BAB IV THALAQ DI LUAR PENGADILAN
A. Status Hukum
Diskursus tentang perceraian menurut perundang-undangan di Indonesia sebenarnya masih menimbulkan tanda tanya besar. Hal ini disebabkan oleh besarnya
peran yang dimiliki lembaga peradilan untuk menentukan putus tidaknya sebuah perkawinan. Sebagaimanan yang telah diungkapkan di muka, baik UUP No 1 Tahun
1974, PP No 9 Tahun 1975 dan KHI begitu juga UUPA No 7 Tahun 1989 semuanya menyatakan bahwa: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Dalam kaitan hal ini Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya yang disidangkan pada hari Jum’at, 8 Jumadil ula 1428 H 25 Mei 2007 M memberikan
sebuah putusan bahwa perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan, cerai thalaq dilakukan dengan cara suami mengikrarkan thalaq-nya di
depan sidang Pengadilan dan cerai gugat diputuskan oleh hakim. Alasan mereka adalah bahwa: Penjatuhan thalaq di depan sidang pengadilan bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan terhadap institusi keluarga dan perwujudan kepastian hukum dimana perkawinan tidak dengan begitu mudah
diputuskan. Pemutusan harus didasarkan kepada penelitian apakah alasan-alasannya sudah terpenuhi. Dengan demikian thalaq yang dijatuhkan di depan pengadilan
berarti thalaq tersebut telah melalui pemeriksaan terhadap alasan-alasannya melalui proses sidang pengadilan.
Perceraian dapat terjadi karena permohonan suami kepada Pengadilan untuk menyaksikan ikrar thalaq yang disebut cerai thalaq atau karena gugatan isteri yang
disebut cerai gugat. Untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup. Meskipun termasuk ke dalam wilayah hukum privat, persoalan cerai sesungguhnya
juga menyangkut kepentingan luas, yakni ketentraman rumah tangga, nasib anak- anak yang orang tuanya bercerai, bahkan menyangkut kepentingan lebih luas lagi,
yaitu tentang kepastian dalam masyarakat apakah suatu pasangan telah berpisah atau masih dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu perceraian tidak dapat dilakukan
secara serampangan. Sebaliknya harus dilakukan pengaturan sedemikian rupa agar terwujud kemaslahatan dan ketertiban di dalam masyarakat. Dalam hadist Nabi SAW
dinyatakan bahwa perceraian itu adalah suatu hal yang halal tetapi sangat dibenci oleh Allah. Nabi SAW bersabda,
ﻡ
62
Suatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah thalaq [
HR. Abu Dawud
dan al-Baihaqi].
62
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Bulughu Al-Maram Min Adillatu Al-Ahkam, Surabaya: Al-Hidayah h. 223
Artinya perceraian jangan dianggap enteng dan dipermudah-mudah karena peceraian itu sangat dibenci oleh Allah meskipun halal. Wujud dari tidak
mengenteng-entengkan perceraian itu adalah bahwa ia hanya dapat dilakukan bila telah terpenuhi alasan-alasan hukum yang cukup untuk melakukannya. Di samping
itu harus dilakukan melalui pemeriksaan pengadilan untuk membuktikan apakah alasannya sudah terpenuhi atau belum. Oleh karena itulah ijtihad hukum Islam
moderen, seperti tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Ps.115 misalnya, mewajibkan prosedur perceraian itu melalui pengadilan; dan bahwa
perceraian terjadi terhitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan KHI, Ps.123. Memang dalam fiqh klasik, suami diberi hak yang luas
untuk menjatuhkan thalaq, sehingga kapan dan di manapun ia mengucapkannya, thalaq itu jatuh seketika. Keadaan seperti ini dipandang dari sudut pemeliharaan
kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban masyarakat tidak mewujudkan maslahat bahkan banyak merugikan terutama bagi kaum wanita isteri. Oleh karena
itu demi terwujudnya kemaslahatan, maka perceraian harus diproses melalui pengadilan. Jadi di sini memang ada perubahan hukum, yaitu dari kebolehan suami
menjatuhkan thalaq kapan dan di manapun menjadi keharusan menjatuhkannya di depan sidang pengadilan. Perubahan hukum semacam ini adalah sah
sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
ﻡ6 Q U 2 [
M 23یP
63
63
Abdul Aziz Muhammad Azami. Qawaid al-Fiqhiyyah, Darul Hadits al-Qahirah.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman [Qawaid al-Figh hlm. 19].
Ibnu al-Qayyim menyatakan
64
: “Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat”
Ilam al- Muwaqqiin, Juz III, hlm. 3.
K.H. Ahmad Azhar Basyir mantan Ketua Majelis Tarjih dan Ketua PP Muhammadiyah, mengenai masalah ini, menyatakan: Perceraian yang dilakukan di
muka pengadilan lebih menjamin persesuaiannya dengan pedoman Islam tentang perceraian, sebab sebelum ada keputusan terlebih dulu diadakan penelitian tentang
apakah alasan-alasannya cukup kuat untuk terjadi perceraian antara suami-istri. Kecuali itu dimungkinkan pula pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum
mengambil keputusan bercerai antara suami dan istri. [Hukum Perkawinan Islam, h. 83-84].
Pada bagian lain dalam buku yang sama K.H. Ahmad Azhar menjelaskan lebih lanjut, Untuk menjaga agar perceraian jangan terlalu mudah terjadi, dengan
pertimbangan maslahat mursalah tidak ada keberatannya apabila diambil ketentuan dengan jalan Undang-undang bahwa setiap perceraian apapun bentuknya diharuskan
melalui pengadilan.
65
Selain dari itu dapat pula ditegaskan bahwa penjatuhan thalaq di luar sidang pengadilan, mengingat mudarat yang ditimbulkannya, harus dilarang
64
Abi Abdullah Muhammad Bin Abi Bakr Bin Ayyubi al-Ma’ruf Bi Ibni Qayyim Al- jauziyah,I’lam al-Muwaqqi’in, Saudi Arabiyah, juz III
65
Ahmad Azhar Basyir Mantan Ketua Majelis Tarjih Muhammaddiyah, Thalaq di Luar Pengadilan,
Artikel diakses pada 26 juli 2009 dari http:blog.unila.ac.id
dan dinyatakan tidak sah berdasarkan prinsip sadduz-zariah [menutup pintu yang membawa kepada kemudaratan]. Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa, - Perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan: cerai thalaq
dilakukan dengan cara suami mengikrarkan thalaqnya di depan sidang pengadilan, dan cerai gugat diputuskan oleh hakim;
- Perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah.
Bagi umat Islam aturan mengenai perceraian ini merupakan ganjalan yang relatif masih besar atau sekurang-kurangnya masih menjadi tanda tanya yang belum
terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan kesadaran hukum yang selama ini berkembang, yaitu aturan fiqh. Aturan fiqh menginzinkan perceraian atas dasar
kerelaan kedua belah pihak, atau atas inisiatif suami atau juga inisiatif istri secara sepihak, bahkan perceraian boleh dilakukan tanpa campur tangan lembaga peradilan.
Menurut ketentuan hukum islam, thalaq adalah termasuk salah satu hak suami. Allah menjadikan hak thalaq di tangan suami, tidak menjadikan hak thalaq di
tangan orang lain baik itu istri, saksi ataupun pengadilan. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Ahzab 33 : ayat 49:
012 34 5 5OPQ D
RH:5 BC
; = 5U
V F W
X +, GH WY 4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
QS. al- Ahzab 33 ayat 49
Islam memberikan hak thalaq hanya kepada laki-laki saja. Karena ia yang lebih bersihkeras untuk melanggengkan tali perkawinannya yang dibiayainya dengan
hartanya begitu besar, sehingga kalau dia mau cerai atau kawin lagi ia perlu membiayainya lagi dalam jumlah yang sama atau lebih besar.
Para ulama mazhab fiqh Malik, Hanafi, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa suami yang berakal, balig dan bebas memilih, dialah yang boleh menjatuhkan thalaq
dan thalaqnya di pandang sah meskipun main-main dalam pengucapan thalaqnya berdasarkan hadits dari Abi Hurairah:
, 3+ \ ی
+ I
-ﺱ -+
-\ ﺱ
, ]
4 0 4
4 5 6 I
1 23 ]
] 78
9
F 3 P 78 [
66
Artinya: dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “tiga perkara kesungguhannya dipandang benar, dan main-mainnya dipandang benar pula, yaitu:
nikah, thalaq dan ruju’ HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmizi
Mengenai hal thalaq yang dilakukan kepengadilan ulama mazhab fiqh berbeda pendapat dalam dalam hal boleh tidaknya thalaq kepengadilan sebagaimana
yang akan dijelaskan dibawah ini
67
: Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad Ibnu Hambal membolehkan perceraian
dengan putusan pengadilan, jika istri menuntutnya, karena tidak diberikannya nafkah pokok dan suami tidak mempunyai simpanan harta. Alasan-alasan bagi pendapat ini
sebagai berikut:
66
Al-‘Asqalani, Bulughu Al-Maram, h. 223
67
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 87-89.
1. Suami berkewajiban memelihara istrinya dengan baik atau mencerainya
dengan baik, karena Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 229:
+ ,
- .
Artinya: Thalaq yang dapat dirujuki dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik
efB +, GHCp •C
Fd Bp
25 5YŠ u
,5 B [Z] 5
] j ;
2 q
- 5U
Artinya: Dan janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat
demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
2. Jika diakui bahwa pengadilan boleh menjatuhkan thalaq karena cacat suami,
maka karena alas an nafkah sebenarnya dapat dikatakan lebih membahayaka dan menyakitkan istri dari pada cacat tersebut.
Imam Hanafi berpendapat bahwa tidak boleh pengadilan menjatuhkan thalaq karena alasannafkah, baik dikarenakan suami tidak mau memberinya atau karena
berat dan tidak mampu. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah dalam surah Al- Thalaq [65] ayat 7
Fh
; ] ]ƒ
,E t-] ]ƒ
,5 B Bd2 Q
- h 5
x- Q |d
Fh D
+W -
BC •D
u ef
•D
˜ 5U
mf D
5 ]_
BC u
Z] •B`]ƒ •D
]2 5. +
:+Ÿ
Artinya
:
hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Dalam hal thalaq di luar pengadilan ulama NU juga mengeluarkan fatwanya yang berbeda dari Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam bahsul masailnya yang ke-28
di Yogyakarta Tahun 1989 dengan memberikan keputusan bahwa thalaq adalah hak progresif suami yang bisa dijatuhkan kapan dan dimanapun bahkan tanpa alasan
sekalipun. Oleh karena itu apabila suami belum menjatuhkan thalaq di luar Pengadilan Agama, maka thalaq yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu dihitung
thalaq yang pertama dan sejak itu pula dihitung iddahnya. Jika suami telah menjatuhkan thalaq di luar Pengadilan Agama, maka thalaq yang dijatuhkan di depan
Hakim Agama itu merupakan thalaq yang kedua dan seterusnya jika masih dalam waktu iddah rajiyyah.
68
Mereka berpedoman pada kitab-kitab fiqh, diantaranya ialah I’anat at-Thalibin dan Bughyatul Mustarsyidin dll.
Berdasarkan fatwa NU diatas yang mendasari fatwanya pada kitab-kitab fiqh terdahulu thalaq itu sah walaupun tanpa melalui proses pengadilan dan memang tidak
ada suatu ayat yang mengharuskan thalaq melalui proses pengadilan, yang ada hanyalah pengangkatan hakam untuk mendamaikan katika suami istri bersiteru
sebagaimana firman-Nya dalam surah An-Nisa [4] ayat 35
68
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan jilid II, Jakarta: Qultum Media 2004, cet, I h. 69-70.
B
pq †
Br0 ‡ 5.
H ˆ] [. …W ]-
,E t
G …W ]-B
,E D
]_ G
D ]2M}
‰ {
Š BH •D
D ]W0 ‡ `5.
9 D
5 Qy ”W`
5 :} ]q
€M
Artinya
:
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.
QS. An-Nisa [4]: 35.
B. Saksi Thalaq