Paradigma Sekuler KONTEKSTUALISASI HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

xlvii apabila Islam mau berperan dalam politik, perannya adalah pesan substantif, yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dan tema-tema sentral seperti keadilan dan egalitarianisme, bukan menonjolkan simbol. 32 Kesimpulannya, hal yang diinginkan oleh golongan Substantif-Inklusif dalam hubungan agama dengan negara adalah bagaimana antara ulama dan pemerintah agama dan negara bisa saling mengisi satu sama lain. Para ulama mengurus bagaimana moral umatrakyat baik, kemudian pemerintah mengurus dan mengupayakan tentang bagaimana kesejahteraan, ketentraman dan perdamaian rakyat bisa tercapai. Dalam Islam, etika menjadi acuan bagi politik dan segala bentuk aturan tingkah laku politik yang diambil dari norma-norma etika Islam. Dengan demikian, perhatian utama politik, yakni usaha mengkontrol struktur Negara, meraih kekuasaan untuk kebaikan, menyapu bersih keburukan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik, semuanya relevan dan dianjurkan oleh Islam. 33 Islam memberikan perhatian penting terhadap aktivitas-aktivitas ini, yang membedakannya dengan yang lain adalah bahwa kehidupan politik harus ditempatkan dalam kerangka kehidupan keagamaan dan spiritual yang lebih luas.

C. Paradigma Sekuler

Kata sekularisme telah banyak digunakan dalam berbagai cara dalam sejumlah perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan, sekularisme diartikan sebagai kebijakan memisahkan gereja dari negara. Di negara-negara 32 Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih Bandung: Mizan, 2000, h. 145. 33 Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam. Penerjemah Munir A. Mu’in dan Widyawati Bandung, Pustaka, 2001, h. 25 xlviii Katolik, menekankan pembedaan antara orang awam dari kaum pendeta. Istilah tersebut menunjuk pada dua aspek yang sama dan digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah dualitas, yaitu pertentangan atau pemisahan antara gereja dan negara. Masalah yang cukup menyita perhatian kaum Muslimin saat ini adalah masalah hubungan agama dan negara. Masalah ini menjadi mendesak disebabkan oleh munculnya negara-negara bangsa Nation State dan berhembusnya semangat sekularisme yang dibawa oleh Barat modern. Modernisasi dunia Islam dimulai pada abad ke -19. Berbagai perlawanan yang dilakukan untuk menandingi Barat dimulai pertama kali oleh kekhalifahan Usmani dibawah pimpinan sultan Mahmud II 1808- 1839. Sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekulerisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu 34 . Pemikiran tentang sekulerisasi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Harvey Cox dalam bukunya yang berjudul The secular City. Sehingga gagasan sekuler nya tampak lebih popular dan terformulasi dengan lebih sistematis. Harvey Cox berpendapat sekularisasi adalah pembebasan manusia dari proteksi agama dan metafisika, pengalihan dari alam lain kepada dunia ini. Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his 34 Lihat http:id.wikipedia.orgwikiSekularisme yang diakses pada tanggal 5 April 2008 xlix attention away from other worlds and toward this one 35 . Harvey Cox menegaskan bahwa sekularisasi membebaskan masyarakat dari kontrol agama dan pandangan alam metafisik. Di dunia Islam sekularisasi bukan hanya sebuah proses, tapi juga telah menjadi paradigma, ideologi dan dogma yang diyakini kebenarannya dan digarap secara sistematis dan terencana. Sekularissai dianggap sebagai prasyarat transformasi masyarakat tradisional menjadi modern. Pendukung arus sekular menyuguhkan analisis yang penuh optimis atas nilai-nilai Barat, dan mengukuhkannya sebagai konsep Islam. Singkatnya arus ini tidak memberikan peluang kepada warisan politik Islam untuk berkembang atau berevolusi. 36 Dalam istilah politik, sekulerisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas. 37 Sekulerisme, seringkali di kaitkan dengan Era Pencerahan di Eropa, dan memainkanm peranan utama dalam Peradaban Barat. Prinsip utama Pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat, dan Laisisme di Perancis, didasarkan dari sekulerisme. Kelompok sekuler percaya bahwa Islam dan politik harus dipisahkan. Dan tidak mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka, Islam adalah sistem keagamaan, tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan politik 35 Dikutip dari Adnin Armas dalam tulisannya Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi Harvey Cox, dalam sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, hal. 28. 36 Vaezi, Agama Politik, hal. 3. 37 Lihat http:id.wikipedia.orgwikiSekularisme yang diakses pada tanggal 5 April 2008 l atau pemerinthan. Pola pemisahan agama dan negara ini, menolak eksistensi “negara agama”, juga kaitan hukum keagamaan. Pandangan An-Naim tentang sekuler, memang harus ada pemisahan antara negara dan agama supaya dapat dijalankan oleh pemeluknya dengan suka rela tanpa ada paksaan dari negara. Namun dalam pengertian sekulernya An-Naim mendefinisikannya sebagai netralitas negara terhadap semua agama, sebagai kerangka untuk mengatur peran politik agama, dan bukan sebagai alat untuk meminggirkan agama dari domain publik. 38 Islam tidak mempunyai sistem politik, dan apa yang dilakukan Nabi saw pada masanya tidak bisa disebut sebagai pengalaman pemerintahan Islam klasik. Bagi mereka kegagalan dunia Islam di dalam membangun sistem politik modern, termasuk yang bertumpu pada demokrasi, diakibatkan oleh ketidak mampuan melihat dan memperlakukan agama dan politik sebagai dua entitas yang berbeda dan terpisah. Dalam sejarah Islam, pandangan seperti ini sering diasosiakan dengan praktik politik Ataturkisme atau Kemalisme di Turki. Atau sering juga dirujukkan kepada pemikiran-pemikiran Ali ibn Abd Raziq, pemikir Mesir pada dasawarsa 1920-an. Ali Abd Al-Raziq 1888-1966, seorang syaikh di Universitas al-Azhar Kairo Mesir, telah memicu kontroversi yang meledak pada tahun 1952 ketika bukunya, Al-Islam wa-Ushul Al-Hukm Islam dan Akar Pemerintahan, menyatakan bahwa kekuasaan Agama dan administratif Nabi adalah terpisah. Pemerintahan Muhammad atas komunitas Muslim Madinah bukanlah bagian dari 38 Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan masa depan syariah . Penerjemah Sri Murniati Jakarta: Mizan, 2007, h. 436 li misi kenabiannya, dan para penerusnya, para khalifah hanyalah meneruskan kekuasaan temporalnya. Ia mengklaim bahwa khalifah tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, Hadits maupun ijma’ ulama. Islam tidak memberikan aturan yang pasti tentang sistem pengaturan dan pengelolaan negara. Baginya Muhammad hanyalah seorang Nabi, bukan penguasa. Ia Cuma ditugaskan untuk mengajarkan akhlak dan agama, bukan politik dan tata negara. Oleh karena itu, agama tidak mesti dibawa-bawa dalam urusan kenegaraan. Urusan politik, pola pemerintahan, administrasi negara dan lain-lain tidak ada sangkut pautnya dan karena itu tidak perlu dikaitkan dengan agama. Ali Abd Al-Raziq berargumen bahwa Nabi adalah pembawa misi agama, ia tidak mempunyai sebuah pemerintahan dan juga tidak berusaha mendirikan sebuah kerajaan dalam arti politik atau semacamnya. Sehingga ia berpendapat bahwa upaya pendirian sebuah pemerintahan tidak dipandang sebagai bagian dari ajaran Islam. Penulis Pakistan Qamaruddin Khan, telah berpendapat bahwa teori politik Islam tidak muncul dari Al-Qur’an tetapi dari keadaan dan bahwa negara bukanlah merupakan hal yang dipaksakan secara ilahiyah ataupun yang sangat dibutuhkan sebagai sebuah institusi sosial. Konstitusi muslim bersifat fleksibel dan tidak semestinya menjadi institusi yang kaku dan tidak dapat dipertahankan secara intelektual sebagaimana yang sudah terjadi. Ia telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo politik di dalam masyarakat muslim. Menurut Al-Jabiri pertanyaan apakah Islam itu agama atau negara adalah merupakan sebuah pertanyaan palsu karena tidak memantulkan realitas kaum lii Muslimin itu sendiri. Kemudian Al-Jabiri menjelaskan bahwa jika kita mau jujur menalaah Al-Qur’an dan sejarah Islam, maka kita akan menemukan dengan jelas fakta-fakta yang menunjukkan dengan jelas bahwa Islam sama sekali tidak menentukan jenis dan bentuk negara. Masalah negara adalah merupakan sebuah ijtihad. Singkatnya masalah negara menurut Al-Jabiri adalah masalah yang tergolong pada apa yang dikatakan Nabi bahwa kamu lebih tahu tentang urusan dunia mu. Lebih jauh Al-Jabiri mengatakan: Sesungguhnya bentuk negara dalam Islam bukanlah termasuk hal-hal yang diatur dalam Islam. Ia termasuk masalah yang diserahkan kepada kaum muslimin agar mereka berijtihad sesuai dengan pertimbangan manfaat dan kemaslahatan serta berbagai standar yang ada pada setiap zaman. Karena itu mengatakan bahwa Islam agama sekuler menurut saya sama salahnya dengan mengatakan bahwa Islam bukan agama sekuler karena sekularisme dalam arti memisahkan agama dari negara tidak dikenal dalam Islam karena tidak ada gereja dalam Islam. Adapun yang dimaksud dengan pemisahan adalah terpisahnya ulama dari umara, tentara dari rakyat, yakni apa yang kita sebut sekarang sebagai pemisahan agama dari politik dan tiadanya izin bagi tentara untuk terlibat dalam partai-partai politik, maka inilah yang secara aktual telah terjadi sejak muawiyah, dan inilah yang membentuk bagian terbesar dari pengalaman historis umat Islam. 39 Dalam pengertian Amien Rais bahwa sekularisme merupakan suatu ideologi ataupun paham hidup yang mengajarkan bahwa agama merupakan masalah pribadi dan masalah subyektif setiap individu yang hanya bermanfaat 39 Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah. Penerjemah Mujiburrahman Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001, h. 19 liii untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kejiwaan. 40 Para pendukung sekularisme berpendirian bahwa agama harus sama sekali terpisah dari urusan-urusan dunia. Dalam pandangan mereka, konsep negara agama merupakan sebuah konsep yang sudah usang dan tertinggal dan hanya terbatas pada zaman dimana manusia masih miskin ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam mengatur tertib sosialnya, sehingga mereka memerlukan agama dalam mengatur hubungan-hubungan antara mereka dalam masalah hukum, ekonomi, politik ,dan kebudayaan. Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu kewajiban agama. Dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut kewajiban mendirikan negara, namun tidak pula mewajibkan untuk mengabaikannya, melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum muslim. 41 Para pemburu sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari politik karena bagi mereka Islam hanya terbatas pada masalah moral dan pribadi. 42 Mereka menitikberatkan pandangan mereka pada sebuah konsep rasionalitas. Rasionalitas sekuler beranggapan bahwa intelektual manusia sanggup untuk membentuk pengetahuannya sendiri tanpa bantuan wahyu. Oleh karena itu manusia mampu membangun ilmu pengetahuan alam, humaniora, filsafat, hukum dan lain-lain tanpa bantuan Tuhan ataupun agama. Hal inilah yang menyebabkan cara berpikir sekuler hanya menyisakan sedikit ruang untuk agama. Sehingga pemikiran seperti ini telah membatasi peran agama sebagai hanya mengatur hubungan antara manusia dengan penciptanya, 40 Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan Mizan: Bandung, 1998, hal. 75. 41 Al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah, h. 19. 42 Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 8. liv tanpa harus turut campur dalam masalah tertib sosial dan politik. Hal ini disebabkan karena hubungan sosial merupakan bagian dari urusan manusia bukan urusan wahyu. Pemisahan agama dari politik hanyalah salah satu bagian saja dari sekularisme. Menurut mereka, pemisahan agama bukan hanya dari poltik saja, tetapi juga dari etika, seni, hukum, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu mereka tidak hanya mendukung negara sekuler, tapi juga hukum sekuler, kebudayaan sekuler, ilmu pengetahuan sekuler dan seterrusnya. 43 Anggapan tentang penyatuan agama dan politik, din wa-daulah, adalah tidak berguna karena tiga alasan: 44 Pertama , ia melebihkan keunikan politik muslim. Karena menurutnya agama jelas merupakan hal yang sentral bagi kehidupan politik rakyat di seluruh dunia, bukan hanya bagi kaum muslimin. Kedua , tekanan pada din wa-daulah secara tidak sengaja mengabadikan asumsi para orientalis bahwa politik Muslim, tidak seperti politik yang lain, tidak dibimbing oleh perhitungan rasional berbasis kepentingan. Akibatnya, disebabkan oleh selalu terlibatnya agama, Muslim lalu dianggap terlalu bernafsu, tak terkendali, tak kenal kompromi, dan tak mungkin untuk diajak bernegosiasi. Ketiga , asumsi din wa-daulah ikut menyumbang pandangan bahwa politik merupakan sebuah jaring tak berjahit, yang bagian-bagiannya tidak dapat dibedakan karena adanya interpenetrasi yang alami dan mutual antara agama dan politik. Karena Islam dianggap memasukkan semua aspek kehidupan dan segala sesuatu lalu diasumsikan bersifat politis, maka struktur politik menjadi teremehkan. 43 Vaezi, Agama Politik, hal. 13. 44 Dale F. Eickelman , dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim Bandung: Mizan, 1998, hal. 71. lv Turki sebagai salah satu contoh negara sekuler, apakah bentuk negara sekuler mereka yang digagas Mustafa Kemal Ataturk sejak 1920an dapat dijadikan salah satu model terbaik dari penerapan sekularisme? Meskipun dalam banyak hal, banyak yang setuju dengan penerapan sekularisme di Turki. Namun, untuk persoalan larangan mengenakan hijab atau jilbab bagi mahasiswi di universitas, banyak muslim lainnya sangat tidak sepakat. Negara paling sekuler pun harus tetap menjamin kebebasan menjalankan keyakinan agama bagi setiap warga negaranya. Dalam hal ini, negara tidak perlu mencampuri keinginan warga negaranya dalam menjalankan syariat agama mereka masing-masing, termasuk menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti hijab, kalung salib, dan lain lain. Ini seharusnya menjadi bagian terpenting dalam penerapan sekularisme, yaitu jaminan atas kebebasan dan hak individu. Menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im, sebagai ajaran suci, Syariah haruslah dilaksanakan setiap Muslim secara sukarela. Karena itu, penerapannya oleh negara secara formal dan paksa dalam bentuk formalisasi syariah akan membuat ia kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya. Naim dengan tegas menolak formalitas syariah Islam yang dipaksakan oleh negara. Sebaliknya, penerapan syariah harus sukarela agar bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat Islam sendiri. Naim juga menuturkan, harus ada pemisahan agama dan negara. Negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama mana pun. Syariah harusnya menjadi semangat etis negara bahwa ada landasan moral pada setiap kebijakan negara, walaupun tidak harus diterjemahkan dalam kebijakan yang memihak kepada Islam saja. An-Naim menawarkan pandangan jalan tengah lvi antara kaum fundamentalis yang menghendaki penyatuan agama dan negara dengan kalangan sekuler liberal yang ingin pemisahan total keduanya. Saya mendukung negara sekuler, tapi saya tidak mendukung masyarakat sekuler. Ada perbedaan mendasar. Pada masyarakat sekuler, agama tidak punya peran sama sekali dalam kehidupan sosial. Tapi, pada masyarakat religius yang tinggal dalam negara sekuler, faktanya justru masyarakat itu lebih religius dibandingkan dengan yang berada di negara Islam. Ini karena masyarakat mengikuti Islam atas kesadaran, bukan paksaan. 45 Menurut An-Naim pemisahan antara negara dan Islam tidak berarti bahwa Islam menurunkan Islam ke level privat karena prinsip-prinsip Islam sebetulnya masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undang- undang negara. Namun, pengajuan ini harus didukung oleh public reason yang berarti bahwa berbagai argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus merujuk pada keyakinan agama. 46 Syariah Islam dinilai memiliki masa depan yang cerah untuk kedamaian publik. Namun, bukan dengan cara memformalkan syariah karena upaya memformalkan syariah sebagai hukum formal justru dapat menyebabkan ia kehilangan otoritas dan kesuciannya. Namun betapa pun, dia yakin bahwa Islam tak dapat dislenggarakan oleh negara, juga tak bisa dilepaskan dari kehidupan publik masyarakat-masyarakat Islam. 47 45 Hasil wawancara Asrori S. Karni dan Basfin Siregar dari Gatra dengan An- Naim di Hotel Kristal, Jakarta ketika kunjungannya di Indonesia. Diakses pada tanggal 5 April 2008 dari situs http:groups.yahoo.comgrouptelaga_hikmahmessage. html. 46 An-Naim, Islam dan Negara Sekuler, h. 212. 47 Ibid., h. 78 lvii

BAB IV PEMIKIRAN POLITIK ABULLAHI AHMED AN-NA’IM