah konteks didefenisikan oleh Mey yang dikutip oleh F.X. Nadar yaitu, ―situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta petuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami.” 29 Selanjutnya pentingnya konteks juga ditekan oleh Nuri Nurhaidah yang menyebutkan bahwa ―Konteks adalah rangkaian dari asumsi-asumsi untuk menghasilkan efek dari sebuah tu turan.” 30 Setiap bertutur dalam komunikasi penutur dan mitra tutur berada dalam konteks tertentu yang sama-sama telah mereka ketahui. Mitra tutur dapat memahami arti dari ujaran penutur berdasarkan konteks dalam tuturan tersebut. ―Hymes membuat akronim SPEAKING dalam permasalahan konteks yaitu, settings, participants, ends, act of sequence, keys, instrumentalis norms dan genres 28 Tarigan, loc. cit. 29 F.X Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009, h.4. 30 Nurhaidah, op. cit., h. 54. untuk mempermudah pola- pola komunikasi,” 31 dikutip oleh F.X Nadar. Berikut uraian mengenai SPEAKING. a. S merupakan singkatan dari settinglatar dan scenesuasana. Setting mengacu pada waktu dan tempat saat peristiwa tutur berlangsung. Sedangkan scene mengacu pada adegan yang terjadi saat tuturan berlangsung. b. P merupakan singkatan dari partisipantpeserta. Semua yang terlibat dalam peristiwa tutur, merupakan peserta tuturan. c. E adalah singkatan dari enstujuan. Mengacu pada hasil akhir dari respon percakapan, dan tujuan personal yang dicari oleh peserta percakapan. d. A adalah singkatan dari act sequenceurutan tindakan. Mengacu pada bentuk dan isi yang aktual dari kata-kata yang digunakan. e. K adalah singkatan dari keykunci. Mengacu pada nada dan cara tuturan itu diucapkan, diantaranya serius, mencekam, menakutkan, kegembiraan, kelembutan. Kunci yang dimaksud adalah pada gerak tubuh. f. I adalah singkatan instrumentalitiessarana. Mengacu pada saluran verbal, nonverbal, fisik bentuk-bentuk tuturan yang diambil repertoar masyarakat. g. N merupakan singkatan dari normsnorma. Merupakan perilaku tertentu yang berkaitan erat dengan peristiwa tutur baik dari voelume suara, ekspresi dan gerak tubuh. h. G merupakan singkatan dari genrejenis. Merupakan jenis bahasa ujaran, seperti ungkapan, pantun, pribahasa, motto, nasehat, lelucon, yang semuanya ditandai dengan cara yang tidak biasa. 32 Jadi Konteks situasi yang dimaksud adalah segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, kondisi psikologis penutur, respons lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya. 31 Nadar, op, cit., h. 7. 32 Ibid., h. 56.

B. Drama

Sampai sekarang belum ada kesepakatan baku secara universal tentang pengertian sastra karena sifat sastra yang dinamis terus berkembang. Sapardi Djoko Damono memaparkan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya: bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. 33 Medium sastra adalah bahasa, sehingga pembaca sastra harus memahami kaidah-kaidah bahasa yang digunakan dalam teks sastra. ―Horatius adalah seorang pemikir Romawi menyatakan bahwa sastra berfungsi sebagai hiburan dan memberi manfaat bagi pembacanya, yang disebutnya ―dulce et utile”.” 34 Sastra digunakan untuk menyampaikan pesan tentang sesuatu yang baik dan buruk. Biasanya penikmat sastra akan mendapatkan hiburan setelah membaca sebuah karya sastra. Saat sekarang ini peminat sastra semakin banyak. Jenis karya sastra pun beragam, mulai dari novel, puisi, cerpen, prosa fiksi dan drama. Indonesia mempunyai banyak pengarang dan dan penyair hebat yang telah menghasilkan berbagai jenis karya sastra dan memperoleh banyak penghargaan. Salah satu jenis karya sastra yang menarik adalah drama, karena teks drama mempunyai ciri yaitu ada petunjuk lakunya, sehingga pembaca lebih bisa membayangkan adegan yang terjadi dalam teks drama tersebut. Banyak pengarang Indonesia yang menulis teks drama, salah satunya Arifin C. Noer yang telah banyak memperoleh penghargaan baik dalam negeri maupun luar negeri.

1. Pegertian Drama

Sebagai salah satu genre sastra, drama mempunyai tujuan yang lain dari hasil karya sastra yang berbentuk prosa dan puisi. Drama mempunyai tujuan khusus yaitu untuk dipentaskan atau dipertunjukkan. ―Kata drama berasal dari kata Yunani dramai 33 Endah t. Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, h. 12. 34 Melani Budianta,dkk, Membaca Sastra, Magelang:Indonesia Tera, 2003, h. 19. yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya., jadi drama berarti perbuatan atau tindakan. ” 35 Drama datang dari khazanah kebudayaan Barat. Baik drama maupun teater muncul dari rangkaian upacara keagamaan, secara ritual pemujaan terhadap para dewa. ”Menurut Ferdinan Brunetiere dan Balthazar Vergahen drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku. ” 36 Dalam drama seseorang memainkan peran dan bisa menjadi siapa saja, sesuai keinginan sutradara. ―Sedangkan pengertian drama menurut Moulton adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak, drama adalah menyaksikan kehidupan manusia yang diekpresikan secara langsung. ” 37 Drama adalah perasaan manusia yang beraksi di depan mata kita. Itu berarti bahwa aksi dari suatu perasaan mendasari keseluruhan drama. ―Drama termasuk ragam sastra karena ceritanya lakon drama bersifat imajinatif dalam bentuk naskah drama. ” 38 Apakah sebuah drama itu nantinya dipentaskan atau hanya sekedar dibaca saja, pada intinya yang disebut dengan drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan adanya dialogue atau percakapan di antara tokoh-tokoh yang ada dan adanya petunjuk laku.

2. Karakteristik Drama

Sebagai sebuah bentuk karya sastra, penyajian drama berbeda dengan bentuk karya sastra lainnya. ―Sebuah drama pada umumnya menyangkut dua aspek , yakni aspek cerita bagian dari sastra, yang kedua adalah aspek pementasan yang berhubungan erat dengan seni lakon atau seni teater. Kedua aspek ini walaupun sepintas lalu seperti terpisah, yang satu berupa naskah dan yang lain berupa pementasan, namun pada dasarnya merupakan satu totalitas. ” 39 Kedua aspek dalam 35 Hasanudin, Drama karya dalam dua dimensi, Bandung: Angkasa, 1996, h.2 36 ibid, h. 2 37 Ibid, h.2 38 WidjokoEndang Hidayat, Tori Sejarah dan Sastra Indonesia, Bandung : UPI PRESS, 2006, h. 66. 39 Ibid, h.157. drama yaitu aspek cerita dan aspek pementasan saling berkaitan adanya pementasan karena adanya cerita. Sebagai genre sastra, drama dibentuk oleh unsur-unsur sebagaimana terlihat dalam genre sastra lainnya, terutama fiksi. ―Secara umum terdapat unsur yang yang membentuk dan membangun dari dalam karya itu sendiri yang sering disebut unsur intrinsik dan unsur yang mempengaruhi penciptaan karya yang berasal dari luar dan disebut unsur ekstrinsik. ” 40 Dari dalam karya itu sendiri cerita dibentuk oleh unsur- unsur penokohan, alur, latar, konflik-konflik, tema dan amanat, serta aspek gaya bahasa. Karya sastra dapat terbentuk juga karena kekreatifan seorang pengarang. Pengalaman hidup dapat saja menjadi pendorong bagi pengarang untuk membuat cerita, dorongan dari luar tersebut merupakan unsur ekstrinsik dari sebuah naskah drama. Drama dalam kapasitas sebagai seni pertunjukan hanya dibentuk dan dibangun oleh unsur-unsur yang yang menyebabkan suatu pertunjukan dapat terlaksana dan terselenggara. ―Menurut Damono ada tiga unsur yang merupakan satu kesatuan menyebabkan drama dapat dipertunjukkan, yaitu unsur naskah, unsur pementasan, dan unsur penonton. Pada unsur pementasan terurai lagi atas beberapa bagian misalnya komposisi pentas, tata busana, tata rias, pengcahayaan, tata suara. ” 41 Ketika sebuah teks drama akan dipentaskan, sutradara dan timnya harus memikirkan busana yang akan digunakan oleh pemain, bagaimana tata riasnya, tata panggung, pengcahayaan dan lain sebagainya yang mempengaruhi keberhasilan sebuah pertunjukkan atau pementasan. Pada intinya karakteristik dalam drama itu ada dua yaitu drama sebagai genre sastra dan drama sebagai pertunjukan atau seni lakon. Dalam hal ini penulis mengkaji salah satu karya Arifin C. Noer, drama yang berjudul Umang-Umang. 40 Hasanudin, op.cit., h. 8 41 Ibid C. Biografi Arifin C. Noer ―Arifin Chairin Noer lahir di Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret1941.” 42 Beliau lebih dikenal sebagai Arifin C. Noer. Beliau adalah sutradara teater, dan film yang beberapa kali memenangkan Piala Citra untuk penghargaan film terbaik dan penulis skenario terbaik. Kepiawaiannya tidak hanya itu saja beliau juga menulis cerita dan skenario. Film-film yang disutradari oleh Arifin adalah film-film bermutu dan laku, tidak heran filmnya mendapatkan dan memenangkan berbagai penghargaan. Arifin C. Noer adalah anak kedua dari Mohammad Adnan. Menamatkan SD di Taman Siswa, Cirebon, SMP Muhammadiyah, Cirebon, lalu SMA Negeri Cirebon tetapi tidak tamat, kemudian pindah ke SMA Jurnalistik, Solo. Setelah itu ia kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta. Arifin C. Noer menikmati pendidikan mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Ketika masa SMA Arifin bersekolah di dua tempat karena sekolah yang di Cirebon tidak tamat beliau pindah ke SMA Jurnalisitik. Arifin C. Noer Mulai menulis cerpen dan puisi sejak SMP dan mengirimkannya ke majalah yang terbit di Cirebon dan Bandung. Semasa sekolah ia bergabung dengan Lingkaran Drama Rendra, dan menjadi anggota Himpunan Sastrawan Surakarta. Di sini ia menemukan latar belakang teaternya yang kuat. Dalam kelompok drama bentukan Rendra tersebut ia juga mulai menulis dan menyutradarai lakon-lakonnya sendiri, seperti Kapai Kapai, Tengul, Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang dan Sandek Pemuda Pekerja. Tak diragukan lagi kepiawaian Arifin dalam menulis itu semua terbukti dari karya-karyanya yang sudah banyak dan bermutu. ―Kreativitasnya di bidang penulisan puisi dan drama makin berkembang sejak Pindah ke Yogyakarta di tahun 1960. Kemudian saat kuliah di Universitas Cokroaminoto, ia bergabung dengan Teater Muslim yang dipimpin Mohammad 42 Hardo S., ―Arifin C. Noer, Sineas Lengkap”, Suara Karya Minggu, Jakarta, Minggu ke 3 Agustus 1992, h. 3. Diponegoro. ” 43 Ia kemudian hijrah ke Jakarta dan mendirikan Teater Kecil, di tengah minat dan impiannya sebagai seniman, ia sempat meniti karier sebagai manajer personalia Yayasan Dana Bantuan Haji Indonesia dan wartawan Harian Pelopor Baru. Naskah-naskahnya menarik minat para dramawan dari generasi yang lebih muda, sehingga banyak dipentaskan di mana-mana. Karyanya memberi sumbangan besar bagi perkembangan seni peran di Indonesia. ―Putu Wijaya menyebut Arifin sebagai pelopor teater modern Indonesia. Tak sekadar dramawan dan sutradara, ia juga seorang pemikir.” 44 Teaternya akrab dengan publik. Ia memasukkan unsur-unsur lenong, stanbul, boneka marionet, wayang kulit, wayang golek, dan melodi pesisir. Menurut penyair Taufiq Ismail, Arifin adalah pembela kaum miskin. Arifin kemudian berkiprah di dunia layar perak sebagai sutradara. ―Pada film Pemberang ia dinyatakan sebagai penulis skenario terbaik di Festival Film Asia 1972 dan mendapat piala The Golden Harvest. Ia kembali terpilih sebagai penulis skenario terbaik untuk film Rio Anakku dan Melawan Badai pada Festival Film Indonesia 1978. Ia mendapat Piala Citra. ” 45 Penghargaan yang diperoleh Arifin tak pernah puas iya dapatkan iya terus berkarya. ―Film perdananya Suci Sang Primadona, 1977, melahirkan pendatang baru Joice Erna, yang memenangkan Piala Citra sebagai aktris terbaik Festival Film Indonesia 1978. ” 46 Film perdananya yang sudah menghasilkan pemain berkualitas, memacu Arifin untuk terus berkarya dan terus menerus film-film selanjut Arifin meraih penghargaan. Menyusul film-film lainnya: Petualangan-Petualangan, Harmonikaku, Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa, Matahari-Matahari. “Serangan Fajar dinilai sebagai film 43 Hardo. S. Loc. Cit. 44 Heryus Saputro, ―Jejak Langkah Arifin C. Noer”, Femina, jakarta, 18 0ktober 1995, h. 10. 45 Hardo. S., Loc. Cit. 46 Ibid.

Dokumen yang terkait

Perilaku Mayarakat Urban dalam Drama Mega,Mega Karya Arifin C. Noer dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA

14 70 139

Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang atawa Orkes Madun II dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra

11 138 109

KESANTUNAN BERBAHASA DALAM NASKAH DRAMA BILA MALAM BERTAMBAH MALAM KARYA PUTU WIJAYA DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA

12 109 94

Orientasi Masa Depan Tokoh Remaja dalam Naskah Lakon AAIIUU Karya Arifin C. Noer dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA) Kelas XII

0 20 163

ANALISIS PERCAKAPAN TERHADAP DRAMA KAPAI-KAPAI KARYA ARIFIN C. NOER

1 8 16

CITRAAN DALAM NASKAH DRAMA MATAHARI DI SEBUAH JALAN Citraan Dalam Naskah Drama Matahari Di Sebuah Jalan Kecil Karya Arifin C Noer : Kajian Stilistika Dan Makna Yang Terkandung Di Dalamnya Serta Implementasinya Dalam Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Di SMA.

0 3 13

CITRAAN DALAM NASKAH DRAMA MATAHARI DI SEBUAH JALAN Citraan Dalam Naskah Drama Matahari Di Sebuah Jalan Kecil Karya Arifin C Noer : Kajian Stilistika Dan Makna Yang Terkandung Di Dalamnya Serta Implementasinya Dalam Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Di SMA.

1 9 20

RESISTDALAM Resistensi Arifin C. Noer Terhadap Kondisi Sosial Dalam Naskah Drama Aa-Ii-Uu: Analisis Sosiologi Sastra.

0 2 11

PENDAHULUAN Resistensi Arifin C. Noer Terhadap Kondisi Sosial Dalam Naskah Drama Aa-Ii-Uu: Analisis Sosiologi Sastra.

2 14 13

RESISTENSI ARIFIN C. NOER TERHADAP KONDISI SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA Aa – Ii – Uu: ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA Resistensi Arifin C. Noer Terhadap Kondisi Sosial Dalam Naskah Drama Aa-Ii-Uu: Analisis Sosiologi Sastra.

0 4 18