Konstitusionalisme PEMIKIRAN POLITIK ABULLAHI AHMED AN-NA’IM

lxxvi kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, talak, wasiat, dan lain sebagainya, rasanya sulit membayangkan negara untuk tetap netral. Di Indonesia saja, urusan pendidikan Islam, pernikahan, zakat, haji, pemakaman Islam, wakaf, dan sebagainya, telah melibatkan campur tangan negara. Dan itu berjalan biasa-biasa saja. Na’im juga terlihat tidak konsisten dalam mengapresiasi prinsip HAM. Apa yang mendorong Na’im mengabsolutkan dan mengidealkan International Convention of Human Rights. Bukankah ia juga produk pikiran manusia yang dipengaruhi oleh setting sosial-politik dan kerangka filosofis religius sekuler para pencetusnya. pemikiran An Na’im ini bisa menuntun orang untuk menganggap bahwa Islam adalah hasil rekayasa manusia.

C. Konstitusionalisme

Konstitusi adalah simbol dari kedaulatan rakyat. Konstitusi adalah acuan- acuan tetap yang harus dipatuhi oleh negara agar bisa mengoperasikan kekuasaannya dengan persetujuan warga negaranya. Hanya dengan demikian negara bisa dan absah menarik kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh warganegara, maka dalam artian ini, konstitusi berarti sarana bagi rakyat untuk mengontrol operasi kekuasaan negara. Konstitusi adalah sarana bagi demokrasi. Inilah inti pengertian dari konstitusionalisme. Hal yang sama pentingnya menurut An-Na’im adalah Kemampuan masing-masing dari setiap warga negara secara sah menentang kebijakan atau hukum apapun lewat cara perundang-undangan, juga lewat alat politik 79 . 79 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 160 lxxvii Konstitusionalisme, sebagai paham dan semangat spirit sebenarnya menegaskan pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui konstitusi yang tidak bisa dicukupkan dari akomodasi tekstual. Artinya, memperbincangkan problematika ketatanegaraan tidaklah sekadar berhenti pada proporsi tekstualitas semata, melainkan pula melakukan lompatan lebih jauh membangkitkan semangat untuk terus menerus mendorong perubahan yang berkeadilan dengan sandaran akar konstitusionalisme. Di sinilah tantangan para teoritisi konstitusi untuk secara terus menerus mengoreksi dan menggali akar-akar konstitusi dengan mentransmisikannya dalam merespon situasi-situasi kekinian. Konstitusionalisme bukanlah sekadar urusan bongkar pasang teks berikut institusinya melalui konstitusi, melainkan sebagai lompatan pemikiran kritis dan tindakan nyata untuk memberikan kepastian jaminan hak-hak kesejahteraan sosial sebagai hak-hak dasar warga negara yang tidak boleh sedikitpun diabaikan oleh penyelenggara kekuasaan. Begitulah salah satu cara memaknai teori dan hukum konstitusi agar kian lebih maju secara substantif, bermartabat dan membumi bagi seluruh warga bangsa. Konstitusionalisme menyediakan kerangka hukum dan politik untuk merealisasikan dan melindungi persamaan status, HAM, dan kesejahteraan seluruh warga negara. Sedikit negara-negara kontemporer yang bisa dikualifikasi sebagai penganut sistem konstitusionalisme dalam arti yang sepenuhnya maupun secara parsial. 80 Hal ini dimaksudkan An-Na’im adalah karena negara tersebut gagal dalam memenuhi tuntutan hak asasi manusia serta adanya perlakuan diskriminasi terhadap status warga negara terutama terhadap status perbudakan, 80 Ibid., h. 141 lxxviii perempuan dan non-Muslim bahkan kadang-kadang hilangnya hak kewarganegaraan penuh mereka. Sehingga yang harus pertama-tama dipahami adalah filosofi dari konstitusionalisme, yaitu sebagai prinsip keutamaan hak rakyat. Karena konstitusionalisme berpendirian bahwa kekuasaan sungguh- sungguh terbatas dan hak-hak warga negara benar-benar ada, maka sebuah konstitusi harus bersifat membebaskan. Fungsi pembebasan dari sebuah konstitusi hanya bisa berjalan apabila konstitusi itu memenuhi dua syarat. Pertama, memiliki paradigma emansipatoris yang menekankan pentingnya penegakan hak-hak dasar setiap warga negara. Kedua, konstitusi itu bersifat terbuka baik untuk didialogkan dengan kenyataan riil yang berkembang maupun untuk diperbaiki. Penolakan maupun penerimaan terhadap konstitusioanalisme menurur An- Naim harus berpedoman pada dua argumen yaitu pertama bersifat moral dan kedua bersifat empirik. Yang dimaksud moral di sini adalah bahwa dalam mengambil keputusan harus menempatkan posisi diri kita berada dalam posisi orang lain sehingga tidak terjadi keberatan di antara dua pihak dan saling mendapatkan keadilan dari prinsip konstitusionalisme sedangkan argument empiris adalah kenyataan bahwa konstitusionalisme telah menjadi pilihan bebas mayoritas rakyat di seluruh dunia, termasuk umat Islam. 81 Konstitusionalisme merupakan suatu perangkat aturan yang memuat prinsip dasar dan impian bangsa mewujudkan masa depan. Oleh sebab itu, perubahan terhadap konstitusi memerlukan paradigma yang jelas sesuai dengan prinsip konstitusionalisme yang antara lain adalah: 1 pembatasan wilayah 81 Ibid., h. 143 lxxix kekuasaan negara, 2 pengaturan cabang kekuasaan yang seimbang, 3 jaminan terhadap hak asasi manusia, 4 prinsip kedudukan politik yang demokratis, 5 independensi peradilan, 6 kontrol sipil terhadap militer, 7 prinsip desentralisasi, 8 jaminan melakukan perubahan konstitusi, serta 9 melibatkan masyarakat. 82 Konstitusionalisme adalah paham moderen tentang perlindungan warga negara. Ia bukan pertama-tama sebagai aturan-aturan ketatanegaraan, melainkan prinsip final tentang hak warga negara. Itulah sebabnya di dalam sejarah awal perkembangan paham itu, eksplisit diakui hak warga negara untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap penguasa yang otoriter. Baru kemudian konstitusi dipahami sebagai sarana untuk mengatur kehidupan politik secara permanen, yaitu dengan berfungsi sebagai lembaga intermediasi di dalam mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyat. Paham konstitusionalisme lalu menjadi identik dengan prinsip negara hukum, karena pasangan prinsip itu beroperasi untuk tujuan yang sama, yaitu ketertiban dan kepastian. Dengan itu kita dibiasakan untuk menjalankan aktivitas politik dan kenegaraan secara prosedural. Dan demokrasi dalam konteks ini juga dipahami sebagai mekanisme prosedural untuk menjamin berlanjutnya ketertiban politik dan kepastian hukum. Dari sinilah kemudian diterima suatu kredo universal tentang keniscayaan hubungan antara demokrasi, negara hukum dan konstitusionalisme. Saling mengandalkan dan saling membutuhkan. Dalam konteks ini perlu juga diterangkan bahwa sistem di belakang perkembangan moderen dari paham konstitusionalisme adalah pandangan bahwa 82 J. Kristiadi, “Kambing hitam itu bernama UUD 1945,” artikel diakses pada tanggal 14 Mei 2008 dari http:www.csis.or.idscholars_opinion_view.asp?op_id=623id=29tab=3 . html lxxx manusia merupakan mahluk rasional yang mampu mencapai kesepakatan berdasarkan akal pikirannya. Karena itu, paham konstitusionalisme itu sendiri tidak diturunkan dari suatu pandangan transendental tentang ideal dari sebuah kehidupan politik, atau dari sebuah tujuan hidup common good yang sudah final, melainkan dari suatu tuntutan historis tentang prasyarat kebebasan dan hak individu, demi dapat bekerjanya rasionalitas. Artinya, karena kontrak sosial di antara individu harus didasarkan pada kesepakatan bebas, maka pertama-tama hak dan kebebasan individu haruslah dianggap primer. Di sini jelas bahwa konstitusionalisme adalah suatu rumusan historis untuk menyelamatkan hak dan kebebasan individu dari hambatan dan tekanan-tekanan kekuasaan, yang contoh- contoh buruknya bertebaran sepanjang sejarah manusia. Melihat fenomena kedaulatan yang mendasari problem konstitusionalisme dalam syariah, An-Na’im berpandangan bahwa terjadi ambivalensi 83 . Meskipun merupakan kepercayaan bagi Islam bahwa otoritas tertingggi berada di tangan Tuhan, namun tidak dengan sendirinya menunjukkan siapa yang berwenang atas kedaulatan itu. Pada waktu Nabi masih hidup klaim tersebut masih mungkin dan tidak diperselisihkan namun setelah Nabi wafat kalim tersebut lantas menimbulkan masalah terutama setelah masa khulafaurrasyidin bahwa kalim tersebut telah terdistorsi dan bahwa mereka ini sebagai instrumen kehendak Ilahi yang diapresiasikan melalui syariah juga mengundang masalah bagaimana khalifah itu mempertanggungjawabkan perbuatannya. 84 An-Na’im berpandangan bahwa perlu rumusan baru tentang batasan- batasan kedaulatan yang pada akhirnya dapat berjalan beriringan dengan 83 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 160 84 Ibid., h. 161 lxxxi konstitusi. Pembatasan hak non-Muslim dan partisipasi perempuan Muslim dalam penyelenggaraan urusan negara. Ini tentu saja tidak konsisten dengan konstitusi modern yang mensyaratkan persamaan dan tidak ada diskriminasi diantara warga negara 85 . Sehingga menurut An-Na’im semua aspek syariah historis yang berhubungan dengan perempuan dan dzimmi adalah melanggar prinsip persamaan di depan hukum konstitusi.

D. Kewarganegaraan