Paradigma Islam Substantif KONTEKSTUALISASI HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

xl Muhammmad Naquib al-Attas bahwa sekularisasi tidaklah sesuai dengan agama Islam yang final dan otentik. Menurutnya sumber asli Islam adalah wahyu dan bukan Budaya. Substansi Islam seperti iman dan amal, ibadah serta aqidah diberi oleh wahyu dan diterjemahkan serta ditunjukkan oleh Rasulallah dalam perkataan dan perbuatannya bukan tradisi dan budaya 22 . Sementara Syamsudin Arif mengatakan bahwa sekularisme sebagai ideologi, pada dasarnya memang tidak dapat bersenyawa dengan ajaran Islam yang hakiki, yang menganggap kekuasaan politik sebagai sarana penegakan agama. Dalam arti politik untuk kepentingan agama, bukan agama untuk kepentingan politik sehingga kebenaran agama dan kekuasaan politik terkait erat dan tak terpisahkan. 23

B. Paradigma Islam Substantif

Kelompok ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam terdapat sistem kenegaraan, tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat system kenegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. 24 Jenis pemikiran ini sebagaimana dikatakan Bachtiar Efendi, adalah sebagai pikiran yang tengah-tengah 25 yang mampu sebagai penengah antara pemikiran 22 Adnin Armas dalam “ Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi Harvey Cox”, dalam sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, h. 32. 23 Syamsudi Arif, Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama. Dalam sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat , Vol. III No. 2, h. 42. 24 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 2 25 Efendi, Jalan Tengah Politik Islam, h. 9. xli sekuler dan pemikiran teokrasi. Perhatian utama dari kelompok ini adalah bahwa meskipun Islam meliputi nilai-nilai dan ide-ide tertentu, namun hal itu tidak serta merta menggabungkan spritualitas dan politik. Sehingga mereka tidak menentukan secara spesifik suatu bentuk pemerintahan. Mereka percaya bahwa politik dan agama merupakan persoalan yang berbeda. Tetapi, antara keduanya tidak mesti harus dihubungkan atau dipisahkan. Secara legal-formal dan simbolik barangkali antara Islam dan politik tidak selamanya bisa diterima. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak mewajibkan pengikutnya dengan cara apapun untuk mewujudkan ide-idenya dalam ranah politik. Mereka berusaha menunjukkan bahwa Islam tidak mempunyai hubungan dengan politik dan bahwa Islam adalah murni sebagai sebuah doktrin spritualitas dan bukanlah sebagai sebuah doktrin politik. Meskipun demikian, secara substansial keduanya sulit untuk dipisahkan. Menjadi sekuler, dalam pengertian yang sebenarnya bukan perkara gampang-kalau tidak bisa sama sekali. Selalu saja terdapat nilai-nilai yang akan mempengaruhi kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan politik. Termasuk dalam hal ini nilai-nilai agama. 26 Aliran dan model pemikiran yang kedua ini lebih menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal dan formal. Karena wataknya yang substansialis itu dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musayawarah, dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, kecenderungan itu mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, di mana negara bangsa merupakan salah satu unsur utamanya. 26 Ibid., h.10 xlii Refleksi kaum substansialis dalam bidang politik, pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik. 27 Pandangan mereka tersebut tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan kelembagaan politik mereka. Kalangan subtantif cenderung menginginkan Islam sebagai dasar etik dalam mengatur kehidupan masyarakat, tanpa harus terlibat jauh dalam formalisasi. Bagi mereka, bentuk negara dan institusi politik dalam pandangan Islam bukanlah bagian dari dogma agama, sehingga bersifat sakral. Tentang negara Islam pandangan kelompok ini mengakui bahwa Nabi memang telah membentuk tertib politik sesudah migrasi nya ke Madinah. Akan tetapi, mereka tetap bersikeras bahwa ini bukan merupakan hubungan intrinsik antara Islam dan politik. Timbulnya otoritas Nabi di Madinah dianggap sedikit banyak sebagai event historis, suatu situasi khusus dimana keadaan sosial politik mendorong kearah itu, dan bukan merupakan suatu tugas agama yang termasuk dalam wahyu Ilahi. Kemudian bentuk perjuangan terhadap berlakunya syari’at Islam, paradigma Substantif-Inklusifistik lebih cenderung pada sistem kulturalisasi, biarkan berjalan mengikuti keinginan masyarakat, bukannya pemaksaan melalui pensisteman sebagaimana yang diperjuangkan oleh kaum simbolik formalistik. Lebih jelasnya lagi kalau paradigma Substantif Inklusif menggunakan cara Battom Up , berangkat dari perspektif masyarakat, sedangkan paradigma simbolik 27 M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru Jakarta: Paramadina, 1995, h. 155. xliii formalistik bersifat Top Down, pemaksaan dari atas ke bawah melalui sistem negara. Nurcholis Madjid sebagaimana yang dijelskan oleh Fachri Ali bahwa Islam yang dimaksudkan itu adalah sebuah ajaran teologis dimana artikulasinya tidaklah harus selalau dibatasi oleh sekat-sekat kelembagaan dan peraturan formal yang mengedepankan label Islam. Sehingga Islam menyatu dalam nilai-nilai masyarakat umum. Dalam hal ini Nurcholis Madjid tidak melepaskan nilai-nilai Islam dalam dirinya, melainkan lebih mengarahkan pengejawantahannya kepada sesuatu yang lebih substansial dan kualitatif: pengembangan etika publik berdasarkan nilai-nilai Islam. Nilai Islam yang dapat berlaku pada dataran nasioanal itu hanyalah nilai Islam yang bisa dan orang Islam sanggup merumuskannya secara universal dan dan inklusif. Karena itu orang tidak berbicara tentang negara Islam lagi. Negara Islam itu ekslusif tidak inklusif dan merupakan penemuan manusia. 28 Ia mencontohkan bahwa dulu waktu zaman Umayyah dan Abbasiyah tidak ada ekspresi seperti itu. Negara Umayyah disebut daulah Umayyah, zaman Abbasiyah disebut Daulah Abbasiyah. Tidak mungkin mengatakan daulah Umayyah dan Abbasiyah itu lepas dari Islam. Sampai sekarang pun ahli sejarah mengatakan bahwa Daulah Umayyah dan Abbasiyah itu dijiwai oleh Islam atau dikatakan negara Islam tapi dalam makna negara yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Kemudian Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa orang Islam sekarang berbicara tentang keadilan, persamaan antar manusia, hak pribadi, yang semuanya ada dalam ajaran Islam namun inklusif dan inilah substansi dari ajaran Islam. 28 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer Paramadina: Jakarta, 1998, h. 173. xliv Sebagaimana orientasi yang digunakan oleh paradigma Substantif-inklusif, bahwa urusan agama biarlah berjalan secara kultural, maka yang bertugas menjaga keberlangsungan syari’at Islam adalah umat Islam itu sendiri, terutama para ulamanya. Hal ini kenapa ? karena agama adalah penghayatan jiwa, dan Antara orang satu dengan lainnya berbeda pengalaman dalam merasakannya. Maka orang yang lebih mengerti keadaan sebagimana tadi adalah orang itu sendiri dan ulamanya, bukan orang lain, apalagi negara, selain ia tidak bertatap muka secara langsung dengan masyarakat juga didalamnya sarat dengan kepentingan individu dan golongan. Kemudian tugas pemerintah disini adalah hanya sebagai penjaga perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan dan kenyamanan rakyatnya. Dengan kata lain negara hanya mengurus Sesuatu yang berkaitan dengan kemashlahatan publik saja, bukan ikut campur dalam masalah prifat . Dukungan negara bukan saja terasa anakronis, tapi juga salah arah. Negara tidak berhak menelusup masuk ke dalam hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Dengan kata lain, negara tak berhak mengintervensi kehidupan keagamaan seseorang. Yang mendesak dilakukan sekarang adalah menciptakan suatu format kehidupan demokratis yang berkeadaban civility dan format kewargaan yang inklusif inclusive citizenship tanpa menelikung ajaran-ajaran normatif suatu agama. Dan itu sulit terwujud jika pemeluk agama hanya puas menerapkan hal-hal simbolik dan menafikan hal-hal substansial yang menjadi inti core agama. Ketika Nurcholis Madjid memberi perumpamaan Pancasila, bahwa Pancasila bukanlah Islam namun konsep musyawarah yang ada dalam butir xlv Pancasila sudah melambangkan dan mengedapankan nilai-nilai Islam. Sementara musyawarah bukanlah hanya ajaran Islam bahkan orang selain Islam juga mengakui musyawarah sehingga tanpa pun musywarah diberi label Islam, hal itu sudah mencerminkan etika Islam. Inilah yang dimaksud Nurcholis Madjid Islam yang hadir dan diterima Publik. Nurcholis Madjid menyesali kecenderungan mereduksi Islam hanya pada tata cara ibadah. Tetapi hal yang jauh lebih penting adalah bagaimana Islam dalam konteks substansialisasi artikulasi ajaran-ajarannya. Memberikan makna yang lebih luas dan dinikmati secara maknai bukan hanya oleh kalangan Islam sendiri. Sehingga Islam benar-benar mempunyai fungsi dan peran dalam sebuah konsep Rahmat-an lil alamin dan inilah yang menjadi kunci dari pemikirannya. 29 Caknur ingin membebaskan pengertian Islam dari penjara-penjara partikularisme. Karena akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang yang berawal dari pemaksaan generalisasi. Maka dalam konteks pemikirannya, satu- satunya jalan membebaskan Islam dari sifatnya yang partikularistik itu adalah dengan mengembalikan fungsi dan peran Islam kepada konteks universal dan abadi: Rahmata-an lil alamin. Semangat universalisme memfokuskan perhatian pada masalah-masalah yang menjadi agenda manusia secara universal tanpa tapal batas agama dan budaya. 30 Bagi Caknur bahwa corak-corak pemikiran yang bersifat partikularistik itu adalah bersifat nisbi dan tak harus dimutlakkkan. Pemutlakan pemikiran- pemikran dan lembaga-lembaga itu bukan saja bersifat kontraproduktif dalam 29 Pengantar Fachri Ali dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai- Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer Paramadina: Jakarta, 1998, h. xxxix. 30 Ibid., h. xi. xlvi kehidupan riil tapi juga sangat sulit menyesuaikan diri dalam kehidupan yang sesunguhnya yang sangat dinamis. Nurcholis Madjid melihat bahwa pemutlakan pemikiran dan lembaga tersebut sangat bahaya karena akan menimbulkan ideologisasai agama yang menghambat inklusivitas Islam sehingga akan menghambat percepatan perkembangan dan penerimaan publik terhadap Islam. Gagasan politik dan negara berlabel Islam merupakan representasi paling nyata dari sifat partikularistik Islam. Sebagaimana dijelaskan Fachry Ali bahwa pendirian negara Islam lebih merupakan respons sosiologis dalam struktur kejadian sosial politik. Apakah lantas apa yang disampaikan dan dijabarkan Caknur keluar dari nilai-nilai Islam dan beranjak dari pemikiran sekuler? Fachri Ali menjelaskan bahwa partisipasi Caknur dalam menyumbangkan pikiran dan kritik-kritiknya terhadap dunia politik Indonesia, tidaklah beranjak dari kesadaran sekular, melainkan merupakan perwujudan dan konsekuensi logis dari persepsi keislamannya sendiri. 31 Republik Mesir, Kerajaan Arab Saudi, Kerajaan Konstitusional Malaysia, dan Demokrasi Indonesia adalah varian-varian negara Islam modern. Kebebasan beragama, toleransi, anti-diskriminasi, penegakan hukum, keadilan dan HAM adalah partikular dari maqhasidus syariah inilah sesungguhnya secara substansial dengan nilai-nilai Islam. Azyumardi dalam buku Islam Substantif Agar Umat Tidak Menjadi Buih menuliskan, politik Islam di Indonesia dalam arti formalisme sudah tidak laku karena pada umumnya, masyarakat lebih memilih Islam substantif. Jadi, katanya, 31 Ibid., h. xivi. xlvii apabila Islam mau berperan dalam politik, perannya adalah pesan substantif, yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dan tema-tema sentral seperti keadilan dan egalitarianisme, bukan menonjolkan simbol. 32 Kesimpulannya, hal yang diinginkan oleh golongan Substantif-Inklusif dalam hubungan agama dengan negara adalah bagaimana antara ulama dan pemerintah agama dan negara bisa saling mengisi satu sama lain. Para ulama mengurus bagaimana moral umatrakyat baik, kemudian pemerintah mengurus dan mengupayakan tentang bagaimana kesejahteraan, ketentraman dan perdamaian rakyat bisa tercapai. Dalam Islam, etika menjadi acuan bagi politik dan segala bentuk aturan tingkah laku politik yang diambil dari norma-norma etika Islam. Dengan demikian, perhatian utama politik, yakni usaha mengkontrol struktur Negara, meraih kekuasaan untuk kebaikan, menyapu bersih keburukan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik, semuanya relevan dan dianjurkan oleh Islam. 33 Islam memberikan perhatian penting terhadap aktivitas-aktivitas ini, yang membedakannya dengan yang lain adalah bahwa kehidupan politik harus ditempatkan dalam kerangka kehidupan keagamaan dan spiritual yang lebih luas.

C. Paradigma Sekuler