ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
2 Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka
satu helai salinan putusan dimaksud ayat 1 yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetaptelah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan
pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan
perkawinan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.
3 Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat 1 menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu
mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.
C. Perspektif Kompilasi Hukum Islam KHI
KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP No 1 Tahun 1974, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukan aturan-
aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah Putusnya Perkawinan pada Bab XVI.
Pasal 113 dinyatakan: Perceraian dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas putusan pengadilan.
Kemudian diuraikan dalam Pasal 114 sebagai berikut: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalaq atau berdesarkan
gugatan perceraian” Berbeda dengan UU Perkawinan yang tidak mengenal istilah thalaq, KHI
menjelaskan yang dimaksud dengan thalaq pada Pasal 117. Pasal 117 KHI:
Thalaq adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 129, 130, dan 131. Berkenaan dengan perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama dinyatakan pada pasal 115. Pasal 115 KHI:
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
Sedangkan yang berkenaan dengan alasan-alasan terjadinya perceraian dijelaskan secara luas pada Pasal 116.
Pasal 116 KHI: Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang
b. Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. Sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga; g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Berangkat dari Pasal 116 ini, ada tambahan dua sebab perceraian dibanding dengan Pasal 19 PP Tahun 1975, yaitu suami melanggar taklik thalaq dan murtad.
Yang dimaksud taklik thalaq KHI menjelaskan pada Pasal 1 huruf e denganpenjelasan:
Taklik thalaq ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji thalaq yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;
Mengenai hal pengajuan permohonan cerai thalaq suami kepengadilan yang meliputi tempat tinggal tergugat istri KHI mengaturnya dalam Pasal 129:
Pasal 129 KHI:
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Mengenai permohonan cerai gugat yang di ajukan istri kepengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat istri terdapat dalam Pasal 132
Pasal 132: 1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan
Agama,. Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman
2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui
perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
Kompilasi Hukum Islam membedakan cerai gugat dengan khulu’. Namun demikian, ia mempunyai kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya
adalah keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak istri. Adapun perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwad uang tebusan, sedangkan
khulu’ uang iwad uang tebusan menjadi dasar akan terjadinya khulu’ atau
perceraian. Khulu’ dimaksud, diatur dalam Pasal 148 KHI. Pasal 148 KHI:
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan
khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alas an atau alasan-
alasannya 2.
Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan
tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya. 4.
Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi
suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam
pasal 131 ayat 5 6.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara
biasa.
Kemudian pemeriksaan permohonan yang diajukan penggugat ataupun tergugat dipelajari oleh Pengadilan Agama yang bersangkutan untuk mengetahui
layak tidaknya gugatan tersebut disidangkan, di atur dalam Pasal 113: Pasal 131 KHI:
1 Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan
dimaksud Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2 Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak
dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga,
Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3 Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami
mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.
4 Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 enam bulan
terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk
mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh. 5
Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti
perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama
beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan,
helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai
keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.
Selanjutnya Pasal 141 menjelaskan: 1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-
lambatnya 30 tiga puluh hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian
2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tentang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka
3. Apabila tergughat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-
kurangnya 6 enam bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 tiga puluh hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian. Dalam
menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tentang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat
atau kuasa mereka. Apabila salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain diluar kemampuannya, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 enam bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan
perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau
mewakilkan pada kuasanya. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk
hadir sendiri dan dalam pemeriksaan gugatan perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak selama perkara belum diputuskan, usaha
mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang selama perkara belum diputuskan. Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru
berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Hal ini di jelaskan pada
Pasal 142, 143 dan 144. Jika perdamaian yang dilakukan hakim tidak tercapai, maka pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup
Adapun tindakan hukum selama proses perkara di pengadilan berlangsung, menghindari berbagai kemungkinan hal-hal yang bersifat negatif di antara suami istri.
Hal ini diatur dalam Pasal 136. Pasal 136 KHI:
1. Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,
Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang
Pasal 137 KHI menjelaskan, gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.
Namun bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian
tercapai. Upaya perdamaian dimaksud memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali
sidang. Lain halnya bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup
Dalam setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama, baik penggugat maupun tergugat, atau kuasanya akan dipanggil untuk menghadiri sidang trersebut.
Panggilan dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama dengan melampirkan surat gugatan. Panggilan tersebut di lakukan secara patut dan
disampai kepada penggugat ataupun tergugat, bila tidak ditemukan disampaikan melalui lurah atau yang sederajat. Hal ini diatur secara lengkap pada Pasal 138 dan
139
Pasal 138 KHI: 1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan
mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-siurat kabar atau mass media tersebut ayat 1 dilakukan sebanyak 2 dua kali dengan tenggang waktu
satu bulan antara pengumuman pertama 3. Tenggang dwaktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 dengan persidangan ditetapkan sejurang-kurangnya 3 tiga bulan. 4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan
tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak
Pasal 139 KHI: 1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama
dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau messmedia lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau massmedia tersebut ayat 1 dilakukan sebanyak 2 2 kali dengan tenggang waktu
satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. 3. Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 tiga bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya
tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Jika tergugat berada di luar negeri maka panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta
akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, putusan tersebut dilakukan dalam sidang
terbuka. Setelah perkara cerai itu diputus maka panitera menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri, atau kuasanya, kemudian disampaikan pada
Pegawai Pencatat Nikah tampa bermaterai yang mewilayahi tempat tergugat istri.
Dalam UUP No 1 Tahun 1974 dan PP No 9 Tahun 1975 tidak mengenal adanya khulu’ tapi KHI menjelasakan apa yang dimaksud dengan khulu’ pada Pasal 1
huruf i sebagai berikut: Pasal 148 KHI:
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan
permohonannya kepada
Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alas an atau alasan-alasannya
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat 5
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.
Permohonan crai kepengadilan berdasarkan alasan:
61
1. Permohonan cerai karena melalaikan kewajiban. Menurut UUP No 1 Tahun 1974 Pasal 34 ayat 3 ada dijelaskan, jika istri melalaikan kewajiban, suami dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam seperti yang dimuat dalam Pasal 7 ayat 5 ada dinyatakan, jika suami atau istri
61
Nuruddin dan Azhari, Hukum Perdata Islam, h. 224-228
melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kapada Pengadilan Agama.
2. Permohonan cerai dengan alasan berbuat zina atau pemadat. Berkenaan dengan
masalah ini dimuat dalam PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf a yang berbunyi, “salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan. Senada dengan alasan di atas, Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan seperti terdapat dalam Pasal 116 huruf a yang
berbunyi, “perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat penjudi, dan lain sebagainya yang tidak dapat disembuhkan.
3. Permohonan cerai berdasarka alasan meninggalkan suami atau istri selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah. Alasan ini dimuat dalam PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf b yang menyatakan “ salah satu pihak meninggalkan
pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya”. Sedangkan KHI Pasal 116
huruf b berbunyi, “salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya”. 4. Permohonan cerai dengan alasan mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih.
Alasan ini dijelasakan pada PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf c yang berbunyi, “ salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung”. Selanjutnya dalam KHI Pasal 116 huruf c dijelasakan, “salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung”. 5. Permohonan cerai berdasarkan alasan melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain. Dalam PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf d di jelaskan, “salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain”. Adapun dalam KHI Pasal 116 huruf d juga dijelaskan, “salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain”. 6. Permohonan cerai berdasarkan alasan mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. Hal ini dimuat dalam PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf e yang berbunyi, ”salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebgai suami istri”. Dalam KHI Pasal 16 huruf e dinyatakan, “salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri”.
7. Permohonan cerai berdasarkan alasan terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran. Berdasarkan dengan alasan ini dijelaskan pada PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf f yang berbunyi, “antara suami dan istri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga”. Selanjutnya KHI Pasal 116 huruf f juga dijelaskan, “antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. 8. Permohonan cerai dengan alasan murtad. Dalam KHI Pasal 116 huruf h dengan
tegas dinyatakan, “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Menarik untuk dianalisis lebih lanjut, UUP
No 1 Tahun 1974 tidak memuat murtad sebagai salah satu sebab atau alasan perceraian. Ironisnya, ada kesan KHI kendati ada menyebut murtad sebagai alasan
perceraian, namun alasan tersebut dikaitan dengan adanya kalimat, “yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”.
9. Permohonan cerai dengan alasan syiqaq. Dalam UUPA No 7 Tahun 1989 Pasal 76 dijelaskan, “ apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat suami istri. Pada ayat 2 ada dinyatakan,
“Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak
ataupun orang lain untuk menjadi hakam”. 10. Permohonan cerai dengan alasan li’an. Alasan ini dapat ditemukan dalam Pasal
87 ayat 1 UUPA No 7 Tahun 1989 yang berbunyi, “Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan
pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan
atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari
termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah”.
Selanjutnya pada ayat 2, Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama”. Berikutnya dalam
Pasal 88 ayat 1 UUPA dijelaskan, ” Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat 1 dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat
dilaksanakan dengan cara lian”. Berikutnya ayat 2, “Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat 1 dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya
dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku”. Penjelasan yang sama juga dapat ditemukan dalam Pasal 125 dan 126 KHI
yang berbunyi, “Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya”. Pada Pasal 126, “Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat
zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran”.
Selanjutnya berkenaan dengan tata cara li’an di atur dalam Pasal 127 KHI sebagai berikut:
a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat
Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah
empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya
:tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”; c. Tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan; d. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b maka
dianggap tidak terjadi li`an.
BAB IV THALAQ DI LUAR PENGADILAN