lxv perlindungan hak-hak asasi manusia. Karena menurut An-Na’im bahwa tuntutan
pemisahan yang tegas tanpa memperhitungkan peran publik agama tidaklah realistis dan menyesatkan.
61
Dalam sebuah wawancara
Fathiyah Wardah Alatas
dengan An-Na’im, ketika
ditanya apakah negara mayoritas muslim harus melaksanakan hukum syariah?
An-Na’im menjawab bahwa: Bukan sebagai negara, melainkan sebagai masyarakat. Sebagai muslim
kita harus melaksanakan syariah. Tapi ada perbedaan antara menjalankan dan menerapkan. Menjalankan bersifat sukarela, sedangkan
menerapkan berarti ada pemaksaan dan ini berlawanan dengan semangat syariah. Karena syariah menghormati kebebasan memilih dan
kepercayaan orang, bukan atas dasar pemaksaan. Kaum muslim tentu tidak sepakat jika negara memaksakan syariah
62
. Menurut pendapat saya bahwa pelaksanaan syariat Islam berdasarkan
kesadaran umat Islam itu sendiri sebagaimana yang dimaksud An-Na’im, secara teori benar tetapi realitasnya sulit dilaksanakan dan bahkan Islam akan terus
meredup, tidak berpengaruh. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peran ulama dalam memberikan pemahaman keagamaan kepada masyarakat agar tidak menyalahi dan
menyelewengkan ajaran Islam syariat sehingga masyarakat tidak hanya memahami atau melaksanakan ajaran Islam berdasarkan kemauannya sendiri.
Pemisahan Islam dari negara harus dilakukan demi menjaga netralitas negara terhadap ajaran agama lain, tetapi bukan menghilangkan peran ulama dalam
masyarakat Islam.
B. Islam dan HAM
61
Ibid., h. 62
62 Hasil wawancara Fathiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im melalui VHRmedia.com
lxvi Manusia pada hakikatnya, secara kodrati dinugerahi hak-hak pokok yang
sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia HAM. Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang
melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar atau hak-hak pokok
yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, hak- hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Tujuan utama HAM bagi An-Na’im adalah untuk meyakinkan perlindungan yang efektif terhadap beberapa hal penting yang merupakan hak
semua manusia di mana pun berada, termasuk di negara yang tidak menjamin keberadaan hak itu dalam undang-undang dasar
63
. Sehingga bagaimanapun dan dalam bentuk apa pun bahwa penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia
tetap menjadi hak setiap manusia. Deklarasi HAM bertujuan melindungi keluhuran manusia dan menaikkan taraf kesejahteraannya di manapun berkat
universalitas nilai moral dan politik yang dikandungnya. Dengan universalitsas yang dikandungnya, maka setiap kekuasaan hukum dan konstitusi di sebuah
negara bertugas untuk melindunginya. HAM mengatur hubungan antar individu dan semua hubungan ini harus berdasarkan nilai persamaan dan menghargai orang
lain. Ketika itu terjadi dalam masyarakat, maka akan tergambar dalam kehidupan bernegara. Jadi, yang bisa dilakukan oleh negara adalah seperti yang sudah
dilakukan oleh masyarakat. Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang
menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya.
63
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 179
lxvii Melalui deklarasi universal HAM 10 Desember 1948 merupakan tonggak
bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Islam sebagai agama, pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life
yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Begitu juga
dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia, Islam pun mengatur mengenai hak asasi manusia. Harmonisasi antara tradisi Islam dan konsep HAM modern adalah
sesuatu yang niscaya, sehingga hukum Islam pra-modern yang menghambat kemungkinan itu haruslah ditafsir ulang
64
. Mereka yang mendukung gagasan HAM menegaskan bahwa hukum-hukum Islam pra-modern itu adalah rumusan
manusia, karena itu perumusannya kembali bukan saja tidak boleh, bahkan diperlukan.
Dalam Islam, konsep HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam
sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam. Karena dalam demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang
spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita temukan didalamnya konsep tentang penegakan HAM. Bahkan HAM dalam Islam
telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu
65
. Fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hak asasi manusia, hal ini terbukti dengan adanya jaminan Islam terhadap HAM melalui berbagai cara.
64
Budhy Munawar Rahman, “HAM dan Persoalan Relativitas Budaya” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara Civil Society; Gerakan dan
Pemikiran Islam Kontemporer Jakarta: Paramadina, 2005, h. 471
65
Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid Jakarta: Republika, 2004, h. 91
lxviii Menurut Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, setidaknya ada tiga hal yang
membuktikan keterkaitan Islam dengan HAM.
66
Pertama, dalam al-Qur’an memang tidak dipaksakan untuk memeluk agama Islam dan “dibebaskan untuk
tidak beragama.” Seperti yang ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 29 yang berarti : “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa ingin
beriman, hendaklah ia beriman. Barangsiapa ingin kafir, biarlah ia kafir.” Kedua, model masyarakat yang dikembangkan Rasul di Madinah melalui piagam
Madinah merupakan deklarasi HAM pertama di dunia. Dalam piagam tersebut setiap masyarakat Madinah dibolehkan menganut agama masing-masing dan tidak
mengganggu orang untuk beribadah. Karena itu para sarjana memandang bahwa piagam ini merupakan teks sebagai pengakuan Hak Asasi Manusia. Walaupun
kemudian teks ini dilanggar oleh kelompok non-Muslim, namun harus diakui sumbangsih Islam terhadap cetak biru HAM di muka bumi ini. Sebab teks-teks
tentang HAM di barat mulai dikenal pada abad ke-13 dengan munculnya Magna Charta 1215. Ketiga, dalam Islam dikenal 5 prinsip hak asasi manusia yang
seringkali kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih: a Hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup; b Hak perlindungan keyakinan; c Hak perlindungan terhadap
akal pikiran; d Hak perlindungan terhadap hak milik; e Hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik.
67
Lima prinsip inilah yang selalu menjadi nafas dalam pengkajian hukum Islam. Artinya semua
ketentuan hukum harus berlandaskan lima prinsip tersebut.
66
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 105
67
Masdar F. Mas’udi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah ed., Diseminasi Hak Asasi Manusia, 2000, h. 66-67.
lxix Rasulallah Muhammad SAW mengatur perlindungan hak-hak sipil
golongan Islam dan non-Muslim dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah adalah suatu aturan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika Ia masuk ke
Madinah setelah meninggalkan Makkah. Inilah sebuah piagam yang memberikan jaminan kesetaraan hidup beragama. Tidak ada pemaksaan hidup beragama.
Dengan Piagam Madinah, warga setempat merasakan keadilan hidup beragama, dapat menjalankan ajaran agama yang memberdayakan, yang menjamin integrasi
bangsa, yang menjamin adanya pluralitas atau kemajemukan bangsa, yang menjamin kemajuan bagi semua. Tak ada eksploitasi satu kelompok terhadap
kelompok yang lain. Hukum Islam, syari’ah, memiliki reputasi yang buruk – terutama di Barat,
dan juga dibeberapa negara Muslim sekuler. Ia dianggap sebagai sebuah konsep yang merepresi perempuan, melanggar hak asasi manusia, dan terbelakang.
Namun Abdullah An-Na’im, professor ilmu hukum pada Emory University di Atlanta, Amerika Serikat mengatakan bahwa para fundamentalis memang
memahami konsep syari’ah secara lain. Menurutnya syari’ah justru memiliki segi positif dan masa depan. Menurut cendekiawan muslim dan aktivis yang pernah
diusir dari negaranya, Sudan, karena prinsipnya tentang penegakan HAM, prinsip dan nilai-nilai HAM sangat dibutuhkan oleh setiap orang agar terlindungi diri
secara pribadi dan masyarakat dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
68
Pakar hukum Islam asal Sudan ini, Abdullah Ahmed An-Na’im menegaskan, semangat hukum Islam tidak berbeda dengan Hak Asasi Manusia
HAM. Ia berpendapat masalah HAM dan syari’ah lebih baik dipahami dengan
68
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 17
lxx menggunakan dua kerangka yaitu inherennya keterlibatan manusia dalam
pemahaman dan praktik Islam, di satu pihak, dan universalitas HAM di pihak lain. Pendekatan ini lebih realistis dan konstruktif daripada sekadar mengungkapkan
kecocokan atau ketidakcocokan Islam dengan HAM dan mengambil keduanya dalam pemahaman yang absolut dan statis. Ketika kita menguji dinamika dan
perkembangan hubungan Islam dan HAM, kita akan menemukan bahwa Islam sebenarnya sangat mendukung HAM.
69
Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, Muslim tidak harus mengabaikan agamanya hanya untuk mengakui
HAM. Mereka juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan maupun agama.
70
Guru Besar Hukum Islam yang menjadi guru besar di sejumlah universitas di Amerika Serikat itu berulang kali menyatakan bahwa hukum Islam
mempunyai semangat serupa dengan HAM. Namun pada saat yang sama, An- Na’im mengingatkan, hukum Islam tidak bisa dijadikan hukum nasional dengan
alasan apa pun. Jika itu yang terjadi maka negara cenderung menafsirkan hukum Islam sesuai dengan kepentingan politiknya, kata An-Na’im yang diusir dari
Sudan karena pandangan-pandangannya yang dinilai tidak sesuai dengan kepentingan politik pemerintah.
Menurut Na’im, umat Islam sedunia boleh saja berhak menerapkan hukum Islam, asal tidak melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam
maupun di luar komunitas Islam. Artinya dalam mengklaim dan menggunakan hak-hak perorangan dan kolektif untuk menentukan nasib sendiri, kaum Muslimin
juga harus mengakui dan menjamin hak-hak yang sama bagi orang lain.
69
Ibid., h. 177
70
Ibid
lxxi Persoalannya, menurut Na’im, jika syari’ah historis Na’im menggunakan
istilah historical shari’ah untuk menamakan syari’at Islam diterapkan sekarang, akan menimbulkan masalah serius menyangkut masalah-masalah
konstitusionalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia. Dan menurutnya, yang paling merasakan akibatnya adalah masyarakat
non-Muslim dan kaum wanita. Bagi masyarakat non-Muslim mereka akan menjadi masyarakat kelas dua dengan status dzimmi, dan bagi wanita, mereka
akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan minimnya akses ke dalam kehidupan publik. Bahkan kaum laki-laki pun, katanya, juga akan
merasakan dampaknya, yaitu mereka akan kehilangan kebebasan karena disekat berbagai undang-undang.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Na’im mengajukan konsep perubahan dalam hukum publik di negara-negara Islam dengan membangun suatu versi
hukum publik Islam yang sesuai dengan standar konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional dan hak-hak asasi manusia modern. Untuk tujuan itu,
Na’im menafikan kesakralan syari’ah, karena syari’ah bukanlah bersifat ilahiyyah wahyu yang langsung datang dari Allah. Syari’ah, menurutnya, adalah “the
product of process of interpretation of analogical derivation from the text of the Qur’an and Sunna and other tradition”
hasil dari proses penafsiran, derivasi melalui qiyas terhadap teks al-Qur’an, Sunnah dan tradisi yang lain.
71
Oleh karena nya Pemahaman atas syari’ah seperti apapun selalu merupakan produk
ijtihad dalam artian pemikiran dan perenungan umat manusia sebagai cara untuk memahami makna al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
71
Abdullah Ahmed An-Naim, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, And International Law
.Syracuse: Syracuse University Press, 1990, h. 11
lxxii An-Na’im begitu simpatik kepada HAM dan tidak begitu simpatik kepada
syariah. Syariah dalam makna baru versi An-Na’im yang punya masa depan, bukan syari’ah seperti yang diyakini kaum Muslimin pada umumnya. An-Na’im
menitikberatkan pemahamannya tentang hak asasi manusia melalui dua kekuatan utama yang menjadi sumber motivasi seluruh tingkah laku manusia yaitu
kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas.
72
Dengan kata lain, syari’ah sebagai hukum yang praktis tidak dapat mengesampingkan konsepsi hak-hak asasi
manusia yang berlaku pada suatu waktu. Menghubungkan Islam dan HAM bagi An-Na’im merupakan hal yang
sangat penting bagi mayoritas umat Islam agar motivasi mereka untuk berpegang pada norma-norma HAM tidak hilang begitu saja hanya karena memahami norma
tersebut sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena apabila mereka percaya bahwa hak-hak tersebut sesuai dengan sistem kepercayaan
mereka, komitmen dan motivasi mereka untuk melindungi hak-hak tersebut akan bertambah. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa untuk bisa menjustifikasi secara
moral atas klaim HAM, tanpa melakukan diskriminasi kepada orang lain, umat Islam harus menyadari bahwa orang lain pun memiliki hak yang sama dengan
umat Islam. Adnin Armas mengatakan bahwa An-Na‘im, menghabiskan waktu
menulisnya tentang Islam dan Negara Sekuler dalam rangka menegosiasikan masa depan syariah selama 3 tahun 2004-2006 dengan dibiayai Ford Foundation.
73
Dalam persoalan hubungan Islam dan HAM, An-Na’im menjelaskan bahwa
72
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional Dalam Islam ,
Yogyakarta: LkiS, 1994, h. 313
73
Adnin Armas, “ Abdullahi ahmed An-na’im lebih simpatik kepada HAM ketimbang syariah
,” artikel ini diakses pada tanggal 25 Juni 2008 dari http:khalidwahyudin.wordpress.com.html
lxxiii apabila dihadapkan dengan pilihan antara HAM dan Islam, maka An-Naim akan
lebih berpihak pada Islam, kalau ajaran Islam tersebut tidak bertolak belakang dengan konsep universalitas HAM, namun apabila ajaran Islam bertolak belakang
bahkan bertentangan dengan konsep HAM, An-Na’im tidak ragu akan berpihak pada HAM dibandingkan pada Islam. An-Na’im dalam pernyataannya sebagai
berikut: “Sebagai seorang Muslim, jika saya dihadapkan pada pilihan antara Islam
dan hak-hak asasi manusia, saya pasti memilih Islam. Akan tetapi, jika dihadapkan pada argument bahwa ternyata ada konsistensi antara agama
yang saya anut dan hak-hak asasi manusia, saya akan dengan senang hati menerima hak-hak asasi manusia sebagai ekspresi nilai-nilai agama dan
bukan sebagai penggantinya. Sebagai Muslim pendukung hak-hak asasi manusia, saya mesti terus mencoba mencari cara untuk menjelaskan dan
mendukung klaim bahwa hak-hak asasi manusia sesuai dengan Islam, benar-benar diperlukan dari perspektif Islam, meskipun tidak sesuai
dengan beberapa interpretasi manusia atas syariah.”
74
Menurut An-Na’im, semua umat Islam tunduk pada hukum Islam. Pertanggungjawaban umat Islam atas pelaksanaan hukum Islam tidak boleh
melibatkan negara atau pemerintah. Pertanggungjawaban umat Islam menurut peneliti masa depan hukum Islam itu ditujukan hanya kepada Allah. Bahkan ia
menegaskan bahwa, Tidak ada seorangpun yang bisa menyatakan bahwa orang lain itu murtad atau musyrik. Masalah tersebut merupakan wilayah otonomi orang
yang bersangkutan. An-Na’im, oleh karenanya, mendukung sekularisme, sebuah negara yang secara netral membuat hukum yang berlaku bagi seluruh warganya,
seraya memberikan cukup ruang kebebasan bagi mereka untuk tetap mempraktekan agama yang mereka percayai dalam kehidupan mereka sehari-hari.
74
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 50-51
lxxiv An-Na’im menyoroti bahwa adanya ketegangan antara syari’ah dan HAM
terutama berkaitan tentang perbudakan, diskriminasi berdasarkan gender dan agama serta hak non-Muslim. Kemudian mengeksplorasi cara-cara menyelesaikan
ketegangan tersebut melalui reformasi Islam bahwa ia tidak menerima aspek syari’ah ini sebagai hukum Islam yang final dan konklusif. Menurut An-Na’im
bahwa secara moral tak dapat dipertanggungjawabkan bagi syariah untuk melanjutkan pengabsahan perbudakan
75
. Adapun diskriminasi hukum keluarga dan hukum perdata syariah dalam pandangan An-Na’im mencakup hal-hal sebagai
berikut:
76
• Seorang laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau Yahudi,
tetapi seorang laki-laki Kristen atau Yahudi tidak boleh mengawini perempuan Muslim
• Perbedaan agama adalah penghalang dari seluruh pewarisan. Sehingga
seorang Muslim tidak akan dapat mewarisi dari maupun mewariskan kepada non-Muslim
Adapun diskriminasi berdasarkan gender dalam hukum keluarga dan perdata mencakaup hal-hal sebagai berikut:
• Laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu
bersamaan, tetapi perempuan Muslim hanya dapat kawin dengan seorang laki- laki dalam waktu bersamaan.
• Seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan istrinya, atau seorang dari istri-
istrinya dengan meninggalkan begitu saja tanpa akad, talaq, tanpa berkewajiban memberikan berbagai alasan atau pembenaran tindakannya.
75
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 329-335
76
Ibid., h. 337
lxxv Sebaliknya seorang perempuan Muslim dapat bercerai hanya dengan kerelaan
suami atau dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan dasar-dasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya untuk
mengurus istri. •
Dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian lebih sedikit dari bagian laki-laki Muslim ketika keduanya berada pada tingkatan yang
sama dalam hubungannya dengan seorang yang meninggal. Mengenai hal diatas itu An-Na’im menekankan tentang tidak adanya
pembenaran historis berbagai hal berkenaan dengan diskriminasi berdasar agama atau gender tersebut dan menilai bahwa perbudakan dan diskriminasi atas dasar
agama dan gender adalah melanggar penegakan hak asasi manusia. Hal tersebut adalah titik konflik dan ketegangan yang paling serius antara syari’ah dan hak
asasi manusia universal.
77
Karena menurutnya pengakuan Deklarasi Universal HAM sebagai norma hak asasi manusia universal lebih merupakan hasil proses
konsensus global daripada sekedar sebuah hasil pemaksaan. Deklarasi HAM tidak mewakili suatu kerangka kerja teologis atau metafisis tertentu karena ia tidak
menetapkan agama apapun sebagai sumber justifikasi. Ini memungkinkan penganut agama manapun untuk membangun komitmen atas deklarasi tersebut
berdasarkan norma yang dianut.
78
Dalam berbagai hal, ide An Na’im ini sangat absurd, sebab beberapa perangkat hukum dalam syari’ah Islam meniscayakan campur tangan negara,
untuk mencegah terjadinya kekacauan dan keonaran. Dalam pelaksanaan hukum
77
Ibid, h. 340
78
Sukron Kamil dan Chaeder S. Bamualim, ed. Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non Muslim
CSRC: Jakarta, 2007, h. 10
lxxvi kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, talak, wasiat, dan lain sebagainya,
rasanya sulit membayangkan negara untuk tetap netral. Di Indonesia saja, urusan pendidikan
Islam, pernikahan, zakat, haji, pemakaman Islam, wakaf, dan sebagainya, telah melibatkan campur tangan negara. Dan itu berjalan biasa-biasa saja. Na’im juga
terlihat tidak konsisten dalam mengapresiasi prinsip HAM. Apa yang mendorong Na’im mengabsolutkan dan mengidealkan International Convention of Human
Rights. Bukankah ia juga produk pikiran manusia yang dipengaruhi oleh setting sosial-politik dan kerangka filosofis religius sekuler para pencetusnya. pemikiran
An Na’im ini bisa menuntun orang untuk menganggap bahwa Islam adalah hasil rekayasa manusia.
C. Konstitusionalisme