Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, tapi merupakan ikatan suci mitsaqan ghalizha yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah sebagaimana Firman-Nya dalam surah An-Nisa’ [4] ayat 21 1 . Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan itu harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah dapat terwujud. Tapi ada saat-saat dalam kehidupan manusia ketika tak mungkin baginya melanjutkan hubungan yang akrab dengan pasangannya, maka apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas ditengah jalan. Syetan, musuh yang nyata bagi manusia, memainkan peranannya pada puncak kebanggaan peradaban manusia sehingga seringkali terjadi nasehat baik dan perundingan bijaksana tidak berfungsi. Dalam keadaan demikian perkawinan tak mungkin lagi dipertahankan, sehingga berpisah secara baik-baik dianggap lebih baik daripada terseret berkepanjangan tak menentu, membuat rumah tangga dan keluarga bagaikan neraka. 1 QS. An-Nisa’ [4] : 21: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul bercampur dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka isteri-isterimu telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar dari sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan, pada dasarnya adalah kontrak. 2 Konsekwensinya ia dapat bertahan dan dapat pula terputus, salah satu sebab putusnya perkawinan adalah dengan jalan thalaq . Sebagai suatu ikatan, perkawinan harus diupayakan terjalin utuh. Dalam keadaan yang tak dapat dihindarkan perceraian dibolehkan dengan alasan-alasan yang diperbolehkan dan tidak bisa dihindarkan kecuali berpisah, tapi Allah sangat murka terhadap perbuatan itu sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. ﻡ 3 Artinya: Perbuatan halal yang paling dimurkai Allah adalah thalaq. HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dan disahehkan oleh Hakim Pada dasarnya putusnya sebuah perkawinan itu terjadi karena dua hal; pertama karena kematian, dan kedua karena perceraian. Dalam hal putusnya perkawinan karena perceraian, kemudian terdapat ketentuan perundangan di Indonesia dan beberapa Negara muslim yang mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Islam menyerahkan hak cerai sepenuhnya terhadap suami, tapi Islam juga tidak seotoriter itu, istri juga punya hak menuntut cerai terhadap suami ke pengadilan ketika suami tidak memberikan nafkah lahir maupun batin bahkan menurut Mazhab 2 Lihat kembali Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : Rajawali Pers, 1995, 3 Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Bulughu Al-Maram Min Adillatu Al-Ahkam, Surabaya: Al-Hidayah h. 223 Hanafi ketika istri bersuamikan pria yang tidak memberikan nafkah lahir dan batin atau mempunyai penyakit cacar yang merusak kebahagian rumah tangga maka dia punya hak cerai langsung tanpa melalui proses gugatan. 4 Menurut ketentuan hukum Islam, thalaq adalah termasuk salah satu hak suami, Allah menjadikan hak thalaq di tangan suami, tidak menjadikan hak thalaq itu di tangan orang lain baik orang lain itu istri, saksi, ataupun Pengadilan sebagaimana salah satu dari Firman Allah SWT di antaranya surah Al-Ahzab [33] ayat 49 5 Ibnu Qayyim berkata bahwa thalaq itu menjadi hak bagi orang yang menikah, karena itulah yang berhak menahan istri, yaitu merujuknya. Suami tidak memerlukan persaksian untuk mempergunakan haknya. Tidak ada riwayat dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya sesuatu yang menjadikan dalil dan alasan disyari’atkanya persaksian thalaq. 6 Terkait dengan masalah status thalaq di luar sidang Pengadilan Agama, bahsul masail NU dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta Tahun 1989 telah memberikan keputusan hukum bahwa thalaq adalah hak prerogatif suami yang bisa dijatuhkan kapanpun dan dimanapun bahkan tanpa alasan sekalipun. Oleh karena itu apabila suami belum menjatuhkan thalaq di luar Pengadilan Agama, maka thalaq yang 4 Thahir Al-Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h. 94. 5 QS. Al-Ahzab [33] : 49: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mutah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. 6 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencana, 2003, h. 209. dijatuhkan di depan Hakim Agama itu dihitung thalaq yang pertama dan sejak itu pula dihitung iddahnya. Jika suami telah menjatuhkan thalaq di luar Pengadilan Agama, maka thalaq yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu merupakan thalaq yang kedua dan seterusnya jika masih dalam waktu iddah rajiyyah. 7 Sedangkan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya yang disidangkan pada hari Jum’at, 8 Jumadil ula 1428 H 25 Mei 2007 M memberikan sebuah putusan bahwa perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan, cerai thalaq dilakukan dengan cara suami mengikrarkan thalaq-nya di depan sidang Pengadilan dan cerai gugat diputuskan oleh hakim. 8 Perceraian yang dilakukan di luar sidang Pengadilan dinyatakan tidak sah. Pandangan NU dan Muhammadiyah di atas mencerminkan suatu hal yang kontradiktif. Masing-masing memiliki metode istimbat sendiri-sendiri Di dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, hal yang sama juga di jelaskan dalam KHI yang mengharuskan thalaq ke pengadilan. Perceraian yang dilakukan kepengadilan mempunyai kesan adanya saksi dalam thalaq sebagaimana yang dijelasakan dalam Pasal 16 PP No 9 Tahun 1975 bahwa pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian, sedangkan di dalam 7 Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan jilid II, Jakarta: Qultum Media 2004, cet, I h. 69-70. 8 Ahmad Azhar Basyir Mantan Ketua Majelis Tarjih Muhammaddiyah, Thalaq di Luar Pengadilan , Artikel diakses pada 26 juli 2009 dari http:blog.unila.ac.id fiqh jumhur ulama tidak mengharuskan adanya saksi, kecuali golongan syi’ah yang mengharuskan adanya dua saksi dalam thalaq 9 . Pendapat ini didasarkan pada Firman Allah SAW dalam surah At-Thalaq [65] ayat 2. 10 Dengan adanya masalah seperti tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang sah tidaknya thalaq di luar Pengadilan dan perlukah saksi terhadapa thalaq dalam pandangan Fiqh, UU No 11974 dan KHI dengan mengangkat sebuah tema Status Hukum Thalaq di Luar Pengadilan Dalam Perspektif Fiqh, UU No 11974 dan KHI , karena disatu sisi NU mengatakan sah thalaq diluar proses persidangan mulai saat itu iddahnya berlaku. Sedangkan Majelis Tarjih Muhammaddiyah mengatakan thalaq harus melalui proses persidangan dan suami mengikrarkan thalaq-nya didepan sidang Pengadilan baru iddahnya terhitung saat itu dan Undang-undang sendiri mempunyai kesan adanya saksi thalaq yang mengharuskan thalaq ke pengadilan 9 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Terjemahan Masykur A.B, Afif Muhammad Idrus Al-Khaff, Jakarta: Lentera, 2007, cet, 6, h. 449 10 QS. At-Thalaq [65]: 2: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah