Status hukum thalaq di luar pengadilan dalam perspektif fiqh, UU NO 1/1974 dan kompilasi hukum Islam

(1)

STATUS HUKUM THALAQ DI LUAR PENGADILAN

DALAM PERSPEKTIF FIQH, UU NO 1/1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh :

Dofir

Nim : 105044101363

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AS-SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H / 2010 M


(2)

STATUS HUKUM THALAQ DI LUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF FIQH, UU NO 1/1974 DAN KHI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Nama : Dofir

Nim : 105044101363

Di bawah bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Umar al-Haddad, MA Sri Hidayati, M. Ag

NIP : 196809041994011001 NIP : 197102151997032002

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AS-SYAHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul Status Hukum Thalaq Di Luar Pengadilan Perspektif Fiqh, UU No 1 Tahun 1974 dan KHI, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Maret 2010. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyah.

Jakarta, 18 Maret 2010 Dekan,

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil. SH., MA (...) NIP : 195003061976031001

Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...) NIP : 197202241998031003

Pembimbing I : Dr. Umar al-Haddad, MA (...) NIP : 196809041994011001

Pembimbing II : Sri Hidayati, M.Ag (...) NIP : 197102151997032002

Penguji I : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag (...) NIP : 197112121995031001

Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...) : NIP : 197202241998031003


(4)

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Dofir

Nim : 105044101363

Semester/jurussan/prodi : 10/Peradilan Agama/Ahwal As-Syahsiyah

Fakultas : Syari’ah dan Hukum

Dengan ini mohon penundaan pembayaran kuliah semester sepuluh (10) yang akan di bayarkan pada tanggal 04 Maret 2010 dengan segala dendanya.

Demikian atas perhatian dan kebijaksanaannya saya ucapkan terima kasih.

Mengetahui Jakarta 04

Maret 2010 A.N. Dekan

Pembantu dekan bidang administrasi Dofir

105044101363 Dra. Hj. Hermawati

Nip: 150227408 Tembusan:


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kita kepada Allah SWT yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk kepada kita, sehingga penulisan skripsi yang berjudul Status Hukum Thalaq di Luar Pengadilan Perspektif Fiqh, UU No 1/1974 dan KHI untuk syarat mendapatkan gelar starata 1 (S1) dapat dirampungkan. Dengan skripsi ini mudah-mudahan bermanfaat bagi kita sekalian. amin. Shalawan dan salam marilah kita tetap haturkan kepada Nabi kita, Nabi Muhammad SAW yang telah mengenalkan kita pada agama islam.

Dengan telah selesainya skripsi ini saya juga ucapkan banyak-banyak terimakasih kepada semua yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik bantuan berupa do’a tenaga harta dan fikiran saya ucapkan Jaza Kumullah Biahsanal Jaza terutama kepada:

1. Terima ksih yang sedalam-dalamnya kepada semua gura yang telah memberikan pengetahuan sehingga saya bisa mendapatkan gelar S1, terutama kepada K.H. Abdul Fatah Ahmad Faqih dan Drs. K.H. Tohir Abdurrahman. 2. Terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak dan Ibu saya yang telah

membesarkan, merawat, membingbing dan membiayai saya dalam menuntut ilmu


(6)

3. Terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada pembingbing skripsi saya Dr. Umar al-Haddad, MA yang telah membingbing saya dalam penulisan skripsi ini, dan trimaksih juga kepada Sri. Hidayati, S. Ag, MA selaku pembingbing skripsi saya yang telah membingbing saya sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

4. Terimaksih juga kepada seluruh pegawai Kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) dengan segala fasilitas yang diberikan.

Terakhir, kepada Allah AWT penulis mohon taufik dan hidayah-Nya, serta memanjatkan rasa syukur atas telah selesainya penulisan skripsi ini, karena dengan petunjuk dan lindungan-Nya jualah penulisan skripsi dapat diselesaikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan menjadi amal sholeh bagi penulis disisi Allah. Amin.

Jakarta, 25 Februari 2010 M 10 Rabi’ul Awal 1431 H Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Review Studi Terdahulu ... 7

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II HUKUM THALAQ DALAM PERSPEKTIF FIQH ... 13

A. Pengertian dan Macam-macam Thalaq ... 13

B. Rukun dan Syarat-syarat Thalaq ... 24

C. Redaksi (sighat) Thalaq ... 27

BAB III PROSES PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF FIQH, UU NO1 TAHUN 1974 DAN KHI ... 30

A. Perspektif Fiqh ... 30

B. Perspektif UU No 1 Tahun 1974 ... 38


(8)

BAB IV THALAQ DI LUAR PENGADILAN ... 62

A. Status Hukum ... 62

B. Saksi Thalaq . ... 70

C. Analisis Penulis ... 72

BAB V PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, tapi merupakan ikatan suci (mitsaqan ghalizha) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah sebagaimana Firman-Nya dalam surah An-Nisa’ [4] ayat 211. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan itu harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah dapat terwujud. Tapi ada saat-saat dalam kehidupan manusia ketika tak mungkin baginya melanjutkan hubungan yang akrab dengan pasangannya, maka apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas ditengah jalan. Syetan, musuh yang nyata bagi manusia, memainkan peranannya pada puncak kebanggaan peradaban manusia sehingga seringkali terjadi nasehat baik dan perundingan bijaksana tidak berfungsi. Dalam keadaan demikian perkawinan tak mungkin lagi dipertahankan, sehingga berpisah secara baik-baik dianggap lebih baik daripada terseret berkepanjangan tak menentu, membuat rumah tangga dan keluarga bagaikan neraka.

1

QS. An-Nisa’ [4] : 21: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.


(10)

Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar dari sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan, pada dasarnya adalah kontrak.2 Konsekwensinya ia dapat bertahan dan dapat pula terputus, salah satu sebab putusnya perkawinan adalah dengan jalan thalaq.

Sebagai suatu ikatan, perkawinan harus diupayakan terjalin utuh. Dalam keadaan yang tak dapat dihindarkan perceraian dibolehkan dengan alasan-alasan yang diperbolehkan dan tidak bisa dihindarkan kecuali berpisah, tapi Allah sangat murka terhadap perbuatan itu sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.

ﻡ " " # $ % &

3

Artinya: Perbuatan halal yang paling dimurkai Allah adalah thalaq. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dan disahehkan oleh Hakim)

Pada dasarnya putusnya sebuah perkawinan itu terjadi karena dua hal; pertama karena kematian, dan kedua karena perceraian. Dalam hal putusnya perkawinan karena perceraian, kemudian terdapat ketentuan perundangan di Indonesia dan beberapa Negara muslim yang mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Islam menyerahkan hak cerai sepenuhnya terhadap suami, tapi Islam juga tidak seotoriter itu, istri juga punya hak menuntut cerai terhadap suami ke pengadilan ketika suami tidak memberikan nafkah lahir maupun batin bahkan menurut Mazhab

2

Lihat kembali Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : Rajawali Pers, 1995, 3

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Bulughu Al-Maram Min Adillatu Al-Ahkam, (Surabaya: Al-Hidayah) h. 223


(11)

Hanafi ketika istri bersuamikan pria yang tidak memberikan nafkah lahir dan batin atau mempunyai penyakit cacar yang merusak kebahagian rumah tangga maka dia punya hak cerai langsung (tanpa melalui proses gugatan).4

Menurut ketentuan hukum Islam, thalaq adalah termasuk salah satu hak suami, Allah menjadikan hak thalaq di tangan suami, tidak menjadikan hak thalaq itu di tangan orang lain baik orang lain itu istri, saksi, ataupun Pengadilan sebagaimana salah satu dari Firman Allah SWT di antaranya surah Al-Ahzab [33] ayat 495

Ibnu Qayyim berkata bahwa thalaq itu menjadi hak bagi orang yang menikah, karena itulah yang berhak menahan istri, yaitu merujuknya. Suami tidak memerlukan persaksian untuk mempergunakan haknya. Tidak ada riwayat dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya sesuatu yang menjadikan dalil dan alasan disyari’atkanya persaksian thalaq.6

Terkait dengan masalah status thalaq di luar sidang Pengadilan Agama, bahsul masail NU dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta Tahun 1989 telah memberikan keputusan hukum bahwa thalaq adalah hak prerogatif suami yang bisa dijatuhkan kapanpun dan dimanapun bahkan tanpa alasan sekalipun. Oleh karena itu apabila suami belum menjatuhkan thalaq di luar Pengadilan Agama, maka thalaq yang

4

Thahir Al-Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h. 94.

5

QS. Al-Ahzab [33] : 49: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.

6


(12)

dijatuhkan di depan Hakim Agama itu dihitung thalaq yang pertama dan sejak itu pula dihitung iddahnya. Jika suami telah menjatuhkan thalaq di luar Pengadilan Agama, maka thalaq yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu merupakan thalaq yang kedua dan seterusnya jika masih dalam waktu 'iddah raj'iyyah.7

Sedangkan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya yang disidangkan pada hari Jum’at, 8 Jumadil ula 1428 H/ 25 Mei 2007 M memberikan sebuah putusan bahwa perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan, cerai thalaq dilakukan dengan cara suami mengikrarkan thalaq-nya di depan sidang Pengadilan dan cerai gugat diputuskan oleh hakim.8 Perceraian yang dilakukan di luar sidang Pengadilan dinyatakan tidak sah. Pandangan NU dan Muhammadiyah di atas mencerminkan suatu hal yang kontradiktif. Masing-masing memiliki metode istimbat sendiri-sendiri

Di dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, hal yang sama juga di jelaskan dalam KHI yang mengharuskan thalaq ke pengadilan. Perceraian yang dilakukan kepengadilan mempunyai kesan adanya saksi dalam thalaq sebagaimana yang dijelasakan dalam Pasal 16 PP No 9 Tahun 1975 bahwa pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian, sedangkan di dalam

7

Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan jilid II, (Jakarta: Qultum Media 2004), cet, I h. 69-70.

8

Ahmad Azhar Basyir (Mantan Ketua Majelis Tarjih Muhammaddiyah), Thalaq di Luar Pengadilan, Artikel diakses pada 26 juli 2009 dari http://blog.unila.ac.id


(13)

fiqh jumhur ulama tidak mengharuskan adanya saksi, kecuali golongan syi’ah yang mengharuskan adanya dua saksi dalam thalaq9. Pendapat ini didasarkan pada Firman Allah SAW dalam surah At-Thalaq [65] ayat 2.10

Dengan adanya masalah seperti tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang sah tidaknya thalaq di luar Pengadilan dan perlukah saksi terhadapa thalaq dalam pandangan Fiqh, UU No 1/1974 dan KHI dengan mengangkat sebuah tema "Status Hukum Thalaq di Luar Pengadilan Dalam Perspektif Fiqh, UU No 1/1974 dan KHI", karena disatu sisi (NU) mengatakan sah thalaq diluar proses persidangan mulai saat itu iddahnya berlaku. Sedangkan Majelis Tarjih Muhammaddiyah mengatakan thalaq harus melalui proses persidangan dan suami mengikrarkan thalaq-nya didepan sidang Pengadilan baru iddahnya terhitung saat itu dan Undang-undang sendiri mempunyai kesan adanya saksi thalaq yang mengharuskan thalaq ke pengadilan

9

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Terjemahan Masykur A.B, Afif Muhammad Idrus Al-Khaff, (Jakarta: Lentera, 2007), cet, 6, h. 449

10

QS. At-Thalaq [65]: 2: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.


(14)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk memudahkan penulis dalam penyusun skripsi ini, dengan tidak mengurangi nilai pembahasan, maka penulis membatasi masalah dalam skripsi ini hanya pada : “Status Hukum Thalaq di Luar Pengadilan dalam Perspektif Fiqh, Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”, yang dimaksud Fiqh adalah para ulama mazhab yang empat, Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah di atas, masalah yang dibahas dalam skripsi ini, dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Apakah sah thalaq yang dilakukan di luar pengadilan?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian skripsi ini adalah :

1. Mengetahui perbedaan antara pendapat Fiqh, UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai kedudukan sah tidaknya thalaq di luar pengadilan.


(15)

3. Mengetahui tentang kekuatan hukum mengikatnya antara Fiqh, UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

D. Review Studi Terdahulu

Dari sekian banyak literatur skripsi fakultas syari’ah dan hukum yang ada di perpustakaan penulis mengambil beberapa skripsi untuk melakukan perbandinagan antara lain:

1. Cici Indriani, dengan judul skripsi Dampak Perceraian (cerai thalaq) Diluar Prosedur Pengadilan Agama Terhadap Nafkah Iddah Dan Nafkah Anak (Studi Kasus Di Desa Purwadadi Barat Kec. Purwadadi Subang), pada tahun 2006. Skripsi ini menjelaskan tentang adanya nafkah iddah dan nafkah anak itu disebabkan jatuhnya thalaq baik thalaq yang dilakukan melalui proses pengadilan atau tidak, tapi cerai yang dilakukan di luar pengadilan tidak mengharuskan nafkah iddah dan nafkah anak, karena tidak terikat dengan hukum

2. Mohd. Serajuddin bin Mokhtar dengan judul skripsi Terhadap Penyelesaian Thalaq di Luar Sidang (Studi Kasus di Peradilan Agama Daerah Sik Kedah, Malaysiya), pada tahun 2007. Skripsi ini menjelaskan bahwa masyarakat di daerah Sik Kedah Malaysiaya mempunyai keyakinan thalaq dianggap sah walau tanpa kepengadilan dengan berpedoman pada fikih, karena menurut fiqh sah thalaq yang dijatuhkan di luar pengadilan dan masyarakat disana


(16)

sangat sedikit melakukan perceraian kepengadilan, karena mereka menganggap sah thalaq yang dilakukan di luar atau di dalam pengadilan. 3. Dede Rohyadi, dengan judul skripsi Perceraian di Luar Prosedur Peradilan

Agama di Kecamatan Sodong Hilir, Tasik Malaya dan Akibat Hukum, pada tahun 2008. Skripsi ini menjelaskan bahwa di kecamatan sodong hilir hampir semua perceraian di lakukan di luar pengadilan, karena mereka mengagap perceraian adalah urusan keluarga yang harus ditutupi dan agama sendiri memperbolehkannya.

4. M. Salman farisi, dengan judul skripsi Kedudukan Hukum Pengucapan Ikrar Thalaq di Luar Pengadilan Agama (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur), pada tahun 2004. Skripsi menjelaskan pengucapan ikrar thalaq di luar siding pengadilan itu sah menurut islam selama tidak bertentangan dengan syari’at islam, tapi tidak mempunyai kekuatan hukum. 5. Ajid, dengan judul skripsi Persepsi Ulama Serang Tentang Cerai di Bawah

Tangan, pada tahun 2004. Skripsi ini memuat kesimpulan bahwa menurut ulama cerai di luar pengadilan sah berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 229:

 !"#$

%

&'( )*+

,

*-

.

$

Artinya: Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.


(17)

% ' ( ی *

+

, -ﺱ

-+

-

#ﺱ

/

0

1 23 4 5 6* 4 * 4

78

9

" "# $ %

&

11

Artinya: dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “tiga perkara kesungguhannya dipandang benar, dan main-mainnya dipandang benar pula, yaitu: nikah, thalaq dan ruju’ (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmizi)

Sedangkan menurut pegawai pencatat nikah dan hakim pengadilan agama tidak sah berdasarkan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 ayat 1

Perbedaan skripsi hasil studi terdahulu dengan skripsi yang penulis tulis terletak pada jenis penelitian, bahwasannya skripsi ini merupakan kajian kepustakaan dan status hukum thalaq di luar pengadilan sedangkan skripsi hasil studi terdahulu menggunakan kajian lapangan (studi kasus) dan membahas akibat dari thalaq di luar pengadilan.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang di pakai penulis yaitu : 1. Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normative dengan pertimbangan bahwa bahan yang digunakan adalah analisis perbandingan Fiqh dan Hukum Positif. Kajian Fiqh dengan mengambil beberapa literatur kitab klasik dan buku yang merupakan hasil ijtihad ulama’ salaf maupun khalaf. Sedangkan

11


(18)

kajian Hukum Positif mengacu kepada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2. Pendekatan

Dari jenis penelitian hukum normative, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).12 Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti bagaimana ketentuan dan hal lain mengenai thalaq. Pendekatan konsep bertujuan sebagai penjelas pemahaman berdasar konsep-konsep mengenai thalaq baik dalam Fiqh ataupun Hukum Positif. Pendekatan perbandingan merupakan cara untuk mengetahui bahwa di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 thalaq harus melalui pengadilan, sedangkan dalam Fiqh, thalaq tidak harus kepengadilan, hal inilah yang nantinya berimplikasi terhadap status hukum thalaq itu sendiri.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian ini terdiri dari :

12

Johnny Ibrahim., TeoridanMetodologi, Penelitian Hukum Normatif., (Malang; Bayumedia Publishing, 2006), cet. Ke-2, h. 391


(19)

a. Sumber data primer ; yaitu data-data yang berasal dari sumber-sumber utama masalah penelitian ; materi-materi hukum dari UU Perkawinan No 1/1974, KHI dan pendapat-pendapat mazhab fiqh.13

b. Sumber data sekunder ; yaitu data-data yang berasal dari sember-sumber pendukung yang terkait dengan masalah yang diteliti, seperti kitab-kitab hukum Islam, buku teks, pendapat forum kelompok atau kajian Islam, tokoh atau sarjana yang berkompeten dibidang hukum islam.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder14 seperti kamus hukum, ensiklopedi, dan lain-lain.

4. Pengumpulan Data

Dari sumber data primer dan sekunder yang telah terkumpul, berdasarkan masalah penelitian diatas, maka dikumpulkan lalu dirumuskan dan selanjutnya dikaji secara komprehensif berdasarkan rumusan-rumusan yang diperoleh.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Pada fase ini biasa disebut sebagai pengolahan data, yaitu kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap data-data yang terkumpul,15 baik sistemisasi dari penelitian studi kepustakaan, perundang-undangan, artikel dan lain

13

Peter Mahmud Marzuki., Penelitian Hukum., (Jakarta; Kencana, 2008), cet. ke-4, h. 141 14

Johnny, TeoridanMetodologi, h. 392 15


(20)

sebagainya penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa guna memperoleh penyajian yang lebih sistematis sehingga bisa menjawab permasalahan mengenai status hukum thalaq di luar pengadilan. Pengolahan data yang dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit berdasarkan penelitian. Selanjutnya bahan-bahan yang diperoleh dianalisis untuk melihat keabsahan thalaq di luar ataupun yang melalui pengadilan dan kedudukan saksi dalam thalaq.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang penulis pakai tersistem sebagai berikut: Kata pengantar, daftar isi dan memuat beberapa beb yaitu:

Bab I Tentang Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Menjelaskan sekilas tentang thalaq yang berisikan tentang pengertian thalaq, macam-macam thalaq, syarat-syarat thalaq, redaksi (sighat) thalaq

Bab III Menjelaskan proses perceraian yang berisikan tentang: Perspektif Fiqh, UU No 1 Tahun 1974 dan KHI.

Bab IV Menjelaskan tentang hukum thalaq di luar Pengadilan yang memuat tentang status hukum, kesaksian dalam thalaq dan analisis penulis.


(21)

Bab V Penutup yang memuat kesimpulan dan saran yang terakhir daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(22)

BAB II

SEKILAS TENTANG THALAQ

A. Pengertian dan Macam-Macam Thalaq

1. Pengertian Thalaq

Kata “thalaq” secara harfiyah berarti “membuka ikatan” atau “membatalkan perjanjian”16 jika kita hubungkan dengan putusnya perkawinan antara suami dan istri, berarti mereka telah membuka ikatan yang pernah mengikat mereka berdua, yaitu perkawinan atau mereka telah membatalkan perjanjian yang pernah mereka janjikan dalam suatu perkawinan. Sedangkan secara terminologis ulama-ulama fiqh memberikan rumusan yang berbeda–beda tapi esensinya sama. Seperti halnya Abi Yahya Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathu al-Wahhab merumuskan:17

$# ﻥ

;<- 1 23 4=+ >

Artinya: “Melepaskan ikatan perkawinan dengan lafadz thalaq dan sepadannya”

Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayatu al-Akhyar merumuskan:18

1 23 4 , >

Artinya: “Nama untuk tindakan melepaskan ikatan perkawinan”

16

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997) edisi II

17

Abi Yahya Zakariya Al-Anshari, Fathu al-Wahhab bi Syarhi Minhaju at-Thullab, Beirut, Juz II, h. 72

18


(23)

Dari rumusan yang di kemukakan Abi Yahya Zakariya al-Anshari dan Imam Takiyuddin yang mewakili definisi yang diberikan kitab-kitab fiqh terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perceraian:

Pertama: kata “melepaskan” mengandung arti bahwa thalaq itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yaitu ikatan perkawinan.

Kedua: kata “ikatan perkawinan” yang mengandung arti bahwa thalaq itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan hubungan antara suami dan istri, maka dengan telah dibuka ikatan itu status suami dan istri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram.

Ketiga: dengan kata tha-la-qa dan sepadanya yang sama maksudnya dengan itu mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan dan ucapan yang digunakan itu adalah thalaq atau semaksud dengan itu, bila tidak dengan ucapan tersebut maka putus dengan kematian.

Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak dikenal adanya istilah thalaq, tapi dikenal dengan istilah yang disebut “putusnya perkawinan”. Undang-undang No 1 Tahun 1974 ini tidak menganal istalah thalaq, karena Undang-undang ini masih terinterpensi dengan hukum barat Burgerlijk Wetboek yang desubut dengan BW. Berbeda dengan KHI yang masih memakai istilah thalaq dalam urusan perceraian walaupun di permulaan Bab, yaitu Bab XVI masih menggunakan istilah “putusnya perkawinan, karena KHI tidak sepenuhnya


(24)

mengadopsi dari kitab-kitab fiqh bahkan masih mengadopsi dari Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Di dalam KHI thalaq diartikan sebagai ikrar sumi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 117

Thalaq adalah ikrar suami di depan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.

2. Macam-Macam Thalaq

Thalaq itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada beberapa keadaan. Dengan melihat kepada keadaan istri waktu thalaq itu diucapkan oleh suami, thalaq itu ada dua macam:19

a. Thalaq Sunni

Abdurrahman Bin Muhammad Awad al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqhu Ala al-Mazdahib al-Arba’ah mengatakan:20

8ﻡ "48 '

8ﻡ ﻡ? @A '

Artinya: “Thalaq yang sudah ditentukan zaman dan bilangannya”

Yang dimaksud thalaqsunni adalah thalaq yang dijatuhkan suami yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yaitu seorang suami men-thalaq istrinya yang

19

Amir Syarifuddin, hukum perkawinan islam di Indonesia: antara fiqih munakahat dan undang-undang perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), cet,I, h. 217

20

Abdurrahman Bin Muhammad Awad Al-Jaziri, al-Fiqhu Ala al-Mazahibil al-Arba’ah, Darul Ibnu al-Haitsam, 1360-1299 Hijriyah,h. 974


(25)

pernah dicampurinya dengan sekali thalaq di masa bersih dan belum ia sentuh kembali semasa bersihnya.21 Sebagaimana firman Allah dalam Surah At-Thalaq (65) ayat 1.

/012 34 5(

6789:

; <

=>@ <4

BCD

#EF

+, GHI<#0

JK0M+2# #

……

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)22……….. (QS. Al-Thalaq (65) : ayat 1)

Dalam UUP No 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan tentang thalaq sunni, akan tetapi dalam KHI Pasal 121 menjelasankan, “Thalaq sunny adalah thalaq yang dibolehkan yaitu thalaq yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut”.

b. Thalaq Bid’iy

Abdurrahman Bin Muhammad Awad al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqhu Ala al-Mazdahib al-Arba’ah mengatakan:23

/ / 5=-B C DE <ﻥ C D

F @* 5=-B GH

Artinya: “Ketika menthalaq istri dalam keadaan haid atau nifas atau thalaq tiga”

21

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa: Mohammad Thalib (Bandung: PT Alma’arif, 1980), jilid, 8, h. 42

22

Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. tentang masa iddah Lihat surat Al Baqarah ayat 228, 234 dan surat Ath Thalaaq ayat 4.

23


(26)

Yang dimaksud dengan thalaq bid’iy adalah thalaq yang dijatuhkan suami dengan menyalahi aturan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yaitu seorang suami yang men-thalaq istrinya dalam keadaan haid atau dalam keadaan nifas dan dalam keadaan suci tapi digauli oleh suami dalam keadaan sucinya atau men-thalaq tiga kali dengan sekali ucapan atau dengan secara terpisah-pisah24 sebagaimana Hadits riwayat Nasa’i, Muslim dan Ibnu Majah.25

7ی % @A

I

-

@J3- + K G LA D7= - M D

F

@*

(C ﻡ N-B D +

'

=A -ﺱ

-+

I

>ﻡ @*

O 5B G 5=- ی / 58 -A $ ﻡ

9

- ﻡ E 3 $ %

" "#

&

Artinya: Dalam sebuah riwayat dikatakan: bahwa Ibnu Umar men-thalaq salah seorang istrinya di masa haid dengan sekali thalaq. Lalu Umar menyampaikan hal itu kepada Nabi SAW. Maka beliu bersabda: suruhlah ia merujuknya, kemudian bolehlah ia menthalaqnya jika telah suci atau ketika ia hamil (HR. Nasa’i, Muslim, Ibnu Majah dan Abu Daud).

Tentang thalaq bid’i ini dapat pula ditemukan dalam KHI Pasal 122 sebagai berikut: “Thalaq bid`i adalah thalaq yang dilarang, yaitu thalaq yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut”.

Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si-suami kembali kepada mantan istrinya, thalaq itu ada dua macam:26

1. Thalaq Raj’iy

24

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 45 25

Al-Hafidz Bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, 773 Hijriayah, h. 223

26


(27)

Thalaq yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang telah dikumpulinya betul-betul yang ia jatuhkan bukan sebagai ganti rugi dari mahar yang dikembalikannya dan sebelumnya belum pernah ia menjatuhkan thalaq kepadanya sama sekali atau baru sekali saja. Di sini tidak berbeda antara thalaq yang dinyatakan dengan terusterang dan sindiran.27 Dasar dari hukum ini adalah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 229:

 !"#$

%

&'( )*+

,

*-

.

Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. al-Baqarah (2) : ayat 229)

Maksudnya thalaq yang ditetapkan Allah sekali sesudah sekali. Dan suami berhak merujuk istrinya dengan baik sesudah thalaq pertama, dan begitu pula ia masih berhak merujuknya dengan baik sesudah thalaq kedua kalinya.28

Dalam UUP No 1 Tahun 1974 tidak ditemukan penjelasan tentang thalaq raj’i, akan tetapi dalam KHI Pasal 118 dijelaskan sebagai berikut: “Thalaq Raj`i adalah thalaq kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah”.

2. ThalaqBa’in

27

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 60 28


(28)

Yaitu thalaq yang ketiga kalinya, thalaq sebelum istri dikumpuli, dan thalaq dengan tebusan oleh istri kepada suaminya.29 Dalam Bidayatu al-Mujtahid Ibnu Rusyd berkata: Para ulama sepakat, thalaq ba’in hanya terjadi dalam thalaq sebelum disetubuhi sebelumnya tidak pernah di-thalaq, Mereka sepakat bahwa bilangan thalaq yang merupakan thalaq ba’in yaitu tiga kali thalaq dilakukan laki-laki merdeka sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 229:

Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali” (QS. al-Baqarah (2) ayat 229)

Kemudian mereka berbeda pendapat tentang thalaq tiga yang hanya diucapkan sekali, bukan kejadiannya yang tiga kali.30 Thalaq Ba’in ini terbagi pula kepada dua macam:31

a. Ba’in Sughra, ialah thalaq yang suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil. Yang termasuk ba’in sughra itu adalah sebagai berikut:

Pertama: Thalaq yang dilakukan sebelum istri digauli oleh suami. Thalaq dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah. Oleh karena itu, maka tidak ada

29

Ibid., h. 68 30

Abdurrahman. Haris Abdullah, Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1990), cet, I, h. 478-480

31


(29)

kesempatan untuk ruju’, sebab ruju’ hanya dilakukan dalam masa iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Ahzab (33) ayat 49:

/012 34 5(

5OP#Q D

RH:5

BC

; <

=>@ $5U

#V !F# 

W

X> >

+, GH WY <4

,#

Z[\ Q

%

JK GH

]W

]W

[^C$

+, _ `

5a

*,#

b!+2#

/05c d25@

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya (QS. al-Ahzab (33) ayat 49)

Kedua: Thalaq yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri atau yang disebut khulu’. Hal ini dapat dipahami dari isyarat firman Allah dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 229:

 !"#$

%

&'( )*+

,

*-

.

$

efB

dZ#5 g

[^I\

%

Ch i 3

D

+W#

+, GH W@

BC

jk h'

lf <

%

D

( g

mf %

]W`7<(

]`

2-kD

nCo "pq

mf %

Brh7<(

]`

2

kD

e'

]]

!Fs

]W0[)

5

Brh#

*^]25Y

t#- .

$

]&

#

`

2

kD

e'

]G

25Y

u

,5 B

+2] 5Y5(

]`

2

kD

]&v4

3 w3

^ G

5 Hr

I

Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan


(30)

hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.32 Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah ayat 229)

Ketiga: Perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau yang disebut fasakh.

b. Ba’in Kubra, yaitu tidak memungkinkan suami ruju’ kepada mantan istrinya. Dia hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin dengan laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis masa iddahnya. Yang termasuk thalaq ba’inkubra adalah sebagai berikut:

Pertama: Istri yang telah di-thalaq tiga kali, atau thalaq tiga. Thalaq tiga dalam pengertian thalaq ba’in itu yang disepakati oleh ulama adalah thalaq tiga yang diucapkan secara terpisah dalam kesempatan yang berbeda antara satu dengan lainnya diselingi oleh masa iddah. Termasukny thalaq tiga itu ke dalam kelompok ba’in kubra itu adalah sebagaimana yang dikatakan Allah dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 230:

]_ <4

e'

dZ#5

x% D

y,#

2 5.

u6zn]-]'p$F

Q{, ]|

x B)[}'~

$

]_ <4

e'

]]

B:s

D

]W0[)

5a

%

D

] ]s

B)5•5(

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi

32

Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh


(31)

keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali. (QS. al-Baqarah ayat 230)

Kedua: Istri yang bercerai dari suaminya melalui proses li’an. Berbeda dengan bentuk pertama mantan istri yang di-li’an itu tidak boleh sama sekali dinikahi, meskipun sesudah diselingi oleh adanya muhallil, menurut jumhur ulama.

Penjelasan thalaq ba’in dapat pula ditemukan dalam KHI Pasal 119 dan 120 sebagai berikut: Pasal 119 KHI

1. Thalaq Ba`in Shughraa adalah thalaq yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

2. Thalaq Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah : a. thalaq yang terjadi qabla al dukhul;

b. thalaq dengan tebusan atahu khuluk;

c. thalaq yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 120 KHI

Thalaq Ba`in Kubraa adalah thalaq yang terjadi untuk ketiga kalinya. Thalaq jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.

Thalaq ditinjau dari segi ucapan yang digunakan terbagi kepada dua macam, yaitu:33

33


(32)

1. Thalaq Tanjiz, yaitu thalaq yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan langsung, tanpa dikaitkan kepada waktu, baik menggunakan ucapan sharih atau kinayah. Dalam bentuk ini thalaq terlaksana segera setelah suami mengucapkan ucapan thalaq tersebut.

2. Thalaq Ta’liq, yaitu thalaq yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan yang pelaksanaannya di gantungkan kepada sesuatu yang terjadi kemudian, baik menggunakan lafaz sharih atau kinayah. Seperti ucapan suami: “bila ayahmu pulang dari luar negeri engkau saya thalaq”. Thalaq seperti ini baru terlaksana secara efektif setelah syarat yang digantungkan terjadi.

Thalaq Ta’liq ini berbeda dengan taklik thalaq yang berlaku di beberapa tempat yang diucapkan oleh suami segera setelah ijab qabul dilaksanakan. Taklik thalaq itu adalah sebentuk perjanjian dalam perkawinan yang di dalamnya disebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suami. Jika tidak memenuhinya, maka si istri yang tidak rela dengan itu dapat mengajukannya ke pengadilan sebagai alasan untuk perceraian.

Thalaq dari segi siapa yang secara langsung mengucapkan thalaq itu dibagi kepada dua macam:34

1. Thalaq Mubasyir, yaitu thalaq yang langsung diucapkan sendiri oleh suami yang menjatuhkan thalaq, tanpa melalui perantara atau wakil.

34


(33)

2. Thalaq Tawakil, yaitu thalaq yang pengucapannya tidak dilakukan sendiri oleh suami, tetapi dilakukan oleh orang lain atas nama suami. Bila thalaq itu diwakilkan pengucapannya oleh suami kepada istrinya, seperti ucapan suami: “saya serahkan kepadamu untuk men-thalaq dirimu”, secara khusus disebut thalaqtafwidh (melimpahkan).

B. Rukun dan Syarat-syarta Thalaq

Rukun dan syarta thalaq ialah unsur pokok yang harus ada dalam thalaq dan terwujudnya thalaq tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud, rukun thalaq ada empat sebagai berikut:35

1. Suami

Yang memiliki hak thalaq dan yang berhak menjatuhkanya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya oleh karena thalaq itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka thalaq tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.

Abu Ya’la dan al-Hakim meriwayatkan Hadist dari Jibril bahwa Rasulullah SAW bersabda:

K-ﻡ 48 P NQ+P 1 2ﻥ 48 P

BP

36

9

-8ی # $ % &

35

Al-Jaziri, Al-Fiqhu, h. 968 36


(34)

Artinya; Tidak ada thalaq kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan. (HR. abu Ya’la dan al-Hakim)

Untuk sahnya thalaq, suami yang menjatuhkan thalaq di syaratkan:

a. Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan thalaq yang dimaksud dengan gila dalam hal ini adalah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk kedalamnya sakit pitan, hilang akal karena sakit panas atau sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya.

b. Baligh. Tidak dapat jatuh thalaq yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabila mengataka bahwa thalaq oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari sepuluh tahun asalkan ia telah mengenal arti thalaq dan mengetahui arti akibatnya, thalaq -nya dipandang jatuh.

c. Atas kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjutuhkan thalaq itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.

2. Istri.

Masing-masing suami berhak menjatuhkan thalaq terhadap istri sendiri. Tidak dipandang jatuh thalaq yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk sahnya thalaq, bagi istri yang di-thalaq disyaratkan sebagai berikut:


(35)

a. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalani masa iddah thalaq raj’i dari suaminya oleh hukum islam dipandang masih berada dalam perlindungan kakuasaan suami. Bila dalam masa itu suami menjatuhkan thalaq lagi, dipandang jatuh thalaq-nya sehingga menambah jumlah thalaq yang dijatuhkan dan mengurangi hak thalaq yang dimiliki suami. Dalam thalaq ba’in hal itu tidak terjadi, karena istri tidak lagi dalam tanggungan suaminya.

b. Kedudakan istri yang di-thalaq itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah menurut syara.

3. Sighat Thalaq

Sighiat Thalaq ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan thalaq, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan mewakilkan pada orang lain.

4. Qashdu (Sengaja)

Qashdu ialah bahwa dengan ucapan thalaq itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk thalaq, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksudkan untuk thalaq dipandang tidak jatuh thalaq, seperti suami memberikan sebuah salak kepada istrinya, tapi ia keliru mengucapkannya


(36)

seperti: “ini sebuah thalaq untukmu”, seharusnya ia mengatakan: “ini sebuah salak untukmu”, maka tidak dipandang jatuh thalaq.

Berkenaan dengan rukun dan syarat thalaq Undang-undang tidak ada yang mengaturnya baik UUP No 1 Tahun 1974, PP No 9 Tahun 1975 dan UUPA No 7 Tahun 1989 ataupun KHI.

C. Redaksi (sighat Thalaq)

Sighat thalaq menjadi pembicaraan luas kalangan ulama dalam hal ucapan thalaq. Dari segi ucapan thalaq ulama membaginya menjadi dua, yaitu:

1. Lafaz Sharih, yaitu ucapan yang secara jelas digunakan untuk ucapan thalaq. 2. Lafaz Kinayah, yaitu ucapan sindirin untuk menceraikan istri.

Ulama sepakat ucapan thalaq yang mengandung lafaz sharih tidak perlu diiringi dengan niat, artinya dengan telah keluar ucapan itu jatuhlah thalaq meskipun dia tidak meniatkan apa-apa atau meniatkan yang lain dari thalaq dengan syarat orang yang mengucapkan apa yang diucapkan mengerti dengan ucapan itu. Bila ucapan itu menggunakan lafaz kinayah disyaratkan adanya niat dalam arti bila tidak disertai dengan niat tidak terjadi thalaq.


(37)

Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan lafaz-lafaz mana yang sharih dan lafaz-lafaz yang termasuk kinayah. Menurut ulama Syafi’iyah yang termasuk lafaz sarih itu ada tiga, yaitu:

1 ﺱ D

A D

B

atau yang berakar kepada tiga kata tersebut. Alasan yang digunakan oleh ulama ini adalah bahwa ketiga lafaz tersebut digunakan dalam Al-Qur’an untuk tujuan thalaq.37 Contoh lafaz thalaq adalah firman Allah dalam surah At-Thalaq (65) ayat 1:

/012 34 5(

6789:

; <

=>@ <4

BCD

#EF

+, GHI<#0

JK0M+2# #

……

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)

Contoh penggunaan lafaz firaq adalah firman Allah dalam surah An-Nisa (4) ayat 130:

<B

Q }'"5Y5(

€, (

•D

]'I‚

,#E

t#-#Y] ]ƒ

u

5 Q'yB

•D

„ pƒjB

…W`p$]-Artinya: jika keduanya bercerai, Maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.

Contoh penggunaan lafaz sarih adalah firman Allah dalam surah Al-Baqarah (2) : ayat 229:

 !"#$

%

&'( )*+

,

*-

.

37


(38)

Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (QS. Al-Baqarah (2) : ayat 229

Jumhur ulama termasuk Imam Malik, ulama Hanabilah, Hanafiyah dan lainnya berpendapat bahwa lafaz yang sharih untuk maksud thalaq hanyalah satu yaitu lafaz tha-la-qa dan yang berakar kepadanya. Alasan mereka adalah bahwa lafaz yang berlaku untuk thalaq dan tidak berlaku untuk lainnya hanyalah lafaz thalaq. Sedangkan lafaz-lafaz dalam bahasa tertentu yang merupakan terjemahan dari lafaz sharih, seperti lafaz “cerai” dalam bahasa melayu dapat menjadi ucapan sharih bagi orang yang berbahasa melayu itu. Untuk maksud itu tidak diperlukan adanya niat.38

Adapun lafaz kinayah adalah lafaz yang selain thalaq (menurut ulam jumhur) atau selain tiga lafaz yang dikemukakan oleh Syafi’iyah adalah lafaz kinayah, selama lafaz itu ada kemungkinan menjangkau kepada makanan perceraian. Bila sama sekali tidak menjangkau kepada maksud perceraian tidak dapat dijadikan ucapan thalaq meskipun diniatkan untuk maksud thalaq, seperti ucapan “makanlah kamu”. Lebih lanjut Imam Malik membagi kinayah kepada dua,39 yaitu: Zhahirah yang berarti menurut lahirnya untuk tujuan perceraian, seperti lafaz fa-ra-qah dan sa-ra-ha. Dan KinayahKhafiyuah dengan arti ada kemungkinan digunakan untuk perceraian.

Tentang kinayah khafiyah yang tidak jelas, mrnurut Imam Malik dapat digunakan untuk ucapan thalaq, namun untuk itu diperlukan niat, sebagaimana yang

38

Amir Syarifuddin, , Hukum Perkawinan Islam, h. 210 39


(39)

berlaku dikalangn Syafi’iyah tentang lafaz kinayah zhahiriyah. Jumhur ulama berpendapat kinayah khafiyah tidak dapat dijadikan ucapan thalaq meskipun diniatkan.


(40)

BAB III

PROSES PERCERAIAN PERSPEKTIF FIQH, UU NO 1/1974 DAN KHI

A. Perspektif Fiqh

Ada beberapa hal yang bisa menjadi sebab putusnya perkawinan, dan hal ini sudah pernah dibahas ulama terdahulu di dalam lembaran kitab-kitab fiqh. Menurut Imam Malik sebab-sebab putusnya perkawinan adalah thalaq, khulu’, khiyar atau fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’ dan zihar. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan sebab-sebab putusan perkawinan adalah thalaq, khulu’, fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’, zihar dan li’an.40

Thalaq ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya kecuali suami kembali lagi pada mantan istrinya dan ini terjadi terhadap thalaq raj’i yaitu thalaq satu dan dua sedangkan thalaq ba’in yaitu tiga dimana suami tidak bisa kembali lagi kecuali mantan istrinya sudah bersuami lagi kemudian cerai dengan suaminya barulah suami yang pertam boleh kembali lagi pada mantan istrinya (ba’in kubra) atau dengan akad yang baru ( ba’in sughra).

40

Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asea Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysiaya, seri INIS XXXIX, Jakarta: 2002, h. 203


(41)

Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari ikatan suami.41Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT surah Al-Baqarah (2) ayat 229 dan Hadits Nabi riwayat Bukhari dan Nasa’i dari Ibnu Abbas.

nCo "pq

mf %

Brh7<(

]`

2

kD

e'

]]

!Fs

]W0[)

5

Brh#

*^]25Y

- .

Artinya: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya42 (QS. Al-Baqarah (2) : 229)

R =A -ﺱ

-+

-

-

-

#ﺱ%

ﺱ S

T ,

R / ( ﻡ RF

I

#ﺱ% ی

=A U ﺱP

A <2 $

@32

ی"P N-V A -+ WQ+ ﻡ

-ﺱ

-+

-

#ﺱ%

R , X Q=ی4

-+ ی" M

I

8ﻥ

9

-ﺱ

-+

-

#ﺱ%

=A

I

5=-B 7=ی4

>J,

7= - M

9

3 Y% ZJ $ %

F

&

43

Artinya; Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Rasulullah SAW. sambil berkata: “hai Rasulullah saya tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran islam”. Maka jawab Rasulullah SAW.: “maukah kamu mengembalikan kebunnya (tsabit, suaminya)?” ia. “maka Rasulullah SAW bersabda : “terimalah (tsabit) kebun itu dan thalaq ia satu kali.” (HR. Bukhari dan Nasa’i)

Ketika istri ingin bercerai dengan suaminya dengan jalan khulu’ maka istri harus mengembalikan maskawin yang pernak diberikan suami kepadanya sebagai tebusan atas dirinya dari ikatan suami.

41

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B, Afif Muhammad Idrus Al-Khaff, Jakarta: lentera, 2007, cet, 6, h. 456. Lihat juga Muhammad Thalib terjemahan Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq.

42

Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.

43


(42)

Fasakh ialah batalnya perkawinan di sebabkan rusak atau tidak sahnya perkawinan yang dilangsungkan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukun perkawinan, atau sebab lain yang datang kemudian setelah akad perkawinan yang membatalkan kelangsungannya perkawinan.44

Contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam akad perkawinan: 1. Setelah akad nikah ternyata istri adalah saudara sepersusuan.

2. Suami-istri masih kecil diakadkan oleh selain ayah atau kakeknya, kemudian setelah dia dewasa ia berhak untuk meneruskan ikatan perkawinannya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini disebut khiyar balig. Jika yang dipilih mengakhiri ikatran suami istri, maka hal ini disebut fasakh akad.

Contoh fasakh karena hal-hal mendatang setelah akad:

Bila salah seorang dari suami-istri murtad dari islam dan tidak mau kembali sama sekali. Maka akadnya fasakh (batal) disebabkan kemurta-dan yang terjadi belakangan.

Pisahnya suami-istri akibat fasakh berbeda daripada thalaq, sebab thalaq ada thalaq raj’i dan thalaq ba’in. selain itu, pisahnya suami-istri karena thalaq dapat mengurangi bilangan thalaq. Adapun pisahnya suami-istri karena fasakh, maka hal ni tidak berarti mengurangi bilangan thalaq cukup dengan akad baru dan suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali thalaq.

44

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa: Mohammad Thalib (Bandung: PT Alma’arif , 1980), jilid, 8, h. 133


(43)

Syiqaq berarti perselisihan antara suami dan istri sehingga antara suami-istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran yang menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya. Kecuali dengan hakam (juru damai)45 sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nisa’ (4) ayat 35:

<B

>@ "pq

<#

Br0

‡ 5.

H ˆ] [.

…W

$]-*,#E

t#%

G %

…W $]-B

*,#E

D

]_

G %

<

D

]2(M}(

*{ <

#Š BH(

•D

D

]W0 ‡ `5.

Artinya: dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam46 dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. (QS. An-Nisa’ (4) : 35)

Ayat di atas mengisyaratkan untuk mengangkat hakim (juru damai) diantara suami-istri yang sedang berselisih, agar dapat perselisihan itu menemukan jalan yang terbaik bagi keduanya.

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga47 seperti istri tidak mau diajak

45

Ibid., 122

46

Hakam ialah juru pendamai. 47

Amiur Nuruddin. Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No 1/1974 sampai KHI), Jakarta: Kencana, 2004, edisi I, h.209


(44)

ketempat tidur. Berkenaan dengan hal ini Allah memberikan tuntunan bagaimana mengatasi nusyuz istri yang terdapat dalam surah An-Nisa’ (4) ayat 43:

67n

B

5 H

(

JK G]|HIŒ •

JK GHŽI#

+, G }I•G

B

• O

K‘ps

e’]W

+, GH. )*

B

[^I\B:  %

e'

HC[&

+,0[)

5

”'h \]ƒ

Artinya: “wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,48 Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.49(QS. An-Nisa’ (4) : 43)

Berangkat dari surah An-Nisa ayat 34 Al-Qur’an memberikan opsi sebagai berikut:

a. Istri diberi nasehat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar terhadap kekliruan yang diperbuat.

b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi istri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap kekliruannya.

c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya yang tidak membahayakan si istri.

48

Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

49

Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.


(45)

Zhihar yang berarti “punggung” maksudnya: suami berkata kepada istrinya: “engkau seperti punggung ibuku”. Dalam kitab FathulBari dikatakan: khusus disebut punggung saja dan bukan anggota badan lainnya, karena umumnya punggung tempat tunggangan. Karena itu tempat tunggangan disebut punggung. Lalu perempuan kemudian diserupakan dengan punggung sebab ia jadi tunggangan laki-laki.50 Dasar hukumnya adalah firman Allah dalam surah Al-Mujaadalah (58) ayat 2:

5OP#Q D

5

} _

I(

^C$:#

,#E

> _•D

/•

9

JK G

> _#@ ]_9 w%

<

> _Y ]_9 w%

mf <

d#k4

> _5U*2

B

u

[^09c <B

5 HC

HI<Bh

–}'\F

q,#E

7—[H <

Fd |B

Artinya: “orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. (QS. Al-Mujadalah (58) : 2)

Para ulama mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) sepakat bahwa, apabila seoarang laki-laki menziher istrinya, maka laki-laki itu tidak halal lagi mencampuri istrinya sampai dia memerdekakan budak. Kalau dia tidak mampu, dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Kalau tidak mampu pula, maka dia harus memberi makan enam puluh orang miskin.51dasar hukum yang mereka ambil ialah firman Allah dalam surah Al-Mujadalah ayat [58] 3-4:

50

Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 123 51


(46)

5OP#Q D

B

5

} _

I(

,#

[^07˜D

/•

^ >

5

`H 5(

]W#

HC

Q

}(M} 5Y

&/5& QBd

,#E

Z[\ Q

%

XƒD

]W5@5(

u

[.C$#

j ;

1™HŽI5H

t#- .

u

•D

B

]W .

5 H ]W

š)} &]q

.

,]W

>

*2p_ g

›

Bhpœ

O P5}[•'

Ož] .

5Y5@

,#

Z[\ Q

%

XƒD

]W5@5(

,]W

>

*‘# 5Y !Ÿ

›

] *

5Ož# Ypƒ

F:`p$ #

u

]&#

j ;

H:#  Y#

kD

.

t#% DH ƒBdB

u

1

# B

`

2

kD

$

q,(M}#"

$

#

B

'h5

~n‘#

%

.

Artinya: “orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. Al-Mujadalah (58) : 3-4)

Ila’ adalah sumpah seorang suami dengan nama Allah untuk tidak menggauli istrinya.52 Dasarnya adalah firman Allah dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 226-227:

5OP#Q

5 HC

 (

,#

[^ _•D

/•

1.5}

#/] 5.[d %

}0*¢ %

£CD

9

D

¤dHI"'~

’>h#- d

.

<B

H 5¥5

5

9

D

‘‘h#"'¦

’>`

5a

.

Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya53 diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka

52


(47)

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah (2) : 226-227)

Seluruh mazahib sepakat bahwa, ila’ dipandang jatuh manakala suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya seumur hidup, atau untuk masa lebih dari empat bulan. Apabila suami mencampuri istri dalam waktu empat bulan itu (sesudah ia bersumpah), maka dia harus membayar kafarat, dan hilanglah untuk melanjutkan perkawinan.. Kafarat yang dimaksud adalah memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakian kepada mereka, atau memerdekakan budak, jika tidak bisa dia boleh berpuasa selama tiga hari.54

Li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan mendatangkan empat saksi atau bersumpah empat kali dengan nama Allah dan pada sumpah yang kelima ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat oleh Allah kalau tuduhannya itu dusta, jika tidak bisa mendatangkan empat orang saksi.55 sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nur (24) ayat 6-7:

5OP#Q D

B

5 H [}5(

[^ _]sjB

| %

>

B

,C$5(

[^§¨b

£CD

]2/0I¢

lf <

[^ _Ž I"U %

C!]2 ]_5Œ

>#G#25

%

‘5.[d %

©^j]2 B•'

kD

.

J

x-4U <

q,#W

1ªž#Q#2 Xœ

.

/

#W

( «

B

53

Meng-ilaa' isteri Maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri. dengan sumpah ini seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. dengan turunnya ayat ini, Maka suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi isterinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.

54

Ibib., h. 498-499 55


(48)

9

%

VB:

kD

#- h

5

<

5 Q'y

q,#

5Ož .7h

$

.

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta56 (QS. An-Nur (24) : 6-7) B. Perspektif UU No 1 Tahun 1974

Putusnya perkawinan yang dalam kitab fiqh disebut thalaq diatur secara cermat dalam UU Perkawinan, PP No 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksanaan dari UU Perkawinan dalam Pasal 38 UU Perkawinan menjelaskan bentuk putusnya perkawinan dengan rumusan: Perkawinan dapat putus karena: a. kematian; b. perceraian; dan c. atas keputusan Pengadilan

Dalam Undang-undang perkawina perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan dan perceraian dapat terjadi setelah Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil mendamaikannya, dan bila memenuhi alasan-alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Hal ini juga dijelaskan dalam UUP No 1 Tahun 1974 Pasal 39

Pasal 39 UUP

(1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

56

Maksud ayat 6 dan 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar dalam tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena laknat Allah jika Dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.


(49)

(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

(3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Kemudian dalam PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19 sebagai pelaksanaan dari undang-undang No 1 Tahun 1974 sebagai berikut:

Pasal 19 PP

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-urut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek sebagai berikut:57

57

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sniar Grafika, 2006), cet, I, h. 80


(50)

1. Cerai Thalaq (suami yang bermohon untuk perceraian)

Apabila suami mengajukan permohonan kepengadilan untuk menceraikan istrinya, kemuadian sang istri menyetujuinya disebut cerai thalaq. Mengenai hal pengajuan permohonan cerai thalaq kepengadilan PP No 9 Tahun 1975 mengaturnya dalam Pasal 14.

Pasal 14 PP:

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Dalam hal tempat pengajuan gugatan perceraian yang daerah hukumnya meliputi tempat tergugat (istri) terdapat pada Pasal 20 PP No 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanan dari UUP No 1 Tahun 1974.

Pasal 20 PP:

1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. 2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau

tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.

3. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.


(51)

Setelah permohonan cerai thalaq diajukan ke Pengadilan Agama, Pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut.58 Hal itu diatur dalam Pasal 15 PP No 9 Tahun 1975.

Pasal 15 PP:

Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.

Dalam hal pemeriksaan permohonan gugatan perceraian, dilakukan dalam sidang tertutup setelah hakim mendamaikan dan tidak dicapai perdamaian itu. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 33 PP No 9 Tahun 1975.

Pasal 33 PP:

Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian. Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Apabila tergugat bertempat kediaman

58


(52)

di luar negeri, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan. Selanjutnya PP No 9 Tahun 1975 mengharuskan kehadiran suami atau istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya dalam hal pemeriksaan gugatan perceraian. Hal ini diatur dalam Pasal 30.

Pasal 30 PP:

Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.

Setelah permohonan gugatan perceraian di ajukan kepengadilan yang meliputi daerah hukum tergugat dan telah diperiksa oleh hakim dan hal itu layak untuk disidangkan maka pengadilan memanggil penggugat dan tergugat atau kuasanya untuk melakukan sidang pengadilan. Pemanggilan penggugat dan tergugat atau kuasanya guna diadakan sidang pengadilan diatur dalam Pasal 26 dan 27 PP No 9 Tahun 1975 sebagai berikut:

Pasal 26 PP:

1. Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.

2. Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.


(53)

3. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.

4. Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. 5. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.

Pasal 27 PP:

1. Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat 2. panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan.

2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.

3. Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.

4. Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.


(54)

Jika tergugat bertempat tinggal di luar negeri maka panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

2. Cerai Gugat (istri yang bermohon untuk bercerai)

Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemuadian termohon (suami) menyetujui, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena itu, khulu’ termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya.59 Cerai gugat di atur dalam Pasal 73 UUPA sebagai berikut: Pasal 73 UUPA

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meningggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugagt.

(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

59


(55)

Adapun tindakan hukum selama proses perkara di pengadilan berlangsung, menghindari berbagai kemungkinan hal-hal yang bersifat negative di antara suami istri. Hal ini diatur pada Pasal 24 PP No 9 Tahun 1975.

Pasal 24 PP

(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat :

a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;

c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang-barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.

Gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Namun bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai. Upaya perdamaian dimaksud memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.60

60


(56)

Jika sidang pemeriksaan gugatan percerauan dilakakan secara tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Perceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kehadiran pihak-pihak yang berperkara atau kuasanya menjadi factor penting demi kelancaran pemeriksaan perkara di persidangan. Hal ini diuraikan dalam Pasal 34 PP No 9 Tahun 1975.

Pasal 34 PP:

(1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung

sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Sesudah perkara perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, maka salinan putusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait. Hal ini dijelasakan dalam Pasal 35 PP No 9 Tahun 1975.

Pasal 35 PP:

(1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat


(57)

ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

(2) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.

(3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.

C. Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP No 1 Tahun 1974, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah Putusnya Perkawinan pada Bab XVI.

Pasal 113 dinyatakan:

Perceraian dapat putus karena: a. Kematian,

b. Perceraian dan


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang penulis kemukakan pada bab terdahulu, terkait dengan status hukum thalaq diluar pengadilan, penulis menyimpulkan bahwa, thalaq di luar pengadilan tidak sah menurut perspektif UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sekalipun fiqh mengatakan sah thalaq di luar pengadilan, tapi tidak mempunyai kekuatan dalam hukum positif.

Dalam UU No 1 Tahun 1974, Kompiulasi Hukum Islam dan Fiqh dapat diambil intisari dari beberapa penjelasan pada bab-bab terdahulu terkait dengan thalaq sebagai berikut:

1. Thalaq hanya bisa dilakukan setelah keduanya sudah didamaikan.

2. Adanya alasan untuk menjatuhkan thalaq sebagaimana yang terdapat pada Pasal 39 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 yang dijelaskan pada Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 begitu juga Kompilasi Hukum Islam yang dijelaskan pada Pasal 116 begitu juga fiqh seperti yang dijelaskan dalam KHI.

3. Undang-undang No 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh sama-sama memberikan hak terhadap istri untuk menuntut cerai terhadap suaminya, yang dalam istilah UU No 1 Tahun 1974 disebut cerai gugat. Sedangkan dalam istilah Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh disebut khuluk.


(2)

4. Adanya persyaratan thalaq melalui pengadilan, terkait dengan persyaratan saksi thalaq. Dalam hal ini mayoritas ulama berpendapat bahwa di dalam thalaq tidak disyaratkan adanya saksi thalaq. Sedengakan UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam memberikan penjelasan bahwa pengadilan hanya menyaksikan ikrar thalaq yang diucapkan suami terhadap istrinya.

B. SARAN

1. Bagi ummat Islam janganlah sekali-kali menjatuhkan thalaq di luar pengadilan walaupun hal itu (thalaq) yang dilakukan di luar pengadilan diperbolehkan, tapi untuk lebih kehati-hatian dan lebih menjamin kepastian hukum thalaq itu sendiri dan untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan setelah perceraian. Untuk itucerai harus dilakukan kepengadilan.

2. Bagi ulama yang berpendapat sah thalaq di luar pengadilan jangan sampai menafikan atau mengenyampingkan UU perkawinan dan jangan bersifat otoriter terhadap fatwa yang dijadikan landasan hukum sahnya thalaq di luar pengadilan sehingga mempermudah terjadinya thalaq, karena thalaq yang dilakukan di luar pengadilan terkesan mempermudah terjadinya thalaq.

3. Bagi aparatur pemerintah yang membuat UU, jangan jadikan UU khususnya UU Perkawinan terkesan kurang efektif dikarenakan masih ada sebagian ummat Islam yang melakukan thalaq di luar pengadilan. Maka dari itu


(3)

perlunya penegasan hukum seperti sanksi bagi yang melakukan thalaq di luar pengadilan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.

Abdurrahman, Haris Abdullah. Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: CV Asy Syifa, 1990), cet, I.

Abidin, Slamet, Aminuddin. Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet, ke-1.

Abubakar, al-Yasa. Ihwal Perceraian di Indonesia: Perkembangan Pemikiran dari Undang-Undang Perkawinan Sampai Kompilasi Hukum Islam, (bagian kedua) dalam Mimbar Hukum, No . 41 Tahun. X 1999, (Jakarta: Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, 1999),

Ali, Zainuddin. Hukum Peradilan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet, I.

Anshari, Al, Abi Yahya Zakariya. Fathu Wahhab Bisyarhi Minhaju al-Thullab,Bairut juz II.

Asqalani, Al, al-Hafidz Ibnu Hajar. Bulughul Maram, (Surabaya: Al-Hidayah). Azami, Abdul Aziz Muhammad. Qawaid al-Fiqhiyyah, Darul Hadits al-Qahirah. Basyir, ahmad azhar. Thalaq di Luar Pengadilan, Artikel diakses pada 26 juli 2009

dari http://digilib.uin-suka.ac.id.

Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), cet. Ke-1.

Hadad, Al, Tahir. Wanita dalam Syariat dan Msyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).

Husaini, Taqiyuddin Abi Bakr Bin Muhammad. Kifayatu al-Akhyar, Bairut, juz II Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media

Publising, 2006), cet, 2.

Jauziyah, Al, Abi Abdullah Muhammad Bin Abi Bakr Bin Ayyubi al-Ma’ruf Bi Ibni Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in, Saudi Arabiyah, juz III.


(5)

Jaziry, Al, Abdurrahman Bin Muhammad Awad. Fiqh ‘Ala Mzahibil Al-Arba’ah, Darul Ibnu Al-Haitsam.

KHI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Fokusmedia, 2005), cet, 1. Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: rajawali pers, 1995). Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), cet, 4.

Masyhuri, Abdul Aziz. Masalah Keagamaan, (Jakarta: Qultum Media, 2004), jilid II, cet, I.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab, Terjemahan A.B, Masykur, Muhammad Afif, Al-Khaf Idrus. (Jakrta: Lentera, 2007), cet ke-6, edisi lengkap.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pusta Progresif, 1997), edisi II.

Nasution, Khairuddin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Seri INIS XXXIX, (Jakarta: 2002).

Nuruddin, Amiur, Tarigan, Azhari Akmal. hukum perdata islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: kencana, 2006), cet, ke-3.

Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni,1982).

Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah, Alih bahasa, Thalab Muhammad. (Bandung: PT. Alma’arif, 1980), jilid 8.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pres,1986).

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), cet, I.

Undang-Unadang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


(6)